SEJARAH MUNCULNYA PENERAPAN ZONA LARANGAN TERBANG

Konvensi Paris 1919 di mana ditentukan bahwa pesawat yang melanggar zona larangan diwajibkan untuk segera mendarat di lapangan udara terdekat di luar zona, setelah pelaku pelanggaran zona melapor kepada pejabat penerbangan negara kolong. Ketentuan yang menetapkan bahwa negara awak yang memerintahkan pelaku pelanggaran zona larangan untuk mendarat dan diperiksa, sangat memungkinkan mengingat kondisi semacam ini sebagai akibat dari perkembangan teknologi penerbangan, termasuk peralatan pendeteksi yang dimiliki negara yang menetapkan zona laragan terbang tersebut.

D. SEJARAH MUNCULNYA PENERAPAN ZONA LARANGAN TERBANG

Pada awal kelahiran dunia penerbangan, pesawat udara dipakai sebagai alat transportasi yang melintasi batas kedaulatan suatu negara terhadap negara lain tanpa memperhatikan hak-hak negara di bawahnya., sehingga menimbulkan masalah kedaulatan negara. Hal ini secara resmi dibahas dalam Konferensi Paris 1910. Konferensi yang semula bermaksud meletakkan dasar-dasar pengaturan navigasi penerbangan dan operasi penerbangan internasional tersebut gagal mencapai tujuannya mengesahkan konvensi internsional karena terpukau pada masalah kedaulatan negara di wilayah uadara di atasnya serta hak-hak negara kolong. Kegagalan konferensi tersebut memaksa Inggris secara sepihak mempunyai kedaulatan secara penuh dan utuh complete and exclusive sovereignity di wilayah udara di atasnya dan mengumumkan Aerial Navigation Universitas Sumatera Utara Act of 1911 untuk melindungi keamanan dan pertahanan nasional yang terancam karena adanya penerbangan pesawat udara asing. Berdasarkan Aerial Navigation Act tersebut, pemerintah Inggris menetapkan zona udara terlarang dan penerbangan di zona tersebut merupakan pelanggaran yang dapat diancema dengan hukuam. Dua tahun kemudian, yaitu pada tahun 1913, pemerintah Inggris memberi wewenang kepada Menteri Dalam Negeri untuk menetapkan kawasan udara terlarang atas pertimbangan keamanan dan pertahanan, serta keselamatan umum untuk menembak pesawat udara yang melintasi zona udara terlarang tersebut. Tindakan sepihak oleh Inggris tersebut tidak ditentang oleh negara-negara Eropa lainnya, bahkan sebaliknya diikuti oleh negara-negara Eropa seperti Prancis, Jerman, Belanda, Belgia, Denmark dan negara-negara lain sehingga tindakan tersebut dibenarkan oleh huku kebiasaan internasional. Masing-masing negara mengumumkan bahwa negaranya berdaulat penuh dan utuh di ruang udara di atas wilayahnya dan menetapkan zona udara terlarang, karena banyaknya zona udara terlarang yang ditetapkan di berbagai negara Eropa, mengakibatkan penerbangan internsional hanya dapat dilakukanh pada jalur-jalur udara tertentu yang menghubungkan tempat-tempat tertentu setelah memperoleh izin. Setelah perang dunia pertama berakhir, dunia penerbangan mengahdapi kenyataan banyaknya ahli penerbangan baik personil darat maupun personil udara serta pesawat udara dan pemuda yang biasanya berperang terpaksa menganggur, memaksa untuk memanfaatkan sumber daya tersebut, tetapi di lain pihak masalah kedaulatan negara dan keamanan nasional harus dipikirkan pula. Universitas Sumatera Utara Untuk maksud tersebut, telah disahkan Konvensi Paris 1919 yang brjudul “Convention Relating to the Regulation of Aerial Navigation”. Konvensi tersebut pada prinsipnya mengatur prinsip-prinsip dasar penerbangan internsional, kebangsaan pesawat udara, sertifikat kelaikan udara, dan sertifikat kecakapan, izin navigasi penerbangan di atas wilayah negara lain, persyaratan penerbangan internsional, larangan mengangkut barang-barang berbahaya, zona uadara terlarang, dan kondisi navigasi penerbangan internasional. Sepanjang manyangkut kedaulatan di wilayah udara di atasnya, Konvensi Paris 1919 yang ditandatangani tanggal 13 Oktober 1919 tersebut hanya menyatakan hukum kebiasaan internasional yang telah dibentuk sejak Inggris melakukan tindakan sepihak tahun 1911. Hal ini tercantum dalam Pasal 1 Konvensi Paris 1919 yang berbunyi : “The High Cntracting Parties recognize that every Power has complete and exclusive souvereignity over the air space above its territory”. Sedangkan sebagai konsekuensi dari kedaulatan di udara sebgaimana diatur dalam Pasal 1 konvensi tersebut memberikan kekuasaan negara berdaulat untuk menetapkan zona udara terlarang atas pertimbangan militer atau keamanan umum. Namun demikina, larangan tersebut harusdiumumkan dan diberitahukan sebelumnya kepada kepada negara anggota maupun Komisi Navigasi Penerbangan Internasional. Dalam praktiknya, pemberitahuan tersebut dalam bentuk NOTAM Notice to Airman kelas 1. Berdasarkan pasal tersebut, semua pesawat udara sipil nasional maupun pesawatudara sipil asing dilarang terbang di atas zona udara terlarang tersebut sesuai dengan asas The Most Favourable Nation Treatment dalam pergaulan internasional. Universitas Sumatera Utara Di dalam perkembangannya, pasal 3 dirubah dengan protokol yang ditandatangani tanggal 15 Juni 1929. Perubahan tersebut antara lain memberi kekuasaan kepada negara berdaulat untuk mengijinkan pesawat udara sipil nasional terbang di atas zona udara terlarang dalam hal sangat penting. Demikian pula dikatakan dalam hal masa damai negara tersebut berhak untuk menetapkan zona udara terlarang seluruh atau sebagian. Semua negara tersebut berhak untuk menetapkan zona udara terlarang seluruh atau sebagian. Semua bentuk penerbangan dilarang di atas zona tersebut. Bilaman hal ini dilakukan juga, maka harus meberitahukan segera anggota lainnya serta Komisi Navigasi Penerbangan Internasional. Menurut pasal 4 Konvensi yang sama, dalam hal terdapat pesawat udara sipil asing yang berada pada zona uadara terlarang, begitu sadar posisinya berada pada zona terlarang, hendaklah segera mengirim tanda bahaya sebagaimana diatur dalam pasal 17 Annex D dan segera mendarat di bandar udara terdekat di luar zona terlarang tempat pesawat udara tersebut terbang. Memang Konvensi Paris 1919 lebih mempertimbangkan segi pertahanan dan keamanan nasional daripada pertimbangan kesejahteraan nasional. Di dalam pasal 26 ditegaskan kembali bahwa tidak ada pesawat udara sipil asing boleh melakukan penerbangan dengan membawa senjata api atau bahan peledak serta peralatan foto yang akan membahayakan pertahanan dan keamanan. Dasar pertimbangan Konvensi Chicago 1944 yang merupakan produk pengaturan penerbangan sipil internasional setelah perang dunia kedua, berbeda dengan dasar pertimbangan Konvensi Paris 1919. Menurut Konvensi Chicago Universitas Sumatera Utara 1944, angkutan udara internasional dapat menciptakan persaudaraan dam mempererat persahabatn yang penuh pengertian antar bangsa, memperpendek jarak sehingga mempermudah saling berkunjung antar bangsa yang dapat memelihara perdamaian dunia serta meningkatkan kesejahteraan umat manusia, oleh karena itu perlu adanya koordinasi internasional untuk meletakkan dasar- dasar pengaturan penerbangan internasional guna menjamin angkutan udara secara selamat, lancar, tertib, aman dan nyaman serta memberi kesempatan yang sama bagi seluruh anggotanya untuk menyelenggarakan angkutan udara internasional. Dari mukaddimah konvensi tersebut ternyata bahwa maksud tujuan utama bukan terletak pada keamanan nasional sebaimana Konvensi Paris 1919, melainkan lebih menekankan pada kemakmuran bersama antar bangsa. Walapun dalam kenyataannya konvensi ini tidak berhasil mempertukarkan hak-hak penerbangan secara multilateral yamng mempunyai nilai komersial. Hal ini terbukti dari ketentuan pasal 5 dan pasal 6 yang keduanya mengatur tentang penerbangan komersial. Kecuali masalah ekonomi yang belum pernah diatur dalam Konvensi Paris 1919. Konvensi Chicago 1944 berisikan penegakan kembali prinsi-prinsip dasar yang telah disetujui oleh Konvensi Paris 1919. Konvensi tersebut mengatur navigasi penerbangan yang meliputi prinsip-prinsip dasar seperti penerbangan di wilayah lain, ketentuan mengenai navigasi penerbangan internasional, wilayah udara penerbangan, penerbangan tanpa awak pesawat udara, penerbangan di atas laut lepas, izin penerbangan, pungutan biaya penggunaan fasilitas navigasi penerbangan, kebangsaan pesawat udara, fasilitas Universitas Sumatera Utara penerbangan, dokumen penerbangan internasional, sertifikat pendaftaran pesawat terbang, sertifikat kecakapan. Walaupun penekanan pada segi ekonomi cukup besar, Konvensi Chicago 1944 tetap mempertahankan prinsip kedaulatan negara sebagaimana diatur dalam Konvensi Paris 1919, karena semua pengaturan bersumber pada kedaulatan. Sepanjuang menyangkut zona udara terlarang diatur dalam pasal 9. Menurut pasal 9, dikatakan bahwa setiap negara berhak menetapkan zona udara terlarang bagi pesawat sipil asing baik untuk penerbangan internasional berjadwal, maupun tidak berjadwal.Larangan terbang di atas zona terlarang tersebut berlaku pula bagi pesawat udara sipil nasional. Perluasan dan perubahan zona udara terlarang baik seluruh maupun sebagian wilayah harus segera diberitahukan kepada ICAO beserta anggotanya. Penentuan batas zona udara terlarang tersebut harus wajar tanpa mengganggu kelancaran serta mengakibatkan keterlambatan penerbangan komersial. Dalam hal pesawat udara sadar tersasar dalam zona udara larangan terbang, maka ia harus segera memberi tanda bahaya dan mendarat di bandar udara terdekat, di luar daripada zona terlarang tersebut. Sedangkan bilaman pesawat tidak menyadari posisinya yang sedang berada pada zona udara terlarang tersebut, maka pesawat tersebut akan di “intercept”oleh peswat udara militer. Secara teknis, tata cara “intercept” telah diatur dalam Annex 2 Konvensi Chicago 1944 tentang “Rules of The Air”. Dalam hal ini pesawat udara sipil yang di ‘intercept’ harus mengikuti perintah, untuk menghindari resiko yang lebih besar. Universitas Sumatera Utara Jalur udara yang berlaku di atas laut, diatur dalam pasal 53 United Nation Convention on the Law of Sea UNCLOS. Berdasarkan pasal tersebut, tidak dijelaskan apakah jalur tersebut berlaku pula untuk pesawat udara sipil ataupun pesawat udara militer. Walaupun demikian, dengan mengingat jalur-jalur penerbangan sipil telah diatur dalam Konvensi Chicago 1944, dapat ditafsirkan bahwa jalur udara yang diatur dalam UNCLOS hanya dimaksudkan untuk pesawat udara milik pemerintah. Jalur udara di atas selat yang yang dipergunakan untuk pelayanan internasional, ditentukan 25 mil laut ke kanan dan ke kiri dihitung dari sumbu. Dalam hal terjadi suatu pelanggaran yang terbang di luar jalur yang telah ditetapkan, dapat dipaksa untuk mendarat dan mengirim nota protes melalui saluran diplomatik. Menurut pasal 9 Konvensi Chicago 1944, setiap negara berhak menetapkan kawasan udara terlarang atas pertimbangan keselamatan umum. Alasan keselamatan misalnya karena bencana alam yang membahayakan keselamatan penerbangan seperti gunung meletus. Dalam hal terjadi bencana alam, setiap negara berhak dan wajib melarang semua pesawat udara yang melakukan penerbangan pada jalur tersebut. Konvensi Chicago 1944 yang menggantikan Konvensi Paris 1919, kekuatan hukumnya adalah sebagai kaidah Hukum Internasional. Kenyataan ini ditandai sebagai akibat dari perubahan dan perkembangan teknologi penerbangan internasional sebelum dan sesudah perang dunia kedua, baik penerbangan sipil maupun militer. Meskipun beberapa prinsip tetap berlaku, tetapi banyak terdapat Universitas Sumatera Utara perubahan dan penciptaan kaidah hukum udara yang baru sesuai dengan tuntutan dunia penerbangan internasional di akhir perang dunia kedua. Ada tiga perkembangan sikap negara-negara di dunia yang penting pada era paska perang dunia kedua yang berkaitan dengan dunia penerbangan internsional. Pertama, kesadaran akan doktrin kekuatan udara sebagai bagian dari kekuatan nasional. Kuat lemahnya negara ditentukan abtara lain oleh tingkat kekuatan negara di wilayah uafaranya. Ini berarti kemampuan dana dan teknologi negara kolong tersebut untuk memanfaatkan kawasan udara di atasnya. Kekuatan udara air power suatu negara adalah kemampuan suatu negara untuk memanfaatkan dan bertindak tegas dengan menggunakan media udara. Pada masa damai, kemampuan itu terwujud dalam bentuk kegiatan penerbanganangkutan sipil, sedangkan pada masa perang, kemampuan tersebut terbentuk pada armada pesawat-pesawat tempur dan pengangkut senjatabom untuk aksi serangan dan gempuran udara. Kedua, berdasarkan doktrin kekuatan udara serupa itu, maka negara- negara sekarang memandang penyelenggaraan penerbangan udara sipil merupakan hal yang sangat penting untuk kepentingan negara. Penerbangan sipil ini mengarah kepada kegiatan penumpukan kegiatan ekonomi yang berarti penumpukan kekuatan nasional negara yang bersangkutan. Ketiga, mengingat cita-cita setiap negara untuk dapat menyelenggarakan usaha penerbangan sipil internsional yang mantap telah mendorong mereka untuk melakukan upaya peningkatan kerjasama internasional. Dan kesadaran untuk Universitas Sumatera Utara membina kerjasama internsional ini pun menentuka sifat dan penetapan konsep zona udara terlarang dalam konvensi Chicago 1944. Universitas Sumatera Utara

BAB III KEBERADAAN PRINSIP COMMON HERITAGE OF MANKIND PADA

Dokumen yang terkait

Tinjauan Hukum Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan Sipil Terhadap Kerugian yang Timbul Berdasarkan Konvensi Chicago Tahun 1944

2 43 114

Pelanggaran Pesawat F-18 Hornet Milik Amerika Serikat Diwilayah Kedaulatan Indonesia Ditinjau Dari Konvensi Chicago Tahun 1944

3 28 90

Penetapan Laik Terbang Pesawat Udara Indonesia Dikaitkan Dengan Konvensi Chicago 1944.

0 0 6

Penerapan Prinsip-Prinsip Unidroit Dan Konvensi Internasional Terhadap Pembaharuan Hukum Kontrak Indonesia.

0 0 6

STATUS HUKUM PESAWAT UDARA SIPIL YANG DIGUNAKAN SEBAGAI SENJATA PENGHANCUR BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO 1944.

0 0 2

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM UDARA INTERNASIONAL MENURUT KONVENSI CHICAGO 1944 A. Sejarah Hukum Udara Internasional - Tinjauan Yuridis Hukum Udara Internasional Dalam Kasus Jatuhnya Pesawat Tempur Rusia Akibat Penembakan Turki

0 0 29

BAB II PANDANGAN UMUM TENTANG ZONA LARANGAN TERBANG A. PENGERTIAN ZONA LARANGAN TERBANG - Pemberlakuan Zona Larangan Terbang Di Suriah Menurut Ketentuan Hukum Internasional

0 0 29

Tinjauan Hukum Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan Sipil Terhadap Kerugian yang Timbul Berdasarkan Konvensi Chicago Tahun 1944

0 2 36

BAB II Pengaturan Aspek Ekonomi Penerbangan Sipil Menurut Konvensi Chicago 1944 - Tinjauan Hukum Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan Sipil Terhadap Kerugian yang Timbul Berdasarkan Konvensi Chicago Tahun 1944

0 0 15

PENGATURAN ANNEX 13 KONVENSI CHICAGO 1944 DALAM PROSES INVESTIGASI KECELAKAAN PESAWAT TERBANG SIPIL YANG JATUH DI WILAYAH KONFLIK (STUDI KASUS KECELAKAAN PESAWAT MH17 DI UKRAINA)

0 0 16