As a l-u s u l Ora n g Ka m p u n g La u t d a n Argu m e n P e n gu a s a a n Ta n a h Tim b u l

As a l-u s u l Ora n g Ka m p u n g La u t d a n Argu m e n P e n gu a s a a n Ta n a h Tim b u l

Orang Kampung Laut mengasalkan diri mereka ber- dasarkan cerita turunan dari leluhur. Ada beberapa versi cerita. 33 Sebagian percaya bahwa mereka merupakan ketu- runan pasukan Galuh Pakuan Pajajaran yang tidak mau kembali karena kegagalan pasukan ini mengemban misi suci dari Sri Baduga Maharaja Galuh Pakuan Pajajaran untuk mendapat- kan air mata Kuda Sembrani dari Ratu Brantarara, Penguasa Kerajaan Nusa Tembini di kawasan pulau Nusakambangan.

Ketidakberhasilan pasukan kerajaan Galuh Pakuan Pajajaran ini menyebabkan mereka tidak mempunyai kebe- ranian pulang ke kerajaan. Akhirnya mereka memutuskan menetap di area kerajaan Nusa Tembini, atau di pulau Nusa-

kambangan sekarang 34 . Inilah cikal bakal warga Kampung

33 Berdasar wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat. 34 Ibid.

Laut sekarang. Asumsi bahwa mereka merupakan warga Pajajaran bisa dikuatkan oleh beberapa hal: Pertama, sistem ekonomi atau pola-pola pencarian nafkah. Warga Kampung

Laut pada awalnya adalah petani 35 yang tinggal di Nusa- kambangan. Kedua, tata cara berbahasa. Jika kita perhatikan dengan seksama, dialek warga Kampung Laut asli berbeda dengan dialek suku Jawa di Cilacap. Dialek atau lentong asli warga Kampung Laut ini berciri ucap agak panjang dan meliuk. Dialek ini sangat khas Jawa Barat terutama di daerah Kawasan Ciamis dan Banjar.

Salah satu cerita lainya, menyebutkan bahwa warga pada awalnya berada di daerah pegunungan dan kemudian meutuskan tinggal menepi di pantai, akibat gangguan nara- pidana di Nusakambangan, yang merupakan pasukan Pangeran Diponegoro yang ditahan oleh Belanda. Kehadiran pasukan Pangeran Diponegoro yang dirantai ini pada awalnya tidak terlalu menganggu. Namun kemudian, Belanda melakukan provokasi dengan menyebar isu bahwa warga di Nusakam-

bangan telah birut atau ikut dengan Belanda 36 . Provokasi itu rupanya efektif sekali, sebab kemudian terjadi keresahan di kalangan narapidana yang merupakan pasukan Pangeran Diponegoro waktu itu. Keresahan ini kemudian berujung pada gangguan pada Warga oleh para narapidana. Dimulai dengan masa akhir dari perlawanan yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro (1925 – 1930), di mana banyak pasukannya ditangkap dan dibui di Nusakambangan. Sistem pengendalian tahanan dilakukan dengan cara merantai mereka secara sambung-menyambung. Tempat mereka dikumpulkan dan dirantai itu, diabadikan oleh warga dengan menyebut tempat

35 Wawancara dengan Siswanto, Sekretaris Desa Ujung Alang, 09 September 2009: pernyataan atau pengakuan ini juga didukung oleh

penuturan Edi Hartono, tokoh masyarakat Dusun Karang Sari, Desa Ujung Gagak pada wawancara tanggak 10 September, 2009.

36 Edi Hartono, ibid.

sekitar kawasan Segara Anakan. 38 Kelompok masyarakat yang diganggu ini dipimpin oleh seorang Wiratamtama yang berasal dari utusan Kerajaan Mataram. Sasaran perompak adalah kapal-kapal dagang asing maupun lokal. Saat itu Cilacap (Segara Anakan) mempunyai pelabuhan pendukung sistem perniagaan internasional oleh Belanda. Setelah perang Diponegoro (1830-1942), Cilacap menjadi salah satu pela- buhan terpenting di Indonesia setelah Batavia, Surabaya, dan Semarang, (Zuhdi, 2004).

Akibat gangguan perompak, Wiratamtama kewalahan dan mengirimkan “memo” ke Kerajaan Mataram untuk meminta bantuan. Kerajaan Mataram mengirim Demang dan Punggawa terlatih dan sakti untuk menjaga hasil laut dan sirkulasi perdagangan di kawasan Segara Anakan, yakni, Ki Jaga Laut (ketuanya), Ki Jaga Praya, Ki Jaga Resmi, Selong Kuning, Pancas Manik, Demang Wangsarana (Karta Mus, 2009). Para utusan kerajaan ini memang tidak terlalu jelas

ceritanya, bahkan nama-nama mereka banyak yang berbeda 39 ,

37 Wawancara dengan Siswanto, Sekdes Desa Ujung Alang tanggal 09 September 2009, dan kemudian mendapat penguatan data dari

wawancara dengan Edi Hartono, warga Karang Anyar dengan Ujung Gagak pada tanggal 10 September 2009.

38 Mengenai siapa dan dari mana asal perompak ini, ada beberapa versi yang dapat diperoleh secara langsung dari tokoh masyarakat atau

tetua adat. Karta Mus(80-an tahun), salah satu tokoh masyarakat Kampung Laut, menjelaskan bahwa para perompak ini berasal dari Sulawesi dan Brunei. Namun ada juga versi yang menyebutkan bahwa perompak ini merupakan bangsa Portugis.

39 Sekretaris Desa Ujung Alang yang bernama Siswanto menye-

Nama-nama tokoh punggawa yang dikirim oleh Kera- jaan Mataram untuk melakukan penjagaan tersebut, hanya nama “Ki Jaga Laut” yang tidak ada kontroversi 40 . Tokoh Ki Jaga Laut inilah yang kemudian disebut sebagai leluhur dari masyarakat Bejagan dulunya, atau Kampung Laut saat ini. Pengakuan atas “tahta” warisan Ki Jaga Laut ini, kelak menjadi alas argumen bagi warga Bejagan atau Kampung Laut dalam mempertahankan kuasa budaya dan agraria di kawasan Segara Anakan pasca pertumbuhan tanah timbul. Masyarakat pun menganggap masih mempunyai keturunan

butkan bahwa utusan dari Kerajaan Mataram yaitu: Jaga Laut, Jaga Desa, Jaga Praya, dan Jaga Resmi. Siswanto mempunyai silsilah keturunan yang tertulis rapih dalam satu bendel dokumen. Siwanto mengaku sebagai salah satu keturunan dari Jaga Laut yang ke 27 yang ditunjukkan berdasar- kan bukti tertulis tersebut.

40 Kontroversi dapat dilihat dari pendapat beberapa tokoh adat yang berbeda terhadap pemberian nama tokoh-tokoh yang memberikan

pengaruh besar terhadap perubahan dan eksistensi masyarakat Kampung Laut. Karta Mus menceritakan bahwa dahulu Kampung Laut adalah bernama Bejagan. Bejagan berasal dari asal “Penjagaan”. Penjagaan diartikan sebagai lokasi tempat penjagaan dari ganguan dan musibah, yaitu gangguan dan musibah dari Bajak Laut yang melakukan perampokan hingga ke wilayah darataan di Kecamatan Kawunganten dan Kecamatan Sidareja. Pada saat itu, wilayah Cilacap masih hutan.

“darah biru” dari Kerajaan Mataram. Persepsi demikian semakin kuta dengan adanya ramalan Jayabaya atas ruang hidup mereka. Masyarakat Kampung Laut percaya bahwa suatu saat mereka akan tinggal di atas daratan tanah yang memungkinkan mereka mendirikan rumah dan hidup layaknya masyarakat darat. Kepercayaan mereka didorong oleh salah satu ramalan Jayabaya yang mengatakan bahwa kondisi pemukiman masyarakat di wilayah Bejagan 41 pada waktu yang akan datang akan menjadi daratan kalau kedatangan wong bule (orang bule/luar negeri) dan bocah cemanik (anak kecil yang hitam legam). Aporisma yang

mengandung sindang siloka 42 itu kemudian ditemukan/ dirasakan kebenarannya. Wong bule setelah sekian lama dapat diartikan sebagai lumpur yang berwarna kekuningan dibawa oleh arus sungai Cikonde. Bocah cemanik dapat diartikan sebagai lumpur hitam yang dibawa oleh arus sungai Cikonde dan sekitarnya. Namun ada yang mengartikan lain, yaitu: pada masa meletusnya gunung Galunggung langite ireng (langitnya berwarna hitam legam karena sinar matahari tertutup debu awan yang tebal sehingga tidak ada cahaya matahari yang masuk. Dan setelah itu, banjir membawa jutaan kubik air bersama lumpur yang berwarna kekuningan seperti rambut orang bule.

Oleh warga Bejagan, kedua peristiwa tersebut diartikan sebagai perwujudan dari ramalan Jayabaya. Menurut masya- rakat Kampung Laut, mereka meyakini adanya ramalan tersebut. Ramalan diturunkan secara temurun pada anak-cucu mereka hingga sekarang.

41 Bejagan dapat masih dipercaya masyarakat Kampung Laut sebagai nama tempat tinggal dan kampung halaman mereka yang asli, dan tidak

akan pernah berubah. Oleh karena itu, terkadang penulis akan menyebutkan Kampung Laut dan Bejagan sebagai suatu istilah yang sama dalam pengertian tempat tinggal warga Kampung Laut asli.