Ko n tra d iks i id e d a n p ra kte k
Ko n tra d iks i id e d a n p ra kte k
Konsep pengelolaan hutan seperti terurai sebelumnya, sebenarnya cukup baik. Namun praktek di lapangan, yang terjadi malah konflik. Antara tahun 1986–2001, terjadi 69
Sebagian dari mereka yang “tertahan” di desa, tetap melakukan penggarapan lahan-lahan di pinggir kampung yang dianggap sebagai milik Perum Perhutani. Di desa Sindangasih, khususnya kampung Kajarkajar, petani sekitar hutan meng- garap tanah yang dianggap milik Perhutani ini sejak tahun 1950-an. Petani Sindangasih harus membayar upeti setiap panen pada petugas Perhutani yang datang menagih, atau kalau tidak mau membayar, petani akan dikriminalisasi dengan tuduhan perambahan liar. Pemungutan upeti ini berhenti ketika petani Kajarkajar bergabung dalam Serikat Petani Pasundan (SPP). Tetapi praktek kriminalisasi dalam berbagai topik lain atas petani tetap berlanjut hingga sekarang. Semen- tara, di luar wilayah kerja SPP, pemungutan upeti terus ber- langsung hingga sekarang.
Di bawah ini kami tampilkan contoh analisis usaha tani sebuah keluarga di Sindangasih yang menjadi peserta PHBM tahun 2007, bagaimana jauhnya jarak antara konsep yang disusun (community based) dengan kejadian dan fakta di lapangan.
11 Hasil wawancara mendalam dengan AT dan AD dan tanggal 9 september 2009.
Contoh kasus: Hasil wawancara dengan Petani PHBM di Cikuya, Sindang Asih:
Survey panen terakhir (Juli – oktober 2009): Nama
: JK
Jumlah anggota keluarga : 5 orang Umur
: 56 (suami), 45 (istri), 23 (anak pr I), 16 (anak pr II), 11 (anak lk) Penguasaan tanah
: Perum Perhutani Modal
: Meminjam di bank BRI
Cikatomas
Jenis lahan
: Sawah
Luas lahan : 200 bata (@ 14x1 m)
Biaya produksi 1 Bibit
50.000 2 Pupuk
125.000 3 Pestisida
100.000 4 Sewa alsintan
50.000 5 Upah tenaga kerja (keluarga)
120.000 Jumlah 445.000
Hasil panen : 300 kg (@ 4000) = 1.200.000 1 Dikonsumsi dan disimpan untuk bibit : 110 kg
440.000 2 Bayar upeti ke Perhutani : 140 kg
560.000 Sisa untuk dijual : 50 kg
200.000 Pengeluaran rumah tangga / bulan
1 Makanan pokok : 60 kg 240.000 2 Lauk-pauk
300.000 3 Kebutuhan sekolah anak
240.000 Jumlah 780.000 Jumlah x 5 bulan (masa tanam terakhir)
3.900.000 Sisa hasil panen – jumlah pengeluaran 5 bulan
(masa tanam terakhir) - 3.700.000 Tabel 8. Analisis Usaha Tani Petani PHBM di Kampung Cikuya
(Desa Sindangasih)
Responden di atas adalah petani gurem yang dipekerja- kan Perhutani sebagai penanam pohon dalam proyek PHBM dan beberapa program sebelum PHBM. Dilibatkannya JK ini karena dia ikut sebagai penggarap di sawah yang diklaim sebagai kawasan hutan pada tahun 1987, sejak itu dia mem- bayar upeti ke Perhutani setiap panen sebanyak 70kg/100 bata. Hingga pada waktu wawancara ini kami lakukan, tidak sepeserpun upah yang dia terima dari Perhutani sebagai imbal- an penanaman, tetapi setoran panen selalu dia bayar ke Perhutani.
Dari contoh di atas, dapat dilihat bagaimana terjadinya proses “pemiskinan” secara sistematis terjadi terhadap petani. Harga saprotan, biaya produksi pertanian yang tidak bisa di- kontrol oleh pemerintah, harga gabah yang tidak dijaga oleh mekanisme yang lazim agar petani sebagai produsen bisa mengambil untung dari hasil produksinya, serta biaya hidup yang makin tinggi (dengan naiknya setiap tahun harga kebutuhan pokok), jika dibandingkan dengan hasil panen yang sedikit dan itupun diminta sebagiannya oleh “pemilik lahan”, yaitu Perhutani, sebagai bentuk “sewa” dari petani, maka akan didapat hasil minus setiap bulannya bagi petani. Inilah akibat dari pemisahan petani dengan tanah, saprotan, dan means of production lainnya.
Tidak heran jika kini 2 orang anak perempuan JK berusia 23 dan 19 tahun yang hanya tamat Sekolah Dasar, bekerja sebagai Tenaga Kerja Wanita ke Arab Saudi. Sudah
3 tahun anak perempuan JK tidak pernah pulang, dan dalam
3 tahun perantauan itu, hanya 1 kali mengirimkan uang sebanyak 1 juta rupiah. Petani PHBM di Sindangasih sebenarnya tidak mene- rima perlakuan pemungutan hasil padi sawah 70Kg/100 bata ini, tetapi karena takut dipenjarakan dan takut mereka tidak boleh lagi menggarap di lahan Perhutani, tidak ada pilihan lain bagi mereka kecuali harus mau “bekerjasama”.
Lain lagi halnya dengan tanaman kayu, di lapangan
Di desa Sindangasih, pelaksanaan penanaman bulan September 2009, masyarakat yang ikut dalam kegiatan PHBM harus mengeluarkan biaya produksi penanaman kayu jenis albasia (bibit dan tenaga kerja) hampir Rp 2.500.000/ Ha (hasil wawancara dengan responden di kampung Cikuya, Desa Sindangasih tgl 30 oktober 2009), sementara ketika kami melakukan cek ke KRPH Cikatomas pada bulan september 2009, mereka mengatakan bahwa Perhutani ada anggaran untuk penanaman tersebut.
Di Kampung Sinagar, yang menjadi basis gerakan SPP, masyarakat tidak mau mengikuti program PHBM ini, karena menurut mereka, Perhutani hanya mengambil keuntungan sepihak, sementara masyarakat dikuras tenaganya untuk menjamin produksi kayu Perhutani. Padahal petani-petani OTL Kajarkajar telah melakukan skema penanaman berbasis