PENDAFTARAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN KEGIATAN DI

militer. Kemudian jika terjadi perang atau permusuhan, penerbangan-penerbangan tersebut tetap memperoleh izin terlebih dahulu. Dari sisi penerbangan dan angkutan udara, IATA sebenarnya mempunyai arti npenting, karena memberikan kelima kebebasan udara tersebut, namun beberapa negara peserta tidak menandatangani perjanjian tersebut, bahkan Amerika Serikat sebagai pelopor perjanjian tersebut, akhirnya menyatakan bahwa mereka keluar dari keanggotaan IATA. Dalam hal ini, dapat dilihat, bahwa prinsip ketiga, keempat, dan kelima kurang mendapat pengakuan umum sebagai prinsip mutlak hukum internasional. 19 Guna mengidentifikasi negara peluncur yang telah meluncurkan benda- benda ke ruang angkasa yang telah mengakibatkan kerugian terhadap pihak tertentu, maka perlu adanya suatu lembaga hukum pendaftaran terhadap benda-

C. PENDAFTARAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN KEGIATAN DI

RUANG ANGKASA Dengan makin meningkatnya aktivitas manusia di dalam meluncurkan benda-benda angkasa, maka permasalahn yang timbul pun semakin bertambah kompleks. Salah satu kompleksitas permasalahan berkenaan dengan aktivitas di ruang angkasa tersebut adalah mengenai kerugian dengan aktivitas di ruang angkasa tersebut adalah menegani kerugian yang dapat timbul terhadap pihak tertentu, baik pihak yang telah turut serta dalam aktivitas ruang angkasa maupun pihak yang sama sekali belum turut serta dalam aktivitas tersebut. 19 Op.Cit. Hal 226. Universitas Sumatera Utara benda buatan manusia yang diluncurkan ke ruang angkasa. Hal ini cukup urgen demi perlindungan bagi pihak-pihak yang telah dirugikan dan dapat melakukan tuntutan ganti rugi terhadap negara peluncur. Demikian pula upaya pengembalian para awak pesawat ruang angkasa ke negara peluncur yang vtelah mendapatkan suatu kecelakaan atau mendarat dalam keadaan darurat di wilayah negara lain. Masalah pendaftaran benda-benda buatan manusia yang diluncurkan ke ruang angkasa telah menjadi isu hukum internasional sejak keberhasilan Uni Sovyet meluncurkan satelit pertamanya Sputnik I pada tahun 1957. Bahkan masalah ini telah menjadi perhatian serius di kalangan para sarjana terkemukan secara dini, yakni lima tahun sebelum pelunciran Sputnik I tersebut. Masih pada tahun 1952, Oscar Scahter, 20 20 Cooper, John Cobb, Exploration in Aerospace Law, McGill University Press, Montreal, 1968, hal 251 telah menekankan perlunya lembaga kebangsaan bagi pesawat antariksa sebagai langkah menciptakan tertib hukum di ruang angkasa. Perhatian secara dini terhadap masalah pendaftaran benda-benda buatan manusia yangt diluncurkan ke ruang angkasa itu didasarkan atas prediksi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi penerbangan. Perkembangannya akan membuka kesempatan cukup besar bagi negara dan berbagai pihak untuk meluncurkan benda-benda buatan manusia ke ruang angkasa. Hal ini tentu akan menjadikan ruang angkasa menjadi lahan baru bagi upaya peningkatan, kualitas hidup mesyarakat bangsa-bangsa. Universitas Sumatera Utara Pada tahun 1958 barulah dibentuk suatu Ad Hoc Committee on the Peaceful Uses of Outer Space, yaitu dengan Resolusi MU PBB 1472 XIV tertanggal 12 Desember 1959. Namun sebelum dikukuhkan, Komite Ad Hoc PBB yang dibentuk tahun 1958 tersebut pada bulan Juni 1959 telah menerima suatu usaha laporan yang menyebutkan keinginan untuk menciptakan : A system of registration of launching of space vehicle, their call sign, marking and current orbital and transit characteristic. 21 Usaha pemanfaatan ruang angkasa serta upaya melakukan penerbangan dan peluncuran benda-benda ke ruang angkasa oleh manusia adalah merupakan era yang lebih maju dari kemampuan manusia dalam menjelajah jarak. Oleh karena hal ini merupakan masalah yang relatif cukup baru dalam tatanan hukum internasional, maka masalah lembaga pendaftaran terhadap benda-benda yang diluncurkan tersebut adalah masalah yang cukup baru sama sekali. Hal ini disebabkan oleh suatu karakteristik ruang angkasa yang berbeda dengan rezim hukum yang berkembang di udara dan laut yang selama ini kita kenal. Namun demikian, untuk menciptakan suatu ketentuan menyangkut pendaftaran tersebut Dalam konstelasi hukum internasional dan nasional dikenal adanya suatu lembaga kebangsaan dari suatau benda-benda tertentu di mana masalah ini erat kaitannya dengan suatu pendaftaran terhadap benda-benda tersebut. Misalnya, di bidang hukum laut dan hukum udara dikenal adanya lembaga kebangsaan terhadap kapal dan peswat udara. Status kebagsaan ini didasarkan suatu tindakan pendaftaran terhadap benda-benda tersebut. 21 UN Document A4141 1959 Universitas Sumatera Utara perlu dilihat pula bagaimana ketentuan padanannya yang telah tersusun lebih dahulu, misalnya dalam lingkungan transportasi laut dan udara. Dalam lingkungan hukum udara dan hukum laut, masalah pendaftaran terhadap alat transportasi itu akan menimbulkan suatu konsekuensi yuridis terhadap hubungan hukum yang muncul berkenaan dengan alat-alat transportasi tersebut. Hal ini menyangkut kebangsaan dari alat-alat transpor yang membawa yurisdiksi negara tertentu secara eksklusif mengatur dan atau menyelesaikan hubungan hukum yang muncul berkenaan dengan alat-alat transportasi udara dan laut itu. Denagn demikian, masalah pendaftaran terhadap objek-objek tertentu itu adalah hal yang sangat penting guna menciptakan suatu tertib hukum yang menjadi dambaan setiap umat manusia. Betapa tidak, jika masalah pendaftaran ini tidak mendapatperhatian dengan penciptaan tertib hukum yang timbal balik terhadap benda-benda tersebut akan membawa berbagai konflik. Hal ini pada akhirnya menyeret masyarakat internasional pada suatu kepentingan yang dapat memkbahayakan perdamaian dunia. Demikian pula dengan aktivitas manusia di ruang angkasa yang relatif masih merupakan suatu aktivitas elit, namun apabila masalah pendaftaran benda-benda yang diluncurkan ke ruang angkasa itu tidak mendapat perhatian khusus, maka pada akhirnya kativitas tersebut lebih mengarak kepada hal yang merugikan masyarakat internsional itu sendiri. Sebagaimana diketahui masalah pendaftaran pada lingkup hukum udara dan hukum laut itu akan membawa kepada suatu konsekuensi kebangsaan yang timbul terhadap kapal-kapal laut dan pesawat udara guna menentukan yurisdiksi Universitas Sumatera Utara negara mana yang dapat secara eksklusif diterapkan pada hubungan hukum yang timbul dari aktivitas benda-benda tersebut. Maka dengan demikian masalah pendaftaran pada lingkup hukum udara dan hukum laut erat kaitannya dengan masalah lembaga kebangsaan itu sendiri. Permasalahan mengenai status kebangsaan terhadap kapal laut dan pesawat udara telah lebih dahulu diperbincangkan oleh sarjana terkemuka. Misalnya Kish mengemukakan : 22 Demikian pula Cooper mengemukakan : The nationality of vehicle and installation is established by registration in their state. The legal link between the state and its vehicle and installation is created by act of registration. 23 Meskipun penerbangan antariksa merupakan bagian dari kegiatan transportasi oleh manusia, namun ketentuan hukum khususnya mengenai pendaftaran tidak demikian saja diambilkan analogi dari apa yang telah terbentukdi dunia transportasi laut dan udara. Akan tetapi, terlihat bahwa pendaftaran dalam lingkungan hukum laut dan udara dengan tegas dinyatakan The classic evidence of nationality has always been registration. As to vessel, thie early becam customary law. As to aircraft, the Paris, Havana and Chicago Convention each provided that aircraft should have the nationality of the state in which they are registered. Pendaftaran benda-benda angkasa yang dimaksudkan di sini adalah pendaftaran terhadap benda-benda buatan manusia seperti roket, pesawat, satelit dan segenap benda-benda lain yang diluncurkan ke udara. 22 John Kish, The Law of International Space, A.W. Sijthoff Leiden, 1973, hal 96. 23 John Cobb Cooper, Op.cit hal 23. Universitas Sumatera Utara bahwa sebagai pertautan yang menciptakan kebagsaan wahana angkutan, hal seperti itu masih menimbulkan pertanyaan di lingkungan hukum ruang angkas. Misalnya dalam hukum laut, perkembangan hukum kebiasaan internasional, telah memberikan status yang disebut legal quasi personalitas pada kapal laut. Di lingkungan hukum publik, sebuah kapal memilki kebangsaan, yang memberi sifat adanya hubungan kapal laut dengan sesuatu negara, sama kira-kira hubungan orang seorang dengan negara pada siapa ia menundukka n diri. Di lingkungan hukum perdata, sebuah kapal bisa dikatakan kualitas tanggung jawab, yang nenunjukkan bahwa kapal itu sendiri terlepas daripada ada tidaknya tanggung jawab dari pemilik atau operatornya, mempunyai tanggung jawab atas pelayanan yang ia lakukan dan atas kerugian yang ditimbulkannya. Kapal di lingkungan hukum perdata, bisa dikenakan tanggung jawab in rem, bahkan jika pemiliknya tidak bertanggung jawab in personam. Status legal quasi personalitas dari kapal laut tersebut, baik di lingkungan hukum publik ataupun hukum perdata, menjadikan status hukum dari kapal laut, unik, berbeda, misalnya, dari status hukum pesawat udara. Kebangsaan kapal laut mengikuti negara di mana kapal didaftarkan. Karenanya pendaftaran menjadi bukti bagi terciptanya status kebangsaan atas kapal. Kebangsaan kapal ditunjukkan dengan bendera negara tempat kapal didaftarkan. Karenanya dikatakan bahwa kalau pendaftaran merupakan bukti bagi kebangsaan kapal, maka bendera negara dan tanda-tanda negara menjadi bukti prima faci bagi kebangsaan suatu kapal, namun patut diingat di lingkungan hukum laut ada perbedaan ketentuan antara kapal sipil dan kapal negara, seperti kapal perang. Universitas Sumatera Utara Demikian pula ketentuan mengenai kebangsaan pesawat udara, sudah dikodifikasi baik dalam Konvensi Paris 1919, maupun terakhir pada Konvensi Chicago 1944, dalam Bab III mengatur ketentuan mengenai kebangsaan pesawat, ditentukan antara lain : 1. kebangsaan pesawat adalah negara di mana pesawat itu didaftarkan pasal 17. 2. larangan pendaftaran lebih dari satu negara pasal 18. 3. setiap pesawat wajib memasang tanda kebangsaan pasal 20. 4. pendaftaran itu harus dilaporkan, atas dasar adanya permintaan kepada ICAO atau sesama negara anggota konvensi pasal 21. Tetapi berlainan dari kapal laut, pesawat udara tidak mempunyai kualitas legal quasi personalitas di lngkungan hukum perdata, yaitu tidak memiliki tanggung jawab secara hukum perdata. Jadi, di sini negara bendera menjadi pelindung bila saja pesawatnya menjumpai ancaman atau tindakan tidak sah lainnya dari pihak asing. Di lingkungan hukum ruang angkasa, masalah pendaftaran benda-benda yang diluncurkan ke ruang angkasa telah disadari begitu penting. Namun masalah pendaftaran dalam dalam lingkungan hukum ini hanya semata-mata dimaksudkan guna keperluan adanya sarana identifikasi benda-benda angkasa bagi negara- negara peluncur. Atas dasar kebutuhan sarana indentifikasi itulah makadiciptakan suatu ketentuan tentang pendaftaran, yaitu Convention on Registration of Object Launched into Outer Space tahun 1975, konvensi ini mulai berlaku pada tanggal 15 September 1975, setelah diratifikasi oleh 5 negara peserta seperti disyaratkan Universitas Sumatera Utara dalam pasal VIII ayat 2, kelima negara tersebut adalah Bulgaria, Kanada, Perancis, Swedia dan Amerika Serikat. Suatu bukti bahwa keberadaan konvensi pendaftaran benda-benda angkasa tahun 1975 di didasarkan atas kepentingan perlu adanya sarana identifikasi benda angkasa bagi negara-negara dapat terlihat pada konsideran konvensi tersebut, di mana sifat pendaftaran adalah wajib. Konsideran yang tersurat pada salah satu paragrafnya adalah sebagai berikut : Believing that a mandatory system of registering objects launched into outer space would, in particular, assist in their identification and would contribute to the application and development of international law governing the exploration and use of outer space. Konvensi pendaftaran benda-benda angkasa tahun 1975 itu merupakan suatu langkah maju dari sistem pendaftaran untuk lingkup ruang angkasa, sebab konvensi ini telah mewajibkan negara-negara yang telah meluncurkan benda- benda ke ruang angkasa harus mendaftarkannya, tidak seperti sebelum terbentuknya konvensi ini, di mana pendaftaran tanah masih bersifat sukarela Resolusi 1721 XIV B. Di samping itu, konvensi pendaftaran 1975 merupakan penjabaran dari prinsip-prinsip dan ketentuan yang telah diletakkan sebelumnya dalam Space Treaty 1976, Rescue Agreement 1968, dan Space Liability Convention 1972. Di dalam artikel V dari Space Treaty 1967 merupakan suatu ketentuan umum yang perlu dijabarkan dalam bentuk pendaftaran benda-benda angkasa. Selanjutnya dalam artikel VIII dan artikel XI Space Treaty, tercantum ketentuan yang mnemerlukan penjabaran melalui Registration Convention 1975. Universitas Sumatera Utara Ketiga pasal dari Space Treaty 1967 tersebut di atas tentu masih nampak bersifat umum dan ketentuan itu akhirnya dijabarkan ke dalam Registration Convention 1975. Rescue Agreement 1968 juga memerlukan suatu sarana pendaftaran guna mengidentifikasi benda-benda danatau pesawat ruang angkasa beserta awaknya. Mengenai perlunya suatu sarana pendaftaran tersebut dapat dilihat misalnya, dalam artikel VI yang memberikan pengertian tentang “launching authority” yang mempunyai tanggung jawab atas segala kejadian yang terjadi terhadap benda-benda yang diluncurkan ke ruang angkasa. Untuk mengetahui “launching territory”, maka perlu adanya suatu sarana identifikasi yang dapat mempermudah negara mana yang menjadi launching territory dari benda-benda angkasa yang mengalami kecelakaan tersebut. Juga di dalam artikel-artikel yang dimuat dalam Liability Convention 1972, khususnya yang menyangkut prinsip tanggung jawab , sangat memerlukan suatu sarana identifikasi tentang siapa yang harus bertanggung jawab. Marilah kita tinjau pasal demi pasal yang tercantum di dalam Registration Convention 1975, khususnya yang berkenaan dengan maslah pendaftaran benda- benda buatan manusia yang diluncurkan ke ruang angkasa. Artikel I hanya memberikan suatu batasanpengertian dari negara peluncur, yaitu : For the purpose of this Convention : a The term “launcing state” means: i A state which launches or procures the launching of a space objects. ii A state from whose territory or facility a space objects is launhed. b The term “Space objects” includes component parts of a space objects as well as its launched vehicle and parts thereof. Universitas Sumatera Utara c The term “state of registry” means a launching state on whose registry a space objects is carried is accordance with article II. Jika kita amati pasal I dari Registration Convention 1975 di atas, maka pasal tersebut hanya memberikan suatu batasan tentang negara peluncur, benda angkasa, dan pengertian negara pendaftar. Walaupun pasal ini hanya memuat tentang batasan-batasan, namun dalam huruf c, telah diberikan gambaran tegas, bahwa negara pendaftar adalah menanggung tanggung jawab, manakala benda- benda angkasa yang diluncurkannya itu merugikan benda angkasa negara lainnya atau merugikan pihak ketiga yang ada di darat, alut, udara dan di ruang angkasa. Persamaan negara peluncur dengan negara yang mendaftarkan adalah sangat penting untuk mengidentifikasi benda-benda yang jatuh dan atau yang telah mengakibatkan kerugian terhadap pihak ketiga tersebut guna melakukan tuntutan ganti rugi, sebab telah diketahui negara peluncur yang wajib memikul tanggung jawab. Ketentuan-ketentuan meneganai pendaftaran benda-benda yang diluncurkan ke ruang angkasa adalah sebagai berikut: 1. Setiap benda yang diluncurkan ke ruang angkasa harus didaftarkan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa. pasal II ayat 1; 2. Bila negara yang terlibat dalam peluncuran benda-benda angkasa tersebut lebih dari satu, maka dalam hal seperti ini mereka dapat bekerja sama dan cukup satu negara saja yang menjadi negara pendaftar dari benda-benda nagksa tersebut, pasal II ayat 2; Universitas Sumatera Utara 3. Isi dari register ditentukan oleh negara yang bersangkutan, pasal II ayat 3; 4. Sekretaris Jenderal PBB dapat juga membuat registrasi yang memuat ketentuan-ketentuan sebagai berikut : a Nama negara peluncur. b Nomor registrasi. c Tempat dan tanggal peluncuran d Memuat parameter-parameter sebagai berikut: − Nodal period − Inclination − Apogee − Perigee Namun demikian, informasi tambahan dapat sewaktu-waktu diberikan oleh negara peluncur kepada Sekretaris Jenderal PBB jika hal itu dianggap perlu untuk diinformasikan, pasal III dan IV. Dengan melihat ketentuan tentang pendaftaran benda angkasa yang diluncurkan ke ruang angkasa sebagaimana yang diatur oleh Registration Convention 1975 sesuai dengan uraian di atas, maka tampak bahwa konvensi tersebut tidak meberikan suatu ketegasan tentang apa saja yang harus dilaporkan kepada Sekretaris Jenderal PBB hingga dengan demikian maka tambahan informasi yang sewaktu-waktu dapat diberikan oleh negara peluncur sebagaimana yang tercantum di dalam artikel IV ayat 2 dari konvensi belum dapat menjamin ketaatan negara-negara yang menjadi State Registery. Di samping itu, sumber Universitas Sumatera Utara daya energi yang digunakan oleh benda-benda angkasa tidak tecantum sebagai salah satu kewajiban yang harus dilaporkan, padahal sumber daya energi yang digunakan oleh benda angkasa adalah sangat penting, sebab pengunaan tenaga nuklir bagi benda-benda angkasa dewasa ini semakin meningkat, hal mana dapat membahayakan pihak ketiga jika benda-benda yang menggunakan sumber daya nuklir itu jatuh. Namun demikian, konvensi mengenai pendaftaran benda-benda angkasa yang diluncurkan ke ruang angkasa merupakan suatu langkah maju dari masyarakat internsional dalam rangka mencapai suatu tertib hukum mengenai kegiatan manusia di ruang angkasa. Dalam rangka proses penciptaan konvensi mengenai pendaftaran benda- benda yang diluncurkan ke ruang anghkasa terjadi suatu pertentangan pendapat mengenai pemberian tanda pada objek angkasa sebagai sarana pengenalan. Pada dasarnya negara utama di bidang antariksa seperti Amerika Serikat dan Uni Soviet, menolak ide pemberian tanda pengenalan pada objek luar angkasa . Kedua Space Power itu sama-sama berpendapat bahwa dari segi teknis ide tersebut tidak bisa dipertanggungjawabkan. Selain itu sistem tracking yang mereka miliki dianggap mampu mengidentifikasi objek angkasa manapun. Sebaliknya negara-negara yang merasa bisa menjadi korban kegiatan keantariksaan space power potential victims bertahan pandirian perlunya pemberian tanda pada objek angkasa tersebut demi memudahkan mereka mengenali objek yang satu saat menimbulkan kerugian pada mereka. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan pertentangan pendapat mengenai pemberian tanda pada objek ruang angkasa yang diluncurkan tersebut, maka diperlukan adanya suatu ketentuan yang sifatnya kompromi dari kedua pendapat yang saling bertentangan itu di mana dalam artikel itu ditetapkan bahwa penandaan pada objek angkasa bersifat sukarela, namun begitu negara melakukan penandaan lebih lanjut pada objek angkasanya, pendaftarannya menjadi wajib. Jika kita melihat apa yang tercantum dalam pasal demi pasal dari Registration Convention 1975 itu, maka secara eksplisit maupun implisit tidak terdapat suatu ketentuan yang memberikan suatu lembaga kebangsaan dari suatu benda angkasa, berbeda dengan lingkungan hukum laut, di mana baik dalam hukum kebiasaan, maupun dalam bentuk konvensi disebutkan adanya suatu lembaga kebangsaan itu, demikian pula pada konvensi-konvensi hukum udara, menyebutkan adanya suatu lembaga kebangsaan dari alat-alat transportasi itu. Di samping itu, jika kita perhatikan praktik dari kedua negara Space Power yakni Amerika Serikat dan Uni Sovyet, maka keduanya cenderung mengartikan kebutuhan pandaftaran benda angkasa untuk tujuan lain, bukan untuk menciptakan kebangsaan atas benda itu. Delegasi Amerika Serikat, misalnya mencerminkan sifat serta sikapnya ketika mengungkapkan keinginannya menumbuhkan sistem pendaftaran di Perserikatan Bangsa Bangsa yang menurutnya : 24 24 Yasdi Hambali, Ibid To record the objects launched, but not to indicate their nationality. Universitas Sumatera Utara Sedangkan, sikap Uni Sovyet tercermin dari pendirian ahli-ahli hukumnya yang utama. Dalam suatu monograf yang memuat pendapat ahli-ahli hukum Sovyet, menyatakan antara lain : 25 Tanggung jawab negara diatur dalam Liability Convenstion 1972. Penulis melihat dari empat sudut atau lingkup pandang, yaitu georafi, materil, waktu dan fungsional-personal. Dengan meninjau Liability Convention dari ke empat lingkup di atas, maka dapatlah terlihat hal-hal sebagai berikut; di wilayah ruang mana saja konvensi dapat berlaku, dapat dikenakan pada siapa saja serta apa saja yang The main aims of the registration of space objects could be the systematic recording of launchings and the provosion of information about them to all states so as promote international cooperation in space exploration. Terjadinya perbedaan konsepsi mengenai pendaftaran benda-benda tertentu seperti yang terjadi di lingkungan hukum ruang angkasa dan hukum udara serta lingkungan hukum laut, pada dasarnya disebabkan oleh perbedaan karakteristik penerbangan di ruang angkasa. Prinsip the province of all mankind yang terdapat dalam hukum ruang angkasa yang mengakibatkan masalah kebangsaan pada benda-benda yang diluncurkan ke ruang angkasa dalam keterkaitannya dengan pendaftaran benda-benda tersebut menjadi masalah yang tidak mudah untuk dipecahkan. Manum demikian, keberhasilan masyarakat bangsa-bangsa dalam menciptakan konvensi mengenai pendaftaran benda-benda yang diluncurkan tersebut merupakan suatu langkah maju yang sangat berguna bagi perkembangan hukum ruang angkasa pada masa yang akan datang. 25 Ibid Universitas Sumatera Utara menjadi tujuan dari konvensi dan akhirnya dapat pula terlihat waktu berlakunya konvensi yang bersangkutan. Bin Cheng dalam bukunya The Law of International Air Transport, telah meninjau Konvensi Chicago dari keempat lingkup di atas. Demikian pula Priyatna Abdulrasyid, telah menggunakan keempat lingkup tersebut dalam penelitian- penelitian hukum ruang angkasa. 26 Lingkup geografis membawa kita pada pengertian tentang wilayah berlakunya konvensi ini. Jika kita lihat isi artikel II dari Liability Convention 1972 yang menyatakan bahwa : Oleh karena itu untuk melihat pengaturan yang terdapat dalam Liability Convention 1972, maka penulis juga meninjaunya dari keempat ruang lingkup ini. 27 Dengan lingkup personal dimaksudkan untuk mengetahui pihak mana saja yang dapat terlihat di dalam pelaksanaan konvensi. Dengan memperhatikan pasal- pasal yang terkandung dalam konvensi yang menyangkut tentang siapa saja yang bertanggung jawab serta apa saja yang dapat dipertanggung jawabkan, maka dapat A launching State shall be absolutely liable to pay compensation for damage caused by its space objects on the surface of the earth or to aircraft in flight. Dengan demikian, maka jelaslah bahwa Liability Convention 1972 itu mempunyai wilayah huni atau dapat diterapkan terhadap segenap kerugian yang disebabkan oleh benda-benda angkasa baik kerugian itu terjadi di wilayah darat, wilayah laut, wilayah udara dan berlaku pula di ruang angkasa serta laut bebas. 26 Ruman Sudrajat H. Hidayat, Tinjauan Kemungkinan Ratifikasi Perjanjian Internasional mengenai Pertanggungjawaban Terhadap Kerugian yang disebabkan oleh Objek Angkasa yang Diluncurkan ke Antariksa. Untuk kepantingan nasional, Makalah Seminar Hukum Antariksa Nasional 18-19 Desember 1985 di LAPAN. 27 Lihat Liability Convention 1972 Universitas Sumatera Utara terlihat di dalam pelaksanaan konvensi adalah: Orang selaku pribadi melalui negaranya, negara, badan hukuml organisasi internsional, saluran diplomatik, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa Komisi Penuntutan serta Badan peradilan lainnya. Lingkup fungsional dan materil dapat terlihat pada pasal I ayat b mengenai apa yang dimaksud dengan negara peluncur, di mana negara peluncur ini harus bertanggung jawab secara internasional atas kerugian yang diserita sebagai akibat jatuhnya benda-benda ruang angkasa di permukaan bumi atau pada pesawat yang sedang melakukan penerbangan. Dalam kejian ini jelas bahwa Liability Convention 1972 merupakan suatu ketentuan hukum yang mengatur tentang pertanggungjawaban negara dalam aktivitasnya di ruang angkasa atau aktinitasnya berkaitan dengan peluncuran benda-benda ruang angkasa. Peninjauan konvensi dari lingkup waktu terlihat dalam artikel XXVI, yaitu menyangkut berlakunya konvensi yang dapat ditinjau kembali setelah 10 tahun dan setelah 5 tahun berlakunya konvensi tersebut dapat ditinjau kembali dengan catatan harus mendapat persetujuan dari 13 negara peserta konvensi. Pihak-pihak Yang Bertanggung Jawab Di dalam artikel II dari Liability Convention 1972 dinyatakan bahwa : A launching State shall be absolutely liable to pay compensation for damage by its Space Object on the surface of the Earth ao to Aircraft in flight. Dengan melihat ketentuan yang ditegaskan dalam artikel II di atas maka dapat diketahui tentang pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kerugian yang Universitas Sumatera Utara disebabkan oleh benda-benda angkasa di mana yang bertanggung jawab adalah negara peluncur. Sedangkan yang dimaksud dengan negara peluncur selanjutnya dijelaskan di dalam artikel I ayat a, yaitu : a The term “launcing state” means: i A state which launches or procures the launching of a space objects. ii A state from whose territory or facility a space objects is launhed. Jadi, berdasarkan artikel I ayat c, negara peluncur bukan hanya negara yang meluncurkan benda-benda angkasa itu saja akan tetapi juga dapat dikategorikan sebagai negara peluncur, yaitu negara yang mendapat kesempatan ikut meluncurkan objek ruang angkasa, negara yang wilayahnya atau yang memberikan fasilitas dari mana objek ruang angkasa tersebut diluncurkan, turut bertanggung jawab atas kerugian disebabkan oleh peluncuran itu. Maka dengan demikian, suatu negara dapat memenuhi syarat sebagai negara peluncur apabila : 28 1. Negara itu meluncurkan benda ruang angkasa dari wilayahnya dengan menggunakan saranya sendiri; 2. Negara itu meluncurkan benda ruang angkasa dari wilayah negara lain, berdasarkan perjanjian dengannya, dengan menggunakan sarananya sendiri atau sarana setempat; 3. Mengadakan peluncuran benda ruang angkasa negara lain, atau badan nonpemerintah lainnya; atau 4. Menyediakan sarana peluncuran untuk digunakan oleh negara lain di dalam wilayah negara lain itu. 28 JES Fawcet, Outer Space : New Challeges to Law and Policy, Clarendon Press, Oxford 1984, hal 25. Universitas Sumatera Utara Di samping itu, manakala terdapat dua atau lebih negara yang terlibat di dalam upaya peluncuran benda-benda ruang angkasa, maka dalam hal ini mereka akan menentukan suapa yang akan menjadi negara pendaftarnya. Hal-hal Yang Dipertanggungjawabkan Negara peluncur, bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh benda-benda ruang angkasa yang diluncurkan ke ruang angkasa. Mengenai ‘kerugian’, konvensi ini memberikan batasan sebagai mana yang dinyatakan di dalam artikel I ayat a, sebagai berikut : The term damage means loss of life, personal injury or other impairment health; or loss of or damage to property of states or of person, natural or juridical, or property of international intergovernmantal organization. Menilik artikel I ayat a di atas, maka kerugian yang dapat dipertanggungjawabkan oleh negara-negara peluncur diartikan sebagai kerugian atau kerusakan yang diderita oleh orang personil secara indivudual atau kerugian yang berkaitan dengan rusaknya kesehatan seseorang atau kehilangan, rusaknya harta benda milik pribadi, badan hukum atau harta benda milik organisasi internasional yang bersifat antar pemerintah. Kerugian sebagaimana yang disebutkan di atas, dapat terjadi di permukaan bumi, berarti dapat di wilayah darat atau wilayah laut suatu negara atau di wilayah yang bukan merupakan yurisdiksi negara manapun, juga dapat terjadi di ruang udara penerbangan dan akhirnya kerugian itu dapat pula terjadi di ruang angkasa dalam hal merugikan benda-benda ruang angkasa milik negara peluncur lainnya. Dengan memperhatikan artikel II dan III dari Liability Convention 1972, maka jelaslah bahwa konvensi ini memberikan dua alternatif pertanggungjawaban Universitas Sumatera Utara negara terhadap kerugian yang disebabkan oleh Space Object atau benda angkasa. Kedua alternatif tersebut merupakan suatu prinsip hukum yang dianut konvensi ini dalam hal pertanggungjawaban negara mengenai aktivitasnya di ruang angkasa yang telah menimbulkan kerugian terhadap negara lainnya. Prinsip pertama, yaitu jika kerugian itu terjadi di permukaan bumi, misalnya tertimpa suatu bagunan oleh kepingan benda ngaksa, rusdak alam karena terjadi kontaminasi nuklir di permukaan bumi, meninggal dunia karena benda angkasa tersebut, tertabrak atau tertimpa pesawat udara oleh pecahan benda yang sementara diluncurkan ke ruang angkasa, maka dalam keadaan atau kejadian semacam ini, negara peluncur bertanggung jawab secara penuh dan mutlak terhadap kerugian yang diderita oleh pihak ketiga tersebut sebesar kerugian yang diderita. Pihak yang dirugikan dalam kejadian ini tidak perlu memberikan suatu pembuktian tentang adanya unsur kesalahan pada pihak negara peluncur, cukup dengan menunjukkan fakta adanya kerugian tersebut, yang disebabkan oleh suatu benda yang diidentifikasikan sebagai milik negara peluncur. Alasan yang mendasari prinsip tanggung jawab mutlak adalah ketidakmampuan pihak yang dirugikan untuk memberikan suatu pembuktian yang lengkap seperti yang lazim diperlukan dalam kasus ganti rugi yang umum, di mana diharuskan adanya pembuktian unsur kesalahan atau kelalaian yang disengaja. 29 29 Mieke Komar Kantaatmadja, Berbagai masalah Hukum Udara dan Angkasa, Remaja Karya, Bandung, 1984, hal 127. Universitas Sumatera Utara Hal ini disebabkan oleh adanya suatu asumsi bahwa mustahil bagi seorang awam misalnya untuk menegrti maupun sanggup membiayai suatu pemeriksaan atau penelitian untuk mencari sebab-sebab teknis dari kesalahan di pihak operator. Dasar tanggung jawab absolut ini dalah dasar tanggung jawab yang berusaha melindungi pihak ketiga yang tidak turut serta dalam suatu kegiatan yang mengandung resiko berbahaya yang sangat tinggi, akan tetapi tanpa keinginannya dapat merasakan akibat buruk dari aktivitas tersebut. 30 30 Ibid. Prinsip kedua yang terdapat dalam konvensi adalah prinsip pertanggung jawaban atas dasar kesalahan. Prinsip ini diberlakukan bila kerugian itu terjadi bukan dipermukaan bumi dan di udara, akan tetapi kerugian terjadi di ruang angkasa yakni dalam hal benda angkasa tersebut merugikan negara lain karena telah merusak atau menabrak benda angkasa milik negara peluncur lainnya yang telah ditempatkan pada orbitnya. Pihak-pihak Yang Berhak Atas Ganti Rugi Untuk mengetahui siapa-siapa yang berhak menuntut dan memperoleh ganti rugi atas kerugian yang disebabkan oleh objek ruang angkasa milik negara peluncur, maka perlu menegetahui dalam ketentuan konvensi tentang kerugian yang dapat dipertanggungjawabkan. Artikel I ayat a dari Liability Convention 1972 dinyatakan bahwa : The term damage means loss of life, personal injury or other impairment health; or loss of or damage to property of states or of person, natural or juridical, or property of international intergovernmantal organization. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan artikel I ayat a di atas maka kerugian yang dapat dipertanggungjawabkan adalah kerusakan yang diderita oleh orang secara individu atau kerugian yang berkitan dengan rusaknya kesehatan orang, kehilangan, rusaknya harta benda milik negara atau milik pribadi, milik badan hukum atau harta benda milik organisasi internasional antar pemerintah. Dengan demikian jelaslah bahwa yang berhak atas ganti rugi adalah mereka yang secara nyata dirugikan, yaitu : 1. Orang secara individu 2. Negara 3. Badan hukum 4. Organisasi Internasional antarpemerintah. Mengenai orang secara individu, badan hukum nasional, maka tuntutan ganti rugi itu harus dilakukan melalui negaranya atau diwakili oleh negaranya. Mereka-mereka yang berhak atas ganti rugi itu tidak dapat melaksanakan haknya untuk menuntut ganti rugi dalam hal kerugian tersebut tersebut disebabkan oleh benda angkasa yang diluncurkan oleh negaranya sendiri atau dalam hal mereka turut serta hadir di dalam peluncuran karena adanya undangan dari negara peluncur. Mengenai kekecualian dalam penuntutan ganti rugi, ini dinyatakan di dalam artikel II Space Liability 1972. Dengan adanya ketentuan sebagaimana tercantum dalam artikel VII Space Liability Convention 1972 itu maka jelaslah bahwa warga negara dari negara peluncur kehilangan hak untuk memperolah ganti rugi, demikian pula warga negara asing selama mereka pada waktu tertentu ikut Universitas Sumatera Utara melakukan operasi kegiatan pada saat objek ruang angkasa tersebut diluncurkan atau sampai saat setiap tindakan objek ruang angkasa tersebut tersebut dilepaskan atau selama janhgka waktu secepat mungkin berada di sekitar tempat perencanaan peluncuran atau tempat penemuan kembali karena adanya undangan dari negara peluncur tersebut. Tuntutan Ganti Rugi Untuk memperoleh ganti rugi atas kerugian yang diakibatkan oleh objek ruang angkasa, maka pihak-pihak yang berhak atas ganti rugi tersebut harus melakukan tuntuan terhadap negara peluncur melalui negaranya. Mengenai hal ini, Space Liability Convention 1972 memberikan suatu ketentuan, yaitu : 1. Suatu tuntutan kompensasi atas kerugiankerusakan harus dilakukan terhadap negara peluncur melalui saluran diplomatik. Jika suatu negara tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan negara peluncur, maka pengajuan tuntutan dapat diajukan melalui permohonan negara lain untuk melakukan penuntutan terhadap negara peluncur atau melalui cara-cara lain berdasarkan konvensi untuk kepentingan penuntutan demikian. Tuntutan juga dapat dilakukan melalui Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa untuk kepentingan negara penggugat dan negara peluncur di mana keduanya adalah anggota dari PBB Artikel IX; 2. Suatu tuntutan untuk kompensasi atas kerusakan yang diderita dapat diajukan kepada negara peluncur tidak lebih dari satu tahun sejak Universitas Sumatera Utara tanggal terjadinya kerusakankerugian atau sejak diketahuinya adanya ciri-ciri negara peluncur harus bertanggung jawab. Artikel X ayat 1; 3. Kompensasi yang harus dibayar oleh negara peluncur sebagai negara yang bertanggung jawab atas kerusakankerugian yang diderita berdasarkan konvensi, harus sesuai dengan prinsip hukum internasional serta prinsip persamaan derajat dan keadilan. Artikel XIII; 4. Jika negara penuntut dan negara pembayar kompensasi berdasar konvensi setuju mengenai bentuk lain dari kompensasi, maka kompensasi demikian harus dibayarkan berdasarkan mata uang negara penuntut atau jika negara itu mengajukan permohonan bahwa mata uang tersebut adalah mata uang dari negara yang membayar kompensasi. Artikel XIII; 5. Dengan kehendak masing-masing pihak yang telah berkaitan dengan penunttan dan menyatakan bilamana penyelesaian suatu tuntutan tidak dapat dicapai melalui perundingan diplomatik, maka dalam jangka satu tahun dari sejak tanggal pemberitahuan, negara penuntut kepada negara peluncur, maka masing-masing pihak berhubungan dengan suatu Komisi Penuntut yang dapat dilakukan melalui permohonan salah satu pihak. Artikel XIV. 6. Komisi penuntut harus mempunyai komposisi yang terdiri dari tiga anggota, satu ditunjuk oleh negara penuntut, satu lagi oleh negara peluncur dan yang satunya adlah anggota dari pihak ketiga. Ketua komisi dapat dipilih oleh pihak-pihgak yang mengadakan persetujuan Universitas Sumatera Utara kerjasama dalam jangka waktu dua bulan. Jika dalam persetujuan itu tidak dapat dipilih seorang ketua, maka salah satu pihak dapat mengajukan permintaan kepada Sekretaris Umum PBB untuk menunjuk ketua dalam jangka waktu tidak lebih dari dua bulan. Artikel XV. 7. Komisi penuntut akan memutuskan melalui jasa-jasa baik bagi suatu penuntutan untuk pembayaran kompensasi dan menentukan jumlah kompensasi yang harus dibayar sejauh hal itu memungkinkan. Artikel XVIII. 8. Keputusan Komisi merupakan keputusan akhir dan mengikat jika telah disetujui masing-masing pihak. Artikel XIX ayat 2 9. Tidak satupun ketentuan dari konvensi akan menghalangi suatu negara atau individu maupun badan hukum untuk melakukan penuntutan di hadapan MahkamahPeradilan atau Peradilan Administratif atau Badan Peradilan lainnya terhadap negara peluncur. Artikel XI ayat 2. Universitas Sumatera Utara

BAB IV IMPLIKASI PENERAPAN KONSEP LARANGAN TERBANG OLEH

SUATU NEGARA DAN KETERKAITANNYA PADA PRINSIP COMMON HERITAGE OF MANKIND BERDASAR PERATURAN INTERNASIONAL KONVENSI CHICAGO 1944

A. PENERAPAN KONSEP LARANGAN TERBANG OLEH BEBERAPA NEGARA

Konvensi Paris 1919 dan penggantinya yakni konvensi Chicago 1944 mendasarkan konsep zona udara terlarang itu ditetapkan oleh negara kolong demi alasan militer dan sistem petahanan keamanan. Penetapan zona udara terlarang itu sesungguhnya merupakan suatu upaya demi penerapan dan penghormatan kedaulatan negara tersebut atas wilayah udaranya. Konsep zona larangan terbang kinimenjadi kerangka dasar prinsip hukum udara internasional yang telah disepakati oleh negara-negara peserta Konvensi Chicago 1944 tersebut. Dalam praktik, ada terjadi beberapa kasus yang berkaitan dengan penetapan zona larangan terbang oleh beberapa negara tertentu. Contoh pertama, konflik internasional antara India dan Pakistan yang terjadi pada tahun 1952. 31 31 Yasdi Hambali, Zona udara terbang, Kompas, Jakarta 23 September 1983 . Pada tahun 1952 Pakistan menciptakan suatu zona larangan terbang yang berakibat tertutupnya jalur penerbangan langsung antara New Delhi dengan Kabul, Afghanistan. Padahal jalur udara tersebut selama ini dipergunakan oleh maskapai penerbangan sipil internasional India. Pengalihan ke Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Tinjauan Hukum Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan Sipil Terhadap Kerugian yang Timbul Berdasarkan Konvensi Chicago Tahun 1944

2 43 114

Pelanggaran Pesawat F-18 Hornet Milik Amerika Serikat Diwilayah Kedaulatan Indonesia Ditinjau Dari Konvensi Chicago Tahun 1944

3 28 90

Penetapan Laik Terbang Pesawat Udara Indonesia Dikaitkan Dengan Konvensi Chicago 1944.

0 0 6

Penerapan Prinsip-Prinsip Unidroit Dan Konvensi Internasional Terhadap Pembaharuan Hukum Kontrak Indonesia.

0 0 6

STATUS HUKUM PESAWAT UDARA SIPIL YANG DIGUNAKAN SEBAGAI SENJATA PENGHANCUR BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO 1944.

0 0 2

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM UDARA INTERNASIONAL MENURUT KONVENSI CHICAGO 1944 A. Sejarah Hukum Udara Internasional - Tinjauan Yuridis Hukum Udara Internasional Dalam Kasus Jatuhnya Pesawat Tempur Rusia Akibat Penembakan Turki

0 0 29

BAB II PANDANGAN UMUM TENTANG ZONA LARANGAN TERBANG A. PENGERTIAN ZONA LARANGAN TERBANG - Pemberlakuan Zona Larangan Terbang Di Suriah Menurut Ketentuan Hukum Internasional

0 0 29

Tinjauan Hukum Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan Sipil Terhadap Kerugian yang Timbul Berdasarkan Konvensi Chicago Tahun 1944

0 2 36

BAB II Pengaturan Aspek Ekonomi Penerbangan Sipil Menurut Konvensi Chicago 1944 - Tinjauan Hukum Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan Sipil Terhadap Kerugian yang Timbul Berdasarkan Konvensi Chicago Tahun 1944

0 0 15

PENGATURAN ANNEX 13 KONVENSI CHICAGO 1944 DALAM PROSES INVESTIGASI KECELAKAAN PESAWAT TERBANG SIPIL YANG JATUH DI WILAYAH KONFLIK (STUDI KASUS KECELAKAAN PESAWAT MH17 DI UKRAINA)

0 0 16