Implikasi Penerapan Konsep Larangan Terbang Oleh Suatu Negara Dan Keterkaitannya Pada Prinsip Common Heritage Of Mankind Berdasar Peraturan Internasional (Konvensi Chicago 1944)

(1)

IMPLIKASI PENERAPAN KONSEP LARANGAN

TERBANG OLEH SUATU NEGARA DAN

KETERKAITANNYA PADA PRINSIP COMMON HERITAGE

OF MANKIND BERDASAR PERATURAN

INTERNASIONAL (KONVENSI CHICAGO 1944)

S K R I P S I

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas Guna

Memenuhi Syarat-syarat untuk Mencapai

Gelar Sarjana Hukum

Oleh

MOHAMMAD PRIMA DENDI

N I M : 060200091

DEPARTEMEN : HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

IMPLIKASI PENERAPAN KONSEP LARANGAN TERBANG OLEH SUATU NEGARA DAN KETERKAITANNYA PADA PRINSIP COMMON HERITAGE OF MANKIND BERDASAR PERATURAN INTERNASIONAL

(KONVENSI CHICAGO 1944)

S K R I P S I

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas Guna Memenuhi Syarat-syarat untuk Mencapai

Gelar Sarjana Hukum Oleh

MOHAMMAD PRIMA DENDI N I M : 060200091

DEPARTEMEN : HUKUM INTERNASIONAL

KETUA DEPARTEMEN

SUTIARNOTO MS, SH, M.HUM NIP. 195610101986031003

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

SUTIARNOTO MS, SH, M.HUM CHAIRUL BARIAH, SH., M.HUM NIP. 195610101986031003 NIP. 195612101986012001

FAKULTAS HUKUM

UNVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah Penulis ucapkan kepada Allah SWT atas rahmat,

dan berkah-Nya yang telah diberikan kepada Penulis sehingga akhirnya pada hari

ini, Penulis diberikan kemudahan jalan untuk menyelesaikan skripsi ini.

Penulisan skripsi ini dimaksudkan sebagai salah satu syarat atau syarat

terakhir dalam menyelesaikan pendidikan Penulis di Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara Medan, untuk mencapai gelar Sarjana Hukum.

Dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari berbagai macam kesulitan

yang Penulis temui, namun berkat izin dari Allah SWT, dan kesempatan serta

bantuan yang diberikan akhirnya Penulis dapat juga menyelesaikan skripsi ini.

Untuk itu, Penulis hendak mengucapkan banyak terima kasih kepada orang-orang

yang selama ini telah banyak membantu Penulis, dalam menyelesaikan skripsi ini:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Sutiarnoto MS, SH., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum

Internasional pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

3. Bapak Arif, SH., M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum

Internasional pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

4. Bapak Sutiarnoto MS, SH., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I Penulis

dalam pembuatan skripsi ini. Terima kasih atas kesediaan waktu yang


(4)

5. Ibu Chairul Bariah, SH., MH, selaku Dosen Pembimbing II Penulis.

Terima kasih khusus Penulis ucapkan kepada Ibu atas ilmu yang telah Ibu

berikan kepada Penulis, bimbingan-bimbingan Ibu dan juga atas waktu

yang telah Ibu luangkan untuk membimbing Penulis. Semoga Allah SWT

membantu segala kebaikan Ibu dan selalu melimpahkan rahmat-Nya

kepada Ibu sekeluarga. Amin.

6. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan,

terutama dosen-dosen pengajar pada Bagian Hukum Internasional pada

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, yang telah

memberikan pengajaran kepada Penulis.

7. Bagian Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Bagian Kemahasiswaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Bapak Syaiful Azam, SH., M.Hum, selaku dosen wali Penulis.

10.Kedua Orang Tua Penulis atas dukungan materil dan imaterilnya, mental

dan spiritual.

11.Ibu Ernawati Purba, selaku Ibu kos Penulis, terima kasih yang mendalam

Penulis ucapkan, atas cinta dan kasih sayang yang telah diberikan kepada

Penulis lebih dari teman-teman kos Penulis lainnya.

12.Kepada sahabat-sahabat Penulis yang Penulis sayangi dan cintai, Putri

Nesia Dahlius, Khairunnisa Ginting, Hamdani Parinduri, Ismi Beby

Lestari Harahap dan Anggia Nurul Khairina, SH, yang selalu

bersama-sama di setiap saat di kampus, dan yang telah mendidik Penulis secara tak


(5)

13.Kepada teman-teman Penulis di Bagian Hukum Internasional, yang selalu

saling berbagi ilmu dan informasi, Jessica Dillon, Elsya Meici Asterina,

Sailanov, Rentha Natalia Pardede, SH, Debora Saragih, Jeffri, SH, Darwin

Sim, SH, Lesly Saviera, SH, Reza Boboy, Kukuh Tejo Murti, SH, Rendy

Febian Arifandi, Ruth Yenni Kudadiri, Evelyn Herawati Sitorus, SH,

Yulia Indriany dan lainnya.

14.Teman-teman Penulis lainnya di Grup B Stambuk 2006, Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara Medan, Asri Handayani, Nursari Dewi

Marpaung, Netti Octris Pratiwi, Sudirman Naibaho, Muhammad Firnanda,

Ahmad Parlindungan Hasibuan, Khairuna Malik Hasibuan, Riska

Mauliyan Pulungan, Riko Nugraha, Mustika Anggriani Sihombing, Dina

Kristina Sitepu, Tengku Rizki Alisyahbana, SH, Indra Tarigan, Gishela

Agustina Hutagalung dan lainnya, senang berjumpa dan kenal dengan

kalian, yang telah memberi warna di hidup Penulis.

15.Teman-teman Penulis di Kota Medan, yang turut menorehkan kisah pada

perjalanan hidup Penulis di Kota Medan, Ismail Marzuki Siregar, Amd,

Rahmaningsih Simamora, Tari Instanti Dewi Bangun, Fadhillah Astrid

Sitompul, Dearma Sinaga, Nurul Ain, Randy Saputra, Vika Septanty

Hasan, Selly Novita Siregar, Yunika Anita Anwar, Ardiansyah Sipahutar,

Wulan Suci Lestari, Rudy Sutoyo, Amd, Kurniawan Jerry, Insya Allah tak


(6)

16.Kepada Kak Amalia Fitri Andini Sumitra dan Kak Handa Yani, pada

Bagian Kemahasiswaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

terima kasih atas kerja samanya selama ini, dalam hal bantuan finansial

Penulis.

Akhirnya Penulis mohon diri, seandainya tulisan/skripsi ini ada

manfaatnya bagi kita, hal ini semata-mata atas kuasa Allah SWT dan ilmu yang

telah diberikannya. Apabila ada kekuarangan dalam penulisan skripsi ini, Penulis

mohon maaf, karena keterbatasan ilmu yang penulis miliki. Semoga Bermanfaat.

Amin.

Medan, 23 Februari 2010

Hormat Penulis,


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI...v

ABSTRAK...vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang………...……...1

B. Rumusan Masalah………...………...………4

C. Tujuan Penulisan………. ...…...……....……..5

D. Metode Penulisan...6

E. Sistematika Penulisan...6

BAB II KEDAULATAN SUATU NEGARA ATAS SUATU ZONA LARANGAN TERBANG A. Pengertian Kedaulatan...9

B. Kedaulatan Suatu Negara Atas Ruang Udara Wilayahnya...13

C. Pengertian Dan Batas-Batas Terapan Zona Larangan Terbang...20


(8)

BAB III KEBERADAAN PRINSIP COMMON HERITAGE OF MANKIND PADA RUANG ANGKASA

A. Lahirnya Prinsip Common Heritage Of Mankind………..….34

B. Prinsip Common Heritage Of Mankind Dan Azas Perdamaian….…….44

C. Pendaftaran Dan Pertanggungjawaban Kegiatan Di Ruang Angkasa...46

BAB IV IMPLIKASI PENERAPAN KONSEP LARANGAN TERBANG

OLEH SUATU NEGARA DAN KETERKAITANNYA PADA

PRINSIP COMMON HERITAGE OF MANKIND BERDASAR PERATURAN INTERNASIONAL (KONVENSI CHICAGO 1944)

A. Penerapan Konsep Larangan Terbang Oleh Berbagai Negara………....70

B. Lahirnya Konvensi Chicago 1944………...….……..75

C. Konvensi Chicago 1944 Dan Prinsip-Prinsip Yang Terkandung Di

Dalamnya………79

D. Penerapan Prinsip Common Heritage Of Mankind……...81

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan………...………89


(9)

ABSTRAK

Sebagaimana kita ketahui, bahwasanya atas dasar tersebut Uni Eropa memberlakukan ketentuan larangan terbang terhadap pengangkut sipil dari Indonesia ke wilayahnya. Larangan tersebut dibuat untuk melindungi kepentingan 27 negara-negara Uni Eropa yang dikeluarkan oleh European Commission pada 4 Juli 2007 (EC No.787/2007). Ketentuan sepihak tersebut dikeluarkan oleh Uni Eropa dengan alasan bahwa terdapat bukti kurang terpenuhinya faktor keselamatan yang dikeluarkan oleh regulator, kemampuan dan keinginan dari pengangkut untuk mengambil langkah-langkah yang serius untuk menanggulangi minimnya standar keselamatan, kemampuan dan keinginan dari regulator untuk menjamin bahwa pengangkut melaksanakan ketentuan tentang keselamatan penerbangan serta penegakan hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pengangkut, kemampuan dan keinginan regulator untuk menyelesaikan masalah keselamatan yang timbul karena kecelakaan. Bahwa harusnya Indonesia dan Uni Eropa sama-sama harus mematuhi ketentuan yang diatur dalam Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO). Uni Eropa tidak berhak melakukan tindakan unilateral yang bertentangan Sdengan ketentuan ICAO. Mestinya yang memutuskan apakah suatu negara memadai atau kurang memadai dalam memajukan keselamatan penerbangan adalah ICAO dan bukan sekelompok negara dalam Uni Eropa.

Adapun metode penulisan yang Penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini, yaitu metode Deskriptif-Analitis, yaitu di mata penulis menggambarkan dan menjelaskan semua permasalahan dan kemudian menguraikannya lebih lanjut agar diperoleh keterangan dan jawabanan yang jelas.

Adapun pengaturan hukum internsional terhadap ketentuan zona larangan terbang telah diatur dalam Konvensi Chiocago 1944, konsep Common Heritage of Mankind merupakan pembatasan terhadap kedaulatan suaru negara di ruang angkasanya, oleh karena menurut prinsip tersebut, ruang angkasa adalah suatu daerah yang bebas, dan tidak dapat dimiliki oleh suatu negarapun, dengan diterapkan prinsip Common Heritage of Mankind, maka membawa implikasi bahwa suatu negara tidak dapat mengklaim suatu wilayah di ruang angkasa. Suatu negara tidak dapat dengan alasan kedaulatan atas ruang angkasanya, lantas memberlakukan penutupan terhadap ruang udaranya secara sepihak dan menyeluruh, selain atas dengan alasan pertahanan dan keamanan, juga keselamatan penerbangan.


(10)

ABSTRAK

Sebagaimana kita ketahui, bahwasanya atas dasar tersebut Uni Eropa memberlakukan ketentuan larangan terbang terhadap pengangkut sipil dari Indonesia ke wilayahnya. Larangan tersebut dibuat untuk melindungi kepentingan 27 negara-negara Uni Eropa yang dikeluarkan oleh European Commission pada 4 Juli 2007 (EC No.787/2007). Ketentuan sepihak tersebut dikeluarkan oleh Uni Eropa dengan alasan bahwa terdapat bukti kurang terpenuhinya faktor keselamatan yang dikeluarkan oleh regulator, kemampuan dan keinginan dari pengangkut untuk mengambil langkah-langkah yang serius untuk menanggulangi minimnya standar keselamatan, kemampuan dan keinginan dari regulator untuk menjamin bahwa pengangkut melaksanakan ketentuan tentang keselamatan penerbangan serta penegakan hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pengangkut, kemampuan dan keinginan regulator untuk menyelesaikan masalah keselamatan yang timbul karena kecelakaan. Bahwa harusnya Indonesia dan Uni Eropa sama-sama harus mematuhi ketentuan yang diatur dalam Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO). Uni Eropa tidak berhak melakukan tindakan unilateral yang bertentangan Sdengan ketentuan ICAO. Mestinya yang memutuskan apakah suatu negara memadai atau kurang memadai dalam memajukan keselamatan penerbangan adalah ICAO dan bukan sekelompok negara dalam Uni Eropa.

Adapun metode penulisan yang Penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini, yaitu metode Deskriptif-Analitis, yaitu di mata penulis menggambarkan dan menjelaskan semua permasalahan dan kemudian menguraikannya lebih lanjut agar diperoleh keterangan dan jawabanan yang jelas.

Adapun pengaturan hukum internsional terhadap ketentuan zona larangan terbang telah diatur dalam Konvensi Chiocago 1944, konsep Common Heritage of Mankind merupakan pembatasan terhadap kedaulatan suaru negara di ruang angkasanya, oleh karena menurut prinsip tersebut, ruang angkasa adalah suatu daerah yang bebas, dan tidak dapat dimiliki oleh suatu negarapun, dengan diterapkan prinsip Common Heritage of Mankind, maka membawa implikasi bahwa suatu negara tidak dapat mengklaim suatu wilayah di ruang angkasa. Suatu negara tidak dapat dengan alasan kedaulatan atas ruang angkasanya, lantas memberlakukan penutupan terhadap ruang udaranya secara sepihak dan menyeluruh, selain atas dengan alasan pertahanan dan keamanan, juga keselamatan penerbangan.


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Setiap negara pada dasarnya memiliki kedaulatan penuh dan ekskusif atas

wilayah udara di atas teritorialnya. Hal ini merupakan salah satu prinsip yang

diatur dalam Konvensi Chicago 1944. Ketentuan tersebut mengindikasikan bahwa

setiap negara berhak untuk membuat aturan sendiri demi kepentingan nasional.

Namun, ketentuan nasional itu harus diberlakukan tanpa perbedaan kepada setiap

negara.

Sebagaimana kita ketahui, bahwasanya atas dasar tersebut Uni Eropa

memberlakukan ketentuan larangan terbang terhadap pengangkut sipil dari

Indonesia ke wilayahnya. Larangan tersebut dibuat untuk melindungi kepentingan

27 negara-negara Uni Eropa yang dikeluarkan oleh European Commission pada 4

Juli 2007 (EC No.787/2007). Ketentuan sepihak tersebut dikeluarkan oleh Uni

Eropa dengan alasan bahwa terdapat bukti kurang terpenuhinya faktor

keselamatan yang dikeluarkan oleh regulator, kemampuan dan keinginan dari

pengangkut untuk mengambil langkah-langkah yang serius untuk menanggulangi

minimnya standar keselamatan, kemampuan dan keinginan dari regulator untuk

menjamin bahwa pengangkut melaksanakan ketentuan tentang keselamatan

penerbangan serta penegakan hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh

pengangkut, kemampuan dan keinginan regulator untuk menyelesaikan masalah


(12)

Bahwa harusnya Indonesia dan Uni Eropa sama-sama harus mematuhi

ketentuan yang diatur dalam Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO).

Uni Eropa tidak berhak melakukan tindakan unilateral yang bertentangan dengan

ketentuan ICAO. Mestinya yang memutuskan apakah suatu negara memadai atau

kurang memadai dalam memajukan keselamatan penerbangan adalah ICAO dan

bukan sekelompok negara dalam Uni Eropa. Meskipun, dalam sebuah hubungan

internasional tidak dapat dihindari sebuah kepentingan politik nasional tiap pihak,

namun dalam konteks masalah ini, harus diselesaikan melalui mekanisme hukum

internasional yang berlaku. Dalam hal ini, maka Konvensi Chicago 1944 tentang

penerbangan sipil internasional harus menjadi acuan utama.

Hal inilah yang menarik minat penulis untuk menulis dan mengetengahkan

skripsi tentang zona larangan terbang yang diterapkan pada beberapa negara. Di

lain pihak penulis merasa bahwa masih sedikit mahasiswa Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utarayang membahas tentang zona larangan terbang ini,

ataupun tentang Hukum Udara Internasional, khususnya Mahasiswa Bagian

Huku m Internasional.

Selain itu juga karena belum memasyarakatnya Hukum Udara

Internasional, karena Hukum Udara Internasional itu sendiri baru mulai tumbuh

dan berkembang pada tahun 1900, di mana untuk pertama kalinya dibahas oleh

Prof. Ernest Nys dari Universitas Brussel dalam laoprannya pada Institut of

International Law pada tahun 1902. Dalam laporannya tersebut, Prof. Nys


(13)

“... masalah hukum yang harus dipecahkan mengenai hal keudaraan adalah bukanlah mengenai gas-gas udaranya, tetapi ruang di mana kita dapat udara dan hukum itu pada umumnya mempersoalkan hubungan antar manusia dan hubungan yang kita teliti sekarang adalah hubungan yang terjadi di dalam satu lapisan udara di sekililing bumi, hubungan ini akan terjadi, kalau ada navigasi udara”

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, penulis berkeinginan untuk

mengangkat sebagai judul skripsi penulis yaitu:

“IMPLIKASI PENERAPAN KONSEP LARANGAN TERBANG

OLEH SUATU NEGARA DAN KETERKAITANNYA PADA PRINSIP

COMMON HERITAGE OF MANKIND BERDASAR PERATURAN

INTERNASIONAL (KONVENSI CHICAGO 1944)”

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada Konvensi Chicago 1944 yang

ditandatangani pada tanggal 17 Desember 1944 di Chicago, Amerika Serikat.

Selain itu penulis juga mengacu kepada Undang Undang Nomor 1 Tahun 2009,

tentang Penerbangan, yang merupakan ketentuan Hukum Nasional Indonesia.

Sebelum diuraikan lebih lanjut, penulis ingin menguraikan dan

mengartikan kata perkata dari judul skripsi ini sebagai berikut :

 IMPLIKASI : keterlibatan atau suatu keadaan terlibat.  PENERAPAN : proses, cara, pemanfaatan, mempraktikan.

 KONSEP : Rancangan, ide, pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa

konkret.

 LARANGAN : perintah (aturan) yang melarang suatu perbuatan, sesuatu

yang terlarang karena kekecualian.

 TERBANG : Bergerak atau melayang di udara dengan tenaga mesin


(14)

 OLEH : Kata depan yang digunakan untuk menandai pelaku.  SUATU : hanya satu, satu-satunya, kebendaan

 NEGARA : suatu organisasi pemerintahan yang terdiri dari Pemerintah,

rakyat dan wilayah.

 DAN : penghubung satuan dua kalimat yang setara.

 KETERKAITAN : suatu keadaan yang mempunyai hubungan, tidak

mandiri

 PADA : kata yang dipakai untuk menunjukkan suatu posisi  PRINSIP : asas atau dasar

 COMMON : bersama, sama-sama

 HERITAGE : Warisan, pusaka, suatu benda atau hak yang dapat dimiliki

bersama oleh sekelompok orang, yang diuperoleh karena hal turun temurun.

 OF : Dari, melalui, melewati.  MANKIND : Umat manusia

 BERDASAR : beralaskan, bersendikan

 PERATURAN : atura-aturan yang dibuat dan telah dibukukan atau

disahkan.

 INTERNASIONAL : Antar bangsa, antar negara, hal-hal yang berkaitan

dengan hubungan antar negara atau antar bangsa.

B. RUMUSAN PERMASALAHAN


(15)

1. Bagaimana pengaturan hukum internasional terhadap ketentuan zona larangan

terbang, yang diterapkan oleh suatu negara?

2. Apakah dengan lahirnya konsep Common Heritage of Mankind pada tahun

1944, merupakan pembatasan terhadap kedaulatan suatu negara pada ruang

angkasanya?

3. Apakah implikasi dari lahirnya konsep Common Heritage of Mankind tersebut

terhadap konsep larangan terbang yang diterapkan oleh suatu negara?

C. TUJUAN PENULISAN

Penulisan skripsi ini adalah untuk melengkapi tugas akhir penulis sebagai

pemenuhan syarat-syarat dalam meraih gelar Sarjana Hukum pada Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.

Tujuan utamanya adalah :

1. Untuk mengetahui pengaturan hukum internasional terhadap ketentuan

zona larangan terbang, yang diterpkan oleh suatu negara.

2. Untuk mengetahui lahirnya konsep Common Heritage of Mankind pada

tahun 1944, merupakan pembatasan terhadap kedaulatan suatu negara pada

ruang angkasanya.

3. Untuk mengetahui implikasi dari lahirnya konsep Common Heritage of

Mankind tersebut terhadap konsep larangan terbang yang diterapkan oleh


(16)

D. METODE PENULISAN

Sebagaimana lazimnya suatu karya tulis ilmiah, yang harus berdasarkan

fakta-fakta dan data-data yang objektif dari suatu analisa, disusun secara

sistematis dan rasional agar dapat dipandang sebagai suatu karya ilmiah yang

baik. Oleh sebab itu, suatu karya tulis ilmiah harus dapat diuji dangan metode

ilmiah agar kebenarannya dapat dipertanggungjawabakan.

Adapun metode penulisan yang Penulis gunakan dalam penulisan skripsi

ini, yaitu metode Deskriptif-Analitis, yaitu dimata penulis menggambarkan dan

menjelaskan semua permasalahan dan kemudian menguraikannya lebih lanjut

agar diperoleh keterangan dan jawabanan yang jelas.

Dalam hal pengumpulan data bagi penuisan skripsi ini, penulis lakukan

dengan cara hanya studi kepustakaan atau library research, yaitu mengumpulkan

data yang diperlukan dengan bantuan bermacam-macam buku yang terdapat di

perpustakaan, juga melalui surat kabar dan juga internet.

Melalui metode penulisan tersebut, dengan izin Allah SWT dan atas

kesempatan yang diberikan serta dengan segena kemampuan penulis,

mudah-mudahan skripsi ini dapat diselesiakan dengan baik.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Untuk memberikan uraian yang sebaik baiknya serta agar sistematik,

dalam skripsi ini dibagi atas lima bab dan setiap bab terbagi atas beberapa sub bab

yang pembaiannya disesuaikan dengan isi dari masing masing bab.


(17)

Pada bab ini akan diuraikan alasan pemilihan judul yang

dilanjutkan apada permsalahan, kemudian juga akan

dijelaskan maksud dari penulisan manfaat serata

sistematika penulisannya.

BAB II : KEDAULATAN SUATU NEGARA ATAS SUATU

ZONA LARANGAN TERBANG

Pada bab ini, terdiri atas empat sub bab, yaitu tentang

Pengertian, Kedaulatan Suatu Negara dan Sejarah.

BAB III : KEBERADAAN PRINSIP COMMON HERITAGE OF

MANKIND PADA RUANG ANGKASA

Pada bab ini, terdiri atas tiga sub bab, dan akan dibahas hal

hal menegenai Lahirnya prinsip Common Heritage of

Mankind, Prinsip-prinsinya dan pendaftaran serta

pertanggungjawaban kegiatan di angkasa.

BAB IV : IMPLIKASI PENERAPAN KONSEP LARANGAN

TERBANG OLEH SUATU NEGARA DAN

KETERKAITANNYA PADA PRINSIP COMMON

HERITAGE OF MANKIND BERDASARKAN

PERATURAN INTERNASIONAL

Pada bab ini, akan dibagi pula menjadi empat sub bab, yang

akan membahas secara mendalam Penerapan konsep zona

larangan terbang dan praktik-praktik nyatanya dalam


(18)

membatasi praktik-praktik tersebut, prinsip-prinsip yang

terkandung dalan Konvensi tersbut dan penerapan

Konvensi tersebut dalam dunia nyata.

BAB V : PENUTUP

Pada bab ini, akan disampaikan tentang kesimpulan dari


(19)

BAB II

KEDAULATAN SUATU NEGARA ATAS SUATU ZONA LARANGAN

TERBANG

A. PENGERTIAN KEDAULATAN

Hakikat dan fungsi kedaulatan dalam masyarakat internasional sangat

penting peranannya. Menurut sejarah, asal kata kedaulatan berasal dari bahasa

Inggris yang dikenal dengan istilah “souveregnity” yang kemudian berakar dari

bahasa Latin, yaitu “supranus”, yang mempunyai pengertian “yang teratas”. Tiap

negara mempunyai sifat kedaulatan yang melekat padanya, karena kedaulatan

merupakan sifat atau ciri hakiki dari suatu negara. Bila dikatak suatu negara

berdaulat, maka makna yang terkandung adalah, bahwa negara itu mempunyai

suatu kekuasaan tertinggi dan secara de facto menguasai.1

1. Aspek internal, yaitu berupa kekuasaan tertinggi untuk mengatur segala

sesuatu yang ada atau terjadi di dalam batas-batas wilayahnya. Kedaulatan pada dasarnya mengandung dua aspek, yaitu:

2. Aspek eksternal, yaitu kekuasaan tertinggi untuk mengadakan hubungan

dengan anggota masyarakat internasional, maupun mengatur segala

sesuatu yang ada atau terjadi di luar wilayah negara itu tetapi sepanjang

masih ada kaitannya dengan kepentingan negara itu.2

1

E. Suherman, SH. Wilayah Udara dan Wilayah Dirgantara, Penerbit Alumni, Bandung, 1984, hal 4.

2

I Wayan Parthiana, SH., MH, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung, 1990, hal 294.


(20)

Ruang berlakunya kedaulatan ini terbatas oleh batas batas wilayah negara

tersebut, artinya suatu negara hanya mempunyai kekuasaan tertinggi di dalam

batasan wilayah negaranya saja. Adapun di luar wilayahnya, suatu negara tidak

lagi memiliki kedaulatan sedemikian. Jadi, pengertian kedaulatan sebagai

kekuasaan tertinggi, mengandung dua pembatasan penting dalam dirinya, yaitu :

(1) kedaulatan itu terbatas pada wilayah negara yang memnpunyai kedaulatan

tersebut, dan (2) kedaulatan tersebut berakhir sampai mana pada batas wilayah

suatu negara lain dimulai. Suatu negara tidak dapat melaksanakan yurisdiksi

eksklusif ke luar wilayah negara tersebut, yang dapat menggangu kedaulatan

wilayah negara lain.

Suatu negara hanya dapat melaksanakan secara eksklusif dan penuh hanya di

dalam wilayahnya saja.

Kedaulatan wilayah atau teritorial ini mempunyai dua aspek, yaitu aspek

positif dan aspek negatif. Aspek positif yang dimaksud adalah berkaitan dengan

sifat hak eksklusif kompetensi suatu negara terhadap wilayahnya. Sedangkan

aspek negatif kedaulatan teritorial ini adalah adanya kewajiban untuk tidak

menggangu hak negara negara lain.

Huala Adolf berpendapat, kedaulatan teritorial berarti kedaulatan yang

dimilki oleh suatu negara dalam melaksanakan jurisdiksi eksklusifnya.3

Sedangkan JG Starke, munculnya konsep kedaulatan teritorial

menandakan bahwa di dalam wilayah kekuasaan ini, yurisdiksi dilaksanakan oleh

3

H. Bachtiar Hamzah, SH – Sulaiman Hamid, SH Hukum Internasional II, USU Press Medan, 1997. hal 36.


(21)

negara terhadap orang-orang dan harta benda yang mengenyampingkan

negara-negara lain.4

Menurut Oppenheim-Lauterpacht, pengertian wilayah adalah : “State

territory is that definited portion of the surface of the globe which is subjected to the souvereignity of a state”.

Hukum Internasional mengkaui kedaulatan tiap-tiap negara di dalam

wilayahnya masing-masing. Kedaulatan tertinggi yang dijalankan suatu negara

terhadap wilayahnya menunjukkan bahwa pada satu wilayah hanya ada satu

negara berdaulat dan tidak mungkin ada atau lebih negara berdaulat pada satu

wilayah yang sama.

Salah satu unsur yang terpenting dari suatu negara adalah adanya wilayah.

dalam wilayah inilah suatu negara menjalankan segala aktivitasnya. Dengan

demikian, dapatlah dikatakan bahwa tidak mungkin ada negara tanpa adanya

pemilikan atas suatu wilayah.

5

Pentingnya wilayah bagi suatu negara dapat dilihat pada kenyataan bahwa

dalam ruang lingkup wilayah itulah negara menjalankan kekuasaan tertingginya.

Wilayah suatu negara merupakan objek hukum internasional.

Dalam wilayah itulah negara menjalankan kedaulatannya, sehingga sebuah

negara tidak mungkin ada, tanpa adanya wilayah, meskipun wilayah itu mungkin

kecil dan dalam wilayah itulah negara menjalankan yurisdiksi eksklusifnya secara

penuh.

4

JG. Starke, Pengantar Hukum Internasional I, Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta, 1999. hal 210.

5


(22)

Kedaulatan teritorial suatu negara mencakup tiga dimensi, yaitu yang

terdiri atas daratan, termasuk segala yang berada di dalam tanah tersebut dan yang

terdapat di atas permukaan tanah tersebut, laut dan udara.

Persoalan yang menyangkut tentang maslah kedaulatan dari berbagai

negara atas ruang udara di atas wilayah mereka, juga menimbulkan permasalahan

tertentu, yaitu mengenai penetapan batas antara ruang angkasa dan ruang udara.

Hal ini terjadi karena sampai saat ini beum ada batas yang tegas antara ruang

angkasa dan runag angkasa.

Penetapan batas antar ruang tersebut sangat penting, karena penentuan

kedaulatan suatu negara terhadap ruang udara di atas wilayah negaranya

ditentukan oleh adanya ketegasan dari batas antara kedua ruang tersebut. Selain

itu penetapan batas antara ruang udara dengan ruang angkasa tersebut juga demi

menghindari konflik antar negara negara kolong atau subjacent state.

Adapun ruang udara menurut pasal 1 angaka 2 Undang Undang Nomor 1

Tahun 2009, disebut juga wilayah udara adalah wilayah kedaulatan udara di atas

wilayah daratan dan perairan Indonesia.

Sedangkan menurut pasal 1 Konvensi Chicago 1944, ruang udara adalah

merupakan suatu jalur udara di atmosfer yang berisikan cukup udara di mana

pesawat udara dapat bergerak karena reaksi udara kepadanya sehingga mendapat

gaya angkat (lift). Dalam pada pasal ini juga ditegaskan bahwa setiap negara

memiliki yurisdiksi eksklusif dan wewenang untuk mengontrol ruang udara di


(23)

tidak akan mendapat hak sama sekali untuk memasuki ruang udara atau mendarat

di wilayah tersebut tanpa persetujuan negara yang bersangkutan.

Kemudian, penafsiran Prof. Peng, ruang udara merupakan ruang yang dapat

dimafaatkan atau semua ruang yang dapat dicapai manusia.6

atau atmosfer yang di dalamnya terdapat benda benda ruang angkasa seperti bulan dan benda benda langit lainnya”.

Ruang angkasa itu sendiri pengertiannya adalah :

“suatu ruang di luar ruang udara di mana tidak lagi terdapat gas gas udara

7

Mengenai ruang angkasa itu sendiri, diatur dalam Space Treaty 1967. Dari

pengertian-pengertian di atas, maka terasa tidaklah mungkin suatu negara tertentu

dapat melaksanakan hak dan kedaulatannya di luar daripada batas-batas gaya tarik

bumi, yang diperkirakan berada pada jarak sekitar 260.000 kilometer dari

permukaan laut, diukur secara tegak lurus.8

“adalah menjadi hak dan kewajiban suatu negara untuk melindungi dirinya dan perlindungan tersebut dipandang perlu dan wajar kalau negara tersebut mempunyai hak-hak untuk mengawasi bagian dari wilayahnya”.

Adapun pendapat ini bersumber

kepada suatu doktrik klasik yang menyatakan bahwa :

9

Penguasaan ruang udara sejak dahulu telah merupakan suatu masalah yang

selalu dipersoalkan. Sebuah dalil hukum Romawi mengatakan “cujus est solum,

ejus est usque coelum”, yang artinya barang siapa yang memiliki sebidang tanah, B. KEDAULATAN SUATU NEGARA ATAS RUANG UDARA

WILAYAHNYA

6

Loc. Cit 7

Op. Cit, hal 7 88

Prof. Dr. Priyatna Abdulrasyid, SH, Kedaulatan Negara di Ruang Angkasa, Pusat Penelitian Hukum Angkasa, Jakarta 1972, hal 14

9


(24)

dengan demikian juga memiliki segala-galanya yang berada di atas permukaan

tanah sampai ke langit dan segala apa yang berada di dalam tanah tersebut.10

Tetapi masalah hak milik tersebut sekarang sudah tidak berlaku mutlak lagi,

karena sudah dibatasi dengan oleh peraturan negara yang khusus demi

kepentingan-kepentingan umum.

Pengaruh dari asas tersebut menular pada teori-teori kedaulatan yang berkembang

sesudahnya, dan sekarang menjadi prinsip yang kuat dan universal. Dari asas ini

terlihat bahwa sejak dahulu negara telah mengakui dan melindungi adanya

hak-hak dari pemilik penduduk negara . Hak-hak-hak tersebut juga berlaku bagi ruang

udara yang berada di atasnya tanpa abats apapun dan pendirian ini telah dianut di

negara-negara lain seperti, bahkan Indonesia seperti yang tercantum dala pasal

571 KUHPerdata yang berbunyi :

“Hak milik atas sebidang tanah mengandung di dalamnya kepentingan atas segala apa yang ada di atasnya dan di dalam tanah ...”.

11

Perkembangan dan prinsip-prinsip tersebut di atas dapat diteliti melalui

doktrin mengenai lautan yang telah dikembangkan oleh seorang ahli hukum

internasional, Yaitu Grotius. Pada tahun 1609, ia menulis buku “Mare Liberum”

yang menyatakan bahwa laut tersebut terbuka dan dapat dilayari oleh siapapun

serta tidak menjadi milik siapapun.12

Hal ini ditulis Grotius sebagai pembelaan hak orang Belanda untuk

melayari lautan. Sedangkan alasan yang diajukannya adalah karena lautan itu

10

Prof. Priyatna Abdulrasyid, Kedaulatan Negara di Ruang Udara, Pusat Penelitian Hukum Angkasa, Jakarta, 1972 hal 49.

11

UU Pokok Agaria (UU No 5 Tahun 1960), UU Pokok Pertambangan (UU No 11 Tahun 1967) 12

Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH, Hukum Laut Internasional, Bina Cipta, Bnadung, 1992 hal 12


(25)

sendiri merupakan benda milik bersama , disebabkan oleh kondisi laut itu sendiri,

akan tetapi pendapat tersebut mendapat bantahan dari John Shelden, seorang

Inggris, yang menyatakan laut adalah tertutup.

Menurut pendapat Prof. Dr. Priyatna Abdurrasyid, teori yang

dikembangkan oleh John Shelden tersebut dimaksudkan untuk membenarkan

politik Inggris pada waktu iti mengenai lautan. Ia mengemukakan bahwa lautan

tersebut dapat menjadi milik suatu negara, pendapat di mana yang jelas

menentang pendapat Grotius yang menganut ajaran kebebasan lautan.

Dengan timulnya permasalahn penerbangan pada era abad 19 atau awal

abad 20, soal bebas tidaknya seperti diuraikan telah menjelma menjad soal bebas

atau tidaknya angkasa yang berkisar pada masalah apakah angkasa terutama ruang

udara itu ada di bawah kedaulatan suatu negara atau tidak.

Paul Fauchille, seorang berkebangsaan Prancis, mengusahakan

menerapkan doktrin Grotius tersebut ke dalam masalah kedaulatan suatu negara di

ruang udara dengan mengatakan bahwa udara itu bebas.

Sudahlah pasti tindakan mempersamakan lautan dengan ruang udara

tersebut tidak benar. Dalam hal ini seorang sarjana Inggris berpendapat bahwa :

“.... udara itu bukan lautan dan kapal layar bukan kapal udara. Sedangkan kondisi lautan dan udara tersebut sangat berlainan pula. Hubungan antara lautan dengan udara tersebut berlainan sama sekali dengan hubungan lautan dengan daratan, lautan bukan merupakan merupakan syarat adanya suatu negara, berbeda halnya dengan udara yang merupakan syarat mutlak bagi kehidupan di dunia”.13

13

Prof. Dr. Priyatna Abdulrasyid, SH Kedaulatan Negara Di Ruang Udara. Pusat Penelitian Hukum Angkasa, Jakarta, 1972, hal 55


(26)

Oleh karena itu, pendirian Hazeltine tersebut di atas mendapat dukungan dadri

para sarjana Inggris lainnya seperti Westlake dan Lycklama, yang mengatakan

pula, bahwasanya ruang udara itu tidak bebas. Pendapat tersebutmendapat

dukungan dari kebanyakan ahli hukum waktu itu. Pada kenyataannya pendirian

merekalah yang sampai saat ini dianut oleh dunia internasional.

Mengenai masalah pemilikan ruang udara ini pada waktu itu mendapat dua

kelompok besar, yaitu :

1. Mereka yang berpendapat bahwa udara karena sifatnya itu bebas. Para

penganut ini dikelompokkan sebagai penganut teori ruang udara bebas,

yang terbagi atas :

a. kebebasan ruang udara tanpa batas.

b. kebebasan ruang udara yang dilekati beberapa hak khusus negara kolong.

c. kebebasan ruang udara, tetapi diadakan semacam wilayah teritorial di

daerah mana hak-hak tertentu negara kolong dapat dilaksanakan.

2. Mereka yang berpendapat bahwa negara itu berdaulat terhadap ruang

udara di atas wilayah negaranya. Terbagi atas :

a. negara kolong yang berdaulat penuh hanya terhadap ketinggian tertentu di

ruang angkasa.

b. negara kolong berdaulat penuh, tetapi dibatasi oleh lintas damai bagi

navigasi pesawat udara asing.


(27)

Berkaitan dengan ruang udara di atas wilayah yang dikuasai dan di atas

perairan yang tunduk pada kedaulatan negara, seperti yang telah dikemukakan di

atas, terdapat sejumlah teori yang beragam.

Akan tetapi karena pecahnya perang dunia pertama pada tahun 1914, karena

alasan darurat dan praktis, dianggap bahwa satu-satunya teori yang diterima oleh

semua negara adalah teori kedaulatan negara atas ruang udara adalah tidak

terbatas.

Teori ini dipakai dan dikukuhkan tidak hanya oleh negara negara yang

sedang berperang, akan tetapi juga oleh negara – negara netral. Teori tersebut

dnyatakan dalam Pasal 1 Konvensi Paris 1919, untuk pengaturan navigasi udara,

di mana ara peserta perjanjian mengakui bahwa setiap neagara memiliki

kedaulatan yang lengkap dan eksklusif atas ruang udara di atas wilayahnya dan

perairan teritorialnya. Tapi bagaimanapun juga konsep kedaulatan tersebut masih

bisa dibatasi dengan adanya hak lintas damai bagi pesawat – pesawat asing.

Konvensi Paris menurut ketentuan-ketentuan rinci bagi pengaturan

internasional navigasi udara, sebagian bertujuan menetapkan keseragaman. Bagi

pesawat udara yang tidak melakukan pelayanan udara atau jasa angkutan udara

berjadwal, dengan pengecualian bahwa pesawat-pesawat tersebut dimiliki oleh

negara-negara peserta Konvensi, harus mendapat kebebasan lintas damai melalui

ruang udara di atas wilayah negara peserta lain, tunduk pada penataan


(28)

Pada umumnya, sebelum perang dunia kedua, hak-hak mendarat bagi

pesawat udara asing tetap berada di dalam lingkup kebijaksanaan negara yang

bersangkutan.

Konsep kedaulatan negara di ruang udara sebagaimana yang tercantum

dalam Pasal 1 Konvensi Paris 1919, telah secara rinci dicantumkan pula pada

Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 yang berbunyi sebagai berikut :

“The Contracting State, recognize that every, state has complete and exclusive souvereignity in the airspace above its territory”.

Jadi, hal pokok pada konvensi-konvensi tersebut adalah adanya ketegasan bahwa

negara-negara anggota mengakui bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan

yang lengkap dan eksklusif terhadap ruang udara yang di atas wilayahnya.

Oleh sebab itu, walaupun semua negara ikut dalam Konvensi tersebut,

namun khusus dalam masalah kedaulatan negara di ruang udara, negara-negara

telah bersepakat bahwa hal demikian tidak menjadi alasan untuk tidak mengakui

kedaulatannya di wilayah ruang uadaranya, karena memang masalah kedaulatan

negara di ruang angkasa dipertegas dalam konvensi internasional, sehingga

mengenai prinsip kedaulatan ini tidak mengalami kendala apa-apa.14

Mengingat bahwa konvensi internasional selalu menjadi bahan bagi

perundang-undangan nasional, demikian juga dengan konvensi-konvensi

penerbangan internasional yang kemudian diadopsi ke dalam

perundang-undangan nasional. Untuk pertama kalinya mengenai penerbangan ini diatur pada

Undang Undang Nomor 83 tahun 1958. Namun demikian pada Undang Undang

14


(29)

tersebut tidak ada diatur mengenai kedaulatan negara Indonesia terhadap ruang

udara, kecuali dikatakan bahwa :

“Dilarang melakukan penerbangan selainya dengan pesawat udara yang mempunyai kebangsaan Indonesia, atau dengan pesawat udara asing berdasarkan perjanjian internasional atau berdasarkan persetujuan pemerintah”.

Namun demikian dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1960 dapat

dijadikan sebagai pegangan yang dalam penjelasan undang undang tersebut

dikatakn bahwa ruang udara di atas wilayah daratan dan perairan teritorial

menjadi hak kedaulatan Indonesia.

Setelah dikeluarkan Undang Undang penerbangan yang baru, yaitu

Undang Undang Nomor 1 Tahun 2009, dengan jelas dikatakan dalam pasal 5

bahwa :

“Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia”.

Selanjutnya dalam pasal 6 dikatakan pula :

“Dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara atas wilayah udara Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pemerintah melaksanakan wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk kepantingan penerbangan, perekonomian nasional, pertahanan dan keamanan negara, sosial budaya serta lingkungan udara”.

Dengan telah diundangkannya Undang Undang Nomor 1 Tahun 2009, maka

Undang Undang Nomor 15 Tahun 1992, dinyatakan tidak berlaku lagi dan

digantikan dengan yang baru berdasarkan Undang Undang Nomor 1 Tahun 2009.

Dengan demikian mengenai konsep kedaulatan negara di ruang uadar tersebut

sudah diatur dalam perundang-undangan Indonesia dan menyatakan bahwa


(30)

demikian ruang udara tersebut menjadi bentuk wilayah Indonesia sebagai suatu

kesatuan politik, yang berbentuk tiga dimensi.15

15

Ibid. Hl 158

C. PENGERTIAN DAN BATAS-BATAS TERAPAN ZONA LARANGAN

TERBANG

Berdasarkan prinsip hukum udara internasional, masalah penetapan zona

larangan terbang merupakan upaya negara-negara untuk mempertahankan

kedaulatannya di ruang uadara. Sejak sebelum pecahnya Perang Dunia Pertama,

sejalan dengan perkembangan teknologi penerbangan, negara-negara di dunia ini

berhadapan dengan kenyataan-kenyataan yang mendorong mereka untuk

menetapkan zona larangan terbang. Pengalaman selama Perang Dunia Pertama

tersebut telah membuktikan kebenaran konsep bahwa kedaulatan negara kolong

terhadap ruang udara nasional di atas teritorial negaranya perlu ditegaskan.

Keselamatan dan keamanan wilayah udara nasional sesuatu negara perlu

dipertimbangkan dan diregaskan. Di sisi lain perlu diperketat sistem pengamanan

dan pengawasan kawasan udara. Padahal dari sudut pandang lain, negara-negara

menyadari pula bahwa teknologi serta alat transportasi baru yang memanfaatkan

ruang udara sebagai sarana lalu lintasnya, sesungguhnya bersifat internasional dan

mempinyai karakteristik khusus. Berbeda dengan alat pengangkut lain di darat

dan di laut, maka pengankutan melalui udara ini bersifat lintas batas geografis, di

mana kemampuan melewati dan menembus batas-batas wilayah udara nasional


(31)

Pada dasarnya wilayah udara sesuatu negara adalah tertutup bagi aktivitas

penerbangan negara lain. Oleh karena itu setiap penerbangan yang melintasi

wilayah udara suatu negara oleh negara pesawat asing negara lain tanpa izin

negara kolong, merupakan pelanggaran wilayah udara. Begitu lepas landas,

pesawat terbang akan mempunyai kemampuan dan kecepatan dan kebebasan yang

sangat luas, sehingga alat transportasi yang ditemukan oleh Wright bersaudara

pada awal abad kedua puluh tersebut mempunyai potensi penggunaan secara

militer yang sangat luar biasa. Merupakan kenyataan yang tidak dapat dibantah

bahwa ruang udara sebagai sarana lalu lintas pesawat terbang merupakan pula

media yang berpotensi untuk melancarkan serangan udara oleh pesawat musuh

negara kolong.

Dengan demikian, sejalan dengan prinsip bahwa wilayah udara nasional

sesuatu negara tertutup bagi penerbangan asing, maka setiap warga negara yang

memiliki kemampuan serta kekuasaan udara kemudian menetapkan bagian-bagian

wilayah udaranya yang tertentu dan khusus yang berdasarkan pertimbangan

kemamanan dan pertahanan perlu dilindungi. Pada bagian wilayah udara tertentu

tersebutlah yang dinamakan Zona udara terlaran atau Zona larangan terbang, di

mana dinyatakan secara tegas bahwa kawasan tersebut terlarang bagi penerbangan

asing. Kesadaran untuk menetapkan bahwa sesuatu negara kolong mempunyai

kedaulatan yang penuh terhadap ruang udara di atasnya, adalah sebagai akibat

pesatnya kemajuan perkembangan teknologi transportasi udara. Kesadaran

negara-negara telah mendahului suatu kaidah hukum internasional yang baru


(32)

Zona larangan terbang yang diciptakan oleh negara-negara maju untuk

melindungi kawasan ruang udara dari penerbangan asing, mempunyai batas-batas

yang ditetapkan secara sepihak oleh negara pencipta tersebut. Menurut prinsip

Hukum Udara Internasional, luas dan lokasi zona harus didasarkan pada prinsip

yang wajar, sehingga tidak menimbulkan konflik yang sesungguhnya pada

navigasi udara.

Zona larangan terbang diatur dalam Konvensi Paris 1919 yang kemudian

diperbaiki dengan Protokol Paris 1929. Pada pasal 3 Protokol Paris 1929 diatur

mengenai bentuk zona larangan terbang, yaitu terdiri dari dua bentuk :

1) Zona larangan terbang yang ditetapkan atas dasar alasan pertahanan dan

keamanan atau militer. Zona dengan bentuk semacam ini bersifat permanen,

kecuali jika ada perubahan mengenai kepentingan militer atau pertahanan dan

keamanan dari negara yang bersangkutan.

2) Zona larangan terbang yang dinyatakan untuk seluruh atau sebagian udara

nasional negara kolong tertutup sama sekali bagi pesawat asing, karena

keadaan darurat. Zona dengan bentuk penutupan wilayah udara hanya akan

dilakukan sampai situasi dan kondisi pulih kembali.

Dari kedua bentuk zona larangan terbang yang diatur di dalam Pasal 3 Konvensi

Paris 1919 tersebut, pembentukan zona larangan terbang harus memenuhi

persyaratan secara internasional.

Persyaratan untuk zona larangan terbang bentuk 1) adalah bahwa larangan

terhadap pesawat sipil asing juga berlaku bagi pesawat negara awak. Pada syarat


(33)

ditetakan bersifat permanen dan bertujuan untuk melindungi pertahanan dan

keamanan negara yang bersangkutan. Persyaratan lain dari zona bentuk pertama

ini adalah bahwa pengumuman mengenai penetapan zona harus dilakukan lebih

dahulu untuk diketahui oleh negara-negara yang berkepentingan. Hal ini juga

termasuk ketetapan mengenai luas dan letak zona larangan tersebut.

Persyaratan untuk zona larangan terbang bentu 2) yang menetapkan

penutupan seluruh atau sebagian wilayah negara kolong, disyaratkan bahwa

penutupan harus berlaku dengan setara dan benar-benar bersifat sementara dan

berlaku untuk semua pesawat asing dengan prinsip tidak ada perbedaan.

Penetapan syarat pada zona bentuk kedua ini juga diwajibkan untuk

memberitahukan kepada semua negara peserta atau anggota Konvensi atau

Komisi Internasional untuk Navigasi Udara.

Ketentuan mengenai kedua persyaratan itu yang mewajibkan seluruh

pesawat sipil asing maupun pesawat sipil nasional negara awak dilarang melintasi

zona larangan terbang yang telah ditetapkan, dirubah menjadi ketentuan bahwa

pesawat sipil nasional negara kolong diizinkan terbang di zona larangan tersebut.

Hal ini diatur dalam Protokol Paris 1929 sebagai perbaikan dari Konvensi Paris

1919. Pada pasal 4 Konvensi Paris 1919 ini mewajibkan agar setiap pesawat yang

menyadari telah melanggar zona larangan terbang yang telah ditetapkan, harus

segera memberitahukan kepada pangkalan udara negara kolong bahwa ia berada

dalam kesulitan dan terpaksa harus mendarat di lapangan terdekat di luar zona


(34)

Seiring dengan kemajuan teknologi penerbangan dan semakin banyaknya

negara-negara maju yang menyatakan kawasan ruang udaranya sebagai zona

udara terlarang, maka peraturan yang ditetapkan melalui Konvensi Paris 1919 dan

Protokol Paris 1929 tidaklah dapat menampung semua kondisi di atas. Maka

Konvensi Paris 1919 dan Protokol Paris 1929 yang mempunyai kekuatan hukum

sebagai kaidah Hukum Internasional digantikan oleh Konvensi Chicago 1944,

yaitu Konvensi mengenai Penerbangan sipil internasional. Kenyataan ini ditandai

sebagai akibat dari perubahan dan perkembangan teknologi penerbangan

internasional sekitar Perang Dunia Kedua baik penerbangan sipil maupun

penerbangan militer. Meskipun beberapa prinsip telah tetap berlaku tetapi bnayak

terdapat perubahan dan penciptaan kaidah hukum udara, yang baru sesuai dengan

tuntutan dunia penerbangan internasional di akhir Perang Dunia Kedua.

Pasal 9 Konvensi Chicago 1944 yang mnegatur tentang area terlarang,

merupakan modifikasi dari Protokol Paris 1929. Prinsip tidak ada perbedaan pada

Konvensi Chicago 1944 diteguhkan kembali dan ada keistimewaan bagi pesawat

terbang sipil negara awak yang diterima pada Protokol Paris 1929 kini ditegakkan

kembali. Jadi, Konvensi Chicago kembali mutlak menetapkan bahwa tidak ada

perbedaan lagi pesawat mana yang boleh memasuki kawasan zona larangan

terbang.

Pada perkembangan selanjutnya mengenai penetapan zona larangan

terbang yang diatur dalam Konvensi Chicago adalah bahwa justeru negara

awaklah yang memerintahkan kepada pesawat yang melanggar zona untuk


(35)

Konvensi Paris 1919 di mana ditentukan bahwa pesawat yang melanggar zona

larangan diwajibkan untuk segera mendarat di lapangan udara terdekat di luar

zona, setelah pelaku pelanggaran zona melapor kepada pejabat penerbangan

negara kolong. Ketentuan yang menetapkan bahwa negara awak yang

memerintahkan pelaku pelanggaran zona larangan untuk mendarat dan diperiksa,

sangat memungkinkan mengingat kondisi semacam ini sebagai akibat dari

perkembangan teknologi penerbangan, termasuk peralatan pendeteksi yang

dimiliki negara yang menetapkan zona laragan terbang tersebut.

D. SEJARAH MUNCULNYA PENERAPAN ZONA LARANGAN

TERBANG

Pada awal kelahiran dunia penerbangan, pesawat udara dipakai sebagai

alat transportasi yang melintasi batas kedaulatan suatu negara terhadap negara lain

tanpa memperhatikan hak-hak negara di bawahnya., sehingga menimbulkan

masalah kedaulatan negara. Hal ini secara resmi dibahas dalam Konferensi Paris

1910. Konferensi yang semula bermaksud meletakkan dasar-dasar pengaturan

navigasi penerbangan dan operasi penerbangan internasional tersebut gagal

mencapai tujuannya mengesahkan konvensi internsional karena terpukau pada

masalah kedaulatan negara di wilayah uadara di atasnya serta hak-hak negara

kolong.

Kegagalan konferensi tersebut memaksa Inggris secara sepihak

mempunyai kedaulatan secara penuh dan utuh (complete and exclusive


(36)

Act of 1911 untuk melindungi keamanan dan pertahanan nasional yang terancam

karena adanya penerbangan pesawat udara asing.

Berdasarkan Aerial Navigation Act tersebut, pemerintah Inggris

menetapkan zona udara terlarang dan penerbangan di zona tersebut merupakan

pelanggaran yang dapat diancema dengan hukuam. Dua tahun kemudian, yaitu

pada tahun 1913, pemerintah Inggris memberi wewenang kepada Menteri Dalam

Negeri untuk menetapkan kawasan udara terlarang atas pertimbangan keamanan

dan pertahanan, serta keselamatan umum untuk menembak pesawat udara yang

melintasi zona udara terlarang tersebut.

Tindakan sepihak oleh Inggris tersebut tidak ditentang oleh negara-negara

Eropa lainnya, bahkan sebaliknya diikuti oleh negara-negara Eropa seperti

Prancis, Jerman, Belanda, Belgia, Denmark dan negara-negara lain sehingga

tindakan tersebut dibenarkan oleh huku kebiasaan internasional. Masing-masing

negara mengumumkan bahwa negaranya berdaulat penuh dan utuh di ruang udara

di atas wilayahnya dan menetapkan zona udara terlarang, karena banyaknya zona

udara terlarang yang ditetapkan di berbagai negara Eropa, mengakibatkan

penerbangan internsional hanya dapat dilakukanh pada jalur-jalur udara tertentu

yang menghubungkan tempat-tempat tertentu setelah memperoleh izin.

Setelah perang dunia pertama berakhir, dunia penerbangan mengahdapi

kenyataan banyaknya ahli penerbangan baik personil darat maupun personil udara

serta pesawat udara dan pemuda yang biasanya berperang terpaksa menganggur,

memaksa untuk memanfaatkan sumber daya tersebut, tetapi di lain pihak masalah


(37)

Untuk maksud tersebut, telah disahkan Konvensi Paris 1919 yang brjudul

“Convention Relating to the Regulation of Aerial Navigation”. Konvensi tersebut

pada prinsipnya mengatur prinsip-prinsip dasar penerbangan internsional,

kebangsaan pesawat udara, sertifikat kelaikan udara, dan sertifikat kecakapan, izin

navigasi penerbangan di atas wilayah negara lain, persyaratan penerbangan

internsional, larangan mengangkut barang-barang berbahaya, zona uadara

terlarang, dan kondisi navigasi penerbangan internasional.

Sepanjang manyangkut kedaulatan di wilayah udara di atasnya, Konvensi

Paris 1919 yang ditandatangani tanggal 13 Oktober 1919 tersebut hanya

menyatakan hukum kebiasaan internasional yang telah dibentuk sejak Inggris

melakukan tindakan sepihak tahun 1911. Hal ini tercantum dalam Pasal 1

Konvensi Paris 1919 yang berbunyi : “The High Cntracting Parties recognize

that every Power has complete and exclusive souvereignity over the air space above its territory”. Sedangkan sebagai konsekuensi dari kedaulatan di udara

sebgaimana diatur dalam Pasal 1 konvensi tersebut memberikan kekuasaan negara

berdaulat untuk menetapkan zona udara terlarang atas pertimbangan militer atau

keamanan umum. Namun demikina, larangan tersebut harusdiumumkan dan

diberitahukan sebelumnya kepada kepada negara anggota maupun Komisi

Navigasi Penerbangan Internasional. Dalam praktiknya, pemberitahuan tersebut

dalam bentuk NOTAM (Notice to Airman) kelas 1. Berdasarkan pasal tersebut,

semua pesawat udara sipil nasional maupun pesawatudara sipil asing dilarang

terbang di atas zona udara terlarang tersebut sesuai dengan asas The Most


(38)

Di dalam perkembangannya, pasal 3 dirubah dengan protokol yang

ditandatangani tanggal 15 Juni 1929. Perubahan tersebut antara lain memberi

kekuasaan kepada negara berdaulat untuk mengijinkan pesawat udara sipil

nasional terbang di atas zona udara terlarang dalam hal sangat penting. Demikian

pula dikatakan dalam hal masa damai negara tersebut berhak untuk menetapkan

zona udara terlarang seluruh atau sebagian. Semua negara tersebut berhak untuk

menetapkan zona udara terlarang seluruh atau sebagian. Semua bentuk

penerbangan dilarang di atas zona tersebut. Bilaman hal ini dilakukan juga, maka

harus meberitahukan segera anggota lainnya serta Komisi Navigasi Penerbangan

Internasional.

Menurut pasal 4 Konvensi yang sama, dalam hal terdapat pesawat udara

sipil asing yang berada pada zona uadara terlarang, begitu sadar posisinya berada

pada zona terlarang, hendaklah segera mengirim tanda bahaya sebagaimana diatur

dalam pasal 17 Annex D dan segera mendarat di bandar udara terdekat di luar

zona terlarang tempat pesawat udara tersebut terbang. Memang Konvensi Paris

1919 lebih mempertimbangkan segi pertahanan dan keamanan nasional daripada

pertimbangan kesejahteraan nasional. Di dalam pasal 26 ditegaskan kembali

bahwa tidak ada pesawat udara sipil asing boleh melakukan penerbangan dengan

membawa senjata api atau bahan peledak serta peralatan foto yang akan

membahayakan pertahanan dan keamanan.

Dasar pertimbangan Konvensi Chicago 1944 yang merupakan produk

pengaturan penerbangan sipil internasional setelah perang dunia kedua, berbeda


(39)

1944, angkutan udara internasional dapat menciptakan persaudaraan dam

mempererat persahabatn yang penuh pengertian antar bangsa, memperpendek

jarak sehingga mempermudah saling berkunjung antar bangsa yang dapat

memelihara perdamaian dunia serta meningkatkan kesejahteraan umat manusia,

oleh karena itu perlu adanya koordinasi internasional untuk meletakkan

dasar-dasar pengaturan penerbangan internasional guna menjamin angkutan udara

secara selamat, lancar, tertib, aman dan nyaman serta memberi kesempatan yang

sama bagi seluruh anggotanya untuk menyelenggarakan angkutan udara

internasional.

Dari mukaddimah konvensi tersebut ternyata bahwa maksud tujuan utama

bukan terletak pada keamanan nasional sebaimana Konvensi Paris 1919,

melainkan lebih menekankan pada kemakmuran bersama antar bangsa. Walapun

dalam kenyataannya konvensi ini tidak berhasil mempertukarkan hak-hak

penerbangan secara multilateral yamng mempunyai nilai komersial. Hal ini

terbukti dari ketentuan pasal 5 dan pasal 6 yang keduanya mengatur tentang

penerbangan komersial. Kecuali masalah ekonomi yang belum pernah diatur

dalam Konvensi Paris 1919. Konvensi Chicago 1944 berisikan penegakan

kembali prinsi-prinsip dasar yang telah disetujui oleh Konvensi Paris 1919.

Konvensi tersebut mengatur navigasi penerbangan yang meliputi prinsip-prinsip

dasar seperti penerbangan di wilayah lain, ketentuan mengenai navigasi

penerbangan internasional, wilayah udara penerbangan, penerbangan tanpa awak

pesawat udara, penerbangan di atas laut lepas, izin penerbangan, pungutan biaya


(40)

penerbangan, dokumen penerbangan internasional, sertifikat pendaftaran pesawat

terbang, sertifikat kecakapan.

Walaupun penekanan pada segi ekonomi cukup besar, Konvensi Chicago

1944 tetap mempertahankan prinsip kedaulatan negara sebagaimana diatur dalam

Konvensi Paris 1919, karena semua pengaturan bersumber pada kedaulatan.

Sepanjuang menyangkut zona udara terlarang diatur dalam pasal 9. Menurut pasal

9, dikatakan bahwa setiap negara berhak menetapkan zona udara terlarang bagi

pesawat sipil asing baik untuk penerbangan internasional berjadwal, maupun tidak

berjadwal.Larangan terbang di atas zona terlarang tersebut berlaku pula bagi

pesawat udara sipil nasional. Perluasan dan perubahan zona udara terlarang baik

seluruh maupun sebagian wilayah harus segera diberitahukan kepada ICAO

beserta anggotanya.

Penentuan batas zona udara terlarang tersebut harus wajar tanpa

mengganggu kelancaran serta mengakibatkan keterlambatan penerbangan

komersial. Dalam hal pesawat udara sadar tersasar dalam zona udara larangan

terbang, maka ia harus segera memberi tanda bahaya dan mendarat di bandar

udara terdekat, di luar daripada zona terlarang tersebut. Sedangkan bilaman

pesawat tidak menyadari posisinya yang sedang berada pada zona udara terlarang

tersebut, maka pesawat tersebut akan di “intercept”oleh peswat udara militer.

Secara teknis, tata cara “intercept” telah diatur dalam Annex 2 Konvensi Chicago

1944 tentang “Rules of The Air”. Dalam hal ini pesawat udara sipil yang di


(41)

Jalur udara yang berlaku di atas laut, diatur dalam pasal 53 United Nation

Convention on the Law of Sea (UNCLOS). Berdasarkan pasal tersebut, tidak

dijelaskan apakah jalur tersebut berlaku pula untuk pesawat udara sipil ataupun

pesawat udara militer. Walaupun demikian, dengan mengingat jalur-jalur

penerbangan sipil telah diatur dalam Konvensi Chicago 1944, dapat ditafsirkan

bahwa jalur udara yang diatur dalam UNCLOS hanya dimaksudkan untuk

pesawat udara milik pemerintah. Jalur udara di atas selat yang yang dipergunakan

untuk pelayanan internasional, ditentukan 25 mil laut ke kanan dan ke kiri

dihitung dari sumbu. Dalam hal terjadi suatu pelanggaran yang terbang di luar

jalur yang telah ditetapkan, dapat dipaksa untuk mendarat dan mengirim nota

protes melalui saluran diplomatik.

Menurut pasal 9 Konvensi Chicago 1944, setiap negara berhak

menetapkan kawasan udara terlarang atas pertimbangan keselamatan umum.

Alasan keselamatan misalnya karena bencana alam yang membahayakan

keselamatan penerbangan seperti gunung meletus. Dalam hal terjadi bencana

alam, setiap negara berhak dan wajib melarang semua pesawat udara yang

melakukan penerbangan pada jalur tersebut.

Konvensi Chicago 1944 yang menggantikan Konvensi Paris 1919,

kekuatan hukumnya adalah sebagai kaidah Hukum Internasional. Kenyataan ini

ditandai sebagai akibat dari perubahan dan perkembangan teknologi penerbangan

internasional sebelum dan sesudah perang dunia kedua, baik penerbangan sipil


(42)

perubahan dan penciptaan kaidah hukum udara yang baru sesuai dengan tuntutan

dunia penerbangan internasional di akhir perang dunia kedua.

Ada tiga perkembangan sikap negara-negara di dunia yang penting pada

era paska perang dunia kedua yang berkaitan dengan dunia penerbangan

internsional.

Pertama, kesadaran akan doktrin kekuatan udara sebagai bagian dari

kekuatan nasional. Kuat lemahnya negara ditentukan abtara lain oleh tingkat

kekuatan negara di wilayah uafaranya. Ini berarti kemampuan dana dan teknologi

negara kolong tersebut untuk memanfaatkan kawasan udara di atasnya. Kekuatan

udara (air power) suatu negara adalah kemampuan suatu negara untuk

memanfaatkan dan bertindak tegas dengan menggunakan media udara. Pada masa

damai, kemampuan itu terwujud dalam bentuk kegiatan penerbangan/angkutan

sipil, sedangkan pada masa perang, kemampuan tersebut terbentuk pada armada

pesawat-pesawat tempur dan pengangkut senjata/bom untuk aksi serangan dan

gempuran udara.

Kedua, berdasarkan doktrin kekuatan udara serupa itu, maka

negara-negara sekarang memandang penyelenggaraan penerbangan udara sipil

merupakan hal yang sangat penting untuk kepentingan negara. Penerbangan sipil

ini mengarah kepada kegiatan penumpukan kegiatan ekonomi yang berarti

penumpukan kekuatan nasional negara yang bersangkutan.

Ketiga, mengingat cita-cita setiap negara untuk dapat menyelenggarakan

usaha penerbangan sipil internsional yang mantap telah mendorong mereka untuk


(43)

membina kerjasama internsional ini pun menentuka sifat dan penetapan konsep


(44)

BAB III

KEBERADAAN PRINSIP COMMON HERITAGE OF MANKIND PADA

RUANG UDARA /ANGKASA

A. LAHIRNYA PRINSIP COMMON HERITAGE OF MANKIND

Sebelum Perang Dunia Pertama (1914-1918), satu satunya hak yang telah

dimuat dalam perjanjian secara universal adalah bahwa ruang udara di atas laut

lepas dan di atas wilayah yang tidak bertuan sama sekali bebas dan terbuka.

Berkaitan dengan ruang udara di atas wilayah yang dikuasai dan di atas perairan

yang tunduk pada kedaulatan negara, terdapat sejumlah teori yang beragam seperti

yang telah tersebut di atas, tetapi karena pecahnya Perang Dunia Pertama pada

tahun 1914, karena alasan darurat, dianggap bahwa satu-sartunya teori yang

diterima oleh semua negara adalah Teori Kedaulatan Negara Kolong atas Ruang

udara adalah Tidak Terbatas, yaitu usque ad coelum. Teori ini dipakai dan

dikukuhkan tidak hanya oleh pihak-pihak yang berperang, tetapi juga oleh

negara-negara netral. Teori tersebut dinyatakan dalam Pasal 1 Konvensi Paris 1919 untuk

Pengaturan Navigasi udara, di mana peserta-peserta perjanjian mengakui bahwa

setiap negara memiliki kedaulatan lengkap dan eksklusif atas ruang udara di atas

wilayahnya dan perairan teritorialnya. Tetapi bagaimanapun juga konsep

kedaulatan tersebut masih dibatasi dengan adanya hak lintas damai bagi


(45)

Konferensi Chicago merupakan kelanjutan dari Konferensi Perdamaian Prancis

1919 dan juga dilanjutkan lagi dengan Konferensi Komisis Internasional

mengenai Navigasi di Ruang Udara di Paris tahun 1929.

Tujuan dari Konferensi yang dihadiri oleh lebih dari 40 negara ini adalah untuk

membentuk persetujuan-persetujuan yang berskala dunia yang mengatrur hak-hak

trafik udara komersial serta masalah-masalah teknis dan navigasional yang

berkaitan penerbangan internasional.

Dasar bagi kedaulatan negara di ruang udara menurut Konvensi ini dapat

kita lihat dalam pasal 1 Konvensi Chicago 1944 yang berbunyi :

“The Contracting States recognizethat every State has complete and exclusive sovereignity in the airspace above its territory”.

Hal pokok dalam Konvensi Chicago ini adalah adanya ketegasan bahwa

negara-negara anggota mengakui baha setiap negara memiliki kedaulatan yang

lengkap dan eksklusif terhadap ruang udara yang diatasnya.

Oleh sebab itu, walaupun tidak semua negara ikut menjadi anggota

Konvensi Chicago tetapi khusus mengenai masalah kedaulatan negara di ruang

udara, negara-negara telah sepakat bahwa keadaan ini telah merupakan suatu

ketentuan hukum kebiasaan internasional yang telah dipertegas dalam konvensi

ini sehingga mengenai prinsip konsep kedaulatan negara atas ruang udara tidak

terdapat kesulitan.16

Hal penting lainnya mengenai kewajiban-kewajiban yang ditetapkan

menurut Konvensi Chicago secara umum adalah negara-negara kolong

16

Prof. Dr. Priyatna Abdulrasyid, Kedaulatan Negara di Ruang Udara, Pusat Penelitian Hukum Angkasa, Jakarta, 1972, hal. 97.


(46)

memberikan perlakuan yang sama dan tidak diskriminatif berkenaan dengan

negara-negara lain yang menggunakan ruang udaranya.

Permasalahan yang ditimbulkan dari Konvensi Chicago adalah tidak

adanya ketegasan yang dicantumkan tentang apa yang dimaksud dengan istilah

“airspace” seperti yang tercantum dalam pasal 1. Hal ini menimbulkan banyak

penafsiran yang berlainan dengan kebutuhan masing-masing pihak yang

berkepentingan. yang mana akibatnya adalah beberapa kali hampir

menjerumuskan negara-negara ke dalam peperangan yang akibatnya dapat

menghancurkan negara-negara yang lain yang tidak bersalah mengingat

senjata-senjata di dalam abad ruang udara dan ruang angkasa sekarang begitu besar daya

rusaknya.

Ruang angkasa dikatakan sebagai “warisan bersama umat manusia” atau

common heritage of mankind begitu juga dengan GSO, karena GSO merupakan

bagian dari ruang angkasa. Sebagai wilayah yang dilindungi oleh prinsip common

heritage of mankind, maka bebas untuk dieksplorasi dan dieksploitasi oleh negara

mana saja, tanpa pembedaan dan asal tidak bertentangan dengan aturan-aturan

yang telah ditetapkan oleh Hukum Internasional. Namun adanya kebebasan dalam

hal eksplorasi dan eksploitasi itu bukan berarti wilayah daripada ruang angkasa

tersebut dapat dijadikan obyek kepemilikan.

Awal mula dirasa pentingnya pengaturan Hukum Angkasa adalah setelah

berhasilnya diluncurkan Sputnik milik Uni Sovyet pada 4 Oktober 1957 yang

mengorbit menegelilingi bumi dianggap sebagai suatu tonggak sejarah bagi


(47)

manusia untuk melakukan aktivitas yang berkenaan dengan ruang angkasa. Hal

ini terbukti dengan diikuti misi Amerika Serikat dengfan peluncuran Apollo dan

Challenger-nya. Tidak ketinggalan pula negara-negara lain ikut serta, walaupun

tidak sempat meluncurkan pesawat ruang angkasa namun telah pula mengorbitkan

berbagai jenis satelit.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang

keruangangkasaan khususnya, telah m,enggerakkan Perserikatan Bangsa Bangsa

untuk merumuskan serangkaian pernyataan dalam rangka usaha-usaha setiap

negara untuk memanfaatkan ruang angkasa.

Uasaha-usaha yang telah dilakukan oleh PBB untuk pengaturan segala

jenis akrivitas manusia di ruang angkasa adalah untuk menghindarkan ruang

angkasa itu dari tujuan-tujuan yang tidak damai, yang tidak sesuai dengan Piagam

Perserikatan Bangsa Bangsa. Juga menghindarkan adanya klaim kepemilikan

suatu negara tas bagian-bagian daripada ruang angkasa. Untuk itulah PBB telah

menagadakan usaha-usaha yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang angkasa.

Usaha-usaha tersebut adalah :

1. Diterimanya Resolusi Majelis Umum PBB No. 1348 (XIII) “Question of

the Peaceful Uses of Outer Space” pada tanggal 13 Desember 1958.

Resolusi ini merupakan suatu landasan bagi dibentuknya suatu Komite Ad

Hoc yang ditugaskan untuk meneliti segala sesuatunya yang berkaitan


(48)

2. Resolusi yang berikutnya iaslah Resolusi Majelis Umum PBB No 1472

(XIV) “International Co-operation in the Peaceful Uses of Outer Space”

pada tanggal 12 Desember 1959.

3. Resolusi yang juga dianggap penting ialah Resolusi Majelis Umum PBB

No 1721 (XVI) “International Co-operating in the Peaceful Uses of Outer

Space” pada tanggal 20 Desember 1961

4. Resolusi No 1802 (XVII

5. Resolusi Majelis Umum PBB No. 1962 (XVII) “Declaration of Legal

Principles Governing the Activities of States in the Exploration and Uses of Outer Space”. Di dalam resolusi yang terakhir ini dicantumkan delapan

prinsip yang kemudian merupakan isi pasal-pasal pokok untuk kelahiran

suatu traktat yang bernama Treaty on Principles Governing the Actrivities

of States in the Exploration and Uses of Outer Space, including the Moon dan Other Celestial Bodies.

Selain itu terdapat juga suatu persetujuan yang kembali menegaskan dan

melatarbelakangi lahirnya prinsip common heritage of mankind pada ruang

angkasa yaitu apa yang dikenal sebagai Moon Treaty 1979 atau Agreement

Governing the Activities of States on Moon and Other Celestial Bodies yang

disahkan oleh Majelis Umum pada tanggal 5 Desember 1979.

Untuk itu di sini akan diuraikan traktat-traktat yang melatarbelakangi


(49)

1. Space Treaty 1967

Tujuan yang dikehendaki dari Space treaty ini ialah membebaskan ruang

angkasa untuk selama-lamanya dari bahaya perang yang tidak selalu berhasil di

bumi.

Apabila diteliti cara pembentukan Space Treaty ini, tampaknya bahwa

usaha pihak-pihak hanya terbatas pada pernyataan prinsip-prinsip umum dan

menglangi anjuran Majelis Umum PBB sehubungan dengan penggunaan runag

angkasa bagi tujuan damai, serta menegaskan kembali prinsip-prinsip yang

tercantum di dalam Resolusi PBB No. 1962 (XVII), 13 Desember 1963 dan juga

reproduksi prinsip-prinsip tertentu di dalam Antartic Treaty 1959.

Selanjutnya marilah kita teliti pasal-pasal dalam Space Treaty ini yang

berkaitan dengan prinsip common heritage of mankind.

Artcle 1

“The exploration and use of outer space, including the moon and other celsetial bodies, shall be carried out for the benefit and in the interset of all countries, irrespective of their degree of economic or scientific development and shall be the province of all mankind.

“Outer space, including the moon and other celestial bodies, shall be free for exploration and use by all State without discrimination of any kind, on a basis of equality and in accordance with international law and there sall be free access to all areas of celestial bodies.


(50)

There shall be freedom of scientific investigation in outer space

including the moon and other celestial bodies, and State shall facilitate and encourage international co-operation in such investigatioan.”

Tampak dalam pasal 1 ini telah disusun sedikian rupa, bahwa ruang

angkasa dan benda-benda langit tunduk kepada hukum internasional dan Piagam

Perserikatan Bangsa Bangsa, bebas untuk eksplorasi dan pemanfaatan oleh semua

negara atas dasar kesamaan sesuai dengan Hukum Internsional, eksplorasi dan

pemanfaatan demikian harus dilakuak untuk keuntungan dan dalam kepentingan

seluruh umat manusia,. Kemudian agar dimungkinkan ikut sertanya negara-negara

sebanyak mungkin apakah itu negara dalam tingkat space powers ataupun

non-space powers.

Kebebasan untuk melakukan penyelidikan dan memakai bulan dan

benda-benda langit merupakan sebagian hak untuk secara bebas memasuki semua

wilayah benda-benda langit. Karena itu segala pengaturannya harus diberikan

penafsirannya yang seluas-luasnya. Prinsip “pintu terbuka” sebagai praktik dari

adanya jaminan kebebasan yang didasarkan atas hak sama rata, di mana harus

pula diartikan sebagai hak untuk melakukan pendaratan pesawat angkasa tanpa

atau dengan manusia, peletakan dan penempatan alat-alat yang berawak ataupun

tidak dan juga pengadaan hubungan antara manusia dan benda-benda langit.

Negara-negara tidak dibenarkan menghambat masuk secara bebas, negara lain ke

benda-benda atau menimbulkan kesukaran-kesukaran bagi negara-negara lain


(51)

Kebebasan untuk memasuki daerah di ruang angkasa memberikan hak

kepada negara untuk mendirikan stasiun-stasiun dan instalasi-instalasi untuk

melakukan berbagai percobaan. Atas dasar pertimbangan-pertimbangan ini, maka

kita harus memperhitungkan kemungkinan pemakaian dan pengusahaan

sumber-sumber kekayaan ruang angkasa. Hak penemuan maupun kemampuan dan

tersedianya fasilitas teknologi yang dimiliki suatu negara tidak dapat dijadikan

alasan untuk memberikan prioritas kepadanya.17

Pasal IV mengikat negara negara untuk tidak meluncurkan di sekitar bumi

obyek-obyek berisikan nuklir atau senjata-senjata lainnya yang mempunyai daya

rusak massal, atau menempatkan senjata-senjata semacam itu di benda-benda

langit. Ayat 2 pasal IV ini melarang penempatan instalasi militer dan Pasal 2 traktat ini melarang pemilikan nasional ruang angkasa dalam

bentuk apapun, juga mengandung tentang prinsip kebebasan di ruang angkasa.

Dinyatakan dalam Article II :

“Outer space, including the moon and other celestial bodies, is not subjected to national appropiation by claim of sovereignity, by means of use or occupation, or by any other means.”

Pasal III Space Treaty 1967, telah mengulangi prinsip-prinsip yang

tercantum dalam pasal I, sehingga sampai kepada pasal III ini pun kita tidak dapat

mengetahui apa sesungguhnya yang dimaksud dengan ruang angkasa, di mana

letaknya dan apa hakikatnya kalau kita menentukan batas-batasnya.

17


(52)

perbentangan-perbentangan atau melakukan percobaan senjata apapun di sana.

Tetapi penggunaan anggota-anggota militer untuk kepentingan ilmiah atau

tujuan-tujuan damai tidak dilarang. Oleh karena itu, pasal IV ini, merupakan pasal yang

teramat penting bagi usaha pengurangan perlombaan persenjataan di ruang

angkasa, di samping Test Banned Treaty 1963.

Pasal V mengatakan bahwa astronot-astronot dianggap sebagai utusan

kemanusiaan dan kalau perlu akan diberikan bantuan secukupnya bilamana berada

alam kesulitan, kecelakaan dan harus melakukan pendaratan darurat di wilayah

negara lain atau di laut lepas. Telah pula disepakati untuk mengembalikan mereka

dengan selamat ke negara asalnya dengan segera (prinsip ini secara tegas disebut

dalam Resolusi UNGA No 1962 (VIII) tanggal 13 Desember 1963) ayat 2

menetapkan keharusan bahwa untuk memberi bantuan bukan saja waktu berada

dalam kesulitan navigasi akan tetapi umumnya pada setiap keadaan darurat.

Pasa VI menyatakan bahwa negara peluncur bertanggung jawab terhadap

segala akibat usaha di ruang angkasa.

Pasal VIII begitu pula dengan Pasal VI, sama-sama mengatur

pertanggungjawaban secara bersama-sama atau sendiri-sendiri.

Pasal VIII mengatakan bahwa negara anggota mempunyai hak yurisdiksi

terhadap benda-benda yang diluncurkan asalkan mempunyai ciri-ciri dan

tanda-tandanya.

Pasal XI mengatakan bahwa negara anggota yang melakukan kegiatan di


(53)

apakah bersedia memberitahukan PBB tentang sifat, usaha dan lokasi/hasil

daripada kegiatannya.

Pasal XII mengatur meneganai dapatnya dikunjungi oleh negara-negara

anggota setiap benda yang merupakan proyek negara naggota.

Setelah diuraikan pasal demi pasal, dari Space Treaty di atas, dapat kita

lihat, beberapa pasal secara tidak langsung telah menganggap GSO, sebagai

bagian dari ruang angkasa adalah merupakan common heritage of mankind. Hal

ini tampak mulai dari pasal 1 yang mengharuskan bahwa ruang angkasa dan

benda-benda langit lainnya harus bebas untuk dieksplorasi dan eksploitasi oleh

semua negara tanpa adanya pembedaan. Juga pasal II yang melarang pemilikan

nasional terhadap ruang angkasa. Namun pengaturannya masih terdapat

pertentangan di sana-sini antara satu pasal dengan yang lainnya dan ada beberapa

pasal yang tidak jelas maksud dan ketentuannya. Misalnya pasal 1 di atas yang

tidak menjelaskan secara tegas apa yang dimaksudkan dari ekualitas dalam

penggunaan dan eksplorasi ruang angkasa. Apakah hukumnya yang tidak ekual

ataukah fakta/kenyataannya dalam hal absence of discrimination, maka free

access tersebut telah bertentangan dengan pasal XII. Dalam pasal XII dikatakan

“shall be open to...” atas dasar resiprositas. Ini berarti bahwa negara-negara

anggota yang mau melihat/memeriksa stasiun, instalasi, perlengkapan dan

pesawat ruang angkasa milik negara lain tidak akan mungkin dilakukan tanpa

diberi konsesi timbal balik. Juga harus ada pemberitahuan terlebih dahulu, yang

dapat diartikan permintaan izin. Juga tidak disebutkan negara-negara yang tidak


(54)

menerapkan dasar berimbal balik di sana. Juga apabila kita berbicara prinsip

commkon heritage of mankind, berarti semua negara wajib menerapkan prinsip itu

tanpa ada kecuali dan juga tidak mengharuskan adanya hubungan timbal balik.

B. PRINSIP COMMON HERITAGE OF MANKIND DAN AZAS

PERDAMAIAN

Peningkatan pesat dalam bidang penerbangan lintas benua dan antar

samudera, menimbulkan persoalan-persoalan menyangkut kebebasan transit udara

dan hak-hak mendarat bagi pengangkut-pengangkut udara internasional.

Negara-negara yang mengoperasikan perusahan penerbangan internasional yang tidak

memiliki landasan udara yang memadai di bagian-bagian dunia lain biasanya

menuntut hak-hak demikian terhadap negara-negara yang memiliki landasan.

Karena permasalahan-permasalahn tersebut, maka pada Konferensi

Chicago yang terkandung prinsip Common heritage of maknind pada tahun 1944,

diadakan pembicaraan tentang Five Freedom of the Air yaitu hak setiap

perusahaan penerbangan untuk :

1. terbang melintasi wilayah asing tanpa mendarat.

2. mendarat untuk tujuan-tujuan non-trafik.

3. menurunkan trafik dari suatu negara asing yang berasal dari negara asal

pesawat tersebut.

4. menaikkan trafik dari suatu negara asing yang dituju dengan tujuan negara

asal pesawat tersebut.


(55)

Proposal lima kebebasan tersebut diajukan oleh Amerika Serikat, selaku

negara operator terkuat waktu itu, namun tidak ada kebulatan suara dalam hal ini.

Hanya dua kebebasan pertama yang memperoleh dukungan sebagian besar negara

yang hadir pada konferensi tersebut.

Selanjutnya Konferensi menyusun dua buah perjanjian sebagai berikut :

1. International Air Service Transit Agreement (IASTA), atau Perjanjian

Transit Jasa Angkutan udara yang mengatur dua kebebasan yang pertama,

yaitu terbang tanpa melakukan pendaratan di wilayah asing dan mendarat

untuk tujuan-tujuan non-trafik di wilayah asing.

Menurut pasal 1 bagian I IASTA, dikatakan bahwa :

“Setiap negara anggota menjamin negara anggota lainnya hak pesawat udara penerbangan internasional berjadwal, terbang di atas wilayahnya dan hak pesawat udara tersebut mendarat tanpa mengambil penumpang, kargo, dan pos secara komersial.”18

2. International Act Transport Agreement (IATA), atau Perjanjian

Pengangkutan Udara Internasional, yang memuat keseluruhan kebebasan

udara tersebut. Negara-negara peserta perjanjian ini, boleh menolak

pesawat udara negara lain memasuki lintas udara di dalam wilayahnya.

Tukar menukar hak-hak penerbangan tersebut hanya berlaku bagi

negara-negara anggota IATA.

Kedua perjanjian di atas dalam pelaksanaannya harus merunut pada

ketentuan-ketentuan sebagaimana di atur dalam Konvensi Chicago 1944 dan

hak-hak yang tercantum dalam perjanjian-perjanjian di atas tidak berlaku bagi bandara

18

K. Martono, SH, LLM. Perjanjian Angkutan Udara di Indonesia, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 1995, hal. 38


(56)

militer. Kemudian jika terjadi perang atau permusuhan, penerbangan-penerbangan

tersebut tetap memperoleh izin terlebih dahulu.

Dari sisi penerbangan dan angkutan udara, IATA sebenarnya mempunyai

arti npenting, karena memberikan kelima kebebasan udara tersebut, namun

beberapa negara peserta tidak menandatangani perjanjian tersebut, bahkan

Amerika Serikat sebagai pelopor perjanjian tersebut, akhirnya menyatakan bahwa

mereka keluar dari keanggotaan IATA. Dalam hal ini, dapat dilihat, bahwa prinsip

ketiga, keempat, dan kelima kurang mendapat pengakuan umum sebagai prinsip

mutlak hukum internasional.19

Guna mengidentifikasi negara peluncur yang telah meluncurkan

benda-benda ke ruang angkasa yang telah mengakibatkan kerugian terhadap pihak

tertentu, maka perlu adanya suatu lembaga hukum pendaftaran terhadap benda-C. PENDAFTARAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN KEGIATAN DI

RUANG ANGKASA

Dengan makin meningkatnya aktivitas manusia di dalam meluncurkan

benda-benda angkasa, maka permasalahn yang timbul pun semakin bertambah

kompleks. Salah satu kompleksitas permasalahan berkenaan dengan aktivitas di

ruang angkasa tersebut adalah mengenai kerugian dengan aktivitas di ruang

angkasa tersebut adalah menegani kerugian yang dapat timbul terhadap pihak

tertentu, baik pihak yang telah turut serta dalam aktivitas ruang angkasa maupun

pihak yang sama sekali belum turut serta dalam aktivitas tersebut.

19


(57)

benda buatan manusia yang diluncurkan ke ruang angkasa. Hal ini cukup urgen

demi perlindungan bagi pihak-pihak yang telah dirugikan dan dapat melakukan

tuntutan ganti rugi terhadap negara peluncur. Demikian pula upaya pengembalian

para awak pesawat ruang angkasa ke negara peluncur yang vtelah mendapatkan

suatu kecelakaan atau mendarat dalam keadaan darurat di wilayah negara lain.

Masalah pendaftaran benda-benda buatan manusia yang diluncurkan ke

ruang angkasa telah menjadi isu hukum internasional sejak keberhasilan Uni

Sovyet meluncurkan satelit pertamanya Sputnik I pada tahun 1957. Bahkan

masalah ini telah menjadi perhatian serius di kalangan para sarjana terkemukan

secara dini, yakni lima tahun sebelum pelunciran Sputnik I tersebut. Masih pada

tahun 1952, Oscar Scahter,20

20

Cooper, John Cobb, Exploration in Aerospace Law, McGill University Press, Montreal, 1968, hal 251

telah menekankan perlunya lembaga kebangsaan

bagi pesawat antariksa sebagai langkah menciptakan tertib hukum di ruang

angkasa.

Perhatian secara dini terhadap masalah pendaftaran benda-benda buatan

manusia yangt diluncurkan ke ruang angkasa itu didasarkan atas prediksi

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi penerbangan. Perkembangannya

akan membuka kesempatan cukup besar bagi negara dan berbagai pihak untuk

meluncurkan benda-benda buatan manusia ke ruang angkasa. Hal ini tentu akan

menjadikan ruang angkasa menjadi lahan baru bagi upaya peningkatan, kualitas


(1)

Masih terdapat isu-isu yang belum dapat disetujui dalam sidang-sidang UNCOPOUS tersebut, walaupun sudah secara panjang lebar didiskusikan, di antaranya :

1. Konsultasi dan Perjanjian antarnegara, khususnya mengenai masalah seperti peluberan radiasi sinyal satelit, kecuali peluberan dalam batas-batas yang ditentukan oleh peraturan-peraturan ITU yang relevan. 2. Isi siaran. Negara dan badan penyiar di dalam wilayahnya yang

bekerjasama dengan negara lain mengenai penyiaran, isi siaran, produksi dan pertukaran acara. Dilarang menyiarkan bahan-bahan dan informasi yang merusak perdamaian dan keamanan, ide-ide perang, militerisme, kebencian rasial atau bangsa, dan permusuhan antar masyarakat, yang dimaksudkan untuk mencampuri urusan dalam negeri negara lain atau yang merusak dasar-dasar peradaban, budaya, cara hidup, tradisi dan bahasa setempat.

3. Siaran yang melanggar hukum atau yang tidak dapat diterima. Bila DBS diarahkan ke suatu negara asing tanpa persetujuan tegas dari negara penerima ini, maka negara ini boleh mengambil tindakan-tindakan yang sah menurut hukum internasionalterhadap siaran demikian. Setiap negara harus bersedia memberi segala bantuan untuk menghentikan siaran yang melanggar hukum.


(2)

karena itu, negara-negara yang bertetangga perlu mengadakan perjanjian-perjanjian untuk menangani masalah ini secara damai.

Sistem sateli PALAPA Indonesia dan penggunaannya di kawasan Asia Tenggara yang terbukti efektif menunjukkan bahwa Indonesia dan negara-negara tetangganya tidak “alergi” membuka masyarakatnya terhadap siaran televisi asing. Kondisi seperti ini akan meningkatkan perkembangan jasa pertelekomunikaian di wilayah Asia Tenggara, dan DBS dalam waktu dekat.


(3)

BAB V PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan pada hal-hal yang telah diuraikan dan dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, maka akhirnya Penulis pun sampailah pada beberapa buah kesimpulan sebagai berikut :

1. Kedaulatan suatu negara adalah bersifat esensial bagi suatu negara dan bila dikatakan suatu negara berdaulat, berarti negara tersebut mempunyai kekuasaan tertinggi yang dijalankan dalam wilayah negara tersebut.

2. Wilayah suatu negara, yang merupakan unsur terpenting untuk menjalankan kedaulatan itu, meliputi wilayah daratan, termasuk tanah di dalamnya, perairannya dan tanah di bawah perairanh tersebut, juga di wilayah udaranya.

3. Bahwa dengan diterapkan prinsip Common Heritage of Mankind, maka membawa implikasi bahwa suatu negara tidak dapat mengklaim suatu wilayah di ruang angkasa, dan benda-benda angkasa, begitu juga ruang udaranya. Suatu negara tidak dapat dengan alasan kedaulatan atas ruang angkasanya, lantas memberlakukan penutupan terhadap ruang udaranya secara sepihak dan menyeluruh, selain atas dengan alasan pertahanan dan


(4)

B. SARAN

Beberapa saran yang dapat Penulis uraikan di sini, berkenaan hal-hal yang telah penulis kemukakan pada skripsi ini, antara lain :

1. Perlunya diatur dengan tegas, konsep larangan terbang ini, yang diterapkan oleh beberapa negara maju, yang cenderung bermotifkan politik dan ekonomi saja, bukan pertahanan keamanan.

2. ICAO, sebagai suatu organisasi internasional dan salah satu badan PBB yang menangani aktivitas manusia di bidang kedirgantaraan, hendaknya terus berperan aktif untuk memecahkan segala permasalahan yang timbul agar tidak terjadi pelanggaran dalam pemanfaatan untuk tujuan damai. 3. Perlunya diatur dengan tegas, batas antara ruang udara dan ruang angkasa

dan juga batasan wilayah ruang angkasa, karena pengaturan yang ada selama ini masih berdasar penafsiran tiap negara-negara sendiri, di mana dianggap yang paling menguntungkan baginya.

4. Usaha penyelesaian sengketa yang mungkin dilakukan oleh negara-negara sebagai pihak yang dirugikan adalah melakukan protes kepada ICAO serta menyarankan agar ICAO meminta nasihat hukum kepada mahkamah internasional. Selain itu juga harus memperbaiki sistem keselamatan penerbangan sipilnya.


(5)

DAFTAR KEPUSTAKAAN

1. Abdurrasyid, Priyatna, Prof. Dr, Kedaulatan Negara di Ruang Udara, Pusat Penelitian Hukum Angkasa, Jakarta, 1972.

2. Cooper, John Cobb, Exploration in Aerospace Law, McGill University Press, Montreal, 1968

3. Hamzah, Bachtiar, SH dan Sulaiman Hamid, SH., Hukum Internasional II, USU Press, Medan 1997.

4. Kantaatmadja, Mieke Komar, Dr., SH., M.C.L., C.N., Hukum Angkasa dan Perkembangannya, Remadja Karya, Bandung 1988.

5. ---, Berbagai masalah Hukum Udara dan Angkasa, Remadja Karya, Bandung, 1984.

6. Kusumaatmadja, Mochtar, Prof, Dr, SH., Hukum Laut Internasional, Bina Cipta, Bandung, 1992.

7. Martono, K, H, Dr., SH., LLM., Pengantar Hukum Udara Nasional dan Internasional, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.

8. ---, Perjanjian Angkutan Udara di Indonesia, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 1995.

9. ---, Perjanjian Negara di Ruang Angkasa, Pusat Penelitian Hukum Angkasa, Jakarta, 1972.


(6)

11.Parthiana, I Wayan, SH., MH., Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung, 1990.

12.Starke, JG, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta 1999.

13.Ruman Sudrajat H. Hidayat, Tinjauan Kemungkinan Ratifikasi Perjanjian Internasional mengenai Pertanggungjawaban Terhadap Kerugian yang disebabkan oleh Objek Angkasa yang Diluncurkan ke Antariksa. Untuk kepantingan nasional, Makalah Seminar Hukum Antariksa Nasional 18-19 Desember 1985 di LAPAN.

14.Suherman, E, Wilayah Udara dan Wilayah Dirgantara, Penerbit Alumni, Bandung, 1984.

15.Harian Kompas, 22 September 1999, Zona Udara Terlarang.

16.Harian Waspada, Jum’at 19 Maret 1999 dan Sabtu 20 Maret 1999, Aspek

Hukum dari Aktivitas Manusia di Ruang Angkasa.

17.Harian Waspada, Jum’at, Konsep Zona Larangan Terbang dan Hukum


Dokumen yang terkait

Tinjauan Hukum Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan Sipil Terhadap Kerugian yang Timbul Berdasarkan Konvensi Chicago Tahun 1944

2 43 114

Pelanggaran Pesawat F-18 Hornet Milik Amerika Serikat Diwilayah Kedaulatan Indonesia Ditinjau Dari Konvensi Chicago Tahun 1944

3 28 90

Penetapan Laik Terbang Pesawat Udara Indonesia Dikaitkan Dengan Konvensi Chicago 1944.

0 0 6

Penerapan Prinsip-Prinsip Unidroit Dan Konvensi Internasional Terhadap Pembaharuan Hukum Kontrak Indonesia.

0 0 6

STATUS HUKUM PESAWAT UDARA SIPIL YANG DIGUNAKAN SEBAGAI SENJATA PENGHANCUR BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO 1944.

0 0 2

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM UDARA INTERNASIONAL MENURUT KONVENSI CHICAGO 1944 A. Sejarah Hukum Udara Internasional - Tinjauan Yuridis Hukum Udara Internasional Dalam Kasus Jatuhnya Pesawat Tempur Rusia Akibat Penembakan Turki

0 0 29

BAB II PANDANGAN UMUM TENTANG ZONA LARANGAN TERBANG A. PENGERTIAN ZONA LARANGAN TERBANG - Pemberlakuan Zona Larangan Terbang Di Suriah Menurut Ketentuan Hukum Internasional

0 0 29

Tinjauan Hukum Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan Sipil Terhadap Kerugian yang Timbul Berdasarkan Konvensi Chicago Tahun 1944

0 2 36

BAB II Pengaturan Aspek Ekonomi Penerbangan Sipil Menurut Konvensi Chicago 1944 - Tinjauan Hukum Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan Sipil Terhadap Kerugian yang Timbul Berdasarkan Konvensi Chicago Tahun 1944

0 0 15

PENGATURAN ANNEX 13 KONVENSI CHICAGO 1944 DALAM PROSES INVESTIGASI KECELAKAAN PESAWAT TERBANG SIPIL YANG JATUH DI WILAYAH KONFLIK (STUDI KASUS KECELAKAAN PESAWAT MH17 DI UKRAINA)

0 0 16