Mo d e l 2 : La h a n Milik ( B e rs e rtifika t)

Mo d e l 2 : La h a n Milik ( B e rs e rtifika t)

Jumlah tanah dengan tanda bukti kepemilikan di Kajar- kajar sangat sedikit sekali, hanya 20%. Semuanya dikelola dalam bentuk kebun campur dan sawah. Sedikitnya lahan hak milik di desa ini memang ironis dengan padatan pen- duduk desa Sindangasih yang terdiri dari 1292 KK (4392 orang Jiwa), makanya, argumentasi yang terbangun atas okupasi adalah argumentasi tentang kebutuhan tanah sebagai faktor produksi dalam proses berlangsungnya kehidupan masyarakat sekitar hutan yang memiliki keterkaitan yang tinggi terhadap hutan tersebut.

Mo d e l 3 : P e rka m p u n ga n d a la m H u ta n ( En c la ve )

Di kawasan hutan blok Gunung Tonjong terdapat lebih dari 6 areal enclave milik warga. Lahan tersebut mereka miliki secara sah atas program enclaving yang diterapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Sudah puluhan tahun lahan itu digarap secara aman oleh pemiliknya, bahkan terdapat bebe- rapa pemilik enclave yang memanfaatkan lahan tersebut sebagai tempat tinggal dan telah sekian lama mendiami rumah yang mereka bangun disana. Dilakukannya enclaving oleh Belanda atas lahan-lahan tersebut dikarenakan pada saatnya dahulu (belum tahu tepatnya tahun berapa) para pemilik lahan tersebut membuka lahan hutan alam yang sama sekali belum tergarap. Para pembuka terdiri dari Aki Nur Jahim, Aki Madsari, Aki Sanjuhri, Aki Kar’i, Aki Iyok, dan bapaknya Aki O’ing, berjuang dan bertahan untuk tetap menduduki dan menganggap lahan-lahan tersebut sebagai lahan yang mereka miliki. Setelah mengalami proses yang panjang Aki Madsari pun memenangkan persidangan, dan pada akhirnya Pemerintah Hindia Belanda memberikan peng- akuan atas kepemilikan lahan-lahan dengan mengeluarkan sertifikat (Cap Singa) dan menjadikannya lahan-lahan tersebut sebagai kawasan enclave.

Mo d e l 4 : Ta n a h Ka s D e s a

Tanah kas desa di Sindangasih disebut sebagai lahan pangangonan, tempat dimana masyarakat menggembalakan ternak-ternaknya. Area ini dimiliki bersama dan boleh diguna- kan untuk kepentingan umum dan boleh digarap oleh masya- rakat dengan sistem membagi hasilnya untuk kegiatan-kegiat- an kemasyarakatan. Akan tetapi saat ini lahan tersebut telah dinggap sebagai lahan kas desa yang sistem pengelolaannya juga berada di bawah peraturan pemerintah desa. Di Desa Sindangasih, kami tidak menemukan lagi tanah ini, pernah

Dulu desa Sindangasih juga memiliki lahan pangangonan semacam itu, yang selanjutnya juga menjadi lahan kas desa dan kemudian disewakan. Sama seperti yang terjadi di desa Neglasari. Akan tetapi telah terjadi proses pengalihan kepemilikan di masa jabatan pemerintah desa 5 atau 6 periode sebelum sekarang, dimana karena pengelolaan yang tidak jelas dan tidak transparan mengakibatkan lahan kas desa tersebut saat ini telah menjadi lahan milik beberapa orang warga yang pada awalnya status mereka atas lahan tersebut adalah sebatas penyewa. Sehingga saat ini desa Sindang Asih sama sekali tidak memiliki tanah kas desa lagi. Sayangnya para pengurus OTL Kajarkajar tidak mampu menjelaskan secara lebih ter- perinci tentang proses beralihnya penguasaan lahan tersebut, dan mereka juga merasa sangat menyayangkan fenomena lahan kas desa. Menurut mereka, jika lahan tersebut masih ada bisa dipastikan akan sangat membantu pemerintah desa dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sebagai- mana di desa Neglasari yang sampai saat ini masyarakatnya masih merasakan hasil dari tanah kas desanya, sementara itu ketika kami cek ke Pemerintah desa, seakan-akan ini adalah hal yang tidak boleh diungkap lagi karena berkaitan dengan situasi politik desa dan dapat menjadi isu yang sensitif.

89

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab-bab sebe- lumnya bahwa terdapat beberapa model dari upaya peman- faatan sumber daya hutan di kawasan Gunung Tonjong, yang mana setiap model tersebut telah memiliki sistemnya masing- masing yang selama ini telah berjalan sesuai dengan kepen- tingan setiap individu atau lembaga yang menaunginya. Akan tetapi yang menjadi pertanyaan adalah apakah sejauh ini persoalan kepentingan tersebut telah mampu berjalan dengan juga mengakomodir kepentingan-kepentingan masyarakat petani yang telah sekian lama tinggal dan berdiam di sekitar hutan di kawasan tersebut? Ataukah persoalan pemanfaatan sumber daya hutan yang telah terbagi menjadi beberapa model tersebut hanya berjalan di atas kepentingan individu atau lembaga yang mengatasnamakan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat, akan tetapi secara faktual sama sekali atau justru merugikan masyarakat kecil, yang dalam hal ini adalah kaum petani. Maka untuk sampai pada kesim- pulan yang akan menjawab pertanyaan tersebut selanjutnya perlu diadakan analisa yang mampu membandingkan setiap model yang ada. Analisa perbandingan inilah yang akan memperlihatkan bagaimana masing-masing model tersebut menerepkan sistemnya dan sejauh mana system dari tiap- tiap model tersebut memberikan implikasi positif bagi kelang- sungan ekologis dan kesejahteraan masyarakat.

Berikut ini adalah tabel-tabel yang secara spesifik akan memperlihatkan bagamana setiap model dari upaya peman- faatan sumberdaya hutan di kawasan Gunung Tonjong ter- sebut selama ini telah menetapkan dan menerapkan sistem- nya masing-masing.

Status Lahan Model – 1

Model – 3 Model – 4 (Perhutani )

Model – 2

(Lahan Milik) (Lahan Pangangonan) - Hutan produksi

(Lahan Reclaim)

terbatas

Zonasi (garapan,

Penggunaan - Penanaman

Produksi Produksi (Lahan Lahan

konservasi,

Hutan Bersama

dan kebun) kering) Masyarakat (PHBM)

pemakaman,

(Sawah, ladang

pemukiman dan

bunpok)

Pemerintah Desa Pengelola

BKPH Cikatomas

Pengurus, anggota

-LMDH

dan kelompok

Pribadi (Disewakan pada

masyarakat) Hanya

dalam OTL

menguntungkan Perhutani dan kroni-kroninya,

tumpuan bagi Neglasari: Fungsi

Menjadi salah satunya

Terbukti mampu

karena praktek

meningkatkan

pemenuhan Meningkatkan kesejahteraan

Ekonomi pembagian hasil

kebutuhan penyewanya (warga pengelolaan

dasar atas dan aturan-aturan

kesejahteraan

sehari-hari yang tak memiliki dalam PHBM

masyarakat

pemiliknya lahan garapan) yang

anggotanya

menyudutkan petani penggarap

Memecah belah

Menciptakan norma

budaya dan menghilangkan

sistem solidaritas

Menjaga sistem masyarakat dan

dalam sistem

kearifan lokal, Mengaktifkan kembali Fungsi Sosial

solidaritas

masyarakat dan

kepercayaan

khususnya tradisi komunal di masyarakat

dalam tradisi lahan garapan terhadap sistem

tata kelola lahan,

kerjasama antar pemerintahan

khususnya yang

petani Mengurangi

menjadi

anggotanya

Turut menjaga Fungsi

keberlangsungan Turut menjaga Ekologis

kesuburan tanah,

Menjaga tutupan

dan

fungsi-fungsi keberlangsungan cadangan air

hutan, dan

menghilangkan

SDA fungsi-fungsi SDA tanah

menghasilkan

cadangan air

Tabel 20. Perbandingan Model Tata Kelola

Model – 1 Status Lahan

(HPT Perhutani

Model – 3 Model – 4 )

Model – 2

(Lahan Milik) (Lahan Pangangonan) - Hutan

(Lahan Reclaim)

Sawah, ladang Karakteristik

Garapan dan

dan kebun Kebun campur - PHBM

monokultur

bunpok : kebun

campur Pengelola

campur

BKPH Pemerintah Desa Cikatomas

Anggota OTL

Pribadi (Disewakan ke masyarakat)

Padi, singkong,

- Mahoni &

jagung, pisang,

Padi, jagung, Komoditi

alkasia

kopi, kapulaga,

- Albasia,

kelapa, cabe, Singkong, pisang, kelapa, albasia pisang dan

cabe, kacang

albasia jagung

singkong,

tanah, kelapa,

albasia, mangga,

manggis, pete, jengkol,

Kelembagaan LMDH

OTL

‐ Konservasi lahan

Pengolahan Teknologi

garapan

hasil kelapa produksi

Sistem tebang

untuk gula -

lahan curam

merah

berbatu

Tabel 21. Perbandingan Model Tata Produksi