Space Treaty 1967 LAHIRNYA PRINSIP COMMON HERITAGE OF MANKIND

1. Space Treaty 1967

Tujuan yang dikehendaki dari Space treaty ini ialah membebaskan ruang angkasa untuk selama-lamanya dari bahaya perang yang tidak selalu berhasil di bumi. Apabila diteliti cara pembentukan Space Treaty ini, tampaknya bahwa usaha pihak-pihak hanya terbatas pada pernyataan prinsip-prinsip umum dan menglangi anjuran Majelis Umum PBB sehubungan dengan penggunaan runag angkasa bagi tujuan damai, serta menegaskan kembali prinsip-prinsip yang tercantum di dalam Resolusi PBB No. 1962 XVII, 13 Desember 1963 dan juga reproduksi prinsip-prinsip tertentu di dalam Antartic Treaty 1959. Selanjutnya marilah kita teliti pasal-pasal dalam Space Treaty ini yang berkaitan dengan prinsip common heritage of mankind. Artcle 1 “The exploration and use of outer space, including the moon and other celsetial bodies, shall be carried out for the benefit and in the interset of all countries, irrespective of their degree of economic or scientific development and shall be the province of all mankind. “Outer space, including the moon and other celestial bodies, shall be free for exploration and use by all State without discrimination of any kind, on a basis of equality and in accordance with international law and there sall be free access to all areas of celestial bodies. Universitas Sumatera Utara “There shall be freedom of scientific investigation in outer space including the moon and other celestial bodies, and State shall facilitate and encourage international co-operation in such investigatioan.” Tampak dalam pasal 1 ini telah disusun sedikian rupa, bahwa ruang angkasa dan benda-benda langit tunduk kepada hukum internasional dan Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa, bebas untuk eksplorasi dan pemanfaatan oleh semua negara atas dasar kesamaan sesuai dengan Hukum Internsional, eksplorasi dan pemanfaatan demikian harus dilakuak untuk keuntungan dan dalam kepentingan seluruh umat manusia,. Kemudian agar dimungkinkan ikut sertanya negara-negara sebanyak mungkin apakah itu negara dalam tingkat space powers ataupun non- space powers. Kebebasan untuk melakukan penyelidikan dan memakai bulan dan benda- benda langit merupakan sebagian hak untuk secara bebas memasuki semua wilayah benda-benda langit. Karena itu segala pengaturannya harus diberikan penafsirannya yang seluas-luasnya. Prinsip “pintu terbuka” sebagai praktik dari adanya jaminan kebebasan yang didasarkan atas hak sama rata, di mana harus pula diartikan sebagai hak untuk melakukan pendaratan pesawat angkasa tanpa atau dengan manusia, peletakan dan penempatan alat-alat yang berawak ataupun tidak dan juga pengadaan hubungan antara manusia dan benda-benda langit. Negara-negara tidak dibenarkan menghambat masuk secara bebas, negara lain ke benda-benda atau menimbulkan kesukaran-kesukaran bagi negara-negara lain dalam kegiatan tersebut. Universitas Sumatera Utara Kebebasan untuk memasuki daerah di ruang angkasa memberikan hak kepada negara untuk mendirikan stasiun-stasiun dan instalasi-instalasi untuk melakukan berbagai percobaan. Atas dasar pertimbangan-pertimbangan ini, maka kita harus memperhitungkan kemungkinan pemakaian dan pengusahaan sumber- sumber kekayaan ruang angkasa. Hak penemuan maupun kemampuan dan tersedianya fasilitas teknologi yang dimiliki suatu negara tidak dapat dijadikan alasan untuk memberikan prioritas kepadanya. 17 Pasal IV mengikat negara negara untuk tidak meluncurkan di sekitar bumi obyek-obyek berisikan nuklir atau senjata-senjata lainnya yang mempunyai daya rusak massal, atau menempatkan senjata-senjata semacam itu di benda-benda langit. Ayat 2 pasal IV ini melarang penempatan instalasi militer dan Pasal 2 traktat ini melarang pemilikan nasional ruang angkasa dalam bentuk apapun, juga mengandung tentang prinsip kebebasan di ruang angkasa. Dinyatakan dalam Article II : “Outer space, including the moon and other celestial bodies, is not subjected to national appropiation by claim of sovereignity, by means of use or occupation, or by any other means.” Pasal III Space Treaty 1967, telah mengulangi prinsip-prinsip yang tercantum dalam pasal I, sehingga sampai kepada pasal III ini pun kita tidak dapat mengetahui apa sesungguhnya yang dimaksud dengan ruang angkasa, di mana letaknya dan apa hakikatnya kalau kita menentukan batas-batasnya. 17 Prof. Dr. Priyatna Abdulrasyid, Pengantar Hukum Ruang Udara…… op.cit, hal. 36. Universitas Sumatera Utara perbentangan-perbentangan atau melakukan percobaan senjata apapun di sana. Tetapi penggunaan anggota-anggota militer untuk kepentingan ilmiah atau tujuan- tujuan damai tidak dilarang. Oleh karena itu, pasal IV ini, merupakan pasal yang teramat penting bagi usaha pengurangan perlombaan persenjataan di ruang angkasa, di samping Test Banned Treaty 1963. Pasal V mengatakan bahwa astronot-astronot dianggap sebagai utusan kemanusiaan dan kalau perlu akan diberikan bantuan secukupnya bilamana berada alam kesulitan, kecelakaan dan harus melakukan pendaratan darurat di wilayah negara lain atau di laut lepas. Telah pula disepakati untuk mengembalikan mereka dengan selamat ke negara asalnya dengan segera prinsip ini secara tegas disebut dalam Resolusi UNGA No 1962 VIII tanggal 13 Desember 1963 ayat 2 menetapkan keharusan bahwa untuk memberi bantuan bukan saja waktu berada dalam kesulitan navigasi akan tetapi umumnya pada setiap keadaan darurat. Pasa VI menyatakan bahwa negara peluncur bertanggung jawab terhadap segala akibat usaha di ruang angkasa. Pasal VIII begitu pula dengan Pasal VI, sama-sama mengatur pertanggungjawaban secara bersama-sama atau sendiri-sendiri. Pasal VIII mengatakan bahwa negara anggota mempunyai hak yurisdiksi terhadap benda-benda yang diluncurkan asalkan mempunyai ciri-ciri dan tanda- tandanya. Pasal XI mengatakan bahwa negara anggota yang melakukan kegiatan di ruang angkasa, bulan dan benda-benda di langit lainnya tidak terikat bebas Universitas Sumatera Utara apakah bersedia memberitahukan PBB tentang sifat, usaha dan lokasihasil daripada kegiatannya. Pasal XII mengatur meneganai dapatnya dikunjungi oleh negara-negara anggota setiap benda yang merupakan proyek negara naggota. Setelah diuraikan pasal demi pasal, dari Space Treaty di atas, dapat kita lihat, beberapa pasal secara tidak langsung telah menganggap GSO, sebagai bagian dari ruang angkasa adalah merupakan common heritage of mankind. Hal ini tampak mulai dari pasal 1 yang mengharuskan bahwa ruang angkasa dan benda-benda langit lainnya harus bebas untuk dieksplorasi dan eksploitasi oleh semua negara tanpa adanya pembedaan. Juga pasal II yang melarang pemilikan nasional terhadap ruang angkasa. Namun pengaturannya masih terdapat pertentangan di sana-sini antara satu pasal dengan yang lainnya dan ada beberapa pasal yang tidak jelas maksud dan ketentuannya. Misalnya pasal 1 di atas yang tidak menjelaskan secara tegas apa yang dimaksudkan dari ekualitas dalam penggunaan dan eksplorasi ruang angkasa. Apakah hukumnya yang tidak ekual ataukah faktakenyataannya dalam hal absence of discrimination, maka free access tersebut telah bertentangan dengan pasal XII. Dalam pasal XII dikatakan “shall be open to...” atas dasar resiprositas. Ini berarti bahwa negara-negara anggota yang mau melihatmemeriksa stasiun, instalasi, perlengkapan dan pesawat ruang angkasa milik negara lain tidak akan mungkin dilakukan tanpa diberi konsesi timbal balik. Juga harus ada pemberitahuan terlebih dahulu, yang dapat diartikan permintaan izin. Juga tidak disebutkan negara-negara yang tidak mempunyai kegiatan apa-apa di sana, sehingga sulit atau tidak mungkin rasanya Universitas Sumatera Utara menerapkan dasar berimbal balik di sana. Juga apabila kita berbicara prinsip commkon heritage of mankind, berarti semua negara wajib menerapkan prinsip itu tanpa ada kecuali dan juga tidak mengharuskan adanya hubungan timbal balik.

B. PRINSIP COMMON HERITAGE OF MANKIND DAN AZAS PERDAMAIAN

Dokumen yang terkait

Tinjauan Hukum Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan Sipil Terhadap Kerugian yang Timbul Berdasarkan Konvensi Chicago Tahun 1944

2 43 114

Pelanggaran Pesawat F-18 Hornet Milik Amerika Serikat Diwilayah Kedaulatan Indonesia Ditinjau Dari Konvensi Chicago Tahun 1944

3 28 90

Penetapan Laik Terbang Pesawat Udara Indonesia Dikaitkan Dengan Konvensi Chicago 1944.

0 0 6

Penerapan Prinsip-Prinsip Unidroit Dan Konvensi Internasional Terhadap Pembaharuan Hukum Kontrak Indonesia.

0 0 6

STATUS HUKUM PESAWAT UDARA SIPIL YANG DIGUNAKAN SEBAGAI SENJATA PENGHANCUR BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO 1944.

0 0 2

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM UDARA INTERNASIONAL MENURUT KONVENSI CHICAGO 1944 A. Sejarah Hukum Udara Internasional - Tinjauan Yuridis Hukum Udara Internasional Dalam Kasus Jatuhnya Pesawat Tempur Rusia Akibat Penembakan Turki

0 0 29

BAB II PANDANGAN UMUM TENTANG ZONA LARANGAN TERBANG A. PENGERTIAN ZONA LARANGAN TERBANG - Pemberlakuan Zona Larangan Terbang Di Suriah Menurut Ketentuan Hukum Internasional

0 0 29

Tinjauan Hukum Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan Sipil Terhadap Kerugian yang Timbul Berdasarkan Konvensi Chicago Tahun 1944

0 2 36

BAB II Pengaturan Aspek Ekonomi Penerbangan Sipil Menurut Konvensi Chicago 1944 - Tinjauan Hukum Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan Sipil Terhadap Kerugian yang Timbul Berdasarkan Konvensi Chicago Tahun 1944

0 0 15

PENGATURAN ANNEX 13 KONVENSI CHICAGO 1944 DALAM PROSES INVESTIGASI KECELAKAAN PESAWAT TERBANG SIPIL YANG JATUH DI WILAYAH KONFLIK (STUDI KASUS KECELAKAAN PESAWAT MH17 DI UKRAINA)

0 0 16