menerapkan dasar berimbal balik di sana. Juga apabila kita berbicara prinsip commkon heritage of mankind, berarti semua negara wajib menerapkan prinsip itu
tanpa ada kecuali dan juga tidak mengharuskan adanya hubungan timbal balik.
B. PRINSIP COMMON HERITAGE OF MANKIND DAN AZAS PERDAMAIAN
Peningkatan pesat dalam bidang penerbangan lintas benua dan antar samudera, menimbulkan persoalan-persoalan menyangkut kebebasan transit udara
dan hak-hak mendarat bagi pengangkut-pengangkut udara internasional. Negara- negara yang mengoperasikan perusahan penerbangan internasional yang tidak
memiliki landasan udara yang memadai di bagian-bagian dunia lain biasanya menuntut hak-hak demikian terhadap negara-negara yang memiliki landasan.
Karena permasalahan-permasalahn tersebut, maka pada Konferensi Chicago yang terkandung prinsip Common heritage of maknind pada tahun 1944,
diadakan pembicaraan tentang Five Freedom of the Air yaitu hak setiap perusahaan penerbangan untuk :
1. terbang melintasi wilayah asing tanpa mendarat.
2. mendarat untuk tujuan-tujuan non-trafik.
3. menurunkan trafik dari suatu negara asing yang berasal dari negara asal
pesawat tersebut. 4.
menaikkan trafik dari suatu negara asing yang dituju dengan tujuan negara asal pesawat tersebut.
5. mengangkat trafik di antara dua negara asing.
Universitas Sumatera Utara
Proposal lima kebebasan tersebut diajukan oleh Amerika Serikat, selaku negara operator terkuat waktu itu, namun tidak ada kebulatan suara dalam hal ini.
Hanya dua kebebasan pertama yang memperoleh dukungan sebagian besar negara yang hadir pada konferensi tersebut.
Selanjutnya Konferensi menyusun dua buah perjanjian sebagai berikut : 1.
International Air Service Transit Agreement IASTA, atau Perjanjian Transit Jasa Angkutan udara yang mengatur dua kebebasan yang pertama,
yaitu terbang tanpa melakukan pendaratan di wilayah asing dan mendarat untuk tujuan-tujuan non-trafik di wilayah asing.
Menurut pasal 1 bagian I IASTA, dikatakan bahwa : “Setiap negara anggota menjamin negara anggota lainnya hak pesawat
udara penerbangan internasional berjadwal, terbang di atas wilayahnya dan hak pesawat udara tersebut mendarat tanpa mengambil penumpang, kargo,
dan pos secara komersial.”
18
2. International Act Transport Agreement IATA, atau Perjanjian
Pengangkutan Udara Internasional, yang memuat keseluruhan kebebasan udara tersebut. Negara-negara peserta perjanjian ini, boleh menolak
pesawat udara negara lain memasuki lintas udara di dalam wilayahnya. Tukar menukar hak-hak penerbangan tersebut hanya berlaku bagi negara-
negara anggota IATA. Kedua perjanjian di atas dalam pelaksanaannya harus merunut pada
ketentuan-ketentuan sebagaimana di atur dalam Konvensi Chicago 1944 dan hak- hak yang tercantum dalam perjanjian-perjanjian di atas tidak berlaku bagi bandara
18
K. Martono, SH, LLM. Perjanjian Angkutan Udara di Indonesia, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 1995, hal. 38
Universitas Sumatera Utara
militer. Kemudian jika terjadi perang atau permusuhan, penerbangan-penerbangan tersebut tetap memperoleh izin terlebih dahulu.
Dari sisi penerbangan dan angkutan udara, IATA sebenarnya mempunyai arti npenting, karena memberikan kelima kebebasan udara tersebut, namun
beberapa negara peserta tidak menandatangani perjanjian tersebut, bahkan Amerika Serikat sebagai pelopor perjanjian tersebut, akhirnya menyatakan bahwa
mereka keluar dari keanggotaan IATA. Dalam hal ini, dapat dilihat, bahwa prinsip ketiga, keempat, dan kelima kurang mendapat pengakuan umum sebagai prinsip
mutlak hukum internasional.
19
Guna mengidentifikasi negara peluncur yang telah meluncurkan benda- benda ke ruang angkasa yang telah mengakibatkan kerugian terhadap pihak
tertentu, maka perlu adanya suatu lembaga hukum pendaftaran terhadap benda-
C. PENDAFTARAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN KEGIATAN DI