P e n u tu p : An a lis a Mo d e l

P e n u tu p : An a lis a Mo d e l

Dari tabel-tabel di atas, dapat dilihat sistem dari model- model yang mewakili pola pemanfaatan sumberdaya hutan oleh masyarakat jauh lebih baik dan mampu menjamin keberlanjutan proses pembangunan dan pemberdayaan secara lebih adil dan merata. Praktek pengelolaan sumberdaya hutan secara ekstraktif oleh Perhutani secara langsung telah menye- babkan menurunnya kualitas fungsi ekologis di kawasan hutan produksi dan sekitarnya. Semakin berkurangnya kandungan air dalam tanah karena penebangan massal yang dilakukan juga berpengaruh pada menurunnya produktifitas hasil per- tanian masyarakat yang menggantungkan daerah tangkapan airnya dari lokasi tutupan yang ada di kawasan hutan. Dengan begitu proses deagrarianisasi yang mengakibatkan munculnya kantong kemiskinan di sekitar hutan disebabkan oleh terjadinya enclosure Perhutani yang melakukan pengelolaan sehingga mengakibatkan rusaknya sistem ekologis daerah

Dalam bentuk pengelolaan di lahan Pangangonan 15 , kasus di desa Sindangasih sangatlah cukup untuk dijadikan sebagai pelajaran, dimana lahan kas desa yang semula disewa- kan pada masyarakat selanjutnya dengan berjalannya waktu dan bergantinya struktur pemerintah desa, maka saat ini lahan tersebut tidak ada lagi, karena telah menjadi lahan milik individu. Dalam kasus ini bisa disimpulkan bahwa betapa kelembagaan pemerintah desa sangat berpengaruh dalam produktifitas petani di kampung. Berbeda dengan desa te-

tangganya, Neglasari 16 , persoalan pengaturan dan pengelolaan dapat dilihat pada cara-cara yang ditetapkan oleh perangkat desa Neglasari dalam mengalokasikan lahan tersebut untuk disewakan pada petani yang tak berlahan dengan harga yang

relatif sangat murah 17 . Sehingga keberadaan lahan yang secara formal menjadi hak desa tersebut akhirnya menjadi sesuatu yang dirasa sangat menguntungkan bagi masyarakat, khususnya yang menjadi penyewanya. Hal itu juga selanjut-

15 Lahan yang awalnya ditujukan sebagai padang gembala bagi ternak- ternak masyarakat dan boleh diakses oleh umum, tetapi pada perjalanan-

nya fungsi ini berubah menjadi tanah “kas desa” seperti yang ada di Pedesaan di Jawa.

16 Desa Neglasari tidak dijadikan lokasi pengambilan data yang masif karena dari awal lokasi penelitian di tujukan untuk menganalisis penge-

lolaaan-penguasaan-dan produksi pada masyarakat pertanian di Desa Sindangasih.

17 Untuk 1 Bata (14m x 1m) harga sewa pertahun Rp.100.-.

Sementara berlawanan dengan model-model yang lain, khususnya Perhutani, sistem yang terdapat dalam model- model pemanfaatan sumberdaya hutan ala masyarakat justru jauh lebih baik. Dengan menerapkan sistem zonasi yang di dalamnya juga ada alokasi lahan untuk konservasi, secara langsung bisa dinilai sebagai fenomena yang sangat perlu dihargai dan “diacungi jempol” atas upaya pelestarian dan penjagaan fungsi-fungsi ekologis. Terlebih lagi bahwa ke- sadaran akan pentingnya konservasi itu juga secara praksis telah diterapkan secara mandiri oleh anggota OTL di lahan masing-masing. Kesadaran seperti ini bukanlah hal yang bisa dengan mudah dibangun dalam suatu masyarakat, apalagi dengan pendekatan kapital yang ekstraktif dan hanya akan melahirkan keterpecahbelahan masyarakat dengan melemah- nya sistem solidaritas yang disebabkan oleh semakin merosot- nya pendapatan ekonomi keluarga. Akan tetapi dalam kasus OTL di Desa Sindangasih hal ini adalah femomena yang telah terjadi secara riil. Dengan sistem konservasi saja (selain kaitan- nya dengan fungsi ekologis dan ekonomi sebagaimana yang telah disebutkan di atas) kita juga dipertemukan dengan sis- tem solidaritas komunal mereka. Sehingga akan bisa kita tarik pemahaman, bahwa konservasi lahan hutan bukanlah hanya persoalan kelestarian alam dan produktifitas perekonomian saja, akan tetapi juga berhubungan erat dengan persoalan kepercayaan dan kesadaran untuk berbagi di antara masya- rakat. Sebuah benih dari sistem kesadaran sosial yang saat ini banyak tidak dihiraukan oleh sistem dan mekanisme pem- bangunan dan pemberdayaan yang diterapkan oleh pemegang kebijakan. Dengan demikian, bisa dipastikan bahwa di- banding dengan Perhutani, sistem yang belaku di masyarakat

Kelembagaan Produksi- Distribusi Pasca Okupasi dalam Perspektif Gender

Studi Kasus Dua Desa di Kabupaten Ciamis

Dian Ekowati, Anton Supriyadi, Denta Romauli Slamet Mulyono, Eko Budi Wahyono, Sundung Sitorus

Proses menuju reklaim lahan perkebunan (juga Perhutani) mulai marak terjadi sekitar tahun 1998/1999. Runtuhnya orde baru memungkinkan masyarakat membuat tindakan yang lebih realistis atas nasibnya. Di Ciamis, sebagian besar proses reklaim ini diawali dengan terbentuknya organisasi petani lokal sebagai representasi gerakan sosial petani untuk mendapatkan lahan. Mereka melakukan aksi demo di daerah maupun di pusat dan aksi pendudukan (penggarapan) ter- hadap sejumlah lahan yang masih dikuasai oleh perkebunan dan perhutani. Dalam perkembangannya, gerakan sosial petani semakin menguat ketika mendapatkan support dari gerakan sosial petani lain atau SLO (Secondary Local Organi- zation ) yang memiliki lingkup lebih besar dalam memberikan penguatan kapasitas dan advokasi terhadap gerakan petani di tingkat lokal.

Petani berhadap-hadapan dengan status quo, kapitalisme perkebunan. Tidak jarang konflik yang terjadi menyebabkan jatuhnya kerugian lebih besar justru di pihak petani yang

Sebagian berhasil mendapat lahan, sebagian yang lain masih berjuang hingga hari ini. Dua di antara yang berhasil, ada di Banjaranyar dan Pasawahan, dua desa di Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis. Perjalanan perjuangan petani di kedua desa ini melibatkan perempuan dalam relasi dan pemosisian tertentu. Amatan atas relasi gender menjadi sorotan penting, ketika perubahan struktur kelembagaan pro- duksi-distribusi pasca okupasi oleh petani, merupakan per- ubahan struktur relasi gender masyarakat petani itu sendiri. Hal ini menarik diungkap, hubungan penguasaan tanah dengan penguasaan hierarki sosial tertentu dalam masyarakat petani, atau sebaliknya.

Riw a ya t P e n gu a s a a n Ta n a h O r g a n i s a s i Ta n i Lo k a l B a n j a r a n y a r 2 ,

Desa Banjaranyar

Pada masa lampau, sebagian besar wilayah Banjaranyar adalah tanah-tanah perkebunan. Perusahaan perkebunan yang beroperasi di desa ini, PT Mulya Asli, yang mengusahakan perkebunan karet. Dalam perjalanan waktu, sebagian areal yang dikuasai perusahaan ini tidak ditanami sesuai dengan komoditas yang dikelolanya, perusahaan tidak maksimal menggunakan tanah. Di satu pihak, petani miskin mem- butuhkan tanah. Maka terjadilah okupasi tanah yang dikuasai perusahaan tersebut oleh petani miskin di sekitarnya.

Di Banjaranyar, tanah bekas HGU, terdaftar atas nama PT Mulya Asli, dengan nama, Hak Guna Usaha Nomor 2/ Cigayam . Di atas sebagian areal tersebut ada penggarapan tanah oleh masyarakat sekitar. Ketika HGU berakhir, dalam pengajuan perpanjangan HGU terdapat persetujuan dari PT

Mulya Asli untuk melepaskan sebagian areal HGU nya karena telah digarap oleh masyarakat seluas 69.5900 m2 (69,59 Ha). Di luar tanah tersebut, PT Mulya Asli tetap meng- ajukan permohonan memperbaharui HGU, setelah dikurangi tanah yang telah dilepaskan menjadi tanah negara sesuai Surat Pernyataan Penguasaan Fisik tertanggal 27 April 2007.

Tanah yang dilepaskan oleh PT. Mulya Asli telah ditegaskan menjadi tanah negara berdasarkan Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia c.q. Deputi Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah Nomor : 1281 – 310.3 – D III tanggal 23 April 2007. Pada areal seluas 69,59 Ha, oleh masyarakat penggarap telah diusahakan menjadi areal pertanian dan permukiman. Oleh pemerintah, tanah tersebut ditegaskan menjadi Tanah Objek Landreform (TOL) dan diredistribusikan kepada masyarakat (para peng- garap). Lokasi tersebut selanjutnya ditetapkan sebagai lokasi Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN), yang selanjutnya dilakukan sertifikasi dengan pembiayaan melalui Proyek Operasi Nasional Agraria (PRONA). Setelah dilaku- kan sertifikasi tanah tersebut, sengketa tanah antara Masya- rakat dengan PT Mulya Asli menjadi berakhir.

R i w a y a t P e n g u a s a a n Ta n a h d i D e s a P a s a w a h a n

Umumnya, penguasaan tanah oleh masyarakat Pasa- wahan masih berujung sengketa. Artinya sampai dengan saat ini penguasaan tanah oleh para penggarap masih belum bisa dikatakan clear and clean. Oleh masyarakat, lokasi tanah-tanah sengketa itu dikenal dengan Lokasi Pasawahan I dan Lokasi Pasawahan II. Pada Lokasi Pasawahan I terjadi sengketa antara Masyarakat dengan Perum Perhutani, dan di Lokasi Pasawahan II terjadi sengketa antara Masyarakat dengan PT Cipicung Pasawahan. Riwayat dari terjadinya sengketa pengu- asaan tanah di Desa Pasawahan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.