Perubahan sosial dan budaya yang cepat juga dapat mengurangi rasa hormat tradisional pada usia. Misalnya seorang pemuda yang masih belasan tahun yang
cepat-cepat dididik dalam sebuah sekolah guru, diangkat menjadi kepala sekolah. Kepala sekolah yang muda ini akan memerintah guru-guru dari generasi yang lebih
tua, yang mengajarkan sastra klasik. Bagi mereka yang dibesarkan dalam aturan sosial yang ketat di bawah Bakufu, akan melihat ini sebagai suatu pemandangan yang
ganjil. Dalam bidang politik, terhambat oleh adanya semangat Konfusianisme dan
semangat Shinto, yaitu oleh adanya kazoku kokka dan Tenno sebagai puncak pimpinan. Modernisasi politik yang mengusung nilai demokrasi tidak dapat diterima
dengan sepenuhnya di Jepang, karena dalam kenyataannya yang memerintah dalam pemerintahan Meiji merupakan keluarga Samurai sebagai aturan-aturan yang ada
dalam keluarga Samurai masih diterapkan dalam pemerintahan yang baru.
2.3 Kesusasteraan Jepang Modern
Tahun 1868 adalah awal tahun Meiji dan berarti pula dimulainya zaman Meiji. Pada permulaan zaman itu, pemerintah banyak melakukan pembaharuan atau
reformasi. Pembaharuan dititikberatkan pada bidang politik dan ekonomi, sedangkan adat dan tradisi serta pola pemikiran lama masih tertinggal. Begitu pula bidang
kesusasteraan, tidak mengalami perubahan sama sekali. Sehingga pembaharuan pada bidang kesusasteraan mengalami keterlambatan hingga dua dasawarsa kemudian.
Sebelum membicarakan
kesusasteraan zaman Meiji, ditinjau terlebih dahulu
kesusasteraan pada zaman pra-Meiji yaitu kesusasteraan pada zaman Edo 1603-
Rehngenana Sembiring : Pemikiran Mori Ogai Terhadap Modernisasi Jepang Dalam Doitsu Sambusaku, 2007 USU e-Repository © 2009
1867. Pada zaman Edo, kesusasteraan bukanlan bidang yang diminati banyak orang. Begitu juga dengan karya sastra, hanya dibaca oleh orang-orang golongan terendah,
wanita dan anak-anak. Oleh karena itu minat baca sangat lemah apalagi untuk menjadi sastrawan.
Dunia sastra dianggap memiliki derajat yang rendah, sehingga tidak mengalami perkembangan yang pesat, di samping alat-alat percetakan belum
menunjang. Ditambah lagi harga buku bacaan yang sangat mahal dan isinya pun dibatasi oleh pemerintahan Tokugawa dan terbatas pada kanzen choaku pemikiran
yang menganggap bahwa yang benar pada akhirnya akan berhasil, sedangkan yang jahat pada akhirnya akan menemui kagagalan.
Pada tahun 1872, muncul sebuah buku yang terkenal yang berjudul Gakumon no Susume
karya Fukuzawa Yukichi. Buku ini menekankan bahwa yang paling penting bagi modernisasi Jepang adalah pendidikan dan sains. Hal yang ditekankan
berkali-kali adalah Jitsugaku ilmu praktis yang langsung berguna dalam kehidupan. Kebijaksanaan pemerintah Meiji yang berusaha secepatnya membangun negeri
Jepang dengan model Barat untuk menghindari agresi kolonialisme negara-negara kapitalis yang kuat, sangat lumrah dan dapt dimengerti. Dalam keadaan seperti itu
tentu kesusasteraan tidak dibutuhkan. Oleh karena itu pada awal Meiji, modernisasi digalakkan dalam segala bidang, kecuali kesusasteraan. Kesusasteraan pada zaman itu
masih kesusasteraan gesaku, sedangkan corak kesusasteraan Barat belum diimpor. Namun selama sekitar 10 tahun, jenis kesusasteraan dalam sejarah kesusasteraan
disebut novel politik, merupakan propaganda ideologi diterbitkan dalam jumlah besar
Rehngenana Sembiring : Pemikiran Mori Ogai Terhadap Modernisasi Jepang Dalam Doitsu Sambusaku, 2007 USU e-Repository © 2009
akibat terjadinya pergerakan demokrasi Jepang. Novel poitik ini juga dapat digolongkan dalam karya yang mendapat pengaruh dari kesusasteraan Barat.
Adapun yang dimaksud dengan kesusasteraan modern Jepang adalah kesusasteraan yang bermodelkan kesusasteraan modern Eropa. Dengan demikian bila
bermaksud membicarakan berbagai masalah mengenai lahirnya kesusasteraan modern Jepang, secara langsung kita harus menyinggung diimpormya kesusasteraan modern
model Eropa dan pertumbuhannya yang mantap di Jepang. Ada beberapa syarat untuk menjadi kesusasteraan modern yaitu menyangkut
masalah kemandirian kesusasteraan sehingga bukan merupakan alat politik maupun moral, seperti novel politik dan novel gesaku pra modern seperti yang sudah
dibicarakan. Pemikiran seperti itu sudah diterapkan di Eropa. Selain itu, pemikiran seperti ini tentu harus memiliki gaya bahasa dan metode tersendiri. Gaya bahasa
merupakan hal yang sangat penting karena media yang dipakai untuk mengungkapkan kesusasteraan hanya satu, yaitu bahasa. Satu hal lagi yang tidak
boleh dilupakan adalah ego, yakni ego manusia modern. Kesusasteraan modern Eropa sudah menampilkan berbagai tokoh yang memiliki ego manusia modern.
Sekitar tahun 1880, Tsubouchi Shoyo yang belajar ilmu politik di Universitas Tokyo, tidak naik tingkat karena menulis makalah tentang Hamlet karya Shakespeare
dengan pemikiran kanzen choaku seperti lazimnya tema-tema yang ada pada novel gesaku.
Pengalaman pahit ini membuka mata Tsubouchi Shoyo untuk mempelajari kesusasteraan Eropa. Sebagai hasilnya, tahun1885 ia menerbitkan semacam buku
petunjuk penulisan novel berjudul Shosetsu Shinzui. Inti novel tersebut adalah ninjo kemanusiaan dan setai fuzoku keluarga dan adat. Dengan inti novel tersebut, dapat
Rehngenana Sembiring : Pemikiran Mori Ogai Terhadap Modernisasi Jepang Dalam Doitsu Sambusaku, 2007 USU e-Repository © 2009
diketahui pandangan Tsubouchi Shoyo tentang bagaimana seharusnya novel itu ditulis, yakni ninjo yang dapat juga diartikan dengan shinri, yaitu unsur psikologi
seseorang yang harus dibuat sebagai tema. Dapat dikatakan bahwa pendapat tersebut belum pernah terjadi dalam perjalanan panjang kesusasteraan Jepang. Benar-benar
merupakan teori baru. Ia mengatakan bahwa kesusasteraan haruslah berdiri sendiri sebagai kesusasteraan, bukan sebagai alat propaganda politik maupun moral, dan
realisme diterapkan dalam teknik penulisannya. Seperti tersebut di atas, penyebab langsung Shoyo berkenalan dengan kesusasteraan Eropa dalam hal ini kesusasteraan
Inggris, yang membuatnya memahami sesuatu tentang kesusasteraan modern adalah kegagalannya naik tingkat di Universitas Tokyo. Shosetsu Shinzui yang meminjam
teori kesusasteraan Eropa ini memberi pengaruh yang sangat besar pada sastrawan muda pada saat itu. Mereka seakan-akan sudah menunggu munculnya teori
kesusasteraan baru yang sesuai dengan tuntutan zaman Meiji. Dengan munculnya Tsubouchi Shoyo maka jelaslah arah yang akan ditempuh kesusasteraan modern.
Karena teorinya sudah dipersiapkan, tinggal hasil karya yang merupakan pelaksanaannya harus ditulis dengan gaya bahasa baru pula.
Setelah adanya
Shosetsu Shinzui barulah minat sastra dari kalangan pemuda
pada zaman Meiji beranjak setingkat. Dengan kata lain, kedudukan Shosetsu Shinzui mengangkat derajat sastra ke peringkat yang lebih tinggi. Hal ini karena dahulu sastra
merupakan bacaan kaum rendah, begitu pula tanggapan terhadap sastrawan. Dapat ditandai pula bahwa Shoyo merupakan pembuka tabir kesusasteraan
zaman Meiji atau kesusasteraan Jepang modern. Setelah Shoyo, banyak bermunculan pujangga besar lainnya seperti Futabatei Shimei 1864-1909, Mori Ogai 1862-
Rehngenana Sembiring : Pemikiran Mori Ogai Terhadap Modernisasi Jepang Dalam Doitsu Sambusaku, 2007 USU e-Repository © 2009
1922, Ozaki Koyo 1868-1903, Koda Rohan 1867-1947, dan Higuchi Ichiyo 1872-1896.
Naturalisme Jepang
Salah satu aliran yang berkembang dalam sejarah kesusasteraan pada zaman Meiji adalah aliran Naturalisme Nihon Shizensugi. Aliran yang berorientasi pada
kehidupan nyata ini, tampak jelas pada pertengahan zaman Meiji tahun 1898. Sejak saat itu berbagai perubahan terus terjadi sesuai dengan perkembangan zaman
sehingga lahirlah sebuah gerakan yang konkret. Gerakan ini disebut gerakan Naturalisme dalam karya sastra yang berkembang terus hingga akhir zaman Meiji.
Aliran ini mengisi lembaran baru sejarah kesusasteraan Jepang modern. Naturalisme Jepang berkembang akibat pengaruh naturalisme Eropa, terutama
dari Perancis yang dianut oleh Emile Zola. Pengaruh Zola ini lebih cepat berkembang dan dikenal sejak munculnya sebuah buku berjudul Ishibigaku yang berisikan tentang
naturalis estetika dan di Jepang. Kesusasteraan naturalisme di Perancis merupakan sebuah senjata yang
dipergunakan untuk menikam serta memperbaiki kebobrokan sosial dengan mengungkapkan masalah sosial dengan tema realitas, yaitu dengan jalan
mengungkapkan sikap dan cara berdasarkan ilmu pasti alam. Hal ini merupakan masalah penting sebagai ciri utama dari aliran tersebut.
Naturalisme timbul dengan latar belakang kemajuan dalam ilmu pengetahuan, terutama di bidang ilmu pasti alam, dan buah pikiran ini mendrong lalu menjelma
dalam kesusasteraan dengan bersendikan pada anatomis individu maupun sosial.
Rehngenana Sembiring : Pemikiran Mori Ogai Terhadap Modernisasi Jepang Dalam Doitsu Sambusaku, 2007 USU e-Repository © 2009
Secara singkat arti naturalisme dalam kesusasteraan adalah penggambaran atau penghayatan dari kejadian sesungguhnya yang dipaparkan dalam bentuk roman atau
novel. Ide kejadian atau data nyata berarti tidak hanya ide pemikiran yang indah- indah saja, tetapi justru ide nyata dari hal-hal yang tidak baik atau kelemahan
manusia, bahkan kejelekan dipaparkan dengan cara apa adanya atau polos. Perkembangan
naturalisme menjadi
mantap ketika memasuki zaman Meiji tahun 1908, yang dipaparkan dalam bentuk karya sastra. Hampir seluruhnya berupa
materi tentang pengalaman nyata dari kehidupan pribadi pengarang itu sendiri. Hal itu merupakan gaya objektivisme murn ke arah gaya pengungkapan rekaan nyata atau
seolah-olah benar-benar terjadi. Salah satu sastrawaan pada zaman Meiji yang memasukkan unsur naturalis
tersebut dalam karyanya adalah Mori Ogai.
2.4 Kehidupan Mori Ogai dan Doitsu Sambusaku 2.4.1 Kehidupan Mori Ogai