Konflik Lahan Pasir Besi dan Dinamika Sosial-Ekonomi Petani Pesisir Kulon Progo

Konflik Lahan Pasir Besi dan Dinamika Sosial-Ekonomi Petani Pesisir Kulon Progo

Eko Cahyono, Dian Yanuardi, Moh. Sauki Pudjo Hestu W, Haryo Budhiawan, dan Arief Syaifullah

Perebutan Sumberdaya Alam (SDA) dan sumber-sumber agraria merupakan isu sentral di Indonesia. Sejak dari massif- nya arus “pembangunanisasi” (developmentalism ) oleh Orde Baru, terjadi proses “kolonisasi” SDA dan sumber-sumber agraria secara besar-besaran. Proses panjang penguasaan dan eksploitasi (lebih kurang 32 tahun, di luar kolonialisme Eropa dan Jepang, yang juga tak kalah besarnya menguras SDA bangsa Indonesia) menunjukkan dua hal, pertama, paradigma developmentalism yang dianut rejim penguasa, telah meletak- kan SDA dan sumber-sumber agraria lainnya sebagai objek komoditas dan sumber produksi dengan tujuan dan visi pem- bangunan, sehingga ekstraksi brutal dan pengrusakan SDA serta sumber agraria lainnya adalah absah dan dibenarkan. Kedua , proses ketidakadilan struktural yang berlangsung terus menerus dalam bingkai penguasaan dan eksploitasi SDA telah menyimpan diam-diam “bara dalam sekam” perlawanan orang-orang kecil yang tertindas, menjadi korban dan ter- pinggirkan.

Memasuki reformasi 1998, watak dan perilaku penguasa dalam pengelolaan SDA dan sumber-sumber agraria tidak banyak berubah. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam proses Reformasi ternyata tidak dengan sendirinya mengubah pola-pola dasar penguasaan ekonomi-politik oleh kelompok- kelompok dominan. Bedanya, jika masa Orba kekuatan domi- nan tersebut bersifat terpusat, di era pasca Orba dilakukan dengan cara yang lebih terdesentralisasi dan cair (Hadiz, 2005). “Raja-raja” kecil bermunculan di mana-mana mencari kuasa baru dengan berbagai konsekuensi konflik.

Di Kulon Progo, konflik dalam suasana desentralisasi ini muncul dalam perebutan penguasaan lahan pantai yang mengandung bijih besi, antara Raja dalam artian sebenarnya, yakni pihak Keraton Yogyakarta, Paku Alaman dan masya- rakat pesisir Kulon Progo. Pihak Kerajaan ingin membuka pertambangan pasir besi di lahan ini. Bermula dari rencana proyek besar penambangan Pasir Besi oleh PT. Jogja Magansa Mining (JMM) yang saham utamanya dimiliki keluarga besar Keraton Yogyakarta dan Paku Alaman serta berkerja sama

dengan PT Indomine Australia. 61 Rencana investasi ini di- setujui oleh Pemda Kulon Progo dengan alas argumen dapat meningkatkan pemasukan daerah (yang bagi pemerintah dengan begitu saja dipastikan sebagai peningkatan kesejah- teraan masyarakat).

61 Di antara keluarga kasultanan yang termasuk dalam jajaran elit dan pemegang saham terbesar adalah sebagai Komisaris PT Jogja Magasa

Minning (JMM) yaitu GBPH H Joyokusumo, dan Direktur PT JMM adalah Haryo Seno, sedangakan pemegang saham terbesar lainnya adalah Kanjeng Ratu Pambayun. Dengan demikian nyata bahwa sebagian besar pemilik konsesi penambangan adalah keluarga Keraton (meskipun terdapat kerabat Keraton yang berposisi menolak proyek penambangan, yaitu Ajikusumo). Sehingga dapat dikatakan di dalam konsesi ini terdapat fragmentasi kelompok tersendiri di dalam keluarga besar Keraton Yoyakarta (Kasultanan dan Pakualaman). Lihat Akta Pendirian Perseroan Terbatas PT. Jogaja Magansa Mining no.40 , Buntario Trigis Darmawa NG S.E, MM, tahun 2005.

Lahan pantai yang direncanakan sebagai lahan tambang, membentang dari batas sungai Bogowonto hingga sungai Progo, lebih dari 3000 ha, sepanjang 22 kilometer. Masuk ke arah daratan dan pemukiman sejauh 1,8 km dari garis pantai. Itu artinya menabrak wilayah sejumlah desa di empat keca- matan. Desa-desa tersebut adalah Jangkaran dan Palihan di kecamatan Temon: Glagah dan Karangwuni di Kecamatan Wates, Nomporejo, Kranggan, dan Banaran di Kecamatan Galur, dan Garongan, Pleret, Bugel, dan Karangsewu di Keca- matan Panjatan (selanjutnya yang disebut “warga pesisir” lebih banyak mengacu pada warga di keempat desa terakhir ini). Belasan ribu KK petani terancam tergusur dari lahan pertanian dan rumahnya, hingga sulit dipahami bagaimana kesejahteraan bisa dimunculkan dari perubahan struktur agraria secara besar-besaran seperti ini.

Rencana pembukaan tambang ini mendapat penen- tangan keras dari warga pesisir. Penelitan ini mencoba melihat beberapa dinamika penting yang terjadi dalam perlawanan warga atas dominasi negara dan modal dalam menentukan cara mewujudkan kesejahteraan ini, khususnya di dua desa, Garongan dan Bugel. Dengan latar sejarah bersama dalam usaha merubah nasib sendiri, warga di kedua desa ini menun- jukkan pada negara bahwa mereka mampu mengusahakan cara mewujudkan kesejahteraan yang lebih konkrit dan realis- tis (yang lebih dapat dipercaya).