Ke p e n tin ga n a ta s Ta n a h tim b u l

Ke p e n tin ga n a ta s Ta n a h tim b u l

Begitu tanah mulai muncul dan semakin besar, tumbuh pula kepentingan menguasai apa yang ada di sana. Dengan berbagai cara, termasuk membangun mitos-mitos, masyarakat Kampung Laut melakukan kontrol penuh atas sumberdaya agraria yang timbul di atas Segara Anakan. Mereka, dengan kesadaran penuh dan sangat sistematis, mengkonstruksi kekuasaan atas tanah timbul. Ada beberapa alasan yang menyebabkan warga merasa perlu untuk menguasai tanah timbul. Pertama, karena mereka adalah warga negara yang selama ini tinggal di atas Segara Anakan, sehingga mereka menganggap otomatis berhak memiliki yang muncul di area tersebut. Keterkaitan mereka atas Segara Anakan dan segala yang muncul di atasnya, didasarkan pada klaim historis, kul-

tur, dan kekuasaan lokal. 43 Kedua, selama ini warga Kampung Laut menggantungkan hidup pada Segara Anakan. Oleh karena itu, ketika Segara Anakan tersebut hilang dan menjadi daratan, mereka tetap menggantungkan kehidupannya di sana. Ketiga, karena ketergantungan secara ekonomi, sosial, dan budaya yang sudah sangat kuat itulah, maka masyarakat Kampung Laut merasa menjadi pemilik tunggal atas wilayah ini. Jikapun ada warga atau masyarakat lain yang mau melakukan investasi, pengelolaan, atau membuka akses di area Kampung Laut, maka harus mengikuti tata cara dan nilai-nilai yang berlaku di Kampung Laut ini, termasuk di dalamnya tata cara tenancy sumberdaya agrarianya.

Dari berbagai pihak yang melakukan penguasaan Tanah Timbul, sulit memetakan manakah yang dominasinya kuat. Warga asli atau pendatang sama-sama memiliki kekuatan masing-masing. Akan tetapi jika kita sederhanakan, model- model dominasi yang mereka tunjukkan bisa dilihat pada

43 Disarikan dari beberapa hasil wawancara dan diskusi dengan warga desa, tokoh, aparat desa, dan mantan aparat desa.

147

pola-pola berikut: (1) Untuk dominasi atas status sumberdaya agraria yang ada di Kawasan Segara Anakan dan Tanah Timbul yang kemudian muncul, warga Kampung Laut atau warga asli yang sangat dominan. Termasuk ketika mereka menetapkan klaim penguasaan, pemilikan, maupun penge- lolaannya. Warga luar (Darat) tidak ada bisa melakukan inter- vensi pada sistem ini. Warga dari luar atau pendatang hanya bisa melakukan penguasaan tanah Tanah Timbul ini, jika sudah mengikuti sistem yang ditetapkan (dijelaskan nanti). (2) Untuk dominasi kapital, hal ini juga harus dihitung kem- bali, karena penampakan atau visualisasi kekuasaan kapital kaum pendatang tidak tampak nyata di area Tanah Timbul ini. Sulit disebutkan bahwa kaum pendatang itu memiliki dominasi berbasiskan modal. Namun demikian, dari beberapa informasi yang ditemui, karakter pendatang yang datang melakukan trukah bagi warga Kampung Laut, atau yang datang dengan cara lain seperti menyewa, gadai dan membeli, mereka tampil sangat biasa-biasa saja. Bahkan di beberapa lokasi yang ditemui, mereka tinggal pada gubuk-gubuk yang dibuat seadanya. Padahal di daerah tempat mereka berasal, di darat, mereka adalah warga yang cukup berada. (3) Akan tetapi tidak bisa dilepaskan adalah kekuasaan dominan di tingkat warga Kampung Laut atau warga lokal sendiri. Di lingkungan mereka konsolidasi atau akumulasi kapital terjadi justru tidak kalah masif dengan konsolidasi yang dilakukan oleh warga darat di sana. Mereka yang memiliki kekuatan menyatukan dua sumberdaya kapital adalah mereka yang secara perlahan menunjukkan dominasinya. Sebab dengan kemampuan melakukan pengelolaan atas sumber-sumber modal tersebut mereka bisa hidup semakin makmur.

Dengan demikian, menjadi jelas sekali bahwa kuasa dominan di Tanah Timbul belum sampai pada taraf kris- talisasi. Peralihan atau pergeseran kekuasan, entah itu kapital atau sosial, masih terus terjadi dan berganti. Saat ini, sudah

Berbeda dengan masyarakat, kepentingan pemerintah atas Tanah Timbul jelas lebih pada masalah-masalah yang terkait dengan kehidupan masyarakat saja. Misalnya, penga- kuan atas masyarakat Kampung Laut yang tadinya hanya merupakan satu desa, saat ini sudah menjadi satu kecamatan. Pengakuan ini penting sekaligus juga bumerang. Penting ka- rena pemerintah melakukan tugasnya sebagai negara yang harus melindungi warganya: namun di sisi lain, dengan peng- akuan ini, maka otomatis pemerintah harus juga menjadi pene- ngah yang adil bagi konflik sumberdaya agraria yang kerap muncul.

Di aras lain, pengakuan atas hak-hak kewargaan itu juga sebenarnya bagi pemerintah dimaksudkan untuk motif lain, yakni sumber pendapatan negara. Hal ini bisa dimaklumi sebab selama warga Kampung Laut sebagai nelayan, kewa- jiban-kewajiban mereka sebagai warga negara seperti mem- bayar Pajak Bumi dan Bangunan, pembuatan KTP, dan lain- lain, sangat rendah. Saat ini, desa-desa yang sudah menerbit- kan SPT juga terbebani untuk merealisasikan target pajak pemerintah di area tersebut. 44