Ke b e rla n ju ta n S is te m Ma ta P e n c a h a ria n P e r g u la t a n y a n g Ti d a k P e r n a h B e r h e n t i
Ke b e rla n ju ta n S is te m Ma ta P e n c a h a ria n P e r g u la t a n y a n g Ti d a k P e r n a h B e r h e n t i
Perubahan-perubahan menyangkut sistem kehidupan sosial ekonomi masyarakat Kampung Laut bermula ketika tanah lumpur yang dibawa dari arus sungai mulai mengeras dan kuat layaknya tanah daratan. Namun demikian, per- ubahan tersebut tidak bisa digeneralisir sebab pada faktanya, perubahan yang terjadi membutuhkan proses sublimasi agar bisa dilakukan penilaian sebagai perubahan. Sebagai contoh, memang warga dari Kampung Laut yang terdiri dari empat desa itu saat ini sudah mulai memiliki keragaman mata pen- caharian, tidak hanya sebagai nelayan saja, semakin variatif karena sudah ada yang bertani, berdagang, dan juga pengusaha angkutan. Selain itu, dinamika hubungan dengan warga darat juga semakin intens, ketika semakin lama Tanah Timbul semakin luas dan mempersempit jarak antara daratan dan Kampung Laut. Saat ini, menjangkau Kampung Laut tidak perlu lagi menggunakan perahu. Di beberapa lokasi, seperti Panikel yang sudah hampir merapat dengan daratan Jawa, dan Ujung Alang yang sudah merapat dengan Nusakambangan. Kedua daerah tersebut tidak lagi bisa dikatakan sebagai Laut Segara Anakan, karena fakta ekologinya sama sekali berubah menjadi daratan. 55
55 Ada sebuah cerita selorohan di kalangan tim peneliti ketika kami bisa sampai ke Pulau Nusakambangan. Selorohan itu menyangkut cerita
tentang seorang narapidana terkenal, Jhony Indo, yang berhasil melarikan diri dari Nusakambangan menjelang tahun 80-an. Coba jika Jhony bersabar dua tahun lagi. Niscaya ia tidak perlu berenang menyebrangi laut Segara Anakan untuk ke Cilacap. Sebab tidak lama setelah itu, tanah timbul sudah bermunculan. Atau jika saat ini Jhony Indo masih disana dan masih mau berenang menyeberangi selat, ia pasti akan kebingungan sebab laut yang dalam pengetahuannya selama ini menjadi penghalang sudah hilang.
Jalur penyeberangan menuju Kampung Laut dari Keca- matan Kawunganten sudah tidak berfungsi. Tahun 2003, jalur ini masih menggunakan lalu lintas sungai untuk lebih mudah menjangkaunya. Namun, sekarang dermaga penyeberangan di bawah jembatan Kawunganten sudah tidak lagi berfungsi, tidak ada lagi kapal-kapal penyeberangan yang bersandar di bawahnya. Padahal pada tahun tersebut, Jembatan lintas Kawunganten menjadi ciri kehidupan warga masyarakat Kam- pung Laut, khususnya masyarakat Desa Panikel yang hanya mempunyai jalur tercepat menuju daratan melalui terminal kapal tersebut. Penyebab utamanya adalah akses jalan darat yang sudah mulai menguat dan penyediaan jalan dan jem- batan yang sudah membaik untuk melakukan mobilisasi ter- cepat dan termudah.
Bagi masyarakat perkembangan Kampung Laut sebagai sebuah perkampungan mulai layak dengan masuknya pem- bangunan fisik oleh pemerintah. Khususnya di desa Panikel dan Ujung Gagak sudah dikembangkan penerangan dengan menggunakan listrik dari PLN, juga ada sarana jalan dan jembatan ke luar Kampung Laut. Di Ujung Alang dan Klaces sudah dapat menikmati air bersih yang diambil dari Nusa- kambangan, walaupun penerangan listrik disini belum dapat dinikmati 24 jam, karena masih menggunakan listrik tenaga surya yang hanya dapat dimanfaatkan mulai pukul 18.00-
22.30 WIB. Keberlanjutan sosial-ekonomi masyarakat Kampung
Laut dapat diteruskan dengan adanya perikanan nelayan dan pertanian Tanah Timbul. Namun sistem perikanan belum dimaksimalkan dalam penguasaan perairan luas. Sebagian besar masyarakat masih memanfaatkan Segara Anakan sebagai mata pencaharian utama. Sehingga, tingginya tingkat sedimentasi menjadi faktor utama penyebab menurunnya hasil tangkapan.
Masyarakat tidak akan mengalami keberlanjutan sistem
H a r a p a n a t a s Ta n a h Ti m b u l
Bagi warga Kampung Laut, yang sudah cukup lama menggantungkan diri pada alam sekitar sebagai sumber kehi- dupan, begitu laut yang berada di bawah rumah dan di sekitar- nya mulai mendangkal dan berganti daratan, mereka dihadap- kan masalah dilematis. Pada awalnya masyarakat memahami proses sedimentasi sebagai proses alamiah. Mereka juga per- caya bahwa mereka bisa menimba keuntungan dari tanah-tanah yang semakin banyak bermunculan itu. 56
Akan tetapi proses pergantian ekologi itu berubah sangat cepat. Sehingga, karena tidak diiringi dengan kecakapan mengenai perubahan agro-ekologi, menyebabkan proses trans- formasi penguasaan Tanah Timbul mengalami satu model transisi agraria yang puncaknya—jika tidak segera dicarikan jalan pemecahannya—seperti disebutkan oleh Gunawan Wiradi, melahirkan polarisasi.
Dalam konteks seperti ini, proses penyempitan Segara Anakan, yang tadinya bisa menjadi instrumen tempat meng- gantungkan harapan baru, justru sebaliknya malah menjadi sarana penyempitan pola-pola pencarian nafkah masyarakat- nya sendiri. Memang kemudian banyak juga yang mampu
56 Wawancara dengan Kartamus (81 tahun) salah satu ‘tokoh adat’ di Desa Ujung Gagak.
Akan tetapi harapan-harapan mendesak yang dikemuka- kan oleh masyarakat adalah penyelesaian beberapa masalah berikut: (1) Masalah konflik agraria, mulai dari penguasaan tanah yang tumpang tindih, mekanisme trukah, dan sebagai- nya: (2) Masalah pengelolaan lahan yang sudah ada hak garapannya namun kemudian banyak berpindah tangan tanpa pengawasan: (3) Masalah sistem penguasaan lahan sendiri yang cenderung diserahkan pada mekanisme pasar: (4) Masalah produktivitas lahan yang sudah ada, yang selama ini hanya mengandalkan pertanian tadah hujan, sehingga meski Tanah Timbul ini sangat subur, namun produktivitas- nya tetap rendah: (5) Masalah kelembagaan lokal yang tidak kunjung menjadi satu sistem rujukan mengelola sumberdaya agraria: (6) Masalah daya dukung ekologi seperti kehancuran sistem pamijahan ikan di kawasan manggrove yang hancur oleh penjarahan: (7) Masalah distribusi kapital yang semakin terpolarisasi antara masyarakat bermodal besar, dengan ma- syarakat miskin: dan (8) Masalah pengetahuan lokal yang juga sudah mulai terdegradasi dengan nilai-nilai baru yang masuk seiring dengan modal.
Sistem Produksi Pertanian
Sistem produksi di Tanah Timbul bisa dipetakan men- jadi beberapa pola. Pertama, pola trandisional di mana para pemilik lahan mengelolanya dengan cara-cara lama dan sederhana. Target penghasilan dari lahannya juga biasa saja,
57 Pandangan ini dikemukakan oleh beberapa aparat pemerintah dan juga masyarakat.
kemarau belum ada sama sekali. 58 Ketiga, model pengelolaan biasa, bahkan cenderung asal. Lahan yang hak garapannya sudah dimiliki digarap sekedarnya saja. Penduduk yang mengelola lahan seperti ini memang tidak mengandalkan penghasilan dari lahan-lahan tersebut. Adapun pengelolaan lahan dilakukan supaya lahan yang mereka miliki tidak di- tumbuhi semak belukar sehingga bisa memancing tumpang tindih kepemilikan. Tumpang tindih kepemilikan sering ter- jadi akibat kebiasaan tidak mengurus patok lahan, bahkan ada yang hilang. Kamudian seiring dengan waktu, tumbuhlah semak belukar dan bahkan tanaman bakau (manggrove) di atasnya. Jika sudah lebat, beberapa warga baru menyangka bahwa itu adalah tanah baru muncul sehingga mereka mema- tokinya.
58 Dalam satu kesempatan, kami berdiskusi dengan aparat kecamatan atau pun desa, kehendak memiliki irigasi teknis ini sangat besar. Mereka
merasa bahwa kehadiran irigasi akan meningkatkan produktivitas lahan mereka.
Distribusi HasilProduksi
Proses distribusi hasil-hasil produksi tidak begitu ber- masalah. Masyarakat dapat dengan mudah menjual hasil tangkapan laut pada banyak pihak, pengepul, warga darat, tetangga, dan sebagainya. Begitu pula ketika mereka sudah mendiami atau bertempat tinggal di lahan kering (daratan). Proses distribusi hasil produksi tidak pernah menjadi kendala. Hanya sedikit saja perbedaannya: jika dahulu proses transaksi bisa dilakukan dengan barter, misalnya ikan ditukar dengan beras: saat ini semua dikonversi menjadi uang dengan harga yang disesuaikan dengan mekanisme pasar.
Dalam proses produksi, entah menjadi petani atau nela- yan, tekanan dari pihak luar bisa dikatakan tidak ada. Warga Kampung Laut memiliki kebebasan penuh untuk menentu- kan apakah tanah yang dimilikinya itu mau ditanami atau tidak, atau jikapun mau ditanami, mereka sangat bebas me- nentukan mau ditanami apa saja: padi, sayuran, pohon, atau rumput untuk ternak mereka.
Dalam perkembangan jamannya, terjadi perubahan sistem distribusi hasil panen. Distribusi lokal pada tetangga dan lingkungan sekitar sudah tidak lagi memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Oleh karena itu, produksi masyarakat harus dipasarkan hingga konsumen yang me- mungkinkan kesesuaian harga yang diharapkan. Di Panikel dan Ujung Gagak, masyarakat mendistribusikan hasil panen dengan perahu menuju TPI Majingklak (Jawa Barat) atau melalui pelabuhan Sleko di Cilacap, atau pilihan lainnya didistribusikan ke pasar Kawunganten di Kecamatan Kawung- anten. Sekarang sistem distribusi lebih mudah, karena teng- kulak dapat melakukan transporasi darat menggunakan mobil bak terbuka untuk mengambil hasil panen dan membayarnya di tempat. Dengan cara ini, masyarakat dapat menghemat waktu dan biaya transportasi yang diperkirakan juga lebih
Sumber Penghasilan Masyarakat
Tanah Timbul dan kawasan Segara Anakan mempunyai potensi sumber daya yang berlimpah. Meskipun demikian, kekayaan sumber daya alam tidak dapat memberikan peme- rataan kesejahteraan ekonomi pada seluruh lapisan masya- rakatnya. Sumber daya kelautan dan hasil pertanian yang di- kelola tidak dapat meningkatkan kesejahteran masyarakat yang hidup di atas Tanah Timbul. Kehidupan dalam keseder- hanaan dan kemiskinan tercermin dalam bangunan rumah yang terlalu sederhana. Dalam pengukuran tingkat kesejah- teraan keluarga, hampir sebagian besar masyarakat Kampung Laut masih dapat digolongkan ke dalam Keluarga Sejahtera
II, bahkan masih banyak masyarakat Kampung Laut yang digolongkan ke dalam Keluarga Pra-sejahtera, dimana kondisi rumah tanpa alas lantai.
Sumber penghasilan keluarga didapat dari berbagai cara yaitu: (1) sebagai petani padi sawah dengan satu kali panen per-tahun: (2) sebagai nelayan di kawasan Segara Anakan: (3) sebagai petambak kepiting: (4) sebagai perangkat desa: (5) sebagai buruh: tenaga kerja perkotaan: (6) sebagai tenaga kerja di luar negeri. Berdasarkan kondisi rumah, keluarga sejahtera mempunyai penghasilan dari berbagai macam peker- jaan. Terutama, bagi mereka yang menjadi pekerja di luar negeri. Seperti, Dirjo, warga desa Panikel yang tinggal di sebelah Balai Desa Panikel mempunyai rumah yang sangat bagus karena salah satu anggota keluarganya bekerja di Tai- wan selama 7 tahun berturut-turut. 59
59 Dirjo mempunyai rumah megah berlantai dua dengan pondasi batu kali dan cakar ayam beton yang kuat, berwarna orange dan hijau
muda. Jumlah rumah yang bercat menarik seperti rumah yang dimiliki oleh Dirjo di Kampung Laut masih sangat sedikit.
K o n t r i b u s i Ta n a h Ti m b u l b a g i K e h i d u p a n
Pada awalnya, mungkin sedikitpun tidak terbetik dalam pikiran masyarakat Bejagan atau Kampung Laut bahwa mereka akan disuguhkan satu fenomena ekologi: laut yang selama ini menjadi sumber dan tempat mereka hidup, tum- buh, dan besar, harus berganti menjadi daratan. Masyarakat yang sudah larut dalam cerita mengenai Ki Jaga Laut ini, tentu tidak pernah menyangka bahwa cerita itu, mitos itu, harus mereka rekonstruksi kembali karena dibutuhkan untuk menghadapi suatu pertarungan baru berbasis sumberdaya yang juga baru bagi mereka.
Mengapa demikian? Karena area baru tempat melaku- kan pertarungan ini lebih heterogen, lebih dinamis, dan tentu saja membutuhkan kapasitas lebih, jika para aktor ingin me- menangkan pertarungannya.
Ki Jaga Laut adalah tokoh besar yang kemudian mereka klaim sebagai cikal bakal mereka. Kata ‘Ki Jaga’ dan ‘Laut’ bukan hanya masalah nama, namun juga adalah sejumlah skill taktis yang dimiliki oleh Wiratamtama. Dengan kesak- tian Ki Jaga Laut, selain berhasil membuat perompak di Segara Anakan berhenti beroperasi, juga bisa menaklukan berbagai ombak besar yang kerap mengganggu anak-anaknya jika sedang mengarungi Segara Anakan.
Di kawasan yang saat ini menjadi area kantor desa Penikel, sebagai contoh, Segara Anakan sedalam tujuh depa atau sekitar 14 meter. 60 Agak ke tengah, ombak di sana se- tinggi lima meter. Tapi keganasan alam itu takluk seiring dengan kehadiran Ki Jaga Laut. Lalu, bagaimana jadinya jika mitos yang dilekatkan pada sumberdaya air ini, masih diper- cayai ketika sumberdaya airnya justru mulai menghilang? Pentingnya rekonstruksi mitos Ki Jaga Laut dan wiratamtama
60 Wawancara dengan Kepala Desa dan Sekdes Desa Penikel.
Mitos-mitos yang direkonstruksi juga dimaksudkan untuk menjadi mediator bagi warga Kampung Laut ketika harus berdialog dengan warga darat. Dengan demikian ada penegas yang jelas menyangkut identitas kewargaan walau kemudian mereka harus melakukan interaksi dengan warga luar. Identitas yang embedded itu kemudian mereka kelola sedemikian rupa untuk bisa memberikan kontribusi sosial- ekonomi. Sementara ini mereka cukup berhasil. Hal ini dibuktikan dengan realitas bahwa tidak ada warga pendatang yang melakukan penguasaan atas sumberdaya alam yang muncul di Segara Anakan. Jika pun saat ini warga pendatang mulai merangsek, tetap saja mereka tidak bisa melakukan penguasaan sumberdaya agraria ini tanpa prosedur yang ditetapkan warga Kampung Laut.