Latar Belakang Masalah Pertambangan minyak rakyat pespektif hukum ekonomi Islam dan hukum positif (studi kasus di ds Wonocolo Kec. Kedewan Kab. Bojongoro Prov. Jawa Timur

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebagai agama yang universal, Islam telah mengatur seluruh aspek kehidupan manusia secara umum, maupun terperinci, baik kehidupan yang berdimensi vertikal, mengenai tata cara beribadah kepada Sang Khalik, ataupun yang berdimensi horisontal tentang tata cara berinteraksi dengan sesama. Sebagai agama penutup, Islam telah memberikan banyak rambu-rambu pada setiap masalah. Hal ini seperti yang telah Allah sebutkan dalam Al Quran, surat Al Maidah: 3, yang artinya: “Pada hari dimana Aku telah menyempurnakan bagi kalian agama kalaian, dan telah Aku sempurnakan nikmat- Ku, dan Aku ridho Islam sebagai agama kalian”. Dalam usaha mencukupi kebutuhannya setiap hari, manusia tidak dapat lepas dari kegiatan ekonomi. Dalam hal ini, sebagai seorang muslim, tentulah kita menginginkan suatu sistem yang “Halal” tidak hanya secara hukum positif tetapi juga menurut syariat Islam yang kita yakini. Karena seperti kita lihat sekarang, dampak ekonomi dengan sistem kapitalis dan liberalis tidak hanya menindas kaum lemah, tetapi juga hanya menguntungkan orang orang yang mempunyai modal dan lobi yang kuat terhadap penguasa. Sistem ekonomi kapitalis akan lebih memperkuat kedudukan para pemilik modal. Sedangkan sistem ekonomi sosialis akan menjaga tokoh-tokoh dan golongannya. 1 Negara kita terkenal dengan kekayaan alamnya, sudah tidak diragukan lagi tambang minyak, batu bara, timah, emas, laut luas dengan berbagai ikan didalamnya. Namun kekayaan alam itu hanya menyisakan pilu, ketika kita menengok kehidupan masyarakat di sekitarnya. Misalnya Papua, Bangka, Sulawesi, NTT dan sebagainya. Kehidupan masyarakat Papua yang masih sangat primitif dan “super miskin” padahal disatu sisi hutan di belantara Papua sangat kaya dengan tembaga dan emas. Sungguh ironi memang. Sehingga tidak heran jika efek ke belakang muncul berbagai gerakan separatis, yang disebabkan karena kemiskinan tersebut. Beberapa daerah memilih untuk melakukan otonomi, agar kekayaan di belakang rumahnya tidak hanya dimanfaatkan penguasa untuk mencari “tambahan”. Tidak perlu kita sebutkan berapa banyak anggota dewan yang terlibat teken kontrak dengan perusahaan asing ataupun swasta dalam negeri, demi memperkaya diri. –Maaf, saya tidak bermaksud mengarahkan pikiran anda kepada al Amin Nur Nasution-. Dewasa ini banyak profinsi yang mengajukan otonomi daerah. Banyak spekulasi mengenai sebab yang melatarbelakanginya, yang pasti kebanyakan mereka menghendaki kemajuan di daerah mereka, dan mandiri mengelola kekayaan hasil bumi di wilayah mereka. Sebut saja Aceh, setelah gagal dalam usahanya untuk melepaskan diri dari Indonesia, akhirnya mereka mau berdamai kembali dengan 1 Abdul Sami‟ al Misry. Pilar-pilar Ekonomi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1990 Pengantar. xxvii mengajukan syarat otonomi daerah. Belakangan Papua dengan Freeport, NTT dengan Newmont, dan Maluku. Apakah kita harus menunggu sikap berontak yang lebih besar mereka hanya untuk memberikan perhatian?? Perekonomian perencanaan pusat yang telah mengklaim dapat menjamin sasaran-sasaran material, bukan saja telah gagal klaimnya, melainkan juga telah mengalami krisis ekonomi serius yang tidak diragukan lagi meniscayakan kegagalan sistem ekonomi tersebut. 2 Perkembangan pesat hanya terjadi di daerah pusat. Saya tidak bermaksud membuat statement bahwa, centralisasi itu jelek, namun apapun sistem yang sudah dianggap baik untuk dijalankan, perhatian dan keadilan terhadap rakyat perlu untuk diutamakan. Beberapa waktu yang lalu pemerintahan daerah Bangka sempat memberikan izin kepada masyarakat setempat untuk ikut menambang timah di pulau tersebut. Jika kita renungkan alasan yang di kemukakan PEMDA setempat cukup rasional memang, yaitu keadaan masyarakat yang begitu miskin, padahal berapa juta Dollar daerah itu menyumbang pundi-pundi negara melalui tambang timah. Di kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur terdapat sebuah desa yang melakukan pertambangan minyak. Tidak dapat dipungkiri bahwa efek dari dibiarkannya penambangan minyak ini membawa kemajuan yang nyata bagi masyarakat setempat, minimal banyak warga yang dapat bekerja meskipun hanya sebagai buruh. Secara ekonomi perubahan itu begitu terasa, terutama setelah 2 Umer Chapra, Islam Dan Tantangan Ekonomi Jakarta: Gema Insani, 2000 hal. 2 kegiatan pertambangan tersebut dilepas Pertamina. Mungkin cerita kesejahteraan mereka akan berbeda jika mereka tidak ikut penambangan tersebut. Penambangan minyak secara turun temurun tersebut sudah berlangsung sejak zaman Belanda. 3 Di kawasan desa Kedewan, 30 kilometer dari kabupaten Bojonegoro, sedikitnya hingga saat ini tersisa kira-kira 58 sumur minyak produksi dari ratusan titik sumur yang di masa lalu menjadi kekuasaan kolonial. Sumur-sumur itu tersebar di desa Wonocolo dan Hargomulyo. Setiap sumur produksi dikelola per kelompok dengan jumlah yang bervariasi. Misalnya sumur 56 di desa Wonocolo yang per harinya mampu menghasilkan minyak mentah 2.000 liter, dan dikelola oleh 24 orang. Semua yang kerja di sana warga Wonocolo. Dalam sehari, rata-rata 10 drum minyak mentah didapatkan dan dijual. 4 Dahulu mereka diharuskan menjual minyak mentahya ke PT Pertamina, melalui koperasi yang sudah ditunjuk. Karena harga beli pertamina yang terlalu rendah, sejak 2006, masyarakat bisa menjual minyak solar hasil sulingan sendiri sesuai dengan harga pasar, 5 tentunya setelah melalui banyak keberatan dan protes. Mereka tak lagi bergantung pada mekanisme pematokan harga melalui koperasi seperti yang terjadi bertahun-tahun sebelumnya. Pada waktu menjual ke Pertamina 3 Budi sugiharto, Wonocolo: Ladang Minyak Berupah Rp 6000, artikel diakses pada 2 Juni 2010. Dari http:www.detiknews.comread200603Wonocolo-ladang-minyak-berupah. 4 Budi sugiharto, Wonocolo: Ladang Minyak Berupah Rp 6000, artikel diakses pada 2 Juni 2010. Dari http:www.detiknews.comread200603Wonocolo-ladang-minyak-berupah. 5 Deru liberalisasi di Wonocolo, artikel diakses pada tanggal 07 Juni 2010, dari http:keliekwisnu.multiply.com melalui KUD Bogosasono warga mendapatkan harga Rp 47.500 setiap drumnya. Kini setelah keran liberalisasi terbuka, masyarakat bisa menjual minyak solar hasil sulingan sendiri dengan harga Rp 200.000 per drum. Akhirnya mereka mengilang minyak mentah tersebut dan menjualnya sendiri. 6 Sebenarnya pemerintah sendiri belum memberikan izin resmi “legalitas” kepada masyarakat untuk melakukan penambangan, namun dengan berbagai alasan serta keberatan masyarakat karena pemerintah kurang memperhatikan kesejahteraan mereka, mereka tetap melakukan penambangan tersebut. Bahkan berkali-kali pemerintah daerah tingkat 1 Jawa Timur berencana menutupnya. Tetapi dengan berbagai pertimbangan di lapangan, akhirnya selalu batal. Berkenaan dengan fakta diatas, agama Islam telah mengatur bagaimana mengelola kekayaan alam. Bagaimana mengatur suatu unsur yang menjadi hajat hidup orang banyak. Sebagaimana nabi Muhammad menegaskan dalam hadisnya, “Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput dan api”. 7 Ibn Qudamah berpendapat bahwa barang barang tambang yang berada diatas permukaan bumi yang menjadi kebutuhan masyarakat umum antara lain garam, air, belerang, ter, aspal, mumia, minyak, batu nilam dan sejenisnya, tidak boleh dimiliki dengan cara menggarapnya, dan tidak boleh pula memberikannya 6 Budi sugiharto, Wonocolo: Ladang Minyak Berupah Rp 6000, artikel diakses pada 2 Juni 2010. Dari http:www.detiknews.comread200603Wonocolo-ladang-minyak-berupah. 7 Imam Malik, Al Muawatta’, Damasqus: Dar el Qalam. jilid 3. Hal. 277 kepada salah seorang tanpa melibatkan orang-orang islam yang lain. 8 Dalam UUD 1945 pasal 33, ayat 2 juga ditegaskan bahwa: “Bumi dan air dan kekayaan alam alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ”. Disamping itu ayat sebelumnya, Pasal 33 ayat 1 juga mengatakan: “Cabang cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara” Senada dengan ini, Undang-Undang Pokok Pertambangan Nomor 11 Tahun 1967 Pasal 1 secara tegas menyatakan: “Semua bahan galian yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia yang merupakan endapan endapan alam, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah kekayaan nasional bangsa Indonesia, dikuasai dan dipergunakkan oleh negara untuk sebesar besar nya kemakmuran rakyat” Dengan adanya peraturan ini pertambangan minyak di desa Wonocolo seharusnya diatur dan dikelola oleh pemerintah pusat, tanpa meninggalkan kesejahteran masyarakat setempat, karena mereka adalah orang pertama yang merasakan dampak polusi dari penambangan tersebut. Pemegang otoritas pemerintahan atau pemimpin lembaga merupakan pihak yang bertanggung jawab untuk mengelola aset publik, baik yang berupa barang maupun jasa, menjaga dan mengatur sistem pemanfaatannya bagi masyarakat. 9 Namun, kembali kepada realitas 8 Husain Husain Syahatah. Perlindungan Asset Publik Dalam Perspektif Islam. Jakarta: Amzah, 2005 hal. 9. 9 Ibid, hal. 43 yang ada, mereka tidak ingin bernasib seperti masyarakat Papua, Bangka, Maluku, NTT, dan sebagainya. Masyarakat melihatnya ibarat dua mata koin yang tidak akan bertemu. Mereka menganggap, dikelola pemerintah berarti kesejahteraan mereka terlantarkan, terutama bagi mereka yang mempunyai wilayah kaya dengan Sumber Daya Alam. Bahkan sempat mencuat isu, bahwa kebodohan di daerah-daerah kaya Sumber Daya Alam sengaja dipertahankan. Bukan bermaksud memojokkan pemerintah, namun yang kita lihat, mereka tetap bodoh red. Papua, NTT. Padahal sebagai penyelenggara kekuasaan, pemerintah seharusnya mendahulukan kepentingan rakyat. Senada dengan kaidah fiqh yang mengatakan: “Tindakan seorang penguasa senantiasa untuk kepentingan rakyatnya”. 10 Yang kita lihat, perhatian akan diberikan manakala telah terjadi tindakan anarkisme atau jika perlu harus ada korban jiwa terlebih dahulu. Tidak hanya kasus Mbah Priok, atau GAM di Aceh, tetapi untuk semua protes rakyat. Berangkat dari latar belakang di atas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tentang pertambangan minyak yang terjadi di desa Wonocolo, Bojonegoro, Jawa Timur, yang mana di sana terdapat pertambangan minyak yang dilakukan rakyat secara langsung, dan menjual hasilnya sendiri. Lebih jauh penulis akan 10 Nasrun Haroen. Figh Muamalah Jakarta: Gaya Media Pratama.2007. hal. 13 meneliti masalah “legalitas” dan pengelolaan atas barang tambang yang mereka hasilkan, dan bagamana hukumnya jika barang tersebut berada pada tanah mereka sendiri. Bagaimana Ekonomi Islam mengaturnya? apakah dapat dibenarkan melalui konsep kepemilikan dalam Ekonomi Islam, dan Hukum Positif. Dalam hal ini penulis memberikan judul atas skripsinya dengan “PERTAMBANGAN MINYAK RAKYAT: PERSPEKTIF HUKUM EKONOMI ISLAM DAN HUKUM POSITIF”. Studi kasus ds.Wonocolo kec. Kedewan kab. Bojonegoro Prov. Jawa Timur.

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah.