Pemikiran Mori Ogai Terhadap Modernisasi Jepang Dalam Doitsu Sambusaku

(1)

PEMIKIRAN MORI OGAI TERHADAP MODERNISASI JEPANG DALAM DOITSU SAMBUSAKU

DOITSU SAMBUSAKU NI OKERU NIHON KINDAIKA NI TAISHITE NO MORI OGAI NO KANGAE

SKRIPSI OLEH

NAMA : REHNGENANA SEMBIRING NIM : 030708043

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA

JURUSAN SASTRA JEPANG 2007


(2)

DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah 1.2 Perumusan Masalah

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.6 Metode Penelitian

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP MODERNISASI DAN

KESUSASTERAAN JEPANG PADA MASA RESTORASI MEIJI 2.1 Restorasi Meiji Sebagai Awal Modernisasi

2.2 Permasalahan yang Terjadi Pada Masa Modernisasi 2.3 Kesusasteraan Jepang Modern

2.4 Kehidupan Mori Ogai dan Doitsu Sambusaku 2.4.1 Kehidupan Mori Ogai

2.4.2 Doitsu Sambusaku

BAB III PEMIKIRAN MORI OGAI TERHADAP MODERNISASI JEPANG DALAM DOITSU SAMBUSAKU

3.1 Maihime 3.2 Utakata No Ki 3.3 Fumizukai

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan

4.2 Saran


(3)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Restorasi Meiji merupakan peristiwa yang menandai runtuhnya sistem feodal pemerintahan Tokugawa dan menempatkan kembali Tenno (Kaisar) sebagai penguasa tertinggi pemerintahan. Jepang yang sebelumnya menerapkan politik Pintu Tertutup yang disebut dengan Sakoku, mulai memberlakukan politik Pintu Terbuka yang disebut dengan Kaikoku. Dengan demikian dimulailah modernisasi Jepang secara besar-besaran.

Modernisasi dimulai segera setelah negara Jepang terpaksa membuka diri bagi pergaulan internasional, akibat ancaman dan tekanan dari luar, terutama dari Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Perancis dan lain-lain. Perkembangan-perkembangan yang terjadi selama masa Sakoku ternyata tidak dapat mengimbangi perkembangan-perkembangan yang telah dicapai negara-negara Barat. Mereka menyadari bahwa pemerintahan yang dijalankan Shogun Tokugawa sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman.

Jepang sadar, untuk mempertahankan diri dan untuk mengimbangi negara-negara Barat hanya ada satu jalan yaitu dengan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi mereka. Jepang menganggap bahwa Eropa dan Amerika Serikat dapat menguasai Asia karena mereka lebih unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu Jepang berusaha mengejar ketertinggalan mereka dari negara Eropa dan Amerika Serikat dan alasan lainnya adalah untuk menghindari agresi.


(4)

Di bawah slogan Wakon Yosai (Kepribadian Jepang, Teknologi Barat) serta slogan Shokusan Kogyo (Meningkatkan produktivitas dengan menggalakkan industrialisasi) yang dikaitkan dengan slogan Fukoku Kyohei (Negara kaya, militer kuat), Jepang memacu modernisasi dengan kecepatan yang luar biasa. Secara besar-besaran mengimpor dan melaksanakan modernisasi di berbagai bidang kehidupan, seperti ekonomi, kebudayaan, politik, pendidikan, telekomunikasi dan kemiliteran.

Pembaharuan terjadi secara teratur dalam berbagai bidang. Pemerintah juga menetapkan kebijakan-kebijakan baru untuk membuat Jepang menjadi modern. Diantaranya adalah perombakan politik serta pembebasan Jepang dari tekanan baik dari dalam maupun luar negeri. Untuk melakukan modernisasi, pemerintah memusatkan perhatiannya pertama-tama kepada masalah dalam negeri demi kepentingan memperoleh posisi internasional. Untuk itu diperlukan modernisasi dalam segala bidang dengan mengandalkan sumber daya yang ada.

Dalam hal ini, pemerintah masih menggunakan nilai-nilai nasionalisme yang ada dalam masa Tokugawa, yaitu etika Bushido, untuk menunjukkan loyalitas dan kebiasaan patuh kepada pemimpin dengan kerelaannya untuk mengorbankan diri. Kebiasaan tersebut akhirnya menjelma dalam bentuk cita-cita nasional dengan kesetiaan kepada Tenno dan cinta tanah air. Semangat Bushido yang dijadikan pegangan hidup tersebut telah menjadi semangat bersama yang dijunjung tinggi untuk mendorong tercapainya cita-cita pembentukan masyarakat modern.

Pemerintah Jepang melakukan usaha modernisasi secara besar-besaran tetapi proses modernisasi juga mengalami masalah-masalah dalam perjalanan perkembangannya. Antara lain disebabkan karena adanya goncangan budaya yang


(5)

terjadi di dalam kehidupan masyarakat Jepang. Hal ini terjadi karena benturan antara kebudayaan Timur dengan kebudayaan Barat yang masuk melalui politik Pintu Terbuka. Benturan-benturan seperti ini dirasakan sangat mengganggu cara hidup mereka yang telah terbiasa dengan sistem lama.

Selain itu pemekaran Budaya Barat (Bummei Kaika) yang dialami masyarakat Jepang telah menunjukkan suatu gejala yang buruk. Orang Jepang banyak yang meniru segala sesuatu dari Barat hanya untuk gagah-gagahan belaka. Akibatnya para pemimpin Jepang mulai meninjau kembali proses pembaratan ini dan mulai menanamkan kebanggaan terhadap kebudayaan Jepang asli, untuk membentuk dasar bagi jiwa seluruh bangsa Jepang guna menjadi bangsa yang modern.

Salah satu dari orang Jepang yang dikirim ke luar negeri untuk melanjutkan studi guna mendukung modernisasi di Jepang adalah Mori Ogai. Mori Ogai dikirim belajar ke Jerman untuk memperdalam ilmu gizi. Selama empat tahun di Jerman, Ogai tidak hanya mempelajari bidang kedokteran tetapi juga di bidang lain seperti sastra, filsafat dan lainnya.

Umumnya orang yang belajar ke luar negeri di zaman Meiji akan menjadi pro Barat, tetapi sebaliknya dengan Ogai. Ia bahkan dianggap sebagai “konservatif” baru yang lahir sekembali dari Jerman. Mori Ogai menentang adopsi besar-besaran terhadap segala sesuatu yang berbau Barat. Ia menyatakan bahwa sama sekali tidak masuk akal jika Jepang harus merintis semua tingkat perkembangan modernnya sekaligus. Sebaliknya, Jepang juga tidak dapat bertahan hanya pada tradisi lama saja. Ia setuju dengan kaum Jepang yang menyatakan bahwa Jepang itu unik. Di satu sisi


(6)

Jepang harus memahami makna kebebasan di Barat. Di sisi lain, ia harus memperhatikan nilai-nilai tradisional dalam menyesuaikan diri dengan era modern.

Selain sebagai dokter, Mori Ogai berperan sebagai sastrawan. Selama di Jerman, Mori Ogai banyak menghasilkan karya sastra yang salah satunya adalah kumpulan cerita pendek yang berjudul Doitsu Sambusaku, yang artinya Buah Tangan dari Jerman.

Dalam buku tersebut terdapat beberapa pandangan Mori Ogai terhadap modernisasi di Jepang, yaitu mengenai usaha-usaha Jepang menuju modernisasi, termasuk di antaranya hal-hal yang harus dimiliki oleh orang Jepang di dalam menghadapi masalah yang terjadi akibat arus modernisasi yang melanda Jepang. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa buku hasil karya Mori Ogai tersebut merupakan tanggapan evaluatif terhadap keadaan Jepang saat itu.

Bertitik tolak dari dasar perkiraan di atas, maka penulis mencoba membahasnya melalui skripsi yang berjudul “ Pemikiran Mori Ogai Terhadap Modernisasi Jepang dalam Doitsu Sambusaku “.

1.2 Perumusan Masalah

Modernisasi Jepang berawal dari Restorasi Meiji. Zaman yang penuh dengan usaha-usaha untuk mengejar ketertinggalan dari negara Barat. Dan dalam usaha tersebut dituntut bagaimana masyarakat Jepang seharusnya berfikir, bertindak serta bertingkah laku yang sesuai dengan arus modernisasi. Keadaan seperti ini ditanggapi dan dievaluasi dalam karya sastra yang ditulis oleh salah seorang sastrawan yang bernama Mori Ogai.


(7)

Dengan demikian timbul beberapa permasalahan antara lain adalah :

- Seperti apa keadaan Jepang di saat melakukan modernisasi dalam negaranya, yang dilihat dari segala aspek kehidupan pada masa itu.

- Masalah-masalah apa saja yang terjadi di saat modernisasi melanda Jepang. - Bagaimana pemikiran Mori Ogai terhadap modernisasi yang dilakukan Jepang

yang dituangkan dalam karya sastra yang berjudul Doitsu Sambusaku.

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Dalam pembahasan ini, penulis menganggap perlu adanya pembatasan ruang lingkup permasalahan agar masalah penelitian tidak terlalu luas sehingga masalah yang akan dikemukakan dapat lebih terarah dan penelitian yang dihasilkan menjadi lebih terfokus.

Penulis memfokuskan pembahasan ini, terbatas pada masa modernisasi (Restorasi Meiji ) di Jepang, terutama mengenai pemikiran Mori Ogai dalam menanggapi modernisasi di Jepang yang tercermin dalam karya sastra Doitsu

Sambusaku yang terdiri dari cerita Maihime, Utakata No Ki, dan Fumizukai karya

Mori Ogai. Supaya lebih akurat dalam penganalisaannya, sebelum bab pembahasan, penulis juga mengungkapkan mengenai kesusasteraan yang berkembang di zaman Meiji, serta mengenai latar belakang kehidupan Mori Ogai.


(8)

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1. Tinjauan Pustaka

Perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat suatu negara dapat terwujud karena terjadinya suatu proses pembaharuan, pembangunan atau modernisasi yang terjadi dalam semua bidang kehidupan. Schoorl (1991 : 1) menjelaskan bahwa aspek yang paling spektakuler dalam modernisasi suatu masyarakat ialah pergantian teknik produksi dari cara-cara tradisional ke cara-cara modern, yang mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan terjadinya revolusi industri. Modernisasi yang terjadi dalam masyarakat suatu negara merupakan suatu proses transformasi dalam suatu perubahan yang terjadi di dalam berbagai aspek kehidupan.

Ihromi (1988:367) menjelaskan bahwa modernisasi dapat berarti penggabungan diri pada masyarakat yang telah mengakumulasikan berbagai hasil dari telaah ilmiah dan menerapkannya serta menemukan berbagai teknik mutakhir dan menggunakan hasil-hasil temuan ilmiah dan teknologi itu untuk pemecahan masalah-masalah yang dihadapi.

Kenichi Tominaga (1991:49) yang mengikuti pemikiran Max Weber maupun Talcot Parson berpendapat bahwa gejala modernisasi pertama-tama terlihat di dalam masyarkat Eropa. Selanjutnya Tominaga menjelaskan bahwa gejala modernisasi bukanlah semata-mata gejala perubahan masyarakat yang hanya terjadi di wilayah Eropa dan Amerika saja, tetapi juga dapat terjadi di berbagai pelosok dunia.

Selanjutnya dalam penelitiannya mengenai modernisasi, Goode (1991:247-281) mengemukakan terdapat tiga bentuk modernisasi, yaitu (1) modernisasi yang didorong dan disertai oleh terjadinya industrialisasi. Modernisasi industrial ini


(9)

menciptakan kebutuhan dan kondisi materi baru. Ini merangsang pengambilalihan sikap dan orientasi nilai-nilai baru yang akhirnya menciptakan peranan-peranan, organisasi-organisasi, sistem aktivitas baru yang mandiri tetapi saling melengkapi; (2) modernisasi yang disebut dengan induce modernization (modernisasi iklim budaya), yaitu bahwa terjadinya modernisasi tidak selalu didahului oleh adanya industrialisasi. Masyarakat dihadapkan pada transformasi struktur sosial melalui sistem pendidikan yang mengajarkan norma-norma dan nilai-nilai baru ; dan (3) modernisasi yang disebut dengan acculturative modernization (modernisasi kontak media). Modernisasi tipe ini terdapat pada negara-negara bekas jajahan yang mengalami konfrontasi langsung antara kebudayaan kolonial dengan kebudayaan tradisional. Proses akulturasi yang terjadi dalam pertemuan kedua kebudayaan disebut sebagai proses aliansi. Orang-orang yang terakulturasi secara alternatif ini akhirnya membentuk hubungan superior-inferior terhadap orang-orang Barat.

Tominaga (1991:27-29) meletakkan permasalahan yang berkembang dalam masyarakat Eropa dan Amerika sebagai pola dasar pengertian modern. Ia menempatkan modernisasi yang terjadi di Eropa dan Amerika sebagai dasar untuk menganalisa perubahan masyarakat yang terjadi di luar wilayah Eropa dan Amerika, dan untuk itu harus mengabstraksikan terlebih dahulu arti dan konsep “modern” untuk dapat memahami pertanyaan ”apakah yang dimodernkan” dalam peristiwa sejarah yang terjadi di Eropa dan Amerika.

Dalam menjelaskan pengertian modern, Tominaga sebagai seorang ahli sosiologi menggunakan istilah-istilah yang terdapat dalam ilmu pengetahuan sosial di Eropa dan Amerika dan ia tidak menggunakan konsep modern yang terdapat dalam


(10)

pengertian filsafat. Di dalam konsep kemasyarakatan secara luas, pengertian modern dibagi ke dalam empat subsistem, yaitu modern secara ekonomi, modern secara politik, modern secara sosial atau kemasyarakatan, dan modern secara kebudayaan.

Dalam hal modernisasi ekonomi, Tominaga (1991:41-46) membaginya menjadi dua bagian, yaitu (1) perubahan oleh adanya revolusi yang terjadi karena kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, seperti adanya revolusi energi yang menjadikan segala sesuatu mengalami otomasisasi; dan (2) perubahan karena terjadinya produksi secara besar-besaran akibat kemajuan teknologi, yamg menyebabkan terjadinya perubahan dalam sistem ekonomi pasar. Akibat dari modernisasi ekonomi ini adalah munculnya sistem kapitalisme.

Modernisasi dalam bidang politik terjadi karena munculnya paham demokrasi yang menjunjung tinggi hak azasi manusia dan keadilan ; dan dengan terjadinya peralihan kekuasaan politik dari sejumlah kecil penguasa yang berasal dari keluarga bangsawan kepada rakyat.

Yang dimaksud dengan modernisasi sosial adalah perubahan yang muncul sebagai perwujudan kebebasan dan keadilan, yang oleh Tominaga (1991:44) dijelaskan sebagai berikut;

Manusia untuk hidupnya memerlukan masyarakat dan masyarakat itu merupakan hal yang tua bersamaan dengan sejarah manusia. Akan tetapi, orang-orang zaman kuno dan zaman Pertengahan tergabung dalam ikatan darah dan tergabung pula dalam ikatan wilayah. Terjadi gerakan perubahan masyarakat untuk mencapai persaingan bebas dari individu-individu secara adil sebagai tujuan fungsional dari masyarakat fungsional.

Selanjutnya mengenai modernisasi kebudayaan, Tominaga (1991:53-55) menjelaskannya sebagai berikut;


(11)

Manusia tidak mungkin hidup tanpa menciptakan kebudayaan. Pada zaman kuno dan zaman Pertengahan, manusia diikat oleh tradisi, kebiasaan-kebiasaan, tahayul-tahayul ataupun hal gaib. Modernisasi kebudayaan adalah gerakan kebudayaan yang menuntut rasionalisme dalam bidang-bidang agama, pemikiran melalui gerakan pencerahan, revolusi agama, renaisance untuk lepas dari ikatan irasional seperti halnya tradisi, tahayul, kebiasaan-kebiasaan, magis dan lain-lain.

2. Kerangka Teori

Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana penelitian akan disoroti (Namawi, 2001:39-40). Penelitian ini mengambil teori historis dan semiotik.

Teori historis merupakan penelitian yang kritis terhadap keadaan-keadaan, perkembangan serta pengalaman di masa lampau dan menimbang secara teliti dan hati-hati terhadap fenomena yang terjadi di masa lampau untuk menemukan generalisasi yang berguna untuk memahami, meramalkan atau mengendalikan fenomena atau kelompok fenomena (Muhammadi, 1992 : 20).

Dengan teori historis ini, penulis berusaha mengungkapkan usaha-usaha Jepang menuju modernisasi yang terjadi pada masa sejarah Jepang yang terjadi di masa lampau. Penulis berusaha menafsirkan fenomena yang terjadi pada zaman Meiji, dimana pada masa itu merupakan awal modernisasi di Jepang yang dilihat melalui karya sastra Doitsu Sambusaku yang ditulis pada masa Jepang Meiji.


(12)

selama komunikasi itu dilaksanakan dengan menggunakan tanda, yang didasarkan pada sistem tanda atau kode-kode (Segers, 1978 : 14). Oleh karena itu semiotik dipandang sebagai ilmu tentang tanda atau sebagai ilmu yang mempelajari sistem-sistem, aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Makna karya sastra tidak hanya ditentukan oleh pembaca terhadap karya sastra yang dihadapinya, tetapi juga ditentukan dan diarahkan oleh karya sastra itu sendiri (Chamamah – Soeratno, 1991 :18).

Berdasarkan teori semiotik ini, penulis akan mengungkapkan usaha-usaha Jepang menuju modernisasi melalui tanda-tanda yang tertulis di dalam karya sastra Doitsu Sambusaku. Tanda-tanda ini dilihat dari cerita yang akan memberikan informasi atau pesan yang tertulis di dalamnya baik itu dari latar cerita, isi, percakapan, maupun amanat yang ingin disampaikan oleh Mori Ogai.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

- Untuk mengetahui keadaan Jepang di saat melakukan modernisasi yang dilihat dari segala aspek kehidupan.

- Untuk mengungkapkan masalah-masalah yang terjadi pada saat modernisasi di Jepang.

- Untuk mengetahui sejauh mana pemikiran Mori Ogai terhadap modernisasi di Jepang yang dituangkan melalui karya Doitsu Sambusaku.


(13)

2. Manfaat Penelitian

- Untuk menambah wawasan tentang awal modernisasi di Jepang, yang ditandai oleh Restorasi Meiji.

- Untuk menambah wawasan tentang sikap Jepang terhadap masalah-masalah yang terjadi dalam menghadapi modernisasi.

1.6 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan subjek atau objek penelitian berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Fakta yang tampak dihubungkan satu dengan yang lainnya di dalam aspek-aspek yang diselidiki (Ramlan, 1992:6).

Teknik penelitian yang digunakan adalah studi kepustakaan. Studi kepustakaan yaitu mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis, terutama berupa arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku tentang pendapat, teori, dalil, hukum dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah penyelidikan (Ramlan, 1992:12). Berdasarkan teknik penelitian di atas, penulis mengumpulkan buku-buku sebagai bahan referensi, khususnya buku-buku yang menyangkut tentang modernisasi di Jepang dan tentang Mori Ogai dan karya-karyanya, terutama buku yang berjudul Doitsu Sambusaku.


(14)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP MODERNISASI DAN KESUSASTERAAN JEPANG PADA MASA RESTORASI MEIJI

2.1 Restorasi Meiji Sebagai Awal Modernisasi

Restorasi Meiji merupakan salah satu periode yang paling istimewa dalam sejarah bangsa Jepang. Di bawah pimpinan Kaisar Meiji, Jepang bergerak maju sehingga hampir dalam beberapa dasawarsa dapat mencontoh apa yang ada di Barat, yakni pembentukan suatu bangsa yang modern yang memiliki perindustrian yang modern, lembaga-lembaga politik yang modern, dan pola masyarakat yang modern.

Bangsa Jepang berusaha dengan segala daya untuk segera membangun agar setaraf dengan dunia Barat dan mencapai posisi agar mendapat tempat dalam batas hukum internasional. Demi mencapai kedudukan ini, bangsa dan para pemimpin Jepang mengerahkan kemampuan mereka dengan semangat dan antusiasme ke dalam studi dan pengambilalihan peradaban Barat modern.

Pada tahun-tahun pertama pemerintahannya, Kaisar Meiji memindahkan ibukota kekaisaran dari Kyoto ke Edo. Edo diberi nama baru, Tokyo, yang berarti ibukota Timur. Kemudian, diumumkanlah Gokajo no Go Seimon (Piagam Sumpah Lima Pasal). Dokumen itu membentuk prinsip-prinsip dasar pemerintahan yang kuat untuk memodernisasi dan meniru Barat hanpir dalam setiap aspek penting kehidupan nasional. karena dengan demikian bangsa Jepang akan mempunyai tempat dalam kehidupan bangsa-bangsa.


(15)

Kelima Undang-undang tersebut adalah sebagai berikut :

1. Rapat-rapat secara musyawarah akan diperlakukan dan semua masalah akan ditetapkan menurut pendapat umum dengan suara terbanyak.

2. Seluruh bangsa Jepang harus bersatu dalam melaksanakan tugas-tugas negara. 3. Setiap orang akan diberi kesempatan untuk memenuhi keinginan

masing-masing.

4. Adat-istiadat dan kebiasaan kuno yang jangggal akan dihapuskan dan keadilan akan didasarkan pada hukum dunia dan akhirat.

5. Ilmu pengetahuan akan dicari di seluruh dunia untuk menetapkan secara kuat dasar-dasar kemajuan negara.

Bertolak dari piagam tersebut, dimulailah modernisasi dalam setiap aspek kehidupan di Jepang.

Pembangunan Jepang Modern Bidang Politik

Ide demokrasi mulai disebarkan melalui gagasan politik yang dikenal dengan nama Jiyu Minken Undo (Gerakan Untuk Hak-hak Demokrasi). Beberapa Samurai tua mulai mengganggu di beberapa daerah. Mereka berpendapat bahwa kekuatan militer tidak dapat merobohkan pemerintahan, sehingga mereka memutuskan untuk melakukan perubahan politik berdasarkan hak-hak demokrasi dengan alasan bahwa kemerdekaan nasional itu berarti pemerintah harus memenuhi keinginan rakyat dengan cara tanggap terhadap pendapat umum dan berusaha memperkuat bangsa. Tujuan utama gerakan ini ialah untuk menuntut diadakannya Dewan Perwakilan


(16)

Rakyat yang dipilih, karena pemerintahan yang berlaku pada saat itu adalah monopoli kekuasaan oleh para bekas Samurai dari beberapa Han saja, yaitu Satsuma dan Chosu. Hal ini sama sekali tidak mencerminkan keinginan rakyat.

Susunan pemerintahan diperbaharui menurut pola Jerman. Perdana Menteri bertanggung jawab atas seluruh politik pemerintahan serta kedudukan Tenno diperkuat. Dalam Undang-Undang ditegaskan bahwa Tenno merupakan sumber semua kekuasaan dan semua Undang-Undang harus mendapat persetujuan dan diumumkan oleh Tenno.

Pada tahun1890 pemerintah berhasil membuat Dai Nippon Teikoku Kenpo (Undang-Undang Negara Kekaisaran Jepang Raya). Dalam Undang-Undang tersebut ditetapkan bahwa kabinet merupakan badan yang bertanggung jawab kepada Tenno. Anggota Majelis Rendah dipilih oleh seluruh rakyat yang telah berumur 20 tahun. Dengan demikian rakyat dapat turut ambil bagian dalam menentukan jalannya politik pemerintah.

Bidang Industri dan Ekonomi

Dalam usaha meningkatkan industri swasta, pemerintah membangun industri-industri baru melalui pabrik percontohan yang pada mulanya dibiayai dan dikelola dengan modal pemerintah. Untuk menciptakan peluang pengembangan industri dan mendorong para Samurai memasuki lapangan bisnis, pemerintah juga membuat kebijaksanaan pendirian perusahaan-perusahaan pemerintah dan penciptaan kesempatan kerja. Pusat penelitian, laboratorium dan sekolah banyak didirikan untuk melatih, membantu dan mendukung berbagai industri. Setelah industri-industri


(17)

tersebut terorganisasikan dengan rapi dan usahanya berjalan dengan baik, secara bertahap pemerintah akan menjualnya kepada perusahaan swasta dengan harga yang murah. Hal ini pun ditujukan untuk merangsang pertumbuhan industri dan mendorong para Samurai untuk memasuki lapangan bisnis.

Karena kurangnya pengalaman dan tidak hadirnya modal asing, maka pertumbuhan perekonomian Jepang berjalan sangat lambat, tidak sesuai dengan yang diharapkan. Walaupun begitu usaha mencari pinjaman luar negeri dilakukan hanya kepada Inggris, dan penanaman modal asing dibatasi, karena orang Jepang tidak menghendaki sebagian besar ekonominya dikuasai orang asing. Sebaliknya bantuan teknik asing dibuka seluas-luasnya. Pemerintah banyak mendatangkan teknisi dari luar negeri dan mengirimkan mahasiswa ke luar negeri untuk mempelajari dan mengamati perkembangan teknologi Barat.

Dalam usahanya mendirikan dan membangun perusahaan tersebut, pemerintah banyak menggunakan peralatan dan teknologi Barat. Para industriawan mengimpor pabrik tekstil lengkap dari Perancis dan mendatangkan teknisi-teknisi Perancis untuk memasang peralatan dan mengajar para pekerja Jepang bagaimana cara menjalankan peralatan tersebut.

Bersamaan dengan modernisasi ekonomi, untuk menunjang kemajuan perindustrian, pemerintah menciptakan sistem perbankan modern. Pada tahun 1873, didirikan Bank Nasional dengan mencontoh Amerika. Penataan kembali sistem keuangan nasional dilakukan secara mendasar dengan mencontoh model Eropa. Pada tahun 1899, disusun Undang-Undang Perbankan dan Bank Sentral Jepang didirikan, untuk lebih mendorong pertumbuhan ekonomi.


(18)

Untuk memodali perdagangan dan membantu eksportir Jepang dalam persaingan dengan orang-orang asing, pemerintah mendirikan Bank Spacie Yokohama sebagai bank utama untuk pertukaran luar negeri. Bank Hipotik Jepang (Nihon Kangyo Ginko) menyediakan pula pinjaman jangka panjang untuk membantu perkembangan industri.

Perluasan pelabuhan dan pembangunan yang dilakukan oleh orang-orang asing telah mengakibatkan Jepang merubah bentuk negaranya dari agraris menjadi negara industri.

Bidang Militer

Untuk melaksanakan negara yang modern, organisasi militer yang efisien merupakan kebutuhan yang mutlak. Suatu dinas militer yang dimonopoli kelas Samurai bukan saja mencerminkan sistem feodal, tetapi juga merupakan hambatan serius terhadap usaha penghapusan sistem kelas feodal.

Dalam rangka memperkuat militer, pemerintah segera mengambil alih fasilitas pembuatan persenjataan dan penggunaannya untuk industri perang. Dengan pembukaan jalan kereta api yang pertama pada tahun 1872, rencana perluasan industri perang dapat diwujudkan tetapi hal tersebut belum cukup untuk memenuhi keperluan rencana pengembangan kekuatan militer. Karena itu pada tahun 1873, pemerintah memberlakukan wajib militer umum untuk menggantikan pola lama yang didasarkan atas kelas bagi dinas militer. Untuk memajukan angkatan perang yang baru ini, pemerintah mewajibkan semua anak laki-laki berunur 20 tahun ke atas, untuk menjalankan tugas militer.


(19)

Di samping itu pemerintah segera megirim seorang utusan bernama Yamagata Aritomo ke Prancis dan Rusia untuk mempelajari organisasi militer modern menurut model Barat. Sekembalinya ke Jepang, ia membentuk tentara Jepang yang terdiri dari para Samurai dan rakyat umum. Pada tahun 1878 Yamagata mengorganisasikan Staf Umum Angkatan Perang Jepang menurut model Rusia dan pada tahun 1883, sebuah Akademi Militer dibangun, sehingga para perwira muda Jepang tidak perlu dikirim untuk belajar ke luar negeri. Rencna pembangunan Angkatan Laut dimulai dengan pembuatan badan-badan kapal oleh Jepang sendiri. Hal ini dimaksudkan untuk keperluan pengawalan pantai Jepang.

Bidang Kebudayaan

Bersamaan dengan bergemanya cita-cita restorasi, pengaruh kebudayaan Eropa lambat laun dapat mempengaruhi kebudayaan dan kehidupan rakyat Jepang. Dan karena kuatnya dorongan restorasi maka penyerapan peradaban Barat berlangsung semakin cepat. Sebenarnya sejak akhir zaman Bakufu, penghidupan ala Eropa sudah dapat dilihat di sepanjang kota-kota pesisir. Hal ini merupakan akibat kesenangan akan peradaban Barat yang meluas di kalangan golongan atas di kota-kota besar.

Tindakan ini disusul dengan penghapusan beberapa kebiasaan tradisional yang sudah lapuk. Sebagai gantinya mereka meniru berbagai cara dan kebiasaan Barat, seperti berpakaian ala Barat, memotong rambut menjadi pendek, makan daging, minum susu dan sebagainya. Usaha-usaha untuk menggunakan kostum Barat mulai disebarluaskan. Begitu meluasnya pemakaian kostum tersebut, sehingga


(20)

pakaian kerja orang Jepang yang sejak dulu terdiri dari dua potong, kini diganti dengan pakaian kerja ala Eropa yang dapat dikatakan lebih praktis, menarik dan sesuai untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.Yang pertama-tama memakai pakaian ala Eropa ini ialah para serdadu, karena sejak akhir zaman Bakufu, mereka sering mengadakan latihan dan memerlukan pakaian yang lebih praktis.

Sejak awal jaman Meiji pegawai pemerintah pun mulai memakai pakaian Eropa, kemudian Kaisar dan para pembantunya secara resmi berpakaian ala Eropa. Selanjutnya pemerintah menetapkan undang-undang bahwa pangkat, topi maupun pakaian seragam digunakan kostum ala Eropa. Pakaian buruh dan pakaian resmi pun pada akhirnya diganti dengan pakaian Eropa.

Dalam bentuk bangunan pun mereka banyak meniru arsitektur Eropa. Pada tahun 1868 didirikan hotel Tsukiji di Tokyo yang merupakan hotel pertama yang arsitekturnya meniru Eropa. Pada tahun 1874 didirikan pusat pertokoan bertingkat dua yang dinamakan Renga Zukuri di Ginza. Selanjutnya banyak didirikan bangunan yang meniru gaya arsitektur Eropa.

Untuk mempercepat modernisasi kehidupan nasional, secara serentak pemerintah mengambil langkah-langkah positif untuk mendorong adat kebiasaan Barat, terutama yang mendorong kemajuan. Karena pengaruh kebudayaan dan teknologi Barat, banyak terjadi perubahan nyata dalam kehidupan masyarakat Jepang. Berbagai seni mengalami perubahan, setiap gerak langkah dan kemajuan disesuaikan dengan paham Barat yang merupakan gejala perkembangan masyarakat. Dengan adanya pengaruh Barat diadakan modifikasi dalam adat kebiasaan yang tidak sesuai dengan adat kebiasaan Barat.


(21)

Bidang Pendidikan

Bersamaan dengan proses modernisasi, pemerintah mulai pula memberi perhatian terhadap pendidikan rakyat, karena pendidikan mempunyai dasar yang baik untuk mendorong kemajuan. Para pemimpin Jepang segera berpaling ke arah gagasan-gagasan Barat dalam pencarian mereka akan westernisasi dan modernisasi.

Pendidikan pada periode Meiji ini banyak meniru sistem Barat. Cabang-cabang pendidikan yang dapat memperkokoh landasan-landasan nasional baru banyak menarik perhatian mereka.

Setelah itu orang Jepang banyak melakukan penelitian mengenai berbagai cabang ilmu pengetahuan Barat. Sebagai penunjang kemajuan ilmu pengetahuan tersebut pemerintah mulai mengundang para pengajar asing. Karena itu pada waktu pertama kali Universitas Tokyo didirikan, pengajarnya sebagian besar terdiri dari tenaga asing yang jumlahnya kira-kira 5000 orang pada waktu itu. Selanjutnya mahasiswa-mahasiswa Jepang mulai dikirim ke Eropa untuk mempelajari berbagai cabang ilmu pengetahuan.

Fukuzawa Yukichi, seorang terkemuka dalam bidang pendidikan mulai menerbitkan surat kabar dan mendirikan Universitas Keiogijuku yang merupakan Sekolah Tinggi swasta yang dilengkapi dengan organisasi pendidikan tinggi, kebudayaan dan ilmu pengetahuan sosial. Ia adalah seorang pelopor yang membaktikan hidupnya untuk mengembangkan pendidikan di Jepang.

Pemerintah berusaha untuk memajukan tingkat kecerdasan masyarakat dengan membentuk suatu sistem pendidikan nasional secara lebih terarah yang disebut


(22)

dengan Gakusei pada tahun 1872. Sistem ini lebih menitikberatkan pada ilmu pengetahuan Barat.

Bidang Telekomunikasi

Untuk menyamakan kedudukannya dengan dunia Barat, pemerintah Meiji telah mengadakan pembaharuan dalam segala bidang dengan mencontoh Barat. Demikian juga halnya dengan bidang telekomunikasi. Alat-alat telekomunikasi yang mempunyai kedudukan penting dalam kehidupan sehari-hari, seperti telegraf, film, dan pers lambat laun mulai dibangun.

Pada tahun 1871, pemrintah mengumumkan untuk membangun fasilitas-fasilitas pengumpulan surat dan penjualan benda pos sepanjang jalan raya Tokaido. Kemudian didirikan kantor pos yang meniru model Eropa dan Amerika di Tokyo dan Osaka.

Telegraf dimulai ketika datangnya Commodore Perry yang mengirim seperangkat alat-alat sebagai hadiah kepada Shogun. Empat tahun kemudian Shimazu Nariakira, daimyo dari Satsuma memasang kabel-kabel telegraf di purinya untuk keperluan sendiri yang mulai dipakai pada tahun 1869 ketika diadakan hubungan antara istananya dengan kantor penerangan di Yokohama yang berjarak tidak lebih dari setengah mil. Ini kemudian segera diikuti oleh pemasangan kabel telegraf antara Tokyo dan Yokohama yang kemudian pengelolaannya diambil alih oleh pemerinyah. Dengan dimulainya pemasangan kabel telegraf yang menghubungkan Nagasaki dengan Shanghai dan Vladivostok pada tahun 1871, maka komunikasi telegraf internasional pun dibuka.


(23)

Alat-alat telekomunikasi tersebut terbukti sangat besar manfaatnya dalam usaha untuk memacu pembangunan yang dicita-citakan bangsa Jepang. Karena itu pemerintah terus mengembangkan dinas-dinas telekomunikasi tersebut.

2.2 Permasalahan yang Terjadi Pada Masa Modernisasi

Dalam perjalanan perkembangannya, modernisasi di Jepang menghadapi beberapa permasalahan, terutama yang datang dari dalam negeri, yang diuraikan sebagai berikut.

Dengan diberlakukannya Kaikoku (Politik Pintu Terbuka), terjadi pertentangan paham antara pendukung paham asing dengan yang masih berpegang teguh pada pendirian leluhur.

Penghapusan daerah para bekas daimyo merupakan langkah yang perlu dilaksanakan dalam rangka modernisasi. Tetapi hal ini menimbulkan keributan yang dilakukan perorangan atau kelompok yang menentang perubahan. Misalnya Shimazu Hisamitsu, ia mengajukan permohonan kepada Kaisar untuk mengembalikan kedaulatan kepada para bekas daimyo.

Perubahan sosial dan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah secara drastis, mengakibatkan terjadinya suatu pemberontakan. Karena perubahan ini dirasakan sangat mengganggu cara hidup mereka yang telah terbiasa dengan sistem lama, meskipun keadaan ekonomi mereka sangat menyedihkan. Para petani yang bodoh dan kolot tidak tahu dan kurang menghargai tujuan restorasi. Mereka menerima setiap perubahan dengan penuh curiga dan hanya puas jika segala sesuatu berjalan seperti sediakala. Karena kebodohannya itulah maka pada tahun 1877 mereka memulai


(24)

pemberontakan untuk menuntut penghapusan wajib militer, sekolah-sekolah, dan pengajaran bahasa Inggris, karena mereka menganggap wajib militer sebagai pajak darah, pengenalan ilmu pengetahuan Barat di sekolah-sekolah dianggap sebagai pengajaran agama yang salah dan menyesatkan. Beberapa hal lain seperti keharusan dijalankannya sistem registrasi keluarga dianggap sebagai cara-cara untuk menjual wanita dan anak-anak, serta sistem baru tentang pajak tanah dianggap hanya memperberat petani.

Pemberontakan yang paling hebat dan gigih ialah yang dilakukan oleh kaum samurai yang masih menginginkan masa lalu dan tidak puas dengan adanya perubahan, karena tidak dapat menyesuaikan diri atau menerima keadaan yang baru. Setelah ke-Shogun-an runtuh mereka mengharapkan imbalan atas jasa-jasa mereka di masa lampau, namun ternyata pemerintah baru tidak memberikan balas jasa kepada mereka. Karena ketidakpuasan itu mereka mulai mencari alasan dengan mengkritik politik pemerintah, dan menentang politik persahabatan dengan negara-negara asing serta menolak meniru peradaban Eropa dengan alasan semangat kebangsaan yang anti luar negeri dipertahankan. Mereka kemudian mengorganisasikan kelompok-kelompok perlawanan dan gigih mengadakan pemberontakan terhadap perubahan-perubahan yang dilakukan pemerintah yang tidak mengindahkan jasa-jasa mereka. Pemekaran peradaban (Bummei Kaika) yang dialami masyarakat Jepang ternyata menunjukkan suatu gejala yang buruk. Orang Jepang banyak yang meniru segala sesuatu dari Barat hanya untuk gagah-gagahan belaka. Akibatnya para pemimpin Jepang mulai meninjau kembali proses pembaratan ini dan mulai


(25)

menanamkan kebanggaan terhadap kebudayaan Jepang asli, untuk membentuk dasar bagi seluruh jiwa bangsa Jepang guna menjadi bangsa yang modern.

Kemajuan pesat terjadi dalam aspek-aspek fisik modernisasi tetapi terbelakang dalam sektor kebudayaan dan tata masyarakat, telah memberikan peluang bagi tumbuhnya militerisme.Ini berarti berlakunya kembali tatanan masyarakat zaman Tokugawa, dimana kaum samurai atau golongan militerat menganggap dirinya golongan teratas dan dapat bertindak semaunya. Dengan modernisasi fisik yang mengagumkan, kaum militerat ini kemudian melancarkan serangkaian petualangan yang memuncak dengan pecahnya perang Pasifik yang mengakibatkan suatu malapetaka besar tidak saja bagi negara-negara tetangganya, tetapi juga bagi Jepang sendiri.

Ilmu pengetahuan merupakan inti dari modernisasi nasional bangsa Jepang di satu pihak, dan di lain pihak dengan tergesa-gesa menyerap ilmu pengetahuan serta kebudayaan Barat menyebabkan tidak sedikit hal-hal yang diringkas atau dipaksakan. Sehingga banyak terjadi hal-hal yang bersifat kontradiksi, seperti pemikiran modern dan pemikiran lama, kekuasaan militer dan kebebasan individu.

Restorasi Meiji, selain banyak menelan biaya dalam bentuk dislokasi sejarah dan budaya, juga menimbulkan suatu ketegangan kejiwaan terutama pada generasi muda. Menyebabkan generasi yang lahir dalam tahun-tahun sebelum kedatangan Commodore Perry mengalami penderitaan batin yang luar biasa.

Bangsa Jepang telah memasuki suatu masa ketegangan intelektual yang melampaui batas. Untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak, Jepang telah meletakkan di atas pundaknya suatu pekerjaan yang berat sekali, yaitu memaksakan


(26)

pengembangan mental setinggi mungkin yang dapat dicapai manusia, dan hal ini berarti memaksakan perkembangan sistem syaraf.

Orang-orang muda di Jepang menerima pendidikan tradisional yang berorientasi kepada ajaran Kongfuchu di rumah atau di sekolah menengah swasta sampai mereka berumur beberapa belas tahun. Setelah itu, di sekolah-sekolah baru yang didirikan, mereka diajar oleh para guru Barat, menggunakan buku-buku pelajaran Barat yang baru diterjemahkan dan mendengarkan dakwah oleh para misionaris yang baru tiba. Hal ini tentu saja menyebabkan kebingungan bagi mereka. Seolah-olah seperti sedang berjalan ke sana-sini menerobos kabut tebal dalam kebingungan, tak mampu menemukan jalan yang tepat.

Banyak juga kaum muda yang pandai dan bersungguh-sungguh telah diberi tugas yang berat sebagai generasi penerus bangsa, menemui ajal mereka di bawah tekanan tugas-tugas tersebut. Kekacauan mental yang terjadi pada saat itu bukan lagi merupakan suatu hal yang luar biasa.

Sekolah-sekolah menjadi alat revolusi budaya dan sosial. Sekolah menyelenggarakan latihan-latihan yang membuka jalan bagi pekerjaan-pekerjaan dalam bidang industri, keuangan, kewartawanan, pendidikan dan birokrasi, dimana ikatan ekonomi keluarga lebih lemah dan memungkinkan kehidupan materi yang bebas.sehingga sekolah mengenyampingkan peranan keluarga dalam proses sosialisasi karena nilai dan gagasan yang diajarkan yang berorientasi Barat sering berbeda dengan apa yang dipelajari di rumah. Selain itu, karena di sekolah diajarkan persiapan untuk pekerjaan, maka penerus keluarga tidak terikat lagi dengan keluarga, seperti seorang anak laki-laki yang harus melanjutkan usaha keluarga.


(27)

Perubahan sosial dan budaya yang cepat juga dapat mengurangi rasa hormat tradisional pada usia. Misalnya seorang pemuda yang masih belasan tahun yang cepat-cepat dididik dalam sebuah sekolah guru, diangkat menjadi kepala sekolah. Kepala sekolah yang muda ini akan memerintah guru-guru dari generasi yang lebih tua, yang mengajarkan sastra klasik. Bagi mereka yang dibesarkan dalam aturan sosial yang ketat di bawah Bakufu, akan melihat ini sebagai suatu pemandangan yang ganjil.

Dalam bidang politik, terhambat oleh adanya semangat Konfusianisme dan semangat Shinto, yaitu oleh adanya kazoku kokka dan Tenno sebagai puncak pimpinan. Modernisasi politik yang mengusung nilai demokrasi tidak dapat diterima dengan sepenuhnya di Jepang, karena dalam kenyataannya yang memerintah dalam pemerintahan Meiji merupakan keluarga Samurai sebagai aturan-aturan yang ada dalam keluarga Samurai masih diterapkan dalam pemerintahan yang baru.

2.3 Kesusasteraan Jepang Modern

Tahun 1868 adalah awal tahun Meiji dan berarti pula dimulainya zaman Meiji. Pada permulaan zaman itu, pemerintah banyak melakukan pembaharuan atau reformasi. Pembaharuan dititikberatkan pada bidang politik dan ekonomi, sedangkan adat dan tradisi serta pola pemikiran lama masih tertinggal. Begitu pula bidang kesusasteraan, tidak mengalami perubahan sama sekali. Sehingga pembaharuan pada bidang kesusasteraan mengalami keterlambatan hingga dua dasawarsa kemudian. Sebelum membicarakan kesusasteraan zaman Meiji, ditinjau terlebih dahulu kesusasteraan pada zaman pra-Meiji yaitu kesusasteraan pada zaman Edo


(28)

(1603-1867). Pada zaman Edo, kesusasteraan bukanlan bidang yang diminati banyak orang. Begitu juga dengan karya sastra, hanya dibaca oleh orang-orang golongan terendah, wanita dan anak-anak. Oleh karena itu minat baca sangat lemah apalagi untuk menjadi sastrawan.

Dunia sastra dianggap memiliki derajat yang rendah, sehingga tidak mengalami perkembangan yang pesat, di samping alat-alat percetakan belum menunjang. Ditambah lagi harga buku bacaan yang sangat mahal dan isinya pun dibatasi oleh pemerintahan Tokugawa dan terbatas pada kanzen choaku (pemikiran yang menganggap bahwa yang benar pada akhirnya akan berhasil, sedangkan yang jahat pada akhirnya akan menemui kagagalan).

Pada tahun 1872, muncul sebuah buku yang terkenal yang berjudul Gakumon no Susume karya Fukuzawa Yukichi. Buku ini menekankan bahwa yang paling penting bagi modernisasi Jepang adalah pendidikan dan sains. Hal yang ditekankan berkali-kali adalah Jitsugaku (ilmu praktis yang langsung berguna dalam kehidupan). Kebijaksanaan pemerintah Meiji yang berusaha secepatnya membangun negeri Jepang dengan model Barat untuk menghindari agresi kolonialisme negara-negara kapitalis yang kuat, sangat lumrah dan dapt dimengerti. Dalam keadaan seperti itu tentu kesusasteraan tidak dibutuhkan. Oleh karena itu pada awal Meiji, modernisasi digalakkan dalam segala bidang, kecuali kesusasteraan. Kesusasteraan pada zaman itu masih kesusasteraan gesaku, sedangkan corak kesusasteraan Barat belum diimpor. Namun selama sekitar 10 tahun, jenis kesusasteraan dalam sejarah kesusasteraan disebut novel politik, merupakan propaganda ideologi diterbitkan dalam jumlah besar


(29)

akibat terjadinya pergerakan demokrasi Jepang. Novel poitik ini juga dapat digolongkan dalam karya yang mendapat pengaruh dari kesusasteraan Barat.

Adapun yang dimaksud dengan kesusasteraan modern Jepang adalah kesusasteraan yang bermodelkan kesusasteraan modern Eropa. Dengan demikian bila bermaksud membicarakan berbagai masalah mengenai lahirnya kesusasteraan modern Jepang, secara langsung kita harus menyinggung diimpormya kesusasteraan modern model Eropa dan pertumbuhannya yang mantap di Jepang.

Ada beberapa syarat untuk menjadi kesusasteraan modern yaitu menyangkut masalah kemandirian kesusasteraan sehingga bukan merupakan alat politik maupun moral, seperti novel politik dan novel gesaku pra modern seperti yang sudah dibicarakan. Pemikiran seperti itu sudah diterapkan di Eropa. Selain itu, pemikiran seperti ini tentu harus memiliki gaya bahasa dan metode tersendiri. Gaya bahasa merupakan hal yang sangat penting karena media yang dipakai untuk mengungkapkan kesusasteraan hanya satu, yaitu bahasa. Satu hal lagi yang tidak boleh dilupakan adalah ego, yakni ego manusia modern. Kesusasteraan modern Eropa sudah menampilkan berbagai tokoh yang memiliki ego manusia modern.

Sekitar tahun 1880, Tsubouchi Shoyo yang belajar ilmu politik di Universitas Tokyo, tidak naik tingkat karena menulis makalah tentang Hamlet karya Shakespeare dengan pemikiran kanzen choaku seperti lazimnya tema-tema yang ada pada novel

gesaku. Pengalaman pahit ini membuka mata Tsubouchi Shoyo untuk mempelajari

kesusasteraan Eropa. Sebagai hasilnya, tahun1885 ia menerbitkan semacam buku petunjuk penulisan novel berjudul Shosetsu Shinzui. Inti novel tersebut adalah ninjo (kemanusiaan) dan setai fuzoku (keluarga dan adat). Dengan inti novel tersebut, dapat


(30)

diketahui pandangan Tsubouchi Shoyo tentang bagaimana seharusnya novel itu ditulis, yakni ninjo yang dapat juga diartikan dengan shinri, yaitu unsur psikologi seseorang yang harus dibuat sebagai tema. Dapat dikatakan bahwa pendapat tersebut belum pernah terjadi dalam perjalanan panjang kesusasteraan Jepang. Benar-benar merupakan teori baru. Ia mengatakan bahwa kesusasteraan haruslah berdiri sendiri sebagai kesusasteraan, bukan sebagai alat propaganda politik maupun moral, dan realisme diterapkan dalam teknik penulisannya. Seperti tersebut di atas, penyebab langsung Shoyo berkenalan dengan kesusasteraan Eropa (dalam hal ini kesusasteraan Inggris), yang membuatnya memahami sesuatu tentang kesusasteraan modern adalah kegagalannya naik tingkat di Universitas Tokyo. Shosetsu Shinzui yang meminjam teori kesusasteraan Eropa ini memberi pengaruh yang sangat besar pada sastrawan muda pada saat itu. Mereka seakan-akan sudah menunggu munculnya teori kesusasteraan baru yang sesuai dengan tuntutan zaman Meiji. Dengan munculnya Tsubouchi Shoyo maka jelaslah arah yang akan ditempuh kesusasteraan modern. Karena teorinya sudah dipersiapkan, tinggal hasil karya yang merupakan pelaksanaannya harus ditulis dengan gaya bahasa baru pula.

Setelah adanya Shosetsu Shinzui barulah minat sastra dari kalangan pemuda pada zaman Meiji beranjak setingkat. Dengan kata lain, kedudukan Shosetsu Shinzui mengangkat derajat sastra ke peringkat yang lebih tinggi. Hal ini karena dahulu sastra merupakan bacaan kaum rendah, begitu pula tanggapan terhadap sastrawan.

Dapat ditandai pula bahwa Shoyo merupakan pembuka tabir kesusasteraan zaman Meiji atau kesusasteraan Jepang modern. Setelah Shoyo, banyak bermunculan pujangga besar lainnya seperti Futabatei Shimei (1864-1909), Mori Ogai


(31)

(1862-1922), Ozaki Koyo (1868-1903), Koda Rohan (1867-1947), dan Higuchi Ichiyo (1872-1896).

Naturalisme Jepang

Salah satu aliran yang berkembang dalam sejarah kesusasteraan pada zaman Meiji adalah aliran Naturalisme (Nihon Shizensugi). Aliran yang berorientasi pada kehidupan nyata ini, tampak jelas pada pertengahan zaman Meiji tahun 1898. Sejak saat itu berbagai perubahan terus terjadi sesuai dengan perkembangan zaman sehingga lahirlah sebuah gerakan yang konkret. Gerakan ini disebut gerakan Naturalisme dalam karya sastra yang berkembang terus hingga akhir zaman Meiji. Aliran ini mengisi lembaran baru sejarah kesusasteraan Jepang modern.

Naturalisme Jepang berkembang akibat pengaruh naturalisme Eropa, terutama dari Perancis yang dianut oleh Emile Zola. Pengaruh Zola ini lebih cepat berkembang dan dikenal sejak munculnya sebuah buku berjudul Ishibigaku yang berisikan tentang naturalis estetika dan di Jepang.

Kesusasteraan naturalisme di Perancis merupakan sebuah senjata yang dipergunakan untuk menikam serta memperbaiki kebobrokan sosial dengan mengungkapkan masalah sosial dengan tema realitas, yaitu dengan jalan mengungkapkan sikap dan cara berdasarkan ilmu pasti alam. Hal ini merupakan masalah penting sebagai ciri utama dari aliran tersebut.

Naturalisme timbul dengan latar belakang kemajuan dalam ilmu pengetahuan, terutama di bidang ilmu pasti alam, dan buah pikiran ini mendrong lalu menjelma dalam kesusasteraan dengan bersendikan pada anatomis individu maupun sosial.


(32)

Secara singkat arti naturalisme dalam kesusasteraan adalah penggambaran atau penghayatan dari kejadian sesungguhnya yang dipaparkan dalam bentuk roman atau novel. Ide kejadian atau data nyata berarti tidak hanya ide pemikiran yang indah-indah saja, tetapi justru ide nyata dari hal-hal yang tidak baik atau kelemahan manusia, bahkan kejelekan dipaparkan dengan cara apa adanya atau polos.

Perkembangan naturalisme menjadi mantap ketika memasuki zaman Meiji tahun 1908, yang dipaparkan dalam bentuk karya sastra. Hampir seluruhnya berupa materi tentang pengalaman nyata dari kehidupan pribadi pengarang itu sendiri. Hal itu merupakan gaya objektivisme murn ke arah gaya pengungkapan rekaan nyata atau seolah-olah benar-benar terjadi.

Salah satu sastrawaan pada zaman Meiji yang memasukkan unsur naturalis tersebut dalam karyanya adalah Mori Ogai.

2.4 Kehidupan Mori Ogai dan Doitsu Sambusaku 2.4.1 Kehidupan Mori Ogai

Mori Ogai (1862-1922) lahir pada 1862 di daerah Tsuwano, perfektur Shimane, dengan nama Mori Rintaro. Anak sulung keluarga samurai ini sejak kecil menerima pendidikan konfusianisme, kesusastraan Cina, dan kesusastraan Jepang klasik. Pada tahun 1869, Ogai masuk sekolah desa di Yorokan, tempat ia melanjutkan pendidikan konfusianisme. Ia menunjukkan ketertarikannya kepada buku-buku di usia yang masih relatif muda. Pada tahun 1872, saat berusia sepuluh tahun, Ogai pindah ke Tokyo dan tinggal di rumah Nishi Amane. Bulan Oktober tahun yang sama, ia masuk sebuah sekolah kecil di Hongo. Di antara sekian banyak pelajaran


(33)

yang ada di sekolah tersebut ia memilih untuk mempelajari bahasa Jerman, pengganti bahasa Belanda sebagai bahasa instruksi ilmu kedokteran. Letak Hongo jauh dari tempat ia tinggal di Mukojima, sehingga ia kemudian tinggal bersama keluarga Nishi di Kanda dan hanya pulang di akhir pekan.

Pada tahun1874, saat berusia 13 tahun, ia berhasil masuk sekolah persiapan universitas, Tokyo Igaku Gakko (Sekolah Kedokteran Tokyo, kemudian menjadi Universitas Tokyo), tetapi karena masih terlalu muda umurnya dituakan dua tahun. Ketika pada November 1876 sekolah tersebut pindah dari Kanda ke Hongo, Ogai menunggalkan rumah Nishi dan tinggal di asrama sekolah. Ia diterima masuk sekolah induk tersebut pada Mei 1877, setahun setelah sekolah itu menjadi bagian dari Universitas Tokyo. Selama di universitas ia belajar ilmu kedokteran Barat di bawah bimbingan para profesor dari Jerman, sehingga kemampuan bahasa Jermannya meningkat sangat pesat. Ia tamat dari universitas pada tahun 1881.

Selama kuliah ia masih bisa meluangkan waktu untuk mendalani sajak-sajak Jepang dan bahasa Cina klasik di bawaha bimbingan seorang penulis ternama, Yuda Gakkai. Pada tahun ketiga di perguruan tinggi, sekitar tahun 1880, Ogai pindah ke sebuah pondokan baru bernama Kamijo di Hongo. Pada musim semi 1881, sebelum ujian, ia terkena radang selaput dada ringan. Hambatan selanjutnya adalah peristiwa kebakaran yang terjadi di pondokannya pada bulan Maret, yang membuat ia kehilangan seluruh catatan berharga. Meskipun demikian, ia berhasil lulus pada musim tahun itu juga. Berkat umurnya yang dituakan dua tahun, ia menjadi lulusan termuda, walaupun ia kurang puas dengan nilai hasil ujiannya.


(34)

Pada Juni 1879 ayah Ogai pindah ke Utara Tokyo, Senju, dan mulai berpraktik sebagai dokter dua bulan kemudian. Segera setelah lulus, Ogai juga oindah ke Senju untuk membantu ayahnya. Setelah sempat membantu ayahnya, ia menjadi anggota korps medis angkatan bersenjata. Ogai secara resmi diterima di Angkatan Darat sebagai Letnan Dua Korps Medis pada 16 Desember 1881, hal yang melegakan hati orangtuanya yang sangat bangga dengan prestasi anaknya. Mula-mula ia bekerja di sebuah rumah sakit militer di Tokyo. Atasannya pada saat itu adalah orang Tsuwano, daerah kelahirannya. Bulan Mei 1882, ia pindah ke Biro Kesehatan Angkata Darat. Walaupun demikian, pada tahun-tahun ini ia tetap bertekad untuk belajar ke luar negeri. Hal ini dapat dilihat ketika Februari 1889 ia menemui kepala Rumah Sakit Militer, Hashimoto Tsunatsume, yang akan ditugaskan ke luar negeri sebagai bagian dari kelompok observasi, memohon agar diijinkan menyertainya, tetapi permintaannya itu ditolak. Walaupun demikian biro medis kesehatan tersebut berencana untuk mengirimkan seseorang ke Jerman untuk mempelajari ilmu kesehatan pada Juni 1883, dan Ogai dinyatakan terpilih pada 7 Mei 1884.

Pada tahun 1884, Ogai dikirim belajar ke Jerman untuk memperdalam ilmu gizi. Selama empat tahun di Jerman, Ogai tidak hanya mempelajari kedokteran tetapi juga bidang lain seperti sastra, filsafat, dan sebagainya. Ia banyak membaca karya sastra dan pemikiran yang berkembang di Eropa waktu itu. Sekembalinya di Jepang tahun 1888 ia menggeluti dua karir yang berbeda, yakni sebagai dokter tentara, yang notabene seorang birokrat, dan sebagai sastrawan.

Catatan harian Ogai tentang perjalanannya ke Eropa, Kosei Nikki, sangat singkat, tetapi mampu memberikan gambaran yang jelas mengenai reaksi emosinya


(35)

berkaitan dengan terkabulnya impiannya yang lama terpendam serta tentang perjalanannya ke Eropa. Dalam catatannya itu ia mengungkapkan rasa gembiranya dengan keberangkatannya tersebut.

Perkawinannya yang pertama dengan Akamatsu Toshiko hanya bertahan satu setengah tahun. Ia kemudian hidup menduda selama sekitar 12 tahun. Ogai tidak pernah menyinggung perihal perkawinannya ini, pun dalam karya fiksinya. Ia menikah lagi pada 1902 dan bertahan hingga akhir hayatnya.

Hal yang sangat menarik dari Mori Ogai adalah perannya yang beragam, yakni sebagai dokter, tentara, novelis, penulis naskah drama, esais, kritikus sastra, birokrat, ahli sejarah, dan ahli kearsipan. Ia banyak mengkritik kebijakan pemerintah. Kritiknya ini lebih dari sekedar respon terhadap berbagai peristiwa yang muncul waktu itu, merupakan pertanyaan-pertanyaan yang menumpuk sejak ia belajar di Jerman. Tampak sekali dalam dirinya terjadi konflik batin antara ia sebagai seorang samurai/konfusius dan orang yang memiliki pengetahuan tentang nilai-nilai Barat. Konflik batin ini mempengaruhi seluruh peran yang dijalaninya. Umumnya orang yang belajar ke luar negeri di zaman Meiji akan pro-Barat, tetapi sebaliknya dengan Ogai. Ia bahkan dianggap sebagai konservatf baru yang lahir sekembali dari Jerman.

Dalam karirnya sebagai dokter tentara, Ogai sering berbeda pendapat dengan atasannya. Pada tahun 1899, misalnya, ia melancarkan protes terbuka dengan mendesak atasannya agar memperbaiki fasilitas kesehatan dan metode pelayanan kesehatan bagi masyarakat umum. Pertentangan ini mengakibatkan ia dipindahkan, istilah halus untuk “diasingkan”, ke daerah Kokura, Kyushu. Pada periode ini, yang berlangsung hampir empat tahun, 1899-1902, aktivitas Ogai di bidang kesusasteraan


(36)

dapat dikatakan terhenti, sedikit sekali karya yang dihasilkannya. Inilah periode perenungan bagi Mori Ogai, karena setelah itu pemikirannya tentang teinen, yang sebelumnya masih samar, semakin tampak jelas dalam karya-karyanya yang lebih matang.

Filosofi teinen secara harafiah berarti “pengunduran diri”, secara luas dapat diartikan sebagai sikap mengalah demi tujuan yang lebih besar. Pada tahun 1916, sekembali dari Kokura, Ogai mengundurkan diri sebagai dokter tentara. Inilah puncak pertentangan dengan atasannya. Setahun kemudian, tahun1917, ia ditunjuk sebagai kutrator museum kerajaan sekaligus sebagai kepala perpustakaan.

Pada Agustus 1889, kumpulan puisi terjemahannya, Omokage, dimuat di majalah Kokuminno Tomo. Tahun berikuttnya, 1890, cerpennya yang berjudul

Maihime terbit. Ia juga menerjemahkan Improvisatoren karya Hans Christian

Andersen menjadi Sokkyo Shijin. Selain puisi, novel, cerpan, naskah drama, dan esai, ia juga menulis novel sejarah. Novel sejarah pertama yang ditulisnya adalah Okitsuyagoemon no Isho, terbit tahun 1912. setelah itu berturut-turut ia menulis Abe

Ichizoku (1913), Gojin ga Hara no Katakiuchi (1913), Oshio Heihachiro (1914),

Sakai Jiken (1914), Sansho Dayu (1915), Takasebune (1916), dan Kanzan Jittoku

(1916).

Karya-karyanya yang lain adalah Hannichi dan Vita Sexualis (1909), yang dimuat di majalah Subaru. Pada tahun 1910 ia menghasilkan Seinen (novel) dan

Shokudo (cerpen). Karya-karyanya yang juga terkenal adalah Moso (1911), Hyaku


(37)

(1915). Sementara itu karya-karya biografinya adalah Shibue Chusai (1916), Izawa Ranken (1916-1917), dan Hojo Katei (1918-1921).

Mori Ogai meninggal dunia pada tahun 1922 dalam usia 60 tahun.

2.4.2 Doitsu Sambusaku

Doitsu Sambusaku (Buah Tangan dari Jerman) merupakan buku kumpulan cerita pendek. Buku ini ditulis pada zaman Meiji, tepatnya pada saat Mori Ogai dikirim belajar ke Jerman untuk memperdalam ilmu gizi. Sebagai salah satu usaha pemerintah untuk mendukung modernisasi, dengan mengirimkan pelajar untuk memperolaeh ilmu pengetahuan dari Barat. Karena selain mempelajari bidang kedokteran, Mori Ogai juga tertarik dalam bidang sastra. Sehingga banyak hasil karya sastra yang dihasilkan Mori Ogai, yang salah satunya adalah Doitsu Sambusaku.

Doitsu Sambusaku terdiri dari tiga cerita pendek, yaitu Maihime (Penari), Utakata No Ki (Catatan Buih Di Atas Air), dan Fumizukai (Pengantar Surat). Ketiga cerita pendek tersebut disebut sebagai Buah Tangan dari Jerman, karena ketiga ceritanya ditulis dengan latar belakang Jerman, dan berkaitan erat dengan pengalaman Ogai sewaktu tugas belajar di Negara tersebut.

Maihime ditulis dengan latar belakang Berlin, kota besar di bagian utara

Jerman. Utakata No Ki ditulis dengan latar belakang Munchen, kota besar di bagian selatan Jerman. Fumizukai merupakan karya terakhir dalam Doitsu Sambusaku yang ditulis dengan latar belakang kota Dresden.

Isi dari ketiga cerita pendek tersebut, pekat dengan semangat modernisasi untuk mengejar ketertinggalan Jepang dari negara Barat.


(38)

BAB III

PEMIKIRAN MORI OGAI TERHADAP MODERNISASI JEPANG DALAM DOITSU SAMBUSAKU

3.1 Maihime Cuplikan 1

Lima tahun telah berlalu sejak cita-cita yang lama kuidam-idamkan dapat terwujud, ketika aku menerima tugas untuk belajar ke Eropa. Sewaktu kapal yang kutumpangi berlabuh di Pelabuhan Saigon segala sesuatu yang kulihat dan kudengar tidak ada yang tidak baru. (Hal. 19)

Atas perhatian khusus atasan, aku ditugaskan berangkat ke Eropa untuk belajar segala sesuatu yang berkaitan dengan bidangku. (Hal. 22)

Analisis

Sebagai seorang sarjana yang sangat berprestasi di Jepang, Ota Toyotaro diberangkatkan ke Eropa untuk memperdalam ilmu yang berkaitan dengan bidangnya, yaitu ilmu politik.

Cuplikan ini menunjukkan salah satu usaha pemerintah Jepang dalam mendukung modernisasi dengan mengirimkan pelajar ke Eropa untuk memperoleh ilmu yang akan sangat berguna dalam usaha modernisasi di Jepang.

Cuplikan 2

Nah, karena mendapat izin dari pejabat yang berwenang, aku masuk Universitas Berlin dan kapan saja aku punya waktu luang aku boleh belajar ilmu politik. Setelah satu-dua bulan berlalu, karena secara umum pembicaraan persiapan sudah selesai dan pemeriksaan berjalan lancar, aku segera menulis laporan mengenai hal-hal penting dan mengirimkannya. Selebihnya kubuat catatan sendiri, yang akhirnya menjadi beberapa buku. (Hal. 23)


(39)

Analisis

Seiring dengan perannya sebagai mahasiswa Universitas Berlin, Ota Toyotaro juga bertanggung jawab untuk membuat dan mengirimkan laporan-laporan penting tentang ilmu yang diperolehnya di Jerman, agar dengan segera dapat direalisasikan di Jepang, yang sedang melakukan modernisasi.

Selain itu, laporan-laporan tersebut juga didokumentasikan ke dalam buku-buku, yang kemudian diterbitkan, agar dapat dibaca juga oleh masyarakat umum pada masa itu.

Cuplikan 3

Aku juga mencatat dengan seksama dunia tumbuhan, hewan, geologi dan adat istiadat setempat. Dalam perjalanan pulang saat ini buku yang kubeli untuk catatan harian masih bersih tanpa coretan. Ini mungkin karena selama belajar di Jerman aku mendapatkan semacam falsafah Nil Admirari. Bukan ada alasan lain. (Hal. 20)

Analisis

Nil Admirari adalah falsafah yang berarti tidak gampang terkejut dengan segala sesuatu, menunjuk pada sikap hidup yang teguh, tidak terombang-ambing.

Falsafah ini sangat erat dengan modernisasi. Dalam filsafat ini ditekankan suatu sikap yang selayaknya dimiliki oleh masyarakat Jepang di dalam hal menanggapi segala sesuatu yang baru yang masuk bersamaan dengan arus modernisasi, sehingga masyarakat Jepang memiliki kemampuan untuk tetap teguh dan tidak hidup terombang-ambing dalam arus modernisasi.


(40)

Cuplikan 4

Ada dari mereka yang menghina diriku karena aku tidak mau minum-minum dan bermain bilyar bersama mereka. (Hal. 25)

Aku pun tidak berkumpul dan bergaul dengan lebemann, para lelaki bertopi tinggi, berkacamata menjepit hidung, dan berbicara dengan logat sengau seperti bangsawan Prusia. (Hal. 26)

Analisis

Ota tidak bergaul dengan para Lebemann (para lelaki yang suka hidup berfoya-foya), tidak suka minum-minum dan bermain bilyar pada masa ia menuntut ilmu di Jerman. Ia tidak peduli, apabila ada teman-teman sesama mahasiswa yang menganggap bahwa Ota tidak “gaul” dan kurang aktif. Sebenarnya, di balik ketidak”gaul’annya itu, menunjukkan sikap Ota yang serius dalam menjalankan tanggungjawabnya sebagai pelajar, dan fokus terhadap tujuannya, yaitu mencari dan mempelajari ilmu baru dengan sebaik-baiknya. Karena pada saat itu, pemerintah Jepang sangat memerlukan pengetahuan yang dipelajari dari negara Barat dalam melakukan pembaharuan di negaranya.

Sikap serius dan bertanggung jawab juga harus dimiliki oleh masyarakat Jepang yang sangat diperlukan dalam mendukung modernisasi.

Cuplikan 5

Ketika pihak kedutaan menyampaikan berita ini, yang dikatakan padaku adalah bahwa jika aku secepatnya kembali ke Jepang maka seluruh biaya ditanggung. Tetapi jika ingin tetap tinggal di Jerman maka aku tidak bisa lagi mengharapkan tunjangan pemerintah. (Hal. 31)


(41)

Analisis

Ada pihak yang memfitnah Ota, yang menyatakan bahwa Ota tidak serius dalam menjalankan tugasnya untuk belajar. Berita ini sampai kepada pihak kedutaan, sehingga pihak kedutaan menyuruh Ota agar segera pulang ke Jepang, dan tidak perlu lagi menjalankan beasiswa yang telah diperolehnya.

Sikap pihak kedutaan Jepang menunjukkan bahwa pemerintah Jepang benar-benar serius dalam hal pengiriman pelajar untuk mendukung modernisasi. Apalagi Jepang pada saat itu memang sangat membutuhkan pengetahuan baru yang diperolaeh dari Negara-negara Barat untuk mendukung modernisasi sehingga, apabila diketahui ada pelajar yang dianggap tidak serius atau melalaikan tugasnya, maka akan segera ditarik kembali pulang ke Jepang, karena dianggap hanya akan menyia-nyiakan waktu dan biaya saja.

Cuplikan 6

Namun demikian di akhir ceritaku, ia berubah serius dan menasehatiku, “Situasi seperti ini terjadi karena jiwa yang rapuh, dan tidak ada yang dapat diperbuat bagi kenyataan seperti ini. Tetapi sampai kapan seorang yang berbakat dan terpelajar selalu bergantung pada belas kasihan seorang gadis? Hidup harus memiliki tujuan.”. Saat ini sepertinya Menteri Amakata hanya memerlukan kemahiranmu berbahasa Jerman. (Hal. 40)

Analisis

Aizawa, sahabat Ota, menasehati Ota untuk menentukan pilihan, apakah Ota tetap tinggal di Jerman bersama kekasihnya, Elis, ataukah pulang ke Jepang bersama Aizawa dan Menteri Amakata.


(42)

Setelah beasiswa Ota dilepas, ia bertahan hidup di Jerman dengan menumpang di rumah Elis. Sehingga Aizawa menekankan pada Ota untuk segera pulang ke Jepang, dan mengabdi kepada negara, serta untuk memulihkan nama baiknya yang rusak karena dianggap tidak mampu memanfaatkan beasiswa yang telah diberi pemerintah. Karena dengan pandai berbahasa Jerman saja, Ota sudah sangat membantu pemerintah Jepang untuk menterjemahkan artikel penting yang dating dari Jerman.

Selain itu, cuplikan di atas juga menyatakan bahwa jiwa yang rapuh akan menyebabkan seseorang menjadi lemah, sehingga tidak memiliki kekuatan dan keberanian untuk menentukan tujuan hidup. Dan tentu saja sikap seperti ini tidak dibutuhkan dalam modernisasi. Untuk menghadapi modernisasi dibutuhkan jiwa yang kuat, agar tidak terombang-ambing karena arus modernisasi.

Cuplikan 7

“Apa pendapatmu dengan semua persiapan ini?” tanya Elis sambil mengambil sepotong kain katun. Setela kuperhatikan ternyata itu popok bayi.

“ Coba bayangkan betapa bahagianya hatiku! Anak kita yang akan lahir mungkin bermata hitam seperti matamu. Mata ini. Ah, hanya matamu saja yang kumimpikan. Jika ia lahir, jujur saja, kau tidak akan mencantumkan nama orang lain, kan?” (Hal. 48)

Analisis

Elis, kekasih Ota sudah mengandung dan akan melahirkan anak. Tentu saja hal ini membuat Ota semakin bingung, Ini merupakan dilema yang sangat berat baginya. Bagaimana dia harus meninggalkan orang yang sangat dicintainya, terlebih ia akan segera menjadi ayah.


(43)

Dilema yang dialami Ota ini memaksanya untuk memilih, apakah dia lebih mengutamakan kepentingan pribadi ataukah pulang ke Jepang untuk mendukung Fukoku Kyohei, serta dapat meniti kesuksesan dengan mengabdi kepada negara.

Dalam hal ini, ternyata Ota lebih memilih untuk kembali ke Jepang. Hal ini menunjukkan dukungan Ota terhadap modernisasi, yang lebih mengutamakan kepentingan negara.

Cuplikan 8

Sakitku sudah benar-benar sembuh. Berkali-kali aku memeluk Elis yang bagaikan mayat hidup dan mengucurkan air mata getir. Ketika berangkat menyertai menteri kembali ke Jepang, aku mebicarakan masalah ini dengan Aizawa, dan kepada Ibu Elis aku memberikan uang yang cukup untuk biaya hidup sederhana. Aku juga minta tolong untuk mengurus kelahiran anak yang kutinggalkan dalam kandungan Elis, gadis kurang waras yang menyedihkan itu. (Hal. 51)

Analisis

Karena Ota telah memutuskan untuk kembali ke Jepang dan meninggalkan Elis, membuat Elis shock dan akhirnya menderita penyakit paranoia akibat dihantam emosi berlebihan secara mendadak, sehingga jiwanya terganggu dan kemampuannya merosot seperti anak kecil.

Terlihat jelas di sini bahwa, Ota Toyotaro rela mengubur kepentingan pribadi, yakni cintanya kepada Elis, demi kepentingan negara yang saat itu sangat membutuhkan tenaga-tenaga potensial untuk mendukung modernisasi. Kepentingan pribadi dalam cerita ini seolah-olah tersedot oleh pusaran Fukoku Kyohei.


(44)

Hal ini menunjukkan sikap Ota yang sangat mendukung modernisasi, dengan mengutamakan kepentingan negara daripada kepentingan pribadi. Sikap tersebut juga harus dimiliki oleh masyarakat Jepang, supaya lebih mengutamakan kepentingan negara di atas sagalanya. Karena pada saat itu, Jepang membutuhkan dukungan sepenuhnya dari rakyat Jepang.

3.2 Utakata No Ki Cuplikan 9

“Dengarkan semua. Ini Kose. Ia datang bersamaku malam ini untuk bergabung dengan kelompok kita di sini di Minerva. Ia seorang pelukis, datang dari Jepang yang jauh”. Karena diperkenalkan seperti itu, Kose melangkah ke depan dan membungkuk hormat. (Hal 84)

Analisis

Kose adalah seorang pelajar Jepang yang diberangkatkan ke Minerva, Jerman untuk memperdalam ilmunya di bidang kesenian.

Hal ini menunjukkan salah satu usaha pemerintah Jepang untuk mendukung modernisasi yaitu dengan memberangkatkan Kose, salah satu pelajar ke luar negeri, dalam mempelajari segala sesuatu yang berhubungan dengan bidangnya.

Cuplikan 10

“Ia dipanggil Fraulin Hansl, model di akademi ini. Ada yang menyatakan dia tidak waras. karena seperti yang kau lihat, tingkah lakunya agak aneh. lagi pula, tidak seperti gadis model lainnya, ia tidak mau bugil sehingga ada yang menuduh tubuhnya cacat. Tidak ada yang tahu latar belakangnya, tetapi ia berpendidikan.” (Hal. 93)


(45)

Analisis

Orang lain melihat Marie memiliki tingkah laku yang aneh (kikainaru furumai), sebagai tingkah laku yang kurang waras. Bahkan digosipkan memilki tubuh yang cacat.

Sebenarnya tingkah laku yang dianggap aneh di sini adalah sikap untuk membentengi diri dari orang-orang di sekelilingnya.

Demikian juga dalam menghadapi modernisasi, harus memiliki sikap atau suatu cara yang dianggap dapat membentengi Jepang dari pengaruh luar, yang kapan saja bisa mengancam.. Karena segala sesuatu yang datang dari luar tidaklah semuanya baik, dan belum tentu sesuai dengan kepribadian Jepang. harus bisa memilah atau meyaring apa yang baik dan sesuai dan mana yang tidak sesuai. Kesadaran untuk tetap eksis walaupun pengaruh dari luar sangat hebat. Sehingga seiring dengan modernisasi yang dilakukan, kepribadian Jepang yang sesunngguhnya juga harus terjaga.

Cuplikan 11

“Apa yang dikatakan oleh Seneca maupun Shakespeare jelas, orang perlu menjadi sedikit tidak waras untuk menjadi pahlawan besar atau empu. Lihat saja luasnya pengetahuanku! Betapa menyedihkan melihat orang yang ingin terlihat gila padahal sebenarnya tidak. Ada begitu banyak hal memilukan sehingga aku menangis bersama uir-uir di siang hari, katak-katak di malam hari. Tetapi tak ada orang yang bersimpati sedikit pun.” (Hal. 101)

Analisis

Marie mengungkapkan kisah dan perasaannya kepada Kose. Marie merasa menjadi “gila” adalah sesuatu yang tidak dapat dhindari, karena sudah menjadi


(46)

tuntutan orang-orang di sekitarnya. Tingkah lakunya yang aneh muncul sebagai penemuan atas kediriannya, yang merupakan akumulasi dari berbagai pengalaman pahit dan tekanan hidup. Ia mempertahankan prinsipnya dan membentengi dirinya kuat-kuat, tidak ingin digoyahkan.

Tampak luar, sepertinya ia hancur oleh tenaga yang datang dari luar. Tetapi pada bagian dalamnya tidaklah demikian. Ia tetap mempunyai rasa bangga dan percaya diri. Sikap seperti inilah yang harus dijaga, apa yang ada di dalam, tidak boleh hancur oleh kekuatan luar.

Pandangan seperti ini menunjukkan kesadaran manusia yang modern. Tetap teguh pada pendirian dan keyakinan sendiri.

Seperti halnya dalam modernisasi, perlu adanya sikap mempertahankan kepribadian yang sudah ada. Karena kepribadian yang ada merupakan suatu kebanggaan diri. Sikap seperti ini diperlukan dalam semangat Fukoku Kyohei dan Jepang yang sedang membangun (Fushinchu).

Cuplikan 12

Mereka membakar kayu pohon pakis untuk menghangatkan Marie, tetapi ia tidak pernah siuman kembali. Kose melewatkan malam itu dengan duduk di samping jenazah Marie bersama perempuan tua itu, meratapi dunia yang bagaikan buih di atas air, lenyap tanpa bekas. (Hal. 112)

Analisis

Cuplikan tersebut menunjukkan bahwa dunia adalah kefanaan, dan segala sesuatu itu dapat hilang tanpa bekas. Demikian halnya dengan modernisasi,


(47)

selayaknya diisi dengan sesuatu yang baik dan berguna, yang bisa bermanfaat di kemudian hari. Walaupun segala sesuatunya dapat hilang tanpa bekas seperti buih di atas air, namun apabila diisi dengan semangat yang berguna maka kehidupan akan bermakna, dan bermanfaat untuk generasi penerus di masa yang akan datang.

Demikian halnya dengan modernisasi Jepang yang dilakukan untuk melakukan pembaharuan yang akan sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidup negara, yang akan dilanjutkan oleh generasi berikutnya.

3.3 Fumizukai Cuplikan 13

Dalam pertemuan Klub Persahabatan Jerman yang diselenggarakan oleh seorang bangsawan terkemuka di Restoran Hoshigaoka, sudah menjadi kebiasaan bagi para perwira yang pernah bertugas di luar negeri untuk menceritakan pengalaman mereka secara bergantian. (Hal. 143)

Analisis

Cuplikan tersebut menunjukkan salah satu usaha pemerintah Jepang dalam mendukung modernisasi dengan mengirimkan utusan perwira untuk mempelajari system organisasi militer modern menurut model Barat yang berguna untuk menciptakan system organisasi militer yang efisien di Jepang.

Cuplikan 14

“Akhir-akhir ini saya membeli dan membaca beberapa buku tentang adat istiadat Jepang, di mana para penulis Eropa memberi catatan yang merendahkan.” (Hal.166)


(48)

Analisis

Cuplikan tersebut menunjukkan bagaimana orang Eropa memandang rendah negara Jepang yang yang pada saat itu belum menjadi negara modern. Menunjukkan Jepang pada saat itu masih sebagai negara yang tertinggal jauh dari negara-negara Barat.

Hal ini memberikan motivasi bagi negara Jepang untuk segera mengejar ketertinggalan mereka yang salah satunya melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, agar diakui dalam lingkungan internasional. Sehingga Jepang tidak lagi dipandang rendah, dan memiliki tempat dalam hubungan internasional. Hal ini merupakan salah satu hal yang mendasari modernisasi di Jepang.

Cuplikan 15

“Tak terbayangkan, orang yang dilahirkan sebagai bangsawan bertindak dengan sikap mementingkan diri sendiri seperti halnya orang-orang kelas bawah. Cinta sejati yang merupakan hak pribadi harus dikorbankan demi garis keturunan.” (Hal.168)

“Tetapi walaupun saya dilahirkan sebagai anak seorang bangsawan, saya juga seorang pribadi. Tetapi kalau saya melangkah sedikit di luar kebiasaan, adakah kiranya orang yang akan membela saya?” (Hal. 168)

Analisis

Pernikahan di Jerman tidak berbeda dengan yang ada di Jepang pada saat itu. Pernikahan masih diatur oleh orang tua, terutama pada kaum bangsawan. Tradisi ini dirasakan sangat membatasi kebebasan, dan sifatnya mengekang. Akan tetapi bukan berarti ditolak mentah-mentah atau ditinggalkan begitu saja, namun harus dicari jalan terbaik untuk mendapatkan keseimbangannya.


(49)

Sesuai dengan pendapat Tominaga (1991:53-55), ahli sosiolog Jepang, menyatakan bahwa modernisasi kebudayaan adalah gerakan kebudayaan yang menuntut rasionalisme dalam bidang-bidang agama, pemikiran melalui gerakan pencerahan, revolusi agama, renaisance, untuk lepas dari ikatan irasional, seperti halnya tradisi, kebiasaan, dan lain-lain.

Demikian juga dengan modernisasi, harus ada keselarasan antara tradisi atau kebiasaan yang sudah ada dengan ide-ide baru yang masuk bersamaan dengan Restorasi Meiji, di lain pihak kebebasan individu juga harus dihargai.


(50)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Dari uraian di atas, maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut :

1. Untuk mendukung modernisasi di Jepang, salah satu usaha yang dilakukan oleh pemerintah Jepang adalah dengan mengirimkan pelajar ke luar negeri untuk mempelajari ilmu pengetahuan di negara-negara Barat.

2. Nil Admirari merupakan salah satu falsafah yang mendukung modernisasi di

Jepang, yang berarti tidak gampang terkejut dengan segala sesuatu yang baru dan memiliki sikap hidup yang teguh serta tidak terombang-ambing.

3. Sikap lain yang juga mendukung modernisasi adalah sikap yang serius dan fokus terhadap tanggungjawab yang sedang dijalankan. Salah satunya adalah fokus terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi yang dipelajari dari Barat. 4. Untuk mendukung modernisasi, dituntut memiliki jiwa yang kuat agar dapat

menentukan tujuan dan tidak terombang-ambing oleh arus modernisasi yang datang ke Jepang.

5. Untuk mendukung modernisasi, diperlukan rasa nasionalisme yang tinggi, misalnya lebih mengutamakan kepentingan negara daripada kepentingan pribadi. Karena negara Jepang pada saat itu sangat membutuhkan tenaga-tenaga yang potensial yang ikut ambil bagian dalam menjalankan modernisasi.


(51)

6. Untuk menghadapi modernisasi, harus dapat dilakukan penyaringan akan segala sesuatu yang datang dari luar Jepang. Segala sesuatu yang dianggap baik dan sesuai dengan kepribadian, dapat diterima, namun apabila dianggap kurang baik dan tidak sesuai dengan kepribadian, maka sebaiknya dibuang. 7. Sikap untuk mempertahankan kepribadian yang sudah ada juga sangat perlu

dilakukan. Karena kepribadian tersebut merupakan suatu kebanggaan.

8. Apabila ada suatu tradisi atau kebiasaan yang dianggap sudah usang atau tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, maka tidak ada salahnya dipertimbangkan kembali atau dicari jalan terbaik untuk mendapatkan keseimbangannya. Demikian juga dalam modernisasi, harus ada keselarasan antara tradisi atau kebiasaan dengan ide-ide baru yang datang bersamaan dengan modernisasi.

4.2 Saran

Membaca merupakan hal yang sangat bermanfaat. Karena dengan membaca, akan memberikan banyak manfaat kepada kita. Salah satunya adalah membaca karya sastra, terutama karya sastra yang berasal dari Jepang. Sebagai mahasiswa yang belajar di Jurusan Sastra Jepang, dengan membaca karya sastra dari Jepang, maka akan diketahui juga beberapa sastrawan Jepang. Dengan demikian selain belajar tentang bahasa dan budaya Jepang, kita juga mengetahui banyak tentang karya sastra dan sastrawan Jepang.


(52)

DAFTAR PUSTAKA

Asoo, Isoji., dkk. 1983. Sejarah Kesusasteraan Jepang (Nihon Bungakushi). Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Keene, Donald. 1984. Dawn to West : Japanese Literature in The Modern Era, Poetry,Drama, Criticism. USA : Holt Rinehart and Wiston of Canada, Limited.

Mandah, Darsimah., dkk. 1992. Pengantar Kesusasteraan Jepang. Jakarta : FS UI, The Japan Foundation, Gramedia, Grasindo.

Nakamura, Mitsuo. 1966. Japanese Fiction in The Meiji Era : The Society for International Cultural Relations. Tokyo : General Printing Co, Ltd, Yokohama.

Nakamura, Mitsuo. 1968. Japanese Fiction in The Taisho Era : Japan Cultural Society. Tokyo : General Printing Co, Ltd, Yokohama.

Nurhayati, Yeti. 1987. Langkah-langkah Awal Modernisasi Jepang. Jakarta : Dian Rakyat.

Pyle, Kenneth B. 1988. Generasi Baru Zaman Meiji : Pergolakan mencari identitas nasional. Jakarta : Gramedia.

Rimer, J Thomas. 1988. Pilgrimages : Aspects of Japanese Literature and Culture. Honolulu : University of Hawaii Press.

Rosidi, Ajip. 1981. Mengenal Jepang. Jakarta : The Japan Foundation.

Sakamoto, Taro. 1982. Jepang Dulu dan Sekarang. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.


(53)

Wibawarta, Bambang. 1999. Pandangan Mori Ogai terhadap Jepang Meiji. Jakarta : Universitas Indonesia Press.

_________________. 2003. Buah Tangan dari Jerman (Doitsu Sambusaku). Jakarta: Kalang.


(1)

Analisis

Cuplikan tersebut menunjukkan bagaimana orang Eropa memandang rendah negara Jepang yang yang pada saat itu belum menjadi negara modern. Menunjukkan Jepang pada saat itu masih sebagai negara yang tertinggal jauh dari negara-negara Barat.

Hal ini memberikan motivasi bagi negara Jepang untuk segera mengejar ketertinggalan mereka yang salah satunya melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, agar diakui dalam lingkungan internasional. Sehingga Jepang tidak lagi dipandang rendah, dan memiliki tempat dalam hubungan internasional. Hal ini merupakan salah satu hal yang mendasari modernisasi di Jepang.

Cuplikan 15

“Tak terbayangkan, orang yang dilahirkan sebagai bangsawan bertindak dengan sikap mementingkan diri sendiri seperti halnya orang-orang kelas bawah. Cinta sejati yang merupakan hak pribadi harus dikorbankan demi garis keturunan.” (Hal.168)

“Tetapi walaupun saya dilahirkan sebagai anak seorang bangsawan, saya juga seorang pribadi. Tetapi kalau saya melangkah sedikit di luar kebiasaan, adakah kiranya orang yang akan membela saya?” (Hal. 168)

Analisis

Pernikahan di Jerman tidak berbeda dengan yang ada di Jepang pada saat itu. Pernikahan masih diatur oleh orang tua, terutama pada kaum bangsawan. Tradisi ini dirasakan sangat membatasi kebebasan, dan sifatnya mengekang. Akan tetapi bukan


(2)

Sesuai dengan pendapat Tominaga (1991:53-55), ahli sosiolog Jepang, menyatakan bahwa modernisasi kebudayaan adalah gerakan kebudayaan yang menuntut rasionalisme dalam bidang-bidang agama, pemikiran melalui gerakan pencerahan, revolusi agama, renaisance, untuk lepas dari ikatan irasional, seperti halnya tradisi, kebiasaan, dan lain-lain.

Demikian juga dengan modernisasi, harus ada keselarasan antara tradisi atau kebiasaan yang sudah ada dengan ide-ide baru yang masuk bersamaan dengan Restorasi Meiji, di lain pihak kebebasan individu juga harus dihargai.


(3)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Dari uraian di atas, maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut :

1. Untuk mendukung modernisasi di Jepang, salah satu usaha yang dilakukan oleh pemerintah Jepang adalah dengan mengirimkan pelajar ke luar negeri untuk mempelajari ilmu pengetahuan di negara-negara Barat.

2. Nil Admirari merupakan salah satu falsafah yang mendukung modernisasi di Jepang, yang berarti tidak gampang terkejut dengan segala sesuatu yang baru dan memiliki sikap hidup yang teguh serta tidak terombang-ambing.

3. Sikap lain yang juga mendukung modernisasi adalah sikap yang serius dan fokus terhadap tanggungjawab yang sedang dijalankan. Salah satunya adalah fokus terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi yang dipelajari dari Barat. 4. Untuk mendukung modernisasi, dituntut memiliki jiwa yang kuat agar dapat

menentukan tujuan dan tidak terombang-ambing oleh arus modernisasi yang datang ke Jepang.

5. Untuk mendukung modernisasi, diperlukan rasa nasionalisme yang tinggi, misalnya lebih mengutamakan kepentingan negara daripada kepentingan pribadi. Karena negara Jepang pada saat itu sangat membutuhkan tenaga-tenaga yang potensial yang ikut ambil bagian dalam menjalankan


(4)

6. Untuk menghadapi modernisasi, harus dapat dilakukan penyaringan akan segala sesuatu yang datang dari luar Jepang. Segala sesuatu yang dianggap baik dan sesuai dengan kepribadian, dapat diterima, namun apabila dianggap kurang baik dan tidak sesuai dengan kepribadian, maka sebaiknya dibuang. 7. Sikap untuk mempertahankan kepribadian yang sudah ada juga sangat perlu

dilakukan. Karena kepribadian tersebut merupakan suatu kebanggaan.

8. Apabila ada suatu tradisi atau kebiasaan yang dianggap sudah usang atau tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, maka tidak ada salahnya dipertimbangkan kembali atau dicari jalan terbaik untuk mendapatkan keseimbangannya. Demikian juga dalam modernisasi, harus ada keselarasan antara tradisi atau kebiasaan dengan ide-ide baru yang datang bersamaan dengan modernisasi.

4.2 Saran

Membaca merupakan hal yang sangat bermanfaat. Karena dengan membaca, akan memberikan banyak manfaat kepada kita. Salah satunya adalah membaca karya sastra, terutama karya sastra yang berasal dari Jepang. Sebagai mahasiswa yang belajar di Jurusan Sastra Jepang, dengan membaca karya sastra dari Jepang, maka akan diketahui juga beberapa sastrawan Jepang. Dengan demikian selain belajar tentang bahasa dan budaya Jepang, kita juga mengetahui banyak tentang karya sastra dan sastrawan Jepang.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Asoo, Isoji., dkk. 1983. Sejarah Kesusasteraan Jepang (Nihon Bungakushi). Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Keene, Donald. 1984. Dawn to West : Japanese Literature in The Modern Era, Poetry,Drama, Criticism. USA : Holt Rinehart and Wiston of Canada, Limited.

Mandah, Darsimah., dkk. 1992. Pengantar Kesusasteraan Jepang. Jakarta : FS UI, The Japan Foundation, Gramedia, Grasindo.

Nakamura, Mitsuo. 1966. Japanese Fiction in The Meiji Era : The Society for International Cultural Relations. Tokyo : General Printing Co, Ltd, Yokohama.

Nakamura, Mitsuo. 1968. Japanese Fiction in The Taisho Era : Japan Cultural Society. Tokyo : General Printing Co, Ltd, Yokohama.

Nurhayati, Yeti. 1987. Langkah-langkah Awal Modernisasi Jepang. Jakarta : Dian Rakyat.

Pyle, Kenneth B. 1988. Generasi Baru Zaman Meiji : Pergolakan mencari identitas nasional. Jakarta : Gramedia.

Rimer, J Thomas. 1988. Pilgrimages : Aspects of Japanese Literature and Culture.

Honolulu : University of Hawaii Press.


(6)

Wibawarta, Bambang. 1999. Pandangan Mori Ogai terhadap Jepang Meiji. Jakarta : Universitas Indonesia Press.

_________________. 2003. Buah Tangan dari Jerman (Doitsu Sambusaku). Jakarta: Kalang.