Latar Belakang Masalah. PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.

Keberadaan musik sulit dipisahkan dari kehidupan masyarakat dan seiring dengan perkembangan media audio radio dan televisi yang dapat diterima masyarakat. Banyaknya stasiun radio yang menjadikan musik sebagai program mayoritas dapat menyebabkan masyarakat selalu mengikuti perkembangan musik pada umumnya. Perkembangan pesat seni musik dan industri musik membuat sulit dipisahkan antara musik dengan kehidupan sehari-sehari masyarakat, maka tidak salah jika orang memandang bahwa musik sebagai sarana tuntutan finansial pada era ini, di mana industri musik pun mulai meningkat pesat dengan perkembangan seni musik ini. Indikasi lain yang menunjukkan kegandrungan masyarakat dalam bidang musik yaitu dengan perkembangan jumlah grup band yang ada. Kondisi tersebut menunjukkan kegandrungan masyarakat yang antusias terhadap perkembangan musik. Hal ini juga terjadi pada grup band solo musik yang mana mereka menyanyikan lagu-lagu yang bertema religius, sebut saja band Gigi, Ungu dan Opick yang sering mengeluarkan album bertajuk religius yang khususnya diluncurkan pada bulan tertentu yaitu bulan Ramadhan. Pada bulan tersebut lagu- lagu mereka selalu ada pada deretan hist sebagaimana lagu-lagu yang mereka nyanyikan menjadi lagu terfavorit dan andalan untuk diputarkan di berbagai program musik di stasiun televisi maupun radio. Opick sendiri mengeluarkan Album religius yang bertajuk “Istigfar” pada tahun 2005 yang silam dengan lagu andalannya “Tomboati” lagu ini selalu selalu difavoritkan pada masa itu, sedangkan grup band Ungu dan Gigi mengeluarkan album religius musik mereka antara tahun 2006 dan 2009 yang bertema “Surga-Mu” dan “Restu Cinta-Mu”. Lagu-lagu religi yang dinyanyikan oleh mereka memang ber-genre yang berbeda-beda mulai dari genre yang berbalut rock, pop melayu hingga berirama shalawat sebagaimana yang dinyanyikan oleh Opick. Namun secara tidak langsung lagu-lagu tersebut memiliki hubungan dengan agama, khususnya Islam, di mana dalam lirik lagu yang mereka nyanyikan terdapat suatu pengukapan terhadap Allah swt. misalnya dalam lagu band Gigi yang di dalam syairnya sebagai berikut; “Rinduku cinta-Mu sembahku untuk-Mu dan mengharapkan ridho- Mu Tuhan”. Musik dalam bahasa Sansakerta disebut dengan sangita, yang melambangkan tiga subjek; 1. Menyanyi. 2. Memainkan. 3. Menari. 1 Sehingga bermain musik tidak hanya untuk memainkan instrumen saja akan tetapi diimbangi oleh nyanyian atau menyanyi dan menari merupakan bagian dari bermain musik. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia musik diartikan dalam dua pengertian yakni: Musik adalah ilmu atau seni menyusun nada atau suara dalam urutan kombinasi dan hubungan temporal untuk menghasilkan komposisi suara 1 Hazrat Inayat Khan, Dimensi Mistik Musik dan Bunyi, terj. Subagijono dan Fungky Kusnaendy Timur dari buku The mysticism of Sound and Music, Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2002, hal. 13. yang mempunyai kesatuan dan kesinambungan. Maka musik adalah nada atau suara yang disusun sedemikian rupa hingga mengandung irama lagu dan keharmonisan. 2 Abdurrahman Al-Bagdadi memandang bahwa musik merupakan bidang seni yang berhubungan dengan alat-alat musik dan irama yang keluar dari alat musik tersebut. Setiap masing-masing alat musik juga memberikan penjelasan atau membahas not dan bermacam aliran musik dapat disatukan. Instrumentalia adalah seni suara yang diperdengarkan melalui alat-alat musik, seni vokal adalah melantunkan syair yang hanya dinyanyikan dengan perantaraan oral suara saja, tanpa iringan instrumen musik. 3 Maka dapat diartikan bahwa musik tidak hanya nyanyian saja, tetapi juga memainkan instrumen musik, menari sesuai dengan bunyi yang keluar dari instrumen yang dimainkan. Musik adalah suatu kreasi seni yang ditujukan untuk memperoleh nilai estetika, 4 dengan nilai estetika tersebut orang dapat merasakan keindahan serta merasakan apa yang telah dirasakan oleh penciptannya melalui pesan dalam bentuk musik. Keindahan merupakan naluri manusia, dengan aspek intuisi yang digunakan sebagai landasan penilaian estetika atau keindahan yang datang melaui indera-indera yang terdapat dalam diri manusia. Baik dalam indera pendengaran, indera penglihatan, dan indera-indera lainnya. 2 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1996, hal. 602. 3 Abdurrahman Al-Bagdadi, Seni Musik dalam Pandangan Islam: Seni Vocal, Musik dan Tari, Jakarta: Guna Insani Pres, 1994, hal. 19. 4 Nilai estetika adalah nilai yang mengandung kapasitas untuk menimbulkan tanggapan estetik atau pengalaman estetik, yang mengartikan pengalaman yang berkaitan dengan keindahan. Lihat Sidi Gazalba, Islam dan Kesenian; Relevansi Islam dan Seni Budaya, Jakarta: Pustaka Alhusna, 1988 , hal. 75. Musik adalah sebuah hal yang tak dapat dipisahkan oleh kehidupan manusia. Dalam sejarah peradaban manusia pun belum ditemukan suatu kaum ataupun zaman yang melepaskan maupun meninggalkan musik dari kehidupan manusia 5 . Musik berkembang sejalan dengan perkembangan zaman dan peradaban manusia. Musik adalah perilaku sosial yang kompleks dan universal. Musik dimiliki oleh setiap masyarakat, dan setiap anggota masyarakat adalah “musical”. 6 Agama sebagai salah satu tanda perkembangan peradaban manusia, memiliki hubungan yang nyata dengan musik. Dalam agama Kristen, musik dikenal sebagai salah satu bagian penting untuk melaksanakan ritual-ritual keagamaan. John Chrysostom, seorang pemuka agama Kristen yang hidup pada abad keempat setelah masehi mengatakan: “Tiada sesuatu, selain aransemen musik dan nyanyian agama, yang dapat meninggikan derajat akal, memberinya sayap untuk meninggalkan bumi dan melepaskannya dari belenggu jasmani serta menghiasinya dengan rasa cinta kepada kearifan 7 . Penganut agama Hindu di India meyakini bahwa awal kehidupan adalah rūh, dengan itu maka ilmu pengetahuan, kesenian termasuk musik, filsafat dan kebatinan diarahkan untuk satu tujuan yang sama, yaitu kehidupan spiritual. 5 Yusuf Al-Qardhawy, Nasyid Versus Musik Jahiliyah, terj. H. Ahmad Fulex Bisri, H. Awan Sumarna, H Anwar Mustafa, Bandung: Mujahid Press, 2003, hlm. 9-10 6 Dalam budaya Barat terdapat perbedaan tajam antara siapa yamg memproduksi musik dan siapa yang secara mayoritas mengkonsumsi musik. Dan kenyataannya semua golongan mayoritas dapat mengkonsumsi musik, mendengar, menarikan dan mengembangkannya. Kemudian ada kesan bahwa mayoritas diam merupakan masyarakat musikal dalam kapasitas memahami musik. Djohan, Psikologi Musik, Yogyakarta: Buku Baik, 2003, hlm. 7-8 7 Alwi Shihab, Islam Inklusif, Bandung: Mizan, 1999, hal. 234 Musik Kuno India, merupakan salah satu budaya yang diwariskan secara turun temurun oleh pemeluk agama Hindu 8 . Perjalanan sejarah kebudayaan Islam mengantarkan perkembangan musik ke arah musik yang bercorak Islam atau musik yang bernuansa islami salah satunya musik sufi, musik tersebut musik yang memiliki aroma islam Islami. Musik merupakan kesenian yang keindahannya dapat dinikmati melalui indera pendengaran dan telah ada sejak zaman sebelum datangnya Islam. Di Arab, musik dinikmati dengan berbagai macam cara, sesuai dengan suasana hati para penikmatnya. Tetapi pada saat itu, mayoritas musik digunakan untuk bersenang- senang dan hura-hura. Di tempat pertunjukan musik, mereka menari-nari dalam keadaan mabuk menikmati lagu-lagu yang dilantunkan oleh para pemusik yang kesemuanya adalah wanita hamba sahaya. Tidak ada pemusik laki-laki atau orang merdeka, karena bagi mereka menjadi pemusik dianggap sebagai aib bagi orang merdeka dan kaum laki-laki 9 Namun sebagaimana lahirnya musik dalam Islam yang khusus dalam kalangan tasawuf menganggap seni atau musik sebagai salah satu sarana pengenalan terhadap sumber keindahan, yakni Tuhan. Seni merupakan bagian dari keindahan Tuhan, dan bentuk pengekspresian terhadap keindahan tersebut bisa tertuang dalam musik, puisi, lukisan, dan sebagainya. Sehingga sejauh mana orang-orang memahami ataupun mengambil suatu hikmah dari apa yang mereka 8 Hazrat Inayat Khan, Dimensi Musik dan Bunyi, hal. 67 9 Ibid. lakukan, reaksi bahkan refleksi dari keindahan yang mereka buat dapat mencapai suatu tingkatan pendekatan terhadap Tuhan. Musik merupakan salah satu bentuk sarana pemujaan terhadap Tuhan, dengan bermain musik adalah kegiatan dari pengungkapan pengamalan keagamaan seseorang. Baik dimainkan bersamaan dengan prosesi ritual yang dilakukan ataupun tidak adanya ritual. Sebagaimana yang terlihat dan terjadi dalam agama Kristen, musik dianggap sebagai salah satu sarana penunjang dari prosesi ritual. Kristen katolik melakukan upacara kebaktian selalu diiringi musik yang dimainkan serta dengan nyanyian, walaupun itu bukanlah menjadi suatu keharusan, namun itu merupakan suatu fenomena yang sering tampak terjadi. 10 Dalam kalangan Islam juga didapatkan terjadinya pro dan kontra antara halal dan haram tentang musik. Sebut saja Ibnu Hazm, seorang ulama penganut madzhab fiqih Zhahiriyah, yang mengharamkan musik dan alat-alat musik dengan berbagai corak dan bentuknya. Tanpa disadari belasan Ulama pun langsung mengkritik tajam atas gagasan Ibnu Hazm, salah satunya Al-Ghazali yang melontarkan kritik dalam tulisannya, as-Sunnah an-Nabawiyah baina Ahli al- Fiqh wa Ahli al-Hadist Sunnah Nabi Antara Ahli Fikih dan Hadis, setiap orang yang satu pemikiran dengannya terhadap fikih dan para ulamanya, seperti penyimpangan terhadap hadis dan para ulama hadis, Al-Ghazali telah menyebut para ulama sebagai orang-orang yang keterlaluan bodohnya karena mereka 10 Budilinggono, Bentuk dan Analisis Musik, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993, hal. 66. mengharamkan nyanyian. 11 Namun banyak kalangan Islam khususnya kalangan Islam kontemporer yang menghalalkan lagu dan musik dengan dibatasi lagu dan musik tersebut tidak menimbulkan gairah syahwat. Dalam bermain musik terdapat bentuk pemujaan dan kultus terhadap realitas mutlak, salah satu bentuk tingkah laku keagamaan tersebut dapat terlihat dari berbagai fenomena yang tampak, contohnya adalah dilihat dari tema apapun syair lagu tersebut, maka tepat atas apa yang diungkapkan oleh Van Hogel bahwa “tingkah laku agama sebagai suatu pemujaan dari satu sisi dan juga sebagai kultus penghayatan terhadap realitas mutlak atau tertinggi”. 12 Dalam sejarah Islam, untuk menyebut musik seperti yang diartikan sekarang ini, digunakan perkataan handasah al-sawt yang artinya ialah seni suara atau nyanyian. Sedangkan istilah al- musiqȃ musik digunakan untuk menyebut segala jenis musik bersifat hiburan entertainment, pelipur lara. Sedangkan lagu atau nyanyian hiburan lazim disebut al- ghina’, yang terakhir ini secara umum merujuk pada musik atau nyanyian profan, yang tidak punya kaitan langsung dengan kehidupan keagamaan. Bahkan pada masa awal digunakan untuk menyebut nyanyian yang diiringi musik untuk memanggil jin atau roh halus sebagaimana dilakukan ahli-ahli sihir Arab jahiliyah atau dukun-dukun Yahudi yang disebut kahin. Misalnya seperti dilakukan orang-orang Arab Utara sebelum 11 Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Siapa Bilang Musik Haram; Pro Kontra Masalah Musik dan Nyanyian,terj. Abu Umar Basyir dari buku Tahrim alat ath-Tharb, Jakarta; Darul Haq, 2008, hal. 123-124. 12 Joachim Wach, Ilmu Perbandingan Agama: Inti dan bentuk Pengalaman Keagamaan, Jakarta: Rajawali Pers, 1996, hal. 147. datangnya Islam, dalam upacara mengelilingi batu suci nushb yang dimeriahkan dengan nyanyian keagamaan yang disebut nashb. Bermain musik merupakan salah satu bentuk dari pengekspresian atas pengalaman keagamaan. Manusia diberikan oleh Tuhan, sadar atau tidak sadar atas dorongan Tuhan yang tersembunyi itu, menanggapi-Nya dengan cara yang terbaik bukan melalui suatu gerak akal yang sederhana, tetapi melalui suatu perbuatan yang banyak dan kompleks, di mana seluruh sifatnya diperhatikan, dan dalam perkembangannya yang sempurna akan menyerupai sifat-sifat karya seni. 13 Pada awal mulanya musik dipahami oleh Hazrat Inayat Khan seorang tokoh atau guru besar musik spiritual di India, sebagaimana bermusik dengan menggunakan instrumen biasa, namun dengan perkembangan spiritualnya maka perkembangan pula pemahaman Hazrat Inayat Khan terhadap musik. Dalam perkembangan selanjutnya musik dipahami sebagai salah satu sarana pengenalan terhadap Tuhan, di mana Tuhan dianalogikan sebagai sumber keindahan, dan musik merupakan hasil dari keindahan. 14 Menurut Hazrat Inayat Khan musik mempunyai dimensi makro; bahwa arsitektur adalah musik, taman adalah musik, pertanian adalah musik, lukisan adalah musik, puisi adalah musik. 15 Hazrat Inayat Khan mengambil pengertian bahwa alam dengan segala keteraturan dan ketidak keteraturannya, sebagai suatu harmoni dan juga keselarasan akan ciptaan Tuhan. Keharmonisan tersebut merupakan suatu bagian dari musik mikro. 13 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik: Sebuah Pembelaan Musik Sufi oleh Ahmad al- Ghazali, Yogyakarta: Gama Media, 2003, hal. 15. 14 Inayat Khan, Dimensi Mistik Musik dan Bunyi, hal. 8. 15 Ibid, hal. 5. Dengan demikian setelah apa yang diungkapkannya tentu mendapatkan respons baik dalam agama Islam. Namun tentu dapat menimbulkan kontroversi, apakah sebenarnya tujuan daripada pengungkapan tersebut? Ataukah ia mengartikan musik dengan keharmonisan yang ada, merupakan salah satu sistematika spiritual terhadap Tuhan, karena musik diartikan sebagai landasan sumber ciptaan sekaligus sarana untuk menyerapnya dan juga dunia diciptakan oleh musik, dan dengan musik bila dunia ini ditarik ke dalam sumber yang telah menciptakannya. Maka karenanya, apa yang diungkapkan oleh Hazrat Inayat Khan mempunyai pandangan berbeda ataupun berkembang dibandingkan dengan yang lainnya, di mana ia mengungkapkan musik dalam berbagai dimensi yang luas, termasuk di dalamnya dari Islam. Maka dengan permasalahan tersebut, penulis dengan segala ketertarikannya akan hal tersebut memberi tema penelitian “Dimensi Musik Dalam Islam: Studi Pemikiran Hazrat Inayat Khan”.

B. Batasan dan Rumusan Masalah.