S e ja ra h S in gka t P e n gu a s a a n S u m b e r Agra ria

S e ja ra h S in gka t P e n gu a s a a n S u m b e r Agra ria

Pada awalnya, kondisi gurun pasir tepi pantai Kulon Progo gersang dan tandus, segala yang tumbuh tidak ada yang bisa dimakan dan layak dijual, hanya ada rumput duri, pandan duri, dan sidaguri. Sejak zaman VOC Belanda, warga pesisir Kulon Progo dilarang menghimpun garam dari lautan untuk menyambung hidup. Kondisi kemiskinan selalu melekat pada

Kawasan pesisir Kulon Progo yang kini banyak dihuni warga ini adalah kawasan yang dianggap tak bertuan sejak jaman kemerdekaan dengan adanya bukti Letter C penduduk dan diperkuat oleh aturan dalam UUPA tahun 1960 yang menghapuskan hak tanah kolonial dan Swapraja di Indone- sia. Pihak Paku Alaman Yogyakarta sebagai yang mengaku memiliki lahan ini pun (dalam status Swapraja) menelantar-

kan lebih dari 30 tahun lamanya (tanah absentee 62 )¸ oleh warga disebut sebagai “tanah merah”. Tanah merah atau terlantar ini, pada tahun 1960-1970- an di bagian utara yang lebih jauh dari pantai telah ditanami kelapa. Menurut keterangan lain, pertanian di lahan pasir juga sudah dimulai sebelum tahun 60-an, dirintis oleh para sesepuh

mereka. 63 Kemudian pada tahun 70-an semakin diyakini tanaman kelapa cocok untuk daerah ini, cukup cepat tumbuh dan berkembang, sehingga dapat menjadi tambahan peng- hasilan warga selain melaut. Meskipun demikian, kelayakan hidup warga di pesisir waktu itu jauh lebih rendah diban- dingkan dengan kondisi masyarakat sebelah utara Jalan Deandels.

62 Simak UUPA 1960, satu-satunya dasar hukum yang dimiliki oleh Indonesia untuk urusan yang berkaitan dengan agraria .

63 Menurut hasil penelitian A.N Luthfi dkk, seorang sesepuh di wilayah Karangsewu, Harjo Suwarno, menceritakan awal mula bagimana

warga mengolah lahan pasir. Lahan tersebut semula adalah padang pasir tandus. Sekitar tahun 1945 presiden Soekarno datang ke Pantai Trisik, Kecamatan Galur, dan menyerahkan hak pengelolaan atas lahan pesisir itu. Maka warga kemudian mengolahnya. Tanah pasir yang mengandung biji besi, atau dikenal dengan gumuk pasir itu diserahkan bagi warga dan dengan teknologi setempat berhasil diolah menjadi lahan pertanian meskipun belum semaju sekarang. Lebih jauh lihat, Laporan Penelitian, A.N Luthfi dkk, Keistimewaan Yogyakarta: Yang Diingat dan Yang Dilupakan, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Yogyakarta, 2008.

Penguasaan sumber agraria dilakukan secara ‘alamiah’ oleh warga pesisir, dengan asumsi lahan pasir tersebut masih bebas untuk dimiliki oleh siapa saja yang mengusahakan. Bagi warga miskin yang bekerja sebagai penggembala kambing di hutan alang-alang dan gurun pasir, biasanya jika menemukan lahan yang dianggap bisa ditanami, ia akan memberi patok sebagai tanda lahan mereka (telah dimiliki). Pada masa ter- tentu, biasanya ditanami ketela dan umbi-umbian lainnya yang tahan kering (kurang air), juga untuk menandai sebagai ‘hak milik’ (disebut “lahan garapan”). Kini, warga yang dulu- nya bekerja di luar gurun pasir (tidak menggembala kambing) umumnya tidak memiliki wilayah “lahan garapan” yang luas. Sebab mereka tidak pernah mematok lahan-lahan di dalam hutan ilalang dan gurun. Sehingga ketika kini lahan pasir (hutan ilalang) sudah menjadi subur, orang-orang yang dulu- nya miskin namun memiliki lahan yang lebih luas, kini hidup- nya secara ekonomi lebih baik.

Menurut warga desa Garongan dan Bugel, lahan pasir dibagi menjadi dua kategori, yakni Tanah Pemajekan dan Tanah Garapan . Tanah pemajekan adalah tanah yang bersertifikat dan wajib pajak, berada di sebelah dalam setelah tanah garapan (sekitar 400-500 m dari bibir pantai) dan dekat dengan peru- mahan warga. Tanah pemajekan rata-rata bukan lahan pasir 100%, dan bisa ditanami sejak dulu, baik tanaman pangan utama, padi jagung, ubi maupun buah-buahan, meski tidak sesubur sekarang. Kepemilikan tanah pemajekan ini merupa- kan warisan dari nenek moyang mereka sebelumnya dan ber- sertifikat legal. Tanah garapan adalah lahan pasir yang ber- batasan langsung dengan bibir pantai yang dulunya berupa bukit (gumuk) pasir yang kering dan tandus. Setelah warga pesisir menemukan cara pertanian lahan pasir kemudian tanah merah (terlantar) tersebut diolah dan digarap menjadi lahan subur. Kini lahan-lahan garapan itu sudah dianggap milik mereka dan umumnya ditanami cabe, semangka dan