S e kila s S e ja ra h Agra ria Tris o b o

S e kila s S e ja ra h Agra ria Tris o b o

Tentu soal agraria tidak bisa dilepaskan dari sejarah penguasaannya di masa lalu, terutama kronologi proses perpindahan penguasaan tanah. Desa Trisobo mengandung beberapa dinamika penting dalam hal ini. 80

Pada tahun 1870, Pemerintah Hindia Belanda menge- luarkan Undang-Undang Agraria atau Agrarisch Wet sebagai alat legitimasi untuk menguasai tanah-tanah jajahan. Dalam

80 Bagian ini disusun berdasarkan keterangan warga.

Berdasarkan UU tersebut, di Trisobo kemudian hadir perkebunan modal asing yang menguasai tanah cukup luas di desa ini, termasuk tanah yang menurut masyarakat ter- masuk dalam tanah milik desa. Hal ini ditunjukkan dengan keberadaan makam pepunden desa yang kemudian berada di dalam areal kawasan perkebunan.

Pada masa Orde Baru, penguasaan oleh perusahaan perkebunan skala luas ini terus berlanjut di Trisobo, oleh PT KAL berdasarkan SK Mendagri No: SK-67/HGU/Da/80/ tanggal 25 September 1980 dengan luas konsesi 151,3 Ha (dan di desa Kertosari seluas 18,2 Ha). Masa berlaku HGU selama 30 tahun terhitung mulai 31 Desember 1972 sampai

31 Desember 2002. Pasca kemerdekaan tanah rakyat Trisobo dikembalikan kepada negara dengan status tanah hak erfpacht, kemudian rakyat menggarap kembali tanah tersebut. Pada tahun 1958 terjadi nasionalisasi, petani kembali tergusur dari lahannya oleh PP Subang. Pada tahun 1979 muncul Keppres No. 32 tahun 1979 Tentang Pemberian Hak Baru Asal Konversi Hak Barat, tetapi tidak ada klarifikasi dari PT yang pada saat itu menguasai tanah, untuk mengembalikan kepada petani. Bahkan PT tetap menguasai hingga beralih nama ke menjadi PT Karyadeka Alam Lestari.

Saat reformasi bergulir tahun 1998, masyarakat Trisobo mulai melakukan reklaiming atas lahan HGU PT KAL untuk dijadikan lahan pertanian. Gerakan petani yang dilakukan pada tahun 2000 ini lalu mendapat pertentangan keras oleh PT KAL, bahkan juga oleh Pemerintah karena dianggap bertentangan dengan hukum formal yang berlaku. Di sinilah problem dilematisnya, sebab menurut Wiradi (2009) di satu

Kini, akses masyarakat atas tanah di Trisobo semakin terbatas. Kontribusi sosial dan ekonomi pun belum mereka rasakan dari kehadiran investasi berbagai perusahaan ter- sebut. Konflik berkembang tidak hanya pada soal penolakan atas keberadaan PT. KAL, tetapi juga konflik antar sesama masyarakat.

Sejarah penguasaan tanah oleh PT KAL sendiri berawal dari masuknya Perusahaan Inggris bernama “Pamanukan and Tjiasem Lands” (disingkat P and T LANDS) pada tahun 1918 dan berkedudukan di Subang, Jawa Barat. Mereka berhasil menguasai tanah masyarakat di daerah ini dengan cara mengusir petani untuk kemudian menjadikannya sebagai perkebunan kopi pada tahun 1935. Pada tahun 1920 per- usahaan P and T LANDS yang bergerak di bidang perkebunan kopi, kakao dan randu ini memperluas wilayah usahanya dengan membangun Perkebunan KALIMAS di Semarang yang menguasai lahan mencapai luas sebesar 1.018,79 Ha, terbagi menjadi 5 Afdeling meliputi, Afdeling KALIMAS (29.0 Ha), Afdeling PESANTREN (232,42 Ha), Afdeling SEMAK (204,96 Ha), Afdeling REMBES (138,09 Ha), dan Afdeling TRISOBO (151,30 Ha).

Pada zaman Jepang, perkebunan milik asing dibubarkan dan rakyat dipaksa menanam jarak dan tanaman pangan untuk keperluan logistik perang Jepang. Petani Trisobo diperas dengan cara menarik pajak panen yang diberi nama gabah kumai. Semua ini berlangsung sampai Indonesia merdeka tahun 1945. Saat itu tanah rakyat Desa Ngaglik Trisobo dikembalikan kepada pemerintah. Saat dikembalikan tanah perkebunan di desa itu masih berstatus erfpacht, namun secara faktual telah digarap oleh penduduk. Tetapi pada tahun 1964

Penggusuran rakyat oleh PPN-DWIKORA IV ini terjadi karena sebelumnya pemerintah telah menasionalisasikan P&T LANDS dan mengalihkan asetnya kepada PPN DWI- KORA IV. Pada tahun 1971 PPN-DWIKORA IV ini kemu- dian berubah menjadi PP SUBANG. Tetapi sejak 14 April 1972, berdasarkan PP RI Nomor 3 tahun 1971, aset PP – SUBANG ini kembali dialihkan kepada PT Anyar Indonesia.

Perusahaan terakhir ini adalah perusahaan patungan antara The Aglo Indonesia Plantations (sebuah perusahaan milik Inggris) dengan Pemerintah RI dan swasta nasional, berdasarkan SK Menteri Pertanian Nomor 500/KPTS/UM- IX/1973. PT Tatar Anyar Indonesia memiliki ijin HGU berdasarkan SK Mendagri Nomor 67/HGU/DA/80 tanggal

25 September 1980, dengan masa terhitung mulai tanggal

31 Desember 1972 hingga 31 Desember 2002. Setelah itu, kepemilikan beralih sekali lagi. Berdasarkan akta jual beli (tukar guling) tanggal 29 Nopember 1997 nomor 4/Jateng/1996 oleh PPAT Joko Walijatun, tanah perkebunan PT. Tatar Anyar Indonesia ini dialihkan kepemilikannya kepada PT. Green Valley Indah Estate mulai 28 Maret 1996. Selanjutnya pada tahun 1997, berdasarkan keputusan Menteri Kehakiman RI. Nomor C2-5519 HT.0104 TH 1997 tanggal

25 Juni 1997 dan pernyataan Notaris Nomor 258 tanggal 27 Mei 1997 yang dibuat oleh Irawan Soeodjo SH, Notaris di Jakarta, nama PT Green Valey Indah Estate diubah menjadi PT Karyadeka Alam Lestari.