Re la s i Ge n d e r d a la m P e n gu a s a a n La h a n P e ta n i

Re la s i Ge n d e r d a la m P e n gu a s a a n La h a n P e ta n i

Di pedesaan berbagai negara, misal Filipina, Cina, Vietnam, dan beberapa negara di Latin Amerika, hukum perkawinan menyebutkan bahwa lahan rumah tangga dimiliki dan di- kuasai secara bersama-sama antara suami dan istri. Namun saat registrasi lahan (berupa sertifikasi lahan) dilakukan oleh negara, maka hanya nama lelaki sebagai kepala rumah tangga yang tercatat sebagai pemilik lahan (Brown, tidak ada tahun).

Brown melanjutkan, secara umum sedikit sekali perem- puan yang tercatat menjadi pemilik lahan. Hal ini kontras dengan tingkat keterlibatan perempuan yang tinggi dalam aspek produksi pertanian, sekaligus tingkat ketergantungan perempuan pada lahan. Jika perempuan sebagai penguasa lahan, tentu akan ada peningkatan keamanan dan pendapatan perempuan, peningkatan kemampuan untuk mengakses kredit dan program-program pemerintah, hingga perempuan memiliki pengaruh dan lebih dihormati dalam komunitas.

Menurut Brown, ketidaklekatan nama perempuan dalam sertifikat lahan akan menimbulkan hal negatif bagi perempuan dalam dua cara: pertama, karena para perempuan tidak menganggap diri mereka sebagai pemilik lahan, maka manfaat atas kepemilikan lahan (misalnya peningkatan pe- ngaruh dan kontrol atas pemasukan yang diperoleh di dalam rumah tangga) tidak akan mereka miliki secara penuh. Kedua, jika perempuan bukan pemilik lahan yang terdaftar, maka dia mungkin akan tersingkirkan dari hak untuk menentukan, saat tanah dijual oleh suami, atau mungkin pula tersingkirkan dari hak atas tanah saat terjadi perceraian atau kematian suami. Kadangkala suami dan pembeli lahan tidak menyadari keberadaan istri sebagai pemilik lahan juga (co-owner) sehingga mereka tidak melibatkan istri dalam keputusan penjualan lahan. Hal seperti ini telah terjadi di Vietnam, di- mana istri tidak mendapatkan hak apapun atas tanah saat perceraian terjadi. 23

Bagaimana pentingnya pelekatan nama perempuan dalam sumberdaya telah menjadi perhatian banyak peneliti relasi gender. Pemberian sumberdaya kepada perempuan (tanah atau pendidikan) akan menghasilkan efisiensi kesejah-

23 Brown, Jennifer. Rural Women’s Land Rights in Java, Indonesia : Strengthened by Family Law, But Weakened by Land Registration. Law

& Policy Journal Association. 2003.

Dalam sebuah penelitian di Bodghaya, perempuan me- ngaitkan hak (formal) mereka atas tanah dengan kemampuan mereka untuk berfungsi selayaknya manusia. “Now that we have the land, we have the strength to speak and walk ”, sekarang saat kami memiliki tanah, maka kami memiliki kekuatan untuk berbicara dan bertindak (Petani di Bodghaya, India, Kelkar dan Gala 1990 dalam Kodoth).

R e la s i G e n d e r d a la m P e n g u a s a a n La h a n P a s c a Okupasi di Banjaranyar 2

Pasca-okupasi kelompok petani di Banjaranyar 2 tidak ada lagi yang tak bertanah. Luasan garapan petani bervariasi antara 100-400 bata, dan sebagian besarnya memiliki garapan di atas 200 bata.

Pasca redistribusi, kondisi penguasaan lahan mengalami pergeseran. Rata-rata lahan yang diredistribusikan berkisar antara 90 bata-200 bata/rumah tangga. Persyaratan untuk mendapatkan lahan okupasi sangat sederhana, yaitu, setiap individu harus yang tinggal di wilayah okupasi dan sudah berusia 17 tahun. Merujuk pada ketentuan ini, baik laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama. Jumlah sertifikat atas nama perempuan yang ditemukan di Banjaranyar 2 sekitar 10%.

Setelah okupasi, dengan sendirinya masyarakat mem- bentuk mekanisme pembagian lahan yang disepakati oleh semua masyarakat, sebagai berikut : -

Persentase perolehan lahan adalah ketua/koordinator OTL 300 bata, dengan rincian, 100 bata jatah dan 200 adalah penghargaan kepengurusan.

- Sekretaris dan bendahara 250 bata, dengan rincian, 100

- Satgas inti (aktif) 160 bata, dengan rincian, 100 bata jatah dan 60 penghargaan kepengurusan.

- Tim inti (pasif) 145 bata, dengan rincian, 100 bata jatah dan sisanya adalah penghargaan kepengurusan.

- Koordinator perempuan mendapat 50 bata (tidak mendapatkan jatah yang 100 bata, karena sudah diper- oleh oleh suami sebagai kepala rumah tangga).

- Pengurus wanita memperoleh 35 atau 30 bata (ter- gantung pada tingkat keaktifan).

- Ketua divisi mendapat 160 bata. -

Para perempuan yang tidak aktif tidak mendapat apa- apa (karena sudah diwakili oleh suami), walaupun mere- ka ikut bermusyawarah. Anggapan bahwa peranan laki-laki lebih banyak dalam

perjuangan berdampak pada penghargaan yang didapat lebih banyak daripada perempuan 24 . Perempuan yang menjadi pengurus maksimal mendapatkan 50 bata sedangkan untuk laki-laki maksimal 200 bata.

Ketika sertifikasi dilakukan, dengan alasan agar biaya murah maka satu rumah tangga memilih agar membuat sertifikat dalam satu namanya saja. Umumnya kesepakatan yang berlaku adalah tanah akan disertifikat atas nama suami. Mereka mengakui bahwa meskipun tanah diatasnamakan suami tetapi istri juga memiliki akses dan kontrol yang sama.

Hal yang berbeda ditemukan di Sukamaju, Banjaranyar. Disini, baik laki-laki dan perempuan sepakat bahwa walau hanya nama laki-laki yang tercantum di dalam sertifikat, tetapi konstruksi budaya lokal menyatakan bahwa penggunaan dan pengalihan lahan harus dilakukan melalui konsensus laki-

24 Ucapan pengurus laki-laki yang diamini laki-laki lain dalam forum diskusi “Dalam organisasi, perempuan hanya ikut dalam pendidikan saja,

sisanya, semua dikerjakan oleh laki-laki”.

Saat suami istri memilih bercerai, maka ‘tepung kaya’ 25 dibagi dua sesuai dengan harga yang berlaku pada saat per- ceraian. Setelah harta ditaksir dalam nilai uang, terdapat kecenderungan bahwa rumah akan diserahkan ke istri dan lahan dimiliki suami. Jika harga lahan lebih mahal daripada harga rumah, maka laki-laki akan mengupayakan sejumlah uang penambah pembayaran rumah. Konstruksi nilai di masyarakat menganggap perempuan lemah, tidak berdaya dan lebih memerlukan rumah untuk tempat tinggal daripada laki-laki.

Pada saat tanah belum disertifikatkan, laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama atas tanah. Kepemilikan, penggarapan, penguasaan menjadi setara. Tetapi ketika disertifikatkan, tanah menjadi atas nama suami hingga posisi perempuan menjadi lemah. Kepemilikan lahan bukan lagi atas nama sendiri tetapi atas nama suami. Penetapan harga sertifikat untuk tiap bidang tanah yang cukup tinggi bagi masyarakat membuat tiap rumah tangga melakukan merger kepemilikan. Yang dihilangkan dari proses ini adalah kemi- likan perempuan yang kemudian direduksi ke dalam kepemi- likan milik laki-laki. Negara melalui peraturannya secara tidak langsung memperlemah posisi perempuan dan meminggir- kannya dari sistem produksi penghidupan keluarga. Sosialisasi dan implementasi peraturan sertifikasi yang menyebutkan bahwa sertifikat dapat diatasnamakan oleh pasangan suami- istri (joint titling) belum optimal.

Selain konteks budaya dan hukum formal (negara), penguasaan lahan di Banjaranyar II juga dipengaruhi oleh agama. Sebagaimana nilai budaya masyarakat, agama menentu- kan harta dibagi dua antara suami-istri yang bercerai. Namun

25 Istilah lokal untuk harta yang diperoleh selama masa pernikahan.

R e la s i G e n d e r d a la m P e n g u a s a a n La h a n Pasca Okupasi di Pasawahan

Pasawahan belum mengalami sertifikasi, sampai saat ini yang diyakini sebagai pegangan adalah surat penunjukkan garapan dan pencatatan pengajuan surat permohonan ber- sedia menggarap: dalam kedua surat ini, baik laki-laki dan perempuan bersama-sama mengajukan dan nama mereka tercantum masing-masing di dalam surat pengajuan.

Nilai budaya lokal mengatakan bahwa penguasaan lahan dimiliki bersama oleh suami-istri. Oleh karena itu proses pengalihan hak juga harus berdasarkan konsensus kedua pihak. Ada sebutan “tidak wajar” bagi istri atau suami yang memutuskan pengalihan lahan atas namanya tanpa per- setujuan pasangan.

Dalam proses perceraian, hukum agama dan budaya saling menguatkan untuk memberi hak yang sama bagi laki- laki dan perempuan untuk mengakses harta (baik yang berbentuk lahan atau bukan) yang dihasilkan selama per- kawinan. Harta yang tidak dihasilkan dalam perkawinan (harta bawaan) menjadi milik masing-masing.

Dalam proses pewarisan, kebiasaan yang lebih sederhana yakni pembagian langsung oleh orang tua cenderung lebih

Re la s i Ge n d e r d a la m Ke le m b a ga a n P ro d u ks i-