P e n u tu p : P e n c ip ta a n Ke m is kin a n d i D a ta ra n Tin ggi Ga ru t

P e n u tu p : P e n c ip ta a n Ke m is kin a n d i D a ta ra n Tin ggi Ga ru t

Proses pelepasan dan penyingkiran petani dari akses dan kuasa terhadap alat-alat produksi merupakan proses pemerangkapan petani dalam “lingkaran setan” struktural: kemiskinan. Proses ini disebabkan hadirnya investasi perkebunan dan kehutanan skala besar yang “memakan” lahan-lahan petani. Proses pemiskinan petani tidak hanya terjadi akibat penyingkiran petani dari alat-alat produksinya ini, namun tingginya kebutuhan atas input produksi (modal) kembali menjebak petani dalam relasi timpang utang-piutang pada bandar, sehingga melalui cara tertentu, petani tidak memiliki posisi tawar dalam menentukan harga jual hasil panen. Relasi ini pada prakteknya menyebabkan pem- bentukan dan penumpukan (akumulasi) surplus hanya terjadi pada bandar sementara petani menjadi buruh di lahannya sendiri. Tidak jarang, akibat relasi timpang semacam ini, menyebabkan petani kehilangan lahan atau menjadi buruh di lahan garapannya sendiri. Kondisi ini telah berlangsung

Kemiskinan dalam konteks ini dipandang sebagai suatu kondisi untuk keuntungan sepihak, yang diciptakan atau sebagai akibat dari pola hubungan-hubungan produksi yang timpang di atas alat-alat produksi dan terus dipelihara, dipertahankan dan dimodifikasi sebagai basis utama proses penciptaan dan penumpukan kekayaan (surplus produksi) kepada pihak-pihak yang menguasai alat-alat (sarana) produksi. Kondisi ini terjadi di Dangiang dan Sukatani, dua desa di dataran tinggi Kabupaten Garut, produsen utama minyak akar wangi untuk daerah Jawa Barat, dengan desa- desa produksi yang selalu saja masuk kategori miskin. Sebagai cerminan untuk situasi di Jawa Barat, relevankah jika kondisi kemiskinan di Dangiang dan Sukatani dengan segala dinamika ekstraksi surplusnya, sebagai cerminan pula atas kondisi desa- desa lain yang berdampingan dengan perkebunan dan kehutanan, di seluruh Indonesia?

Perbandingan Model-model Tata Kuasa, Tata Kelola dan Tata Produksi Kehutanan berikut Kesejahteraan yang Dihasilkannya Studi Kasus di Gunung Tonjong,

Tasikmalaya

Didi Novrian, Zuhdi Siswanto, Dicky Firmansyah Bambang Suyudi, Deden Dani, Tanjung Nugroho

Berulangkali sejarah mencatat, banyak pertentangan manusia dengan sesamanya, yang pada hakekatnya adalah per- tentangan dalam rangka perebutan sumber-sumber agraria (hutan, tambang, air, dan lahan). Hal ini memang begitu penting bagi semua orang, soal hidup dan penghidupan manusia (Moch Tauhid:1952), termasuk di dalamnya soal penguasaan, penggunaan dan pengelolaan.

Seiring dengan pemikiran tersebut, pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi, Bumi dan Air, dan Kekayaan Alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat , tidak lain adalah bentuk penegasan bahwa semua sumber-sumber agraria yang ada harus dikuasai oleh negara. Hingga negara pada akhirnya berkepentingan sangat kuat terhadap penguasaan sumber-

Tetapi seringkali dalam perjalanannya, kepentingan- kepentingan itu dipelintir: penguasaan sumber-sumber agraria sebagai “mesin politik” dan “mesin pembuat uang” bagi kelompok-kelompok tertentu. Jargonnya “sumberdaya agraria untuk kemakmuran rakyat” , tetapi pengelolaannya justru masuk dalam skema materialis yang economistic, dengan pemanfaatan pada pengumpulan keuntungan untuk kepentingan sedikit golongan dan kelompok saja. Pada tataran inilah sesungguh- nya, benih ketidakadilan pemanfaatan sumber-sumber agraria muncul, apalagi ditambah dengan pengaruh ekonomi-politik kekuasaan negara yang beroligarki dengan modal dan berimbas pada terseretnya semua model-model pengelolaan sumberdaya agraria ke arah yang tidak berkeadilan bagi rakyat.

Diskursus tentang pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia, selama ini boleh dikatakan adalah perspektif negara, di mana pemerintah menjadi inti dan single player dalam menentukan aturan untuk menetapkan, mengelola, dan pemanfaatan sumberdaya hutan. Dimulai dari penentuan pada siapa hutan tersebut diserahkan untuk dimanfaatkan, hingga bagaimana cara pengelolaan dilakukan, semuanya diatur oleh negara. Hal demikian tidak dapat dilepas dari pengaruh situasi kepentingan dan politik penguasa terkait kepentingan modal dan pasar.