tidak akan mendapat hak sama sekali untuk memasuki ruang udara atau mendarat di wilayah tersebut tanpa persetujuan negara yang bersangkutan.
Kemudian, penafsiran Prof. Peng, ruang udara merupakan ruang yang dapat dimafaatkan atau semua ruang yang dapat dicapai manusia.
6
atau atmosfer yang di dalamnya terdapat benda benda ruang angkasa seperti bulan dan benda benda langit lainnya”.
Ruang angkasa itu sendiri pengertiannya adalah : “suatu ruang di luar ruang udara di mana tidak lagi terdapat gas gas udara
7
Mengenai ruang angkasa itu sendiri, diatur dalam Space Treaty 1967. Dari pengertian-pengertian di atas, maka terasa tidaklah mungkin suatu negara tertentu
dapat melaksanakan hak dan kedaulatannya di luar daripada batas-batas gaya tarik bumi, yang diperkirakan berada pada jarak sekitar 260.000 kilometer dari
permukaan laut, diukur secara tegak lurus.
8
“adalah menjadi hak dan kewajiban suatu negara untuk melindungi dirinya dan perlindungan tersebut dipandang perlu dan wajar kalau negara tersebut
mempunyai hak-hak untuk mengawasi bagian dari wilayahnya”. Adapun pendapat ini bersumber
kepada suatu doktrik klasik yang menyatakan bahwa :
9
Penguasaan ruang udara sejak dahulu telah merupakan suatu masalah yang selalu dipersoalkan. Sebuah dalil hukum Romawi mengatakan “cujus est solum,
ejus est usque coelum”, yang artinya barang siapa yang memiliki sebidang tanah,
B. KEDAULATAN SUATU NEGARA ATAS RUANG UDARA
WILAYAHNYA
6
Loc. Cit
7
Op. Cit, hal 7
8 8
Prof. Dr. Priyatna Abdulrasyid, SH, Kedaulatan Negara di Ruang Angkasa, Pusat Penelitian Hukum Angkasa, Jakarta 1972, hal 14
9
Ibid, hal 15
Universitas Sumatera Utara
dengan demikian juga memiliki segala-galanya yang berada di atas permukaan tanah sampai ke langit dan segala apa yang berada di dalam tanah tersebut.
10
Tetapi masalah hak milik tersebut sekarang sudah tidak berlaku mutlak lagi, karena sudah dibatasi dengan oleh peraturan negara yang khusus demi
kepentingan-kepentingan umum. Pengaruh dari asas tersebut menular pada teori-teori kedaulatan yang berkembang
sesudahnya, dan sekarang menjadi prinsip yang kuat dan universal. Dari asas ini terlihat bahwa sejak dahulu negara telah mengakui dan melindungi adanya hak-
hak dari pemilik penduduk negara . Hak-hak tersebut juga berlaku bagi ruang udara yang berada di atasnya tanpa abats apapun dan pendirian ini telah dianut di
negara-negara lain seperti, bahkan Indonesia seperti yang tercantum dala pasal 571 KUHPerdata yang berbunyi :
“Hak milik atas sebidang tanah mengandung di dalamnya kepentingan atas segala apa yang ada di atasnya dan di dalam tanah ...”.
11
Perkembangan dan prinsip-prinsip tersebut di atas dapat diteliti melalui doktrin mengenai lautan yang telah dikembangkan oleh seorang ahli hukum
internasional, Yaitu Grotius. Pada tahun 1609, ia menulis buku “Mare Liberum” yang menyatakan bahwa laut tersebut terbuka dan dapat dilayari oleh siapapun
serta tidak menjadi milik siapapun.
12
Hal ini ditulis Grotius sebagai pembelaan hak orang Belanda untuk melayari lautan. Sedangkan alasan yang diajukannya adalah karena lautan itu
10
Prof. Priyatna Abdulrasyid, Kedaulatan Negara di Ruang Udara, Pusat Penelitian Hukum Angkasa, Jakarta, 1972 hal 49.
11
UU Pokok Agaria UU No 5 Tahun 1960, UU Pokok Pertambangan UU No 11 Tahun 1967
12
Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH, Hukum Laut Internasional, Bina Cipta, Bnadung, 1992 hal 12
Universitas Sumatera Utara
sendiri merupakan benda milik bersama , disebabkan oleh kondisi laut itu sendiri, akan tetapi pendapat tersebut mendapat bantahan dari John Shelden, seorang
Inggris, yang menyatakan laut adalah tertutup. Menurut pendapat Prof. Dr. Priyatna Abdurrasyid, teori yang
dikembangkan oleh John Shelden tersebut dimaksudkan untuk membenarkan politik Inggris pada waktu iti mengenai lautan. Ia mengemukakan bahwa lautan
tersebut dapat menjadi milik suatu negara, pendapat di mana yang jelas menentang pendapat Grotius yang menganut ajaran kebebasan lautan.
Dengan timulnya permasalahn penerbangan pada era abad 19 atau awal abad 20, soal bebas tidaknya seperti diuraikan telah menjelma menjad soal bebas
atau tidaknya angkasa yang berkisar pada masalah apakah angkasa terutama ruang udara itu ada di bawah kedaulatan suatu negara atau tidak.
Paul Fauchille, seorang berkebangsaan Prancis, mengusahakan menerapkan doktrin Grotius tersebut ke dalam masalah kedaulatan suatu negara di
ruang udara dengan mengatakan bahwa udara itu bebas. Sudahlah pasti tindakan mempersamakan lautan dengan ruang udara
tersebut tidak benar. Dalam hal ini seorang sarjana Inggris berpendapat bahwa : “.... udara itu bukan lautan dan kapal layar bukan kapal udara. Sedangkan
kondisi lautan dan udara tersebut sangat berlainan pula. Hubungan antara lautan dengan udara tersebut berlainan sama sekali dengan hubungan
lautan dengan daratan, lautan bukan merupakan merupakan syarat adanya suatu negara, berbeda halnya dengan udara yang merupakan syarat mutlak
bagi kehidupan di dunia”.
13
13
Prof. Dr. Priyatna Abdulrasyid, SH Kedaulatan Negara Di Ruang Udara. Pusat Penelitian Hukum Angkasa, Jakarta, 1972, hal 55
Universitas Sumatera Utara
Oleh karena itu, pendirian Hazeltine tersebut di atas mendapat dukungan dadri para sarjana Inggris lainnya seperti Westlake dan Lycklama, yang mengatakan
pula, bahwasanya ruang udara itu tidak bebas. Pendapat tersebutmendapat dukungan dari kebanyakan ahli hukum waktu itu. Pada kenyataannya pendirian
merekalah yang sampai saat ini dianut oleh dunia internasional. Mengenai masalah pemilikan ruang udara ini pada waktu itu mendapat dua
kelompok besar, yaitu : 1.
Mereka yang berpendapat bahwa udara karena sifatnya itu bebas. Para penganut ini dikelompokkan sebagai penganut teori ruang udara bebas,
yang terbagi atas : a. kebebasan ruang udara tanpa batas.
b. kebebasan ruang udara yang dilekati beberapa hak khusus negara kolong. c. kebebasan ruang udara, tetapi diadakan semacam wilayah teritorial di
daerah mana hak-hak tertentu negara kolong dapat dilaksanakan. 2.
Mereka yang berpendapat bahwa negara itu berdaulat terhadap ruang udara di atas wilayah negaranya. Terbagi atas :
a. negara kolong yang berdaulat penuh hanya terhadap ketinggian tertentu di ruang angkasa.
b. negara kolong berdaulat penuh, tetapi dibatasi oleh lintas damai bagi navigasi pesawat udara asing.
c. negara kolong berdaulat penuh tanpa batas up to the sky, ad infintum.
Universitas Sumatera Utara
Berkaitan dengan ruang udara di atas wilayah yang dikuasai dan di atas perairan yang tunduk pada kedaulatan negara, seperti yang telah dikemukakan di
atas, terdapat sejumlah teori yang beragam. Akan tetapi karena pecahnya perang dunia pertama pada tahun 1914, karena
alasan darurat dan praktis, dianggap bahwa satu-satunya teori yang diterima oleh semua negara adalah teori kedaulatan negara atas ruang udara adalah tidak
terbatas. Teori ini dipakai dan dikukuhkan tidak hanya oleh negara negara yang
sedang berperang, akan tetapi juga oleh negara – negara netral. Teori tersebut dnyatakan dalam Pasal 1 Konvensi Paris 1919, untuk pengaturan navigasi udara,
di mana ara peserta perjanjian mengakui bahwa setiap neagara memiliki kedaulatan yang lengkap dan eksklusif atas ruang udara di atas wilayahnya dan
perairan teritorialnya. Tapi bagaimanapun juga konsep kedaulatan tersebut masih bisa dibatasi dengan adanya hak lintas damai bagi pesawat – pesawat asing.
Konvensi Paris menurut ketentuan-ketentuan rinci bagi pengaturan internasional navigasi udara, sebagian bertujuan menetapkan keseragaman. Bagi
pesawat udara yang tidak melakukan pelayanan udara atau jasa angkutan udara berjadwal, dengan pengecualian bahwa pesawat-pesawat tersebut dimiliki oleh
negara-negara peserta Konvensi, harus mendapat kebebasan lintas damai melalui ruang udara di atas wilayah negara peserta lain, tunduk pada penataan syarat-
syarat yang ditetapkan dalam Pasal 2 Konvensi Paris.
Universitas Sumatera Utara
Pada umumnya, sebelum perang dunia kedua, hak-hak mendarat bagi pesawat udara asing tetap berada di dalam lingkup kebijaksanaan negara yang
bersangkutan. Konsep kedaulatan negara di ruang udara sebagaimana yang tercantum
dalam Pasal 1 Konvensi Paris 1919, telah secara rinci dicantumkan pula pada Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 yang berbunyi sebagai berikut :
“The Contracting State, recognize that every, state has complete and exclusive souvereignity in the airspace above its territory”.
Jadi, hal pokok pada konvensi-konvensi tersebut adalah adanya ketegasan bahwa negara-negara anggota mengakui bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan
yang lengkap dan eksklusif terhadap ruang udara yang di atas wilayahnya. Oleh sebab itu, walaupun semua negara ikut dalam Konvensi tersebut,
namun khusus dalam masalah kedaulatan negara di ruang udara, negara-negara telah bersepakat bahwa hal demikian tidak menjadi alasan untuk tidak mengakui
kedaulatannya di wilayah ruang uadaranya, karena memang masalah kedaulatan negara di ruang angkasa dipertegas dalam konvensi internasional, sehingga
mengenai prinsip kedaulatan ini tidak mengalami kendala apa-apa.
14
Mengingat bahwa konvensi internasional selalu menjadi bahan bagi perundang-undangan nasional, demikian juga dengan konvensi-konvensi
penerbangan internasional yang kemudian diadopsi ke dalam perundang- undangan nasional. Untuk pertama kalinya mengenai penerbangan ini diatur pada
Undang Undang Nomor 83 tahun 1958. Namun demikian pada Undang Undang
14
Ibid. Hal 97
Universitas Sumatera Utara
tersebut tidak ada diatur mengenai kedaulatan negara Indonesia terhadap ruang udara, kecuali dikatakan bahwa :
“Dilarang melakukan penerbangan selainya dengan pesawat udara yang mempunyai kebangsaan Indonesia, atau dengan pesawat udara asing
berdasarkan perjanjian internasional atau berdasarkan persetujuan pemerintah”.
Namun demikian dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1960 dapat
dijadikan sebagai pegangan yang dalam penjelasan undang undang tersebut dikatakn bahwa ruang udara di atas wilayah daratan dan perairan teritorial
menjadi hak kedaulatan Indonesia. Setelah dikeluarkan Undang Undang penerbangan yang baru, yaitu
Undang Undang Nomor 1 Tahun 2009, dengan jelas dikatakan dalam pasal 5 bahwa :
“Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia”.
Selanjutnya dalam pasal 6 dikatakan pula :
“Dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara atas wilayah udara Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pemerintah melaksanakan
wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk kepantingan penerbangan, perekonomian nasional, pertahanan dan
keamanan negara, sosial budaya serta lingkungan udara”. Dengan telah diundangkannya Undang Undang Nomor 1 Tahun 2009, maka
Undang Undang Nomor 15 Tahun 1992, dinyatakan tidak berlaku lagi dan digantikan dengan yang baru berdasarkan Undang Undang Nomor 1 Tahun 2009.
Dengan demikian mengenai konsep kedaulatan negara di ruang uadar tersebut sudah diatur dalam perundang-undangan Indonesia dan menyatakan bahwa
Indonesia berdaulat penuh dan utuh atas wilayah udaranya, sehingga dengan
Universitas Sumatera Utara
demikian ruang udara tersebut menjadi bentuk wilayah Indonesia sebagai suatu kesatuan politik, yang berbentuk tiga dimensi.
15
15
Ibid. Hl 158
C. PENGERTIAN DAN BATAS-BATAS TERAPAN ZONA LARANGAN TERBANG