BAB IV IMPLIKASI PENERAPAN KONSEP LARANGAN TERBANG OLEH
SUATU NEGARA DAN KETERKAITANNYA PADA PRINSIP COMMON
HERITAGE OF MANKIND BERDASAR PERATURAN INTERNASIONAL KONVENSI CHICAGO 1944
A. PENERAPAN KONSEP LARANGAN TERBANG OLEH BEBERAPA NEGARA
Konvensi Paris 1919 dan penggantinya yakni konvensi Chicago 1944 mendasarkan konsep zona udara terlarang itu ditetapkan oleh negara kolong demi
alasan militer dan sistem petahanan keamanan. Penetapan zona udara terlarang itu sesungguhnya merupakan suatu upaya demi penerapan dan penghormatan
kedaulatan negara tersebut atas wilayah udaranya. Konsep zona larangan terbang kinimenjadi kerangka dasar prinsip hukum udara internasional yang telah
disepakati oleh negara-negara peserta Konvensi Chicago 1944 tersebut. Dalam praktik, ada terjadi beberapa kasus yang berkaitan dengan
penetapan zona larangan terbang oleh beberapa negara tertentu. Contoh pertama, konflik internasional antara India dan Pakistan yang
terjadi pada tahun 1952.
31
31
Yasdi Hambali, Zona udara terbang, Kompas, Jakarta 23 September 1983
. Pada tahun 1952 Pakistan menciptakan suatu zona larangan terbang yang berakibat tertutupnya jalur penerbangan langsung antara
New Delhi dengan Kabul, Afghanistan. Padahal jalur udara tersebut selama ini dipergunakan oleh maskapai penerbangan sipil internasional India. Pengalihan ke
Universitas Sumatera Utara
jalur lain untuk menghindari zona terlarang itu akan berakibat pada rute yang ditempuh lebih panjang dan akan menimbulkan kerugian baik dari segi waktu
maupun dari segi ekonomis pihak India. India dalam hal ini langsung mengadukan persoalan tersebut kepada Dewan ICAO yang salah satu dungsinya adalah
menyelesaikan dan menengahi pertikaian antar negara mengenai udara. Dalam kasus ini pikah Pakistan, telah mengabaikan prinsip hukum udara internasional
seperti yang tertuang dalam Konvensi Chicago 1944, yakni mengenai prinsip tidak adanya perbedaan. India merasa tidak senang, karena ada kebebasan bagi
pesawat Iran untuk melewati jalur udara yang terlarang tersebut. Dalam penetapan zona udara terlarangnya itu, Pakistan mendasarkan dalih pada kepentingan
keselamatan umum. Ketika masih di bawah pemerintahan jajahan Inggris, hal semacam itu pernah diterapkan Inggris pada tahun 1935. Penengahan yang
dilakukan ICAO berhasil menciptakan kesepatan antara Pakistan dan India berupa pembentukan dua jalur lintas udara India- Afghanistan untuk kepentingan lalu
lintas penerbangan internasional India dari dan ke Nwe Delhi-Kabul. Contih kedua, sengketa antara Inggris dan Spanyol yang terjadi pada tahun
1967. Spanyol menyatakan bahwa wilayah udara Algeeiras yang melingkupi semenananjung Gibraltar yang dikuasai Inggris sebagai suatu zona larangan
terbang. Hal ini berarti aktivitas naik turunnya pesawat terbang di Bandara Gibraltar terganggu. Inggris mengadukan masalah ini ke Dewan ICAO dengan
menyatakan bahwa penetapan zona terlarang itu oleh Spanyol tidak memenuhi unsur “reasonable”, tidak wajar lagi. Ketetapan zona larangan terbang itu meliputi
area udara yang begitu luas, sehingga tidak mengandung kewajaran lagi. Padahal
Universitas Sumatera Utara
syarat mengenai kewajaran lokasi dan luas dari zona merupakan persyaratan bagi diciptakannya zona terlarang sebagaimana diatur dalam Konvensi Chicago 1944.
Spanyol mengambil landasan alasan bahwa Gibraltar adalah pangkalan udara militer, karena itu pengaturan mengenai maslah zona larangan terbang di luar
yurisdiksi berlakunya rezim hukum yang ditetapkan oleh ICAO. Namun, akhirnya konflik antara kedua negara diselesaikan melalui perundingan bilateral langsung.
Contih ketiga, peristiwa yang berkaitan langsung dengan konsep zona larangan terbang terjadi pada tahun 1983, ketikan pesawat Uni Sovyet menembak
sebuah pesawat penumpang sipil Boeing 747 milik perusahaan penerbangan Korea Selatan, Korean Airlines KAL. Uni Sovyet telah menembak jatuh
pesawat KAL tersebut pada tanggal 1 September 1983 pada saat pesawat malang itu keluar jalur internasional yang menghubungkan antara Anchourage-Seoul-
Tokyo, lalu tersesat dan memasuki wilayah udara Uni Sovyet di kawasan Pulau Shakalin. Pihak Uni Sovyet menuduh pesawat tersebut dalam misi mata-mata
yang sengaja masuk ke zona larangan terbang pada Wilayah Shakalin yang merupakan area sensitif, karena merupakan pangkalan selam nuklir milik Uni
Sovyet. Menurut keterangan pilot Uni Sovyet yang melakukan penembakan terhadap pesawat KAL tersebut, pesawat itu bukan saja keluar dari jalur
internasional, tetapi juga langsung masuk ke zona larangan terbang menuju ke salah satu pangkalan militer. Pada saat itulah ia menerima perintah untuk
melakukan penembakan terhadap pesawat penumpang sipil tersebut. Kasus yang memakan banyak korban sipil tersebut menjelang usainya perang dingin antara
Blok barat Amerika Serikat dengan Blok Timur Uni Sovyet tampaknya kurang
Universitas Sumatera Utara
mendapat perhatian dunia internasional, baik secara hukum maupun kebijakan politik global kasus penembakan pesawat KAL itu memang dilakukan pihak Uni
Sovyet dalam rangka demi pengamanan dan keamanan di zona udara terlarangnya.
Contoh keempat, terjadi pada tahun 1986, ketika pesawat tempur Amerika Serikat melancarkan serangan udara atas kawasan sipil di Tripoli dan Benghazi,
Libya, yang pada hakikatnya Amerika Serikat telah melanggar hukumk udara internasional karena telah menerobos secara tidak sah wilayah nasional udara
Libya. Apalagi gempuran itu merupakan tindakan main hakim sendiri oleh Amerika Serikat yang menuduh warga Libya telah membom diskotik di Berlin
beberapa waktu sebelumnya yang meminta korban serdadu warga negara Amerika Serikat tewas. Tuduhan Amerika Serikat itu tidak pernah terbukti secara hukum
dan ternyata si pelaku pemboman itu adalah seorang dari negara Timur Tengah lain. Sebaliknya Amerika Serikat telah melanggar Hukum Humaniter
Internasional dengan menggempur sasaran sipil dan menjatuhkan korban 400 warga sipil Libya yang terdiri dari anak-anak, orang tua, perempuan dan orang
cacat. Namun Amerika Serikat tidak pernah terkena tindakan hukum apapun, baik yang didasarkan kepada Konvensi Chicago 1944 maupun resolusi ataupun sanksi
Dewan Keamanan PBB. Akan tetapi, adidaya Barat, yaitu Amerika Serikat dan Inggris secara gencar menindak Libyadengan resolusi Dean Keamanan PBB tahun
1992 berupa sanksi Embargo udara dan senjata, pembekuan asset milik Libya di luar negeri. Kesalahan Libya adalah karena negeri “kaya minyak” di pesisir utara
Afrika tersebut tidak menyerahkan dua warganya El Meghrari dan Khalifah
Universitas Sumatera Utara
Fhima, tersangka pelaku pemboman pesawat penumpang PanAm di Lockerbie, Skotlandia 1988. Sesungguhnya Barat melalui resolusi Dewan Keamanan PBB
mengenai kasus Lockerbie itu telah melakukan pengalihan rezim hukum pidana internasional kepada hukum publik internasional. Kasus ini seharusnya
diselesaikan melalui kaidah Hukum Internasional, yaitu melalui Konvensi Sabotage Montreal 1971, yaitu konvensi tentang penanggulangan tindak-tindak
kejahatan terhadap keamanan penerbangan sipil. Berdasarkan Konvensi Montreal 1971 itu, negara tersangkalah yang berhak melakukan pemeriksaan peradilan
terhadap kedua tersangka pelaku kejahatan. Akan tetapi Amerika Serikat dan Inggris yang bersikeras menuntut ekstradisi kedua warga Libya itu dijadikan dasar
bagi dijatuhkannya sanksi oleh Dewan Keamanan PBB No. 731 tahun 1992, padahal belum ada keputusan atau amar dari International Court of Justice
Mahkamah Internasional, lembaga hukum dari PBB. Pelanggaran oleh Amerika Serikat terhadap kedaulatan wilayah udara nasional Libya dan pelanggaran hukum
kemanusiaan melalui serangan udara Amerika Serikat ke Libya tahun 1986 tidak pernah digugat atau dihujat oleh masyarakat internasional, malah sebaliknya,
Libya terus ditindas oleh kebijakan dan kepentingan Amerika Serikat dan Inggris sehubungan dengan kasus Lockerbie tersebut.
Dari keempat kasus di atas jelas terlihat bahwa dominasi adidaya Barat terhadap perkembangan dan penerapan Hukum Internasinal dan terhadap badan
dunia PBB terungkap lagi, karena International Court of Justice Mahkamah Internasional justeru mengharuskan negara-negara anggota PBB untuk lebih
mematuhi dan menghormati Resolusi PBB daripada International Court of Justice
Universitas Sumatera Utara
itu sendiri maupun Piagam PBB. degan demikian dapat disimpulkan bahwa penegakan wibawa hukum internasional secara global dewasa ini masih senantia
dibayangi oleh kekuatan kendali negara-negara yang mempunyai air-outer space power yang tangguh. Ini berarti penegakan hukum tergantung kepada siapa yang
mempunyai kekuatan dan kekuasaan.
B. LAHIRNYA KONVENSI CHICAGO 1944