Sitematika Penulisan Pertambangan minyak rakyat pespektif hukum ekonomi Islam dan hukum positif (studi kasus di ds Wonocolo Kec. Kedewan Kab. Bojongoro Prov. Jawa Timur

pengeboran minyak bumi apakah memiliki kemampuan mendegradasi minyak bumi. Maka Sudah barang tentu sangat berbeda dengan skripsi yang disusun oleh penulis dari sasaran penelitiannya, yang mana lebih menekankan masalah aspek legalitas hukum, sedangkan skripsi ini membahas lingkungan pertambangan, yaitu yang berhubungan dengan bakteri. Hasilnya, Isolat2 bakteri mampu menghasilkan biosurfaktan yang berbeda-beda nilai tingkatan pada tiap minggunya. Dan hal ini akan memiliki pengaruh pada pendegradasian minyak bumi.

F. Sitematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan skripsi ini, yang merupakan laporan hasil penelitian terdiri atas: BAB I PENDAHULUAN, Bab ini sebagai pengantar latar belakang masalah untuk menuju pendiskripsian isi skripsi, kemudian pembatasan dan perumusan masalah, tujuan diadakannya penelitian serta manfaatnya, metode penelitian review kajian terdahulu dan sitematika penulisan. BAB II LANDASAN TEORI, penulis menguraikan tentang pandangan Islam terhadap Sumber Daya Alam, Konsep pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Ekonomi Islam, dilanjutkan masalah Pertambangan yang penulis bagi dalam empat sub, yaitu pertambangan umum, pertambangan rakyat, perizinan pertambangan, dan kuasa pertambangan dan hak kepemilikan atas tanah pertambangan. Di samping itu penulis juga menguraikan masalah kepemilikan dalam Hukum Islam, legalitas kegiatan ekonomi dalam Hukum Islam dan Hukum Positif, persamaan dan perbedaan konsep pengelolaan pertambangan Hukum Islam dan Hukum Positif, dan terakhir penulis menguraikan masalah kedudukan, peran dan tanggung jawab pemerintah Ulil Amri. BAB III GAMBARAN UMUM PERTAMBANGAN MINYAK DESA WONOCOLO. Dalam bab ini penulis mengemukakan hal-hal yang berkaitan dengan desa Wonocolo, yang meliputi profil, kehidupan sosial ekonomi masyarakat, serta struktur masyarakat. Dan juga menjelaskan tentang pertambangan di Wonocolo yang meliputi sejarah pertambangan di desa tersebut, latar belakang penduduk melakukan penambangan, perkembangannya dari waktu ke waktu, dan pengelolaan pertambangan minyak di sana. BAB IV ANALISIS hasil penelitian dan pembahasan. Dalam bab ini penulis memaparkan tentang pengelolaan tambang minyak di Wonocolo Perspektif hak milik dalam Hukum Islam Dan Hukum Positif, serta tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif terhadap legalitas pertambangan minyak rakyat Di Wonocolo. Lebih jauh penulis menguraikan masalah keabsahan kepemilikan seseorang yang tidak memenuhi ketentuan Ulil Amri. BAB V PENUTUP, dalam bab terakhir ini penulis membuat kesimpulan dari uraian dan penjelasan penjelasan yang telah disampaikan pada bab-bab sebelumnya, dan selanjutnya memberikan saran-saran yang sekiraanya berguna dan bermanfaat untuk kepentingan bersama baik masyarakat maupun pemerintah. Di bagian akhir dari penulisan skripsi ini, penulis tidak lupa menuliskan Daftar Pustaka. Hal tersebut sabagai pertanggungjawaban ilmiah atas penulisan skripsi ini. BAB II A. Pandangan Islam Tentang Sumber Daya Alam Segala Sumber Daya Alam ditundukkan oleh Allah untuk diserahkan pengelolaannya kepada manusia. Hal ini terungkapkan dalam berbagai ayat seperti: “Dan Dia-lah Allah yang telah menciptakan bagi kalian apa-apa yang ada di Bumi..” QS. Al Baqarah[2] : 29 Namun, penundukan sumber sumber daya tersebut bukan untuk diserahkan kepemilikannya kepada manusia secara mutlak. Hanya Allah-lah satu-satunya pemilik hakiki atas sumber daya tersebut, sebagaimana penjelasan Allah dalam berbagai ayat, seperti surah An Nuur[24]: 33, Disana ِAllah menyebutkan kalimat “Harta Allah yang di datangkan anugerahkan kepada kalian”. Allah SWT senantiasa menjadikan diri sebagai pemilik atas segala sesuatu, kemudian menganugerahkannya kepada manusia. Dan selanjutnya atas penganugerahannya tersebut, Allah SWT memberikan wewenang kepada manusia untuk mengusahakan dan memanfaatkan sumber daya tersebut. 15 Kepemilikan manusia hanyalah kepemilikan untuk menikmati dan memberdayakan harta kekayaan sumber daya yang ada bukan sebagai pemilik 15 M. Sholahuddin, Asas-Asas Ekonomi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2007 hal. 28 hakiki. 16 Allah SWT telah menghalalkan hak milik dalam batas-batas manusia sebagai khalifah, yang berfungsi sebagai pengatur dan pengelola alam agar dapat dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat manusia pada umumnya. 17 Karena sumber daya tersebut tidak dimiliki secara mutlak oleh manusia, maka tugas manusia adalah mengemban amanah pengelolaan sumber daya tersebut. Manusia tidak dapat berbuat semaunya hingga dapat menyebabkan kerusakan dan kerugian bagi dirinya terlebih bagi sumber daya itu sendiri dan orang lain. Pemanfaatan sumber daya yang diperoleh tidak dapat dilakukan kecuali untuk kepentingan sesuai dengan ketentuan amanah yang diberikan. Sumber daya tidak diartikan sebagai alat pemuas kesenangan dunia, namun merupakan sarana untuk mewujudkan kesejahteraan dunia dan akhirat. 18 Dalam Al Qur‟an banyak disebutkan ayat yang menyerukan dasar kerangka kerja perekonomian, diantaranya: : “Makan dan minumlah kalian dari rizki yang diberikan Allah, dan janganlah berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan ”QS. Al Baqarah[2]: 60 16 Abdul Sami‟ al Misry, Pilar-pilar Ekonomi Islam,Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2006 hal. 27 17 Ibid, hal. 27 18 M. Sholahuddin, Asas-Asas Ekonomi Islam, hal. 29 “Wahai sekalian manusia, makan-lah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syithan, sesungguhnya ia adalah musuh yang nyata bagimu.” al Baqarah[2]: 168 “Dan janganlah kalian saling memakan harta kalian dengan cara yang bathil, dan jangan pula membawa urusan pengaduan kepada hakim agar kamu dapat mengambil harta manusia dengan jalan dosa padahal kamu mengetahui ” al Baqarah[2]: 188 Pada ayat pertama Allah melarang manusia secara tegas agar tidak melakukan pengerusakan atau hal-hal yang dapat menyebabkan kerusakan. Kemudian ayat kedua disebutkan larangan agar tidak mengikuti langkah-langkah syaithan. Hal ini karena, dalam agama Islam Syaithan dikenal sebagai mahluk yang suka membujuk kepada kerusakan An-Naas [114]: 5. Semua ayat tersebut merupakan penentuan dasar pikiran dari pesan Al Qur‟an dalam bidang ekonomi. Dari ayat-ayat tersebut dapat dipahami bahwa Islam mendorong manusia untuk menikmati karunia yang diberikan Allah dan karunia tersebut harus digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan baik berupa materi maupun nonmateri. 19 Islam juga mendorong penganutnya untuk berjuang mendapatkan harta dengan berbagai cara, asalkan mengikuti rambu-rambu yang telah ditetapkan. Rambu-rambu tersebut antara lain mencari yang halal lagi baik, tidak menggunakan cara bathil, tidak berlebih-lebihan atau melampaui batas, tidak mendzalimi, menjauhkan dari unsur riba maupun maisir judi, tidak gharar, serta tidak melupakan kewajiban sosial berupa zakat, infak dan sedekah. 20

1. Konsep Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Ekonomi Islam

Oleh karena sumber-sumber daya yang ada di tangan manusia diberikan oleh Tuhan, maka manusia sebagai khalifah bukanlah pemilik sebenarnya. Ia hanya sebagai mahluk yang diberi amanat titipan. Meskipun pengertian amanat ini tidak berarti “peniadaan kepemilikan prifat terhadap kekayaan”, tetapi memberikan sejumlah implikasi penting yang menciptakan perbedaan revolusioner dalam konsep kepemilikan sumber-sumber daya dalam Islam dan sistem ekonomi lainnya. 21 Pertama, sumber-sumber daya itu dipergunakan untuk kepentingan semua, bukan untuk segelintir orang al Baqarah[2]: 29 mereka harus dipergunakan secara adil bagi kesejahteraan semua orang. 19 M. Sholahuddin, Asas-Asas Ekonomi Islam, hal. 30 20 ibid, hal. 30 21 Umar Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, Jakarta: Gema Insani Press2000. Hal. 209 Kedua, setiap orang harus mencari sumber-sumber daya dengan benar dan jujur , dengan cara yang telah ditetapkan oleh Al Qur‟an dan As Sunnah. Ketiga, meskipun sumber-sumber daya tersebut telah diperoleh melalui cara-cara yang benar, tetapi tidak boleh dimanfaatkan kecuali menurut persyaratan keamanatan, yaitu untuk kesejahteran bukan saja bagi si empunya sendiri dan keluarganya, tetapi juga untuk orang lain. Sifat mementingkan diri sendiri, tamak dan tidak mengindahkan moral, atau bekerja untuk kepentingan sendiri bukanlah sifat yang harus melekat pada manusia sebagai pemegang amanat. Keempat, tidak seorangpun berhak menghancurkan atau menyia-nyiakan sumber-sumber daya yang telah diberikan oleh Allah. Berbuat demikian disamakan oleh Al Quran dengan menyebarkan kerusakan fasad yang dilarang Allah Al Baqarah[2]: 205. 22

2. Hak Kepemilikan Dalam Hukum Islam

a. Pengertian Hak Milik

Secara etimologi, kata milik berasal dari bahasa arab Al milk كلملا yang artinya penguasaan terhadap sesuatu. 23 Secara terminologi, ada beberapa definisi yang yang dikemukakan oleh para fuqaha, diantaranya oleh Mustafa Al Syalabi: 22 Ibid, hal. 210 23 AH. Azharudin Lathif, Fiqh Muamalat, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005 hal 47. “Hak milik adalah keistimewaan Ikhtishas atas suatu benda yang menghalangi pihak lain bertindak atas benda tersebut dan memungkinkan pemiliknya membelanjakan secara langsung s elama tidak ada halangan syara‟” 24 Sedangkan Dr. Wahbah Zuhaily dalam kitabnya “Al Fiqh Al Islamy Wa Adillatuhu” memberikan pengertian dengan: “Milik adalah keistimewaan terhadap sesuatu yang menghalangi orang lain darinya dan pemiliknya bebas melakukan tasharruf secara langsung kecuali ada halangan syara’” Halangan syara‟ yang membatasi kebebasan pemiliknya dalam bertasharruf ada dua: Pertama, halangan yang disebabkan karena pemiliknya dipandang tidak cakap secara hukum, seperti anak kecil atau safih cacat mental, kedua halangan yang dimaksudkan untuk melindungi hak orang lain, seperti yang berlaku pada harta bersama, dan halangan yang dimaksudkan untuk melindungi kepentingan orang lain atau kepentingan masyarakat umum. 26 24 Ibid, hal 48. 25 Wahbah Al Zuhaily , Al Fiqh Al Islamy Wa Adillatuhu Damaskus: Dar El Fikr, Juz 4 hal. 413 26 Ghufron A. Mas‟adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002 hal. 56

b. Sumber Kepemilikan

Harta yang dikuasai manusia pada hakekatnya adalah milik Allah SWT. Kedudukan manusia adalah sebagai mahluk yang diberi amanah kepercayaan untuk menguasai dan mendayagunakan harta tersebut sesuai dengan petunjuk Allah dan rasulnya. Walaupun demikian, tidak semua manusia dapat menguasai atau memilikinya sehingga ia dapat dengan bebas mendayagunakannya. Faktor faktor yang menyebabkan harta dapat dimiliki antara lain: 1 Penguasaan terhadap barang bebas Ibraz al Mubahat, yaitu harta yang belum dimilki orang lain secara sah, dan tidak ada penghalang syara ‟ untuk dimiliki. Untuk memiliki benda-benda bebas tersebut diperlukan dua syarat, yaitu: a Benda bebas tersebut belum dikuasai oleh orang lain. Contohnya: seseorang mengumpulkan air dalam suatu wadah, maka orang lain tidak berhak mengambil air tersebut sebab telah dikuasai oleh seseorang. b Adanya niat maksud untuk memiliki. Maka seseorang memperoleh harta bebas, tanpa adanya niat, tidak dianggap menguasai harta tersebut. Umpamanya seseorang memancing di sungai karena hobi, kemudian ikan hasil pancingannya ditinggalkan di pinggir sungai, tanpa niat memilikinya, maka dalam keadaan seperti ini ikan belum menjadi miliknya. 2 Khalafiyah, yaitu perpindahan sesuatu menjadi milik seseorang karena kedudukannya sebagai penerus pemilik lama, atau kedudukannya sebagai pemilik barang tertentu yang telah rusak atau musnah, dan digantikan dengan barang baru oleh orang yang merusakkannya. Atas dasar pengertian diatas khalafiyah dibagi menjadi dua macam, yaitu: a Khalafiyah syakhsy „an syakhsy, yaitu si waris menempati tempat si muwaris dalam memiliki harta-harta yang ditinggalkan oleh muwaris. b Khalafiyah syai „an syai‟in, yaitu yaitu apabila seseorang merugikan orang lain atau menyerobot barang orang lain kemudian rusak di tangannya atau hilang, maka ia wajib mengganti kerugiannya. 3 Tawallud Mamluk, yaitu segala sesuatu yang lahir tumbuh dari objek hak yang telah dimiliki, menjadi hak bagi pemilik objek tersebut. Misalnya bulu domba menjadi milik bagi pemilik domba. 4 Akad, yaitu pertalian atau keterikatan antara ijab dan qabul sesuai dengan kehendak ketentuan syari‟ah Allah dan Rasul-Nya yang menimbulkan akibat hukum pada obyek akad. Seperti akad jual beli, hibah, dan wasiat. Akad merupakan sumber utama kepemilikan.

c. Hak Milik Pribadi

Hak m ilik pribadi adalah hukum syara‟ yang berlaku bagi zat atau manfaat utility tertentu, yang memungkinkan siapa saja mendapatkannya untuk memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh kompensasi, baik karena barangnya diambil kegunaannya oleh orang lain seperti disewa, ataupun karena dikonsumsi untuk dihabiskan zatnya, seperti dibeli dari barang tersebut. 27 Oleh karena itu setiap orang bisa memiliki kekayaan dengan cara-cara tertentu, sesuai dengan aturan-aturan syariah. M. Shalahudin dalam bukunya Asas-Asas Ekonomi Islam menyebutkan lima sumber yang sah dalam hak milik pribadi, yaitu: 1 Bekerja “Maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah “ Al- Jum‟ah[62]:10 2 Warisan “Allah mensyariatkan kepada kalian -tantang harta pusaka- yaitu bagi anak laki- laki dua kali dari bagian anak perempuan ” An-Nisa‟[4]: 11 3 Untuk menyambung hidup : - “Dan orang-orang yang pada hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang miskin yang meminta dan yang tidak meminta” Al Ma‟arij:24-25 4 Pemberian negara kepada rakyat 27 M. Sholahuddin, Asas-Asas Ekonomi Islam, hal. 67 Imam Bukhary telah meriwayatkan dari Abu Humaid As- Sa‟idi, yang mengatakan: … “Penguasa daerah Ailah telah menghadiahkan sapi betina puti kepada Nabi SAW dan juga memakaikan kain burdah kepada beliau” HR Bukhari 5 Saling menolong hubungan yang halal antara manusia. : “Tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan, dan jangan tolong- menolong dalam keburukan” Al-Maidah[5]: 2

d. Hak Milik Umum

Menurut Yuliadi 2001, harta milik umum adalah harta yang telah yang telah ditetapkan hak miliknya oleh As- Syari‟, dan menjadikan harta tersebut sebagai milik bersama. Yusanto 2002 seseorang atau sekelompak kecil orang dibolehkan mendayagunakan harta tersebut, akan tetapi mereka dilarang menguasainya. Zallum 2002, mengelompakkan harta milik umum menjadi 3, yaitu: 1 Barang Tambang Sumber Alam yang jumlahnya tak terbatas. 28 Muhammad Bin Ismail Abu Abdullah Al Bukhari, Shahih Bukhari, Birut: Dar Ibn Katsir, 1987. Jil. 2, Hal. 1411 Harta milik umum jenis pertama adalah barang tambang sumber alam yang jumlahnya tak terbatas, yaitu barang tambang yang diprediksi para ahli pertambangan mempunyai jumlah yang sangat melimpah. Hasil pendapatanya merupakan milik bersama, dan dapat dikelola oleh negara, atau negara menggaji tim ahli dalam pengelolaannya. 29 Adapun barang tambang yang yang jumlahnya sedikit dan sangat terbatas digolongkan ke dalam milik pribadi. Hal ini seperti Rasulullah membolehkan Bilal bin Harits Al Mazany memiliki barang tambang yang sudah ada sejak dulu di bagian wilayah Hijaz. Saat itu Bilal telah meminta kepada Rasulullah SAW. Agar memberikan daerah tambang tersebut kepadanya. Beliaupun memberikannya kepada Bilal, dan boleh dimilikinya. 30 Oleh karena itu pertambangan emas, perak dan barang tambang lainnya yang jumlah depositnya sangat sedikit, tidak ekonomis dan bukan untuk diperdagangkan tergolong milik pribadi. Seseorang boleh memilikinya, seperti halnya negara boleh memberikan barang tambang tersebut kepada mereka. Hanya saja mereka diwajibkan membayar khumus seperlima dari hasilnya kepada baitul maal. Baik yang dieksploitasinya itu sedikit ataupun banyak. 31 29 M. Sholahuddin, Asas-Asas Ekonomi Islam, hal. 99 30 Riwayat lengkap beserta penjelasannya lihat Al Ahkam al Sulthaniyyah, hal. 394 31 M. Sholahuddin, Asas-Asas Ekonomi Islam, hal. 99 Adapun barang tambang yang jumlahnya banyak dan depositnya tidak terbatas menurut Abdullah 2002 tergolong kedalam kepemilikan umum bagi seluruh rakyat. Sehingga tidak boleh dimiliki oleh seseorang atau beberapa orang. Tidak boleh diberikan kepada seseorang atau beberapa orang tertentu. Demikian juga tidak boleh memberikan keistimewaan kepada seseorang atau lembaga tertentu untuk mengeksploitasinya, tetapi wajib memberikannya sebagai milik umum bagi seluruh rakyat, dan mereka berserikat atas harta tersebut. Negaralah yang wajib menggalinya, memisahkannya dari bena-benda lain, meleburnya, menjualnya atas nama rakyat, dan menyimpan hasil penjualannya di baitul maal. 32 Dalil yang dijadikan dasar untuk barang tambang yang depositnya berjumlah banyak dan tidak terbatas sebagai bagian dari pemilikan Umum adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abidh bin Hamal al Mazaniy: 32 Ibid, hal. 100 “Dari Abyadh bin Hammal bahwasanya dia mengutus utusan kepada Rasulullah SAW. Untuk meminta tambang garam, kemudian Rasulullah memberikannya sebidang tambang, tatkala beliau memberikannya, berkata seorang yang ada dalam majlis apakah engkau mengetahui apa yang baru saja kau berikan kepadanya, sesungguhnya engkau seperti memberikan air yang mengalir, kemudian beliau menariknya kembali” Tindakan Rasulullah SAW yang meminta kembali tambang yang telah diberikan kepada Abidh bin Hammal dilakukan setelah mengetahui bahwa tambang garam tersebut jumlah depositnya sangat banyak dan tidak terbatas. Ini merupakan dalil atas larangan individu untuk memilikinya, karena hal itu merupakan milik seluruh kaum muslim. Larangan tersebut tidak terbatas pada tambang garam saja, cakupannya umum, yaitu diantaranya meliputi setiap barang tambang apapun jenisnya, asalkan memenuhi syarat bahwa barang tambang tersebut jumlah depositnya bagaikan air yang mengalir, yakni tidak terbatas. Perlu diperhatikan bahwa kepemilikan seseorang atas alat-alat dan industri ini bukan berarti boleh makukan eksploitasi barang tambang yang jumlahnya banyak untuk kepentingan mereka sendiri. Hal ini karena barang 33 Sulaiman Bin Al Asy‟ats al Sajistani, Sunan Abu Daud, Beirut: Dar el Kutub Al „Araby, jilid 3, hal. 139, No. hadits 3066 tambang tersebut merupakan milik seluruh rakyat, sehingga tak seorangpun dari mereka dapat memilikinya. Maka dari itu, negara dapat menyewa membayar upah yang wajar dan terbatas terhadap mereka untuk mengeksploitasi barang-barang tambang tersebut. Apa yang dihasilkan menjadi milik umum seluruh rakyat. 34 2 Sarana sarana umum yang diperlukan oleh seluruh umat dalam kehidupan sehari-hari. Harta milik umum jenis kedua menurut An Nabhani 1990 dan Zallum 2002 adalah sarana umum yang diperuntukkan bagi seluruh rakyat yang diperlukan dalam pemenuhan hidup sehari-hari, yang jika tidak ada akan menyebabkan perpecahan, seperti air. Rasulullah SAW telah menjelaskan secara rinci dan sempurna mengenai sifat-sifat sarana umum ini. Hal ini sebagaimana dimaksudkan dalam hadis beliau yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud: 34 M. Sholahuddin, Asas-Asas Ekonomi Islam, hal. 103 “Kaum muslimin itu berserikat dalam tiga hal: padang rumput, air, dan api” Air, padang rumput dan api merupakan sebagian harta yang pertama kali dibolehkan oleh Rasulullah SAW untuk seluruh manusia. Mereka berserikat di dalamnya dan melarang mereka untuk memiliki bagian apapun didalam sarana umum tersebut, karena hal itu merupakan hak seluruh manusia. 36 Namun kemudian harta tidak terbatas pada ketiga jenis yang disebutkan pada hadis di atas, tetapi meliputi semua benda yang di dalamnya terdapat sifat-sifat sarana umum. 3 Harta-harta yang keadaan asalnya terlarang bagi pribadi tertentu untuk memilikinya. Harta milik umum yang ketiga adalah harta yang keadaan asal pembentukannya menghalangi seseorang untuk memilikinya secara pribadi. Menurut Al-Maliki 2001 hak milik umum jenis ini jika berupa sarana umum seperti pemilikan umum jenis pertama, maka dalilnya adalah dalil yang 35 Sulaiman Bin Al Asy‟ats Al Sajistani, Sunan Abu Daud, jilid 3, hal. 295, No. hadits 3479. 36 M. Sholahuddin, Asas-Asas Ekonomi Islam, hal. 105 mencakup sarana umum. Hanya saja jenis ketiga ini menurut asal pembentukannya menghalangi seseorang untuk memilikinya. Berbeda halnya dengan jenis pertama, yang asal pembentukannya tidak menghalangi seseorang untuk memilikinya. Sehingga, misalnya boleh memiliki _secara pribadi_ sumur kecil yang tidak mengganggu hajat hidup orang banyak umum. 37 Dalil yang berkaitan dengan harta milik umum jenis ini adalah dalil yang digunakan pula pada jenis pertama, yaitu sabda Rasulullah SAW. “Mina menjadi milik orang-orang yang telah sampai lebih dahulu”. HR. Tirmidzi dan Ibn Majah Demikian juga diriwayatkan dari Rasulullah SAW. Saat beliau memperbolehkan manusia berserikat dalam kepemilikan jalan umum, dan menghilangkan kemungkinan seseorang memilikinya secara pribadi. Mina adalah tempat yang sudah sangat terkenal, terletak di luar Makkah al Mukarramah, yaitu tempat singgahnya para jamaah haji setelah menyelesaikan wukuf di Arafah dengan tujuan untuk melaksanakan syi‟ar-syi‟ar ibadah haji yang sudah ditentukan, seperti melontar jumrah, menyembelih hewan had, 37 Ibid, hal. 108 38 Muhammad bin „isa Abu „Isa At Tirmidzi, Al Jami’ As Shahih Sunan At Tirmidzi, Beirut: Dar Ehya Al Turas El „Araby jil. 3, hal. 228 no. hadis 88 memotong hewan kurban dan bermalam di sana. 39 Makna dari Mina munakhun man sabaq, milik orang-oranng yang lebih dahulu sampai. Yaitu barang siapa yang lebih awal di tempat Mina, lalu menempatinya, maka tempat tersebut adalah baginya, karena Mina merupakan milik umum seluruh rakyat, dan bukan milik perorangan sehingga orang lain dilarang untuk memilikinya menempatinya.

3. Kedudukan, Peran dan Tanggung Jawab Pemerintah Ulil Amri dalam

Islam Tugas negara adalah mengubah teori menjadi kenyataan, mengubah norma- norma menjadi undang-undang, dan memindahkan keindahan etika menjadi praktek sehari-hari. Adalah tugas negara membuat suatu badan khusus yang bertugas mengawasi dan meningkatkan kwalitas ekonomi, mengadili orang yang melanggar dan menegur orang yang lalai. 40 Allah SWT mensifati orang-orang yang beriman yang diteguhkan kedudukannya di muka bumi dengan firman- Nya “yaitu orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan sembahyang menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma‟ruf dan mencegah dari yang mungkar” 39 M. Sholahuddin, Asas-Asas Ekonomi Islam, hal. 109 40 Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Jakarta: Gema Insani, 1997, hal. 252 Yang dimaksud dengan kata “diteguhkan” di bumi adalah bagi orang-orang yang beriman yaitu kekuasaan di tangan mereka. Pengaruh dari diteguhkan tampak pada ditegakkannya hak Allah yang paling menonjol yaitu shalat, terpeliharanya hak kemanusiaan terutama bagi fakir miskin, yaitu hak mereka dalam bagian dari zakat, tersebarnya kebaikan dan kebenaran serta ditentangnya kabatilan dan kerusakan. Dan inilah apa yang dimaksud dengan amar ma’ruf nahi mungkar. Tampaklah bahwa peran negara di lapangan ekonomi mantap dan kokoh dalam menjaga norma dan kewajibannya itu dalam semua bidang tanpa terkecuali, yaitu produksi, konsumsi, distribusi dan transaksi. 41 Sangatlah wajar apabila semua orang berusaha meminimalisasi risiko yang akan menimpa jiwa dan hartanya. Beberapa orang bergabung menjadi kelompok besar untuk mencapai maksud tersebut, agar dapat mengumpulkan cukup dana untuk melaksanakan usaha bersama dalam jangka yang panjang. Dan hal ini tidak dapat dilakukan oleh kelompok atau persatuan yang kecil. Organisasi yang besar di bentuk untuk melaksanakan tujuan semacam ini dengan skala yang besar. Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa organisasi yang kecil dapat terkena dampak buruk oleh bentuk usaha besar atau wadah usaha semacam ini. Sehingga dapat menimbulkan konflik antar individu dan kelompok didalam masyarakat. 42 41 Ibid, hal. 252 42 Akhmad Mujahidin, Ekonomi Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007 hal. 112 Oleh karena itu, negara harus mengambil alih tanggung jawab dan mengorganisasi secara nasional atau memberikan jaminan secara kolektif kepada seluruh masyarakat dalam bentuk jaminan sosial untuk menghindari kemungkinan konflik. 43 Dan untuk memperbaiki efisiensi masyarakat yang lebih baik. Islam memandang bahwa tanggung jawab pemerintah bukan terbatas pada keamanan dalam negeri atau mempunyai sistem keamanan antisipasif dari serangan luar, tetapi pertanggungjawaban pemerintah ini juga harus merupakan bagian dari program pencapaian masyarakat yang makmur dan adil. Keadilan dalam masyarakat tidak mungkin tercipta tanpa keterlibatan pemerintah dalam membela yang lemah dan memberikan jaminan sosial kepada mereka, termasuk yang menyangkut masalah perekonomian. Peme rintah harus mampu menjadi “super power” dalam menindak setiap pelanggaran dan mengawasi ter-realisasinya firman Allah yang berbunyi: “Janganlah sebagian diantara kalian memakan harta sebagian yang lain dengan cara yang bathil ”. QS. Al Baqarah[2]:188 Dalam Islam, selain kebijakan dari para pemain atau pihak-pihak sentral ekonomi yang memang diharapkan dapat memberikan kestabilan dan kesejahteraan ekonomi, sistem ekonominya juga diyakini memiliki mekanisme sendiri dalam menjaga kestabilan tersebut. Eksistensi aturan syariah dan institusi dalam sistem 43 Ibid, hal. 113 ekonomi diharapkan dapat menjaga perekonomian dari salah laku para pemain ekonomi. Dan berkaitan dengan ini dalam perekonomian islam ada beberapa mekanisme ekonomi yang tidak akan berjalan dengan maksimal, ketika bukan negara yang menjalankannya, misalnya terlaksananya zakat dan atau pajak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa peran negara menjadi cukup sentral dalam sistem ekonomi islam. 44 Institusi negara tidak lepas dari konsep kolektif yang ada dalam landasan moral dan syariah. Konsep ukhuwah, tawsiyah, dan khilafah merupakan landasan pembangunan institusi islam yang berbentuk negara. Negara dengan kosep tersebut yang juga dilengkapi dengan seperangkat regulasi syariah diharapkan dapat melayani dengan baik dan menyeluruh semua kebutuhan. 45 Imam Ghazali menyebutkan bahwa agama adalah pondasi atau asas, sementara kekuasaan -dalam hal ini negara- adalah penjaga pondasi atau asas tadi. Lebih jauh Najetullah Siddiqi menegaskan bahwa masyarakat tidak akan dapat diorganisir atau diatur menggunakan prinsip-prinsip islam kecuali menggunakan negara sabagai media. 46 Secara garis besar fungsi negara yang dikemukakan Yusuf Qardhawi terbagi pada dua hal, yaitu: 44 Ali Sakti, Analisis Teoritis Ekonomi Islam, Jakarta: Paradigma, Aqsa publishing hal. 357 45 Ibid, hal. 358 46 Ibid. hal. 358 a. Negara berfungsi menjamin segala kebutuhan minimum rakyat. Fungsi pertama ini bermakna bahwa negara harus menyediakan atau menjaga tingkat kecukupan atau kebutuhan minimum masyarakat. b. Negara berfungsi mendidik dan membina masyarakat. Dalam fungsi ini yang menjadi ruang lingkup kerja negara adalah menyediakan fasilitas infrastruktur, regulasi, institusi, sumber daya manusia, pengetuahuan sekaligus kualitasnya. 47 Sementara itu menurut Hasanuzzaman segala fungsi negara ditujukan untuk memastikan bahwa keadilan dan keseimbangan di masyarakat dapat terjaga. Fungsi negara ini menurut beliau terdiri dari: 1 Pembuatan kebijakan dan Legislasi, fungsi ini adalah untuk menekan inefisiensi dan diskriminasi. 2 Pertahanan negara . 3 Pendidikan dan penelitian. 4 Pembangunan dan pengawasan moral-sosial masyarakat. 5 Menegakkan hukum, menjaga ketertiban dan menjalankan hudud. 6 Mewujudkan kesejahteraan publik. 7 Hubungan luar negeri, selain bertujuan untuk memelihara hubungan baik dengan negara lain, negara juga dapat menggunakan misi diplomatiknya untuk 47 Ibid. 359 mengawasi potensi perlawanan atau konspirasi yang ingin menghancurkan negara. 48

4. Kuasa Pertambangan dan Hak Atas Tanah

Keberadaan tambang di sebidang tanah milik individu tertentu tidak cukup dijadikan dasar bagi penyerahan kepemilikan tambang itu –sebagai milik pribadi- kepada individu tersebut. 49 Hak kepemilikan individu atas tanah mencul berdasarkan dua hal, yaitu reklamasi dan masuknya sebuah wilayah kepada Darul- Islam secara sukarela. Individu yang mereklamasi sebidang tanah mendapat hak atas tanah tersebut, sementara orang yang menyerah kepada Darul Islam secara suka rela diizinkan tetap memilik tanahnya. 50 Menurut sebuah hadis, reklamasi terbatas pada hak atas tanah dan klaim terhadapnya, sebagaimana hadis Nabi yang berbunyi: Dari Rasulullah SAW. Bahwasanya beliau bersabda: “Barang siapa memakmurkan tanah yang tidak bertuan, maka ia ia lebih berhak atas tanah itu” HR. Al Baihaqi 48 Ibid, hal. 364 49 Muhammad Baqir Ash Shadr, Iqtishaduna, Jakarta: Zahra, 2008 hal. 226 50 Ibid, hal. 227 51 Ahmad bin Al Husain bin „Ali bin Musa Abu Bakr Al Baihaqi, Sunan Al-Baihaqi Al Kubra, Makkah: Maktabah Darul Baaz, 1994M 1414H Jilid 6, hal. 141 Lebih jauh Baqir Ash Shadr dalam bukunya Iqtishaduna menjelaskan bahwa tambang-tambang yang berada pada tanah milik individu, tidak menjadi properti individu pemilik tanah tersebut, namun hak individu pemilik tanah harus diperhatikan karena eksploitasi tambang bergantung pada kehendak izin si pemilik tanah. 52

B. Pandangan Hukum Positif Tentang Sumber Daya Alam