Ka jia n S o s io lo gis P e n gu a s a a n Ta n a h

Ka jia n S o s io lo gis P e n gu a s a a n Ta n a h

Di Banjaranyar, meskipun sebagian besar tanah garapan masyarakat sudah bersertifikat, namun tetap saja dengan keterbatasan sumberdaya alam yang ada, masyarakat hanya bisa mengusahakan tanahnya dengan agak intensif pada musim penghujan. Dengan keterbatasan kondisi alam seperti ini, ada kecenderungan masyarakat hidup seadanya meng- andalkan hasil dari alam yang ada terutama tanah. Dari sejumlah 365 bidang tanah yang sudah bersertifikat, sekitar

30 bidang sama sekali tidak bisa diusahakan karena tanahnya berbatu-batu sehingga hanya tumbuhan alam yang bisa tumbuh di atasnya. Artinya, tanah tersebut tidak bisa dibudi- dayakan.

Namun sertifikat tidak akan mampu mendorong pen- dapatan petani. Sertifikat tidak ada hubungannya dengan peningkatan kesuburan tanah, tetap saja petani tidak bisa mencukupi hidup dengan layak. Di lokasi lainnya, masya- rakat mengusahakan pertanian tanah kering pada musim kemarau, dan pertanian tanaman semusim pada musim hujan. Pola seperti itulah, satu-satunya sumber penghasilan keluarga. Selain pola demikian, sebagian penduduk juga menanam albasia yang mempunyai nilai ekonomis agak tinggi dan mudah pemasarannya. Kondisi menjadi sumber pendapatan untuk memenuhi kebutuhan sekunder. Bagi penduduk yang berekonomi lemah, sering terjadi sistem ijon untuk meno- pang hidup sehari-hari.

Di Pasawahan penduduk masih terus memperjuangkan hak atas tanahnya. Di lokasi Pasawahan I yang terjadi sengketa dengan Perum Perhutani, meskipun petani penggarap sudah memiliki Surat Penunjukan Garapan (SPG) namun tertera bahwa SPG bukanlah bukti kepemilikan tanah tetapi hanya bukti penggarapan. Atas dasar SPG tersebut, penduduk ber- usaha mendapatkan bukti kepemilikan tanah atas namanya masing-masing. Namun demikian, nampaknya hal ini akan menjadi sulit terwujud karena pihak Perhutani belum bersedia melepaskan tanah-tanah dari penguasaannya.

Dari kondisi lapangan, terlihat hampir tidak ada tana- man-tanaman perhutani di tanah-tanah garapan penduduk, kalaupun ada hanya sebagian pohon jati saja yang tersisa. Sebagian besar penduduk menggarap tanahnya atas dasar SPG yang dipegangnya/dimilikinya. Kenyataan ini bisa dipahami karena para penggarap tidak memiliki tanah usaha untuk berusaha tani. Seandainya pihak Perhutani bersedia melepas- kan sebagian hak atas tanah yang dikuasainya, maka per- soalan bisa selesai dan penggarap bisa mengajukan hak atas tanahnya berdasarkan SPG yang ada. Namun demikian pihak Perhutani tentunya mempunyai alasan tersendiri mengapa belum mau melepaskan hak penguasaan tanah tersebut. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sampai saat ini tanah-tanah tersebut sudah digarap penduduk dan hasilnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari, bahkan ada pula penduduk yang bisa menyekolahkan anak- anaknya sampai pada tingkat perguruan tinggi hanya dengan mengandalkan usaha tani di tanah garapan tersebut.

Di lokasi Pasawahan II, kondisi penguasaan tanah juga sama dengan di lokasi Pasawahan I. Sebagian besar masya- rakat sudah menggarap tanah bekas HGU PT. Cipicung Pasa- wahan. Perbedaannya, di lokasi Pasawahan II tidak dijumpai Surat Penunjukan Garapan. Kondisi di lapangan menunjuk- kan bahwa PT. Cipicung Pasawahan sudah tidak berada di

Re la s i Ge n d e r d a la m P e n gu a s a a n La h a n P a s c a Oku p a s i: B a gim a n a Tra n s fo rm a s i Ke p e m ilika n Me m b a w a P e ru b a h a n p a d a Re la s i Ge n d e r

“Daripada kami repot-repot, kami serahkan urusan sertipikat pada suami saja”

(Seorang responden perempuan) Struktur penguasaan lahan yang ditemukan di negara

kita dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satu aspek penting di dalamnya adalah aspek hukum yang melandasi dan mengatur perihal penguasaan sumberdaya ini. Di antara berbagai aturan yang dikeluarkan mengenai penguasaan lahan, terdapat aturan yang menyentuh aspek gender, yaitu dalam Tap MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam (pasal 4) mengenai prinsip-prinsip pembaruan agraria dan pengelolaan

SDA poin f berbunyi 18 : “Mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan dan pemeliharaan sumberdaya agraria/sumber - daya alam”.

18 Tyas Retno Wulan. Marginalisasi Perempuan Dalam Penguasaan Sumber Agraria: Catatan Kritis Atas Urgensi Reforma Agraria Berbasis

Gender di Indonesia. 2009.

Temuan global memperlihatkan, jumlah perempuan mencapai setengah dari seluruh populasi dunia dan dua per- tiganya menjadi bagian dari tenaga kerja. Ironisnya, keselu- ruhan perempuan dunia hanya memperoleh 10% dari penda-

patan dunia dan hanya memiliki 1% properti. 19 Temuan ini masih merupakan perhitungan kasar tersebut, yang juga men- cerminkan apa yang dialami negara kita. Temuan di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang dilakukan oleh Brown (2002) menyebutkan bahwa sertifikasi tanah yang dilakukan hanya menuliskan nama suami, meskipun sebenarnya mekanisme joint titling dapat dilakukan. Temuan UNDP dan IDLO, (2006 – 2007) di Aceh pasca tsunami juga menyebutkan adanya kesulitan bagi perempuan dalam proses sertifikasi yang justru

dilakukan oleh pihak kepala adat (keuchik) 20 . Di negara kita, terdapat dua kerangka legal yang dalam soal tanah: pertama, hukum adat dan institusi peraturan for- mal yang mengatur kepemilikan dan registrasi tanah. Institusi peraturan formal mulai diterapkan pada tahun 1960 saat pemerintah pusat mengembangkan sistem registrasi lahan secara nasional. 21

Sebelum memasuki soal relasi gender dalam penguasaan lahan, disini terlebih dulu disampaikan konteks pergeseran penguasaan lahan di kedua desa: perbedaan mendasar yang ditemukan, di desa Banjaranyar, khususnya OTL Banjaranyar

2 telah mengalami sertifikasi melalui Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN), sedangkan OTL Pasawahan belum mengalami sertifikasi.

19 Report of the World Conference of the United Nations Decade for Women: Equality, Development and Peace, 20-21st mtg., at 8, A/

CONF.94/35 (1980) dalam Brown (2003). 20 UNDP & IDLO. Perempuan Aceh di Hadapan Hukum Setelah

Konflik dan Tsunami Berlalu: Laporan Case Study. 2006 – 2007. 21 Brown & Purwanti. Registration of Land and Women’s Land

Rights on Java. 2002.

P e n g u a s a a n Ta n a h S e b e l u m -O k u p a s i Ta n a h d i Banjaranyar 2: P e n g u a s a a n Ta n a h O le h P e r k e b u n a n S w a s t a

Sebelum terjadinya okupasi tanah oleh OTL di Dusun Sukamaju-Banjaranyar, penguasaan tanah di daerah ini hampir keseluruhannya berada di bawah perusahaan perkebunan swasta, yakni PT. Mulya Asli. Pada awal keberadaannya, PT. Mulya Asli dimiliki oleh Pak Wiyana salah seorang tokoh desa yang pada saat itu menjabat sebagai kepala Dusun. Sepe- ninggal Pak Wiyana, PT. Mulya Asli diteruskan oleh para keturunannya hingga saat sekarang ini. Kini pewaris PT. Mulya Asli adalah keturunan generasi ke-3 dari Pak Wiyana.

PT. Mulya Asli mengembangkan usaha perkebunan karet. Pengembangan dilakukan di tanah dengan status pengu- asaan HGU atas nama PT. Mulya Asli sendiri, dengan luasan 348 Ha. Luasan tersebut mencakup hampir keseluruhan dari luasan tanah di Dusun Sukamaju. Penguasaan tanah yang sangat dominan oleh perusahaan ini mengakibatkan sebagian besar petani tidak memiliki tanah (landless), dan oleh perusahaan hanya diperbolehkan menggarap pada sebagian bidang tanah dengan sistem kontrak. Kisaran luasan yang digarap oleh

rumah tangga petani antara 100 bata hingga 500 bata 22 . Dalam sistem kontrak ini, petani diwajibkan menyerah- kan sejumlah hasil panen kepada PT. Mulya Asli melalui mandor-mandor yang ada di lapangan. Pada awalnya dalam sistem kontrak ini, petani penggarap diwajibkan menyerahkan 10% dari hasil panen. Namun dalam perkembangannya berubah, yaitu menganti penyerahan panen menjadi pemba- yaran dengan uang sesuai luasan tanah. Setiap petani yang menggarap diwajibkan membayar Rp.100.000,-/100 bata setiap panen kepada mandor.

22 1 bata sama dengan 14 m 2 .

Sementara itu, bagi sebagian petani lain yang tidak melakukan penggarapan tanah di dalam areal HGU PT. Mulya Asli, pilihannya menjadi buruh tani di lahan milik masyarakat lain di sekitar Sukamaju. Sebagian lainnya memilih pergi merantau mencari pekerjaan di beberapa kota besar di Jawa Barat maupun luar Jawa Barat. Sangat jarang petani di dusun Sukamaju yang bekerja (buruh) di perkebunan milik PT. Mulya Asli, lebih banyak didatangkan dari luar desa.

Pe n g u a s a a n Ta n a h Pa s ca -Ok u p a s i d i Ba n ja r a n y a r 2 : P e n g u a s a a n Ta n a h o l e h P e t a n i m e l a l u i G e r a k a n Petani

Proses okupasi tanah oleh petani di Dusun Sukamaju- Banjaranyar (1999-2000) banyak berkaitan dengan eskalasi politik di tingkat nasional, dengan runtuhnya rejim Orde Baru. Pergeseran ini membawa dampak pada nuansa politik yang sebelumnya represif dan otoriter menjadi lebih terbuka dan demokratis. Pada fase inilah petani mendapatkan ruang untuk menyatakan diri, melakukan okupasi.

Di dua desa, Cigayam dan Banjarnyar, total luasan tanah yang menjadi obyek okupasi sekitar 150 Ha. Pasca okupasi kelompok tak bertanah yang sebelumnya mendomi- nasi, kini menjadi sangat kecil atau bisa dikatakan tidak ada.

Fase awal okupasi tanah HGU PT. Mulya Asli oleh petani di dusun Sukamaju-Banjaranyar dan dusun Cigayam, desa Cigayam mulai ter jadi pada tahun 2000. Petani melakukan pengkaplingan tanah HGU PT. Mulya Asli, dan membentuk panitia pembebasan tanah untuk petani sebagai pihak yang menentukan tata okupasi-redistribusi. Awalnya, proses okupasi berjalan tanpa ada sistem pengaturan yang jelas mengenai penguasaan di tingkat petani. Setiap rumah tangga petani bebas melakukan pengkaplingan di tanah HGU PT. Mulya Asli sesuai dengan kemampuan masing-masing. Kondisi ini mengakibatkan penguasaan tanah okupasi oleh

Pada tahun 2000 akhir, panitia pembebasan tanah yang dibentuk oleh petani dusun Sukamaju dan Cigayam meng- gabungkan diri dengan organisasi tani di Jawa Barat, yakni Sarikat Petani Pasundan (SPP). Penggabungan diri ini dituju- kan untuk memperkuat posisi petani dalam melakukan gerak- an perjuangan mendapatkan hak atas tanah HGU PT.Mulya Asli. Dengan koordinasi SPP, petani di dusun Sukamaju dan Cigayam diorganisir dalam format organisasi tani lokal dalam jaringan SPP. Tahun 2001, organisasi tani lokal di kedua tempat ini menarik diri keluar dari SPP, didasarkan per- timbangan mempergunakan jalur hukum (pengacara) dalam mendapatkan hak atas tanah okupasi yang digarap selama ini. Kemudian tahun 2003 organisasi tani di dusun Sukamaju kembali menggabungkan diri dengan SPP dan terpecah dengan organisasi petani di dusun Cigayam yang tetap memilih jalur hukum.

Pada tahun 2007,. organisasi tani lokal di dusun Suka- maju berhasil mendapatkan pengakuan hak atas tanah HGU PT. Mulya Asli. Tanah HGU PT. Mulya Asli seluas kurang lebih 69.95 Ha diserahkan pihak perusahaan melalui peme- rintah, kepada petani dalam organisasi tani lokal dusun Suka- maju. Penyerahan ini kemudian direspon oleh organisasi tani dengan melakukan penataan atas penguasaan tanah di HGU PT. Mulya Asli. Melalui musyawarah disepakati luasan tanah yang akan diredistribusikan kepada seluruh anggota organisasi tani lokal. Kriteria petani dan luas tanah yang dapat diredistri- busikan yaitu: (1) petani anggota organisasi tani lokal yang sudah melakukan penggarapan di tanah HGU PT. Mulya Asli masing-masing mendapatkan luasan tanah 100 bata, (2) petani anggota organisasi tani lokal yang belum melakukan penggarapan di tanah HGU PT. Mulya Asli mendapatkan

P e n g u a s a a n Ta n a h S e b e lu m O k u p a s i d i P a s a w a h a n : Dominasi Penguasaan Perkebunan

Terdapat dua perusahaan perkebunan swasta yang menguasai tanah-tanah di Pasawahan, yaitu PT. Cipicung dan PT. RSI. PT. Cipicung pada awalnya merupakan perusahaan milik pemerintah kolonial. Pada masa ini masyarakat yang berada di sekitar perkebunan dijadikan sebagai tenaga kerja. Pasca penguasaan oleh pemerintah kolonial, PT. Cipicung diambil alih oleh pengusaha lokal dari Tasikmalaya, bernama Eman Dollar. Berbeda dengan masa sebelumnya, masyarakat sudah jarang bekerja di perkebunan. Sebagian dari mereka lebih banyak memilih menggarap tanah sendiri, menjadi buruh di tanah orang lain atau bekerja di luar desa. Tenaga kerja perkebunan justru lebih banyak didatangkan dari luar desa.

Total luasan tanah dalam penguasaan PT. Cipicung sekitar 400 Ha, di antaranya 200 Ha termasuk dalam wilayah Pasawahan. PT. Cipicung mengembangkan karet sebagai tanaman utamanya. Di beberapa kawasan HGU yang belum tergarap terdapat tanah terlantar berupa hutan.

PT. Cipicung membuka akses pada masyarakat lokal untuk menggarap di eral HGU yang dikuasainya melalui sistem bagi hasil. Penanaman oleh masyarakat dilakukan di sela-sela tanaman karet perkebunan. Tanaman yang diboleh-

Bagi hasil yang diberlakukan adalah 80:20, petani men- dapatkan bagian 80% dari hasil panen sedangkan 20% diserah- kan pada perusahaan dibawah koordinasi mandor. Dalam perkembangannya, sistem bagi hasil tidak lagi dalam bentuk hasil panen, namun digantikan dengan uang yang jumlahnya disepakati antara petani dan perusahaan (mandor).

Luasan tanah HGU PT. Cipicung yang dibuka aksesnya pada masyarakat beragam antara satu petani dengan petani lainnya. Tidak ada pengaturan tertentu mengenai luasan. Petani diperbolehkan menggarap berapapun luas tanah sesuai dengan kemampuan. Luasan tanah yang digarap oleh petani berkisar antara 100-600 bata.

P e n g u a s a a n Ta n a h P a s c a -O k u p a s i d i P a s a w a h a n : P e n g k a p l i n g a n Ta n a h o l e h P e t a n i

Okupasi tanah oleh petani Pasawahan bermula tahun 2002. Proses ini diawali adanya pendidikan kesadaran politik dan hukum pada petani oleh Sarikat Petani Pasundan (SPP). SPP memberikan pendidikan kritis mengenai hak-hak petani terhadap tanah HGU yang sudah habis masa berlakunya atau diterlantarkan oleh pemiliknya. Dalam pendidikan tersebut petani mendapatkan pemahaman bahwa tanah HGU yang sudah habis masa berlakunya dan atau diterlantarkan dapat diambil-alih haknya oleh petani. Proses inilah yang kemudian menginisiasi terbentuknya organisasi tani lokal di Pasawahan dalam rangka mendapatkan pengkuan hak atas tanah HGU PT. Cipicung yang masa berlakunya sudah habis sejak tahun 1993.

Fase okupasi awal dilakukan (tahun 2002 akhir) dengan mengkapling tanah HGU PT. Cipicung dan membaginya kepada 200 orang petani yang tergabung dalam organisasi tani lokal. Pada tahun 2003 awal jumlah petani yang melaku-

Proses pengkaplingan tanah dilakukan secara adil dan merata berdasarkan kesepakatan di tingkat petani. Salah satu kesepakatan mengenai tanah yang posisinya berada tepat di pinggir jalan utama (poros), luasan yang diberikan haknya pada petani seluas 75 bata. Sedangkan tanah okupasi yang “di dalam” (tidak berada tepat di tepi poros jalan utama) dibagikan dengan luasan masing-masing petani 175 Ha. Hal lainnya yang juga disepakati dalam proses pengkaplingan ini adalah arahan kepada setiap petani yang mendapatkan tanah okupasi agar menempati tanah yang digarapnya, baik untuk rumah maupun kegiatan pertanian.

Penataan tanah okupasi PT. Cipicung tidak membeda- kan antara pengurus maupun anggota OTL. Tidak ada sistem penghargaan berupa pemberian tanah tertentu untuk pengurus OTL, kecuali hanya satu orang yang menjadi koordinator wilayah OTL yang mendapatkan tanah penghargaan seluas 175 Ha (bagian dalam).

Hingga saat ini, status lahan yang dikuasai oleh petani merupakan lahan garapan hasil okupasi. Proses pelegalan lahan atas nama petani melalui redistribusi masih belum dapat dilakukan karena hingga saat ini PT. Cipicung belum melepas HGU agar kembali menjadi tanah Negara.