bagian  wilayah  Hijaz.  Saat  itu  Bilal  telah  meminta  kepada  Rasulullah  SAW  agar memberikan daerah tambang tersebut kepadanya. Beliaupun memberikannya kepada
Bilal,  dan  boleh  dimilikinya.
109
Oleh  karena  itu  pertambangan  Emas,  perak  dan barang tambang lainnya yang jumlah depositnya sangat sedikit, tidak ekonomis dan
bukan untuk diperdagangkan tergolong milik pribadi. Seseorang boleh memilikinya, seperti  halnya  negara  boleh  memberikan  barang  tambang  tersebut  kepada    mereka.
Hanya  saja  mereka  diwajibkan  membayar  khumus  seperlima  dari  hasilnya  kepada baitul maal. Baik yang dieksploitasinya itu sedikit ataupun banyak.
110
Dalam  ekonomi  Islam  dikenakan  Khumus  sebagai  ganti  penguasaan  atas barang  tambang  yang  sedikit,  maka  dalam  hukum  ekonomi  konvensional  dikenal
dengan  iuran  pertambangan,  yang  terdiri  dari  iuran  eksplorasi  dan  iuran  produksi. Disamping  itu  juga  terdapat  pajak  yang  harus  dibayarkan  kepada  pemda  setempat.
Dari  kedua  sistem  ini  penulis  tidak  mendapatkan  perbedaan  yang  esensial menyangkut  khumus  dan  iuran  pertambangn,  kecuali  hanya  perbedaan  istilah  dan
tata  cara  tapi  maksudnya  sama,  yaitu  agar  negara  mendapatkan  pemasukan  dari kegiatan pertambangan rakyat ini.
B. Analisis Hukum Pertambangan Minyak Rakyat Wonocolo.
Status kepemilikan
Sebenarnya  sumur-sumur  minyak  yang  diusahakan  di  Wonocolo,  adalah sumur-sumur  peninggalan  Belanda.  Dahulu  Belanda  pernah  membebaskan  tanah
109
Al Mawardi, Al Ahkam al Sulthaniyyah, , hal. 394
110
M. Sholahuddin, Asas-Asas Ekonomi Islam, hal. 99
yang  akan  dibor  menjadi  area  pertambangan,  dengan  memberikan  kompensasi kepada para pemegang hak atas tanah. Belanda juga sempat mengontrak tanah warga
yang mereka gunakan sebagai gudang gudang peralatan tambang. Tetapi, dalam hal ini menurut peraturan perundang-undangan, seharusnya peninggalan Belanda berupa
asset-aset  perekonomian  diambil  alih  untuk  dimiliki  negara.  Seperti  yang  tersurat dalam  amanat  Undang-Undang  Nomor  86  Tahun  1958  tentang  Nasionalisasi
Perusahaan  Milik  Belanda  di  Indonesia.  Namun  ternyata  Negara  melalui  PT Pertamina tidak memanfaat sumur-sumur tersebut.
Nasionalisasi  ini  bertujuan  untuk  memberikan    manfaat  yang  lebih  luas kepada  masyarakat  Indonesia  serta  memperkokoh  keamanan  dan  pertahanan  negara
yang  saat  itu  sedang  berkonfrontasi  dengan  kerajaan  Belanda  dalam  rangka pembebasan  Irian  Barat.  Beberapa  perusahaan  yang  penting  bagi  masyarakat  dan
dianggap  menguasai  hajat  hidup  orang  banyak  dinasionalisasi.  Perusahaan  farmasi, perkebunan,  listrik,  hingga  pertambangan  berubah  kepemilikannya  menjadi  milik
negara,  dan  beberapa  perusahaan    menjelma  menjadi  cikal  bakal  BUMN  yang  kita kenal  sekarang  seperti  PLN,  PTPN  Perkebunan  dan  Garuda  Indonesia  Airline.
Termasuk  perusahaan-perusahaan  pertambangan  yang  dahulu  dimiliki  pemerintahan kolonial.  Pasca  dikeluarkannya  dekrit  presiden  5  Juli  1959  oleh  Bung  Karno,  tidak
kurang  dari  600  perusahaan  diambil  alih  dari  Belanda,  100  perusahaan  diantara berupa perusahaan yang bergerak dalam bidang pertambangan.
Kasus  di  Wonocolo  adalah  ketika  ditinggalkan  Belanda,  desa  Wonocolo dalam  keadaan  kurang  ekonomis.  Hal  itu  juga  yang  menyebabkan    Belanda  dahulu
sempat meninggalkannya dan berpindah ke Kawengan. Seharusnya sumur-sumur itu menjadi  aset  pendapatan  bagi  negara.  Namun  karena  sudah  tidak  ekonomis  lagi,
negara  pun  akhirnya  enggan  mengurusinya.  KUD  yang  seharusnya  menjadi  lini paling  bawah  untuk  tetap  meraup  untung  dari  sumur  tua  itupun  tidak  maksimal
dalam  operasionalnya.  Faktor  penentuan  harga  beli  dari  masyarakat  yang  terlalu rendah  dan  kurangnya  pengawasan  kepada  warga  penambang,  menyebabkan  warga
setempat “bermain sendiri “ dengan sumur-sumur tua tersebut. Oleh karena itu warga
meneruskan  sumur-sumur  itu  dan  seolah  lupa  dengan  KUD.  Akhirnya  dengan kemampuan seadanya yang mereka warisi dari Belanda mereka berjalan sindiri.
Lebih  dari  sekedar  pemindahan  hak  milik,  nasionalisasi  adalah  salah  satu langkah dalam upaya pemerataan hasil sumber-sumber alam. Dalam hal  ini, penulis
sangat  setuju  dengan  nasionalisasi  perusahaan  eks-kolonial,  atau  penguasaan  atas negara  untuk    mengelola  sumber-sumber  yang  menjadi  hajat  hidup  orang  banyak.
Karena negara adalah satu-satunya kekuatan yang dapat melakukan pemerataan hasil Sumber Daya Alam tersebut,  serta  satu-satunya organisasi yang bertanggung jawab
atas  kesejahteraan  rakyat  luas,  membuat  peraturan-peraturan  demi  terciptanya keamanan, dan terselenggaranya kehidupan yang harmonis dan sejahtera.
Penulis  tidak  ingin  memojokkan  pemerintah  menyangkut  kemakmuran mereka, namun pada kasus daerah-daerah seperti Wonocolo, Bangka dan sebagainya,
penulis  hanya  ingin  meng-ibaratkan  kekayaan  negara  tidak  ubahnya  air  yang mengalir  di  Sungai,  atau  parit.  Selama  air  kekayaan  alam  tersebut  dapat  dapat
mengalir  terdistribusikan  melalui  parit-parit  yang  dibuat  oleh  negara  dengan pengaturan  dan  pengawasannya,    maka  merupakan  nilai  tambah  jika  daerah  sekitar
sumber air itu berada menjadi lebih subur. Dan ini sangat wajar. Di  sini  penulis  melihat  bahwa,  sesungguhnya  apa  yang  dilakukan  oleh
warga  Wonocolo  menurut  mereka  adalah  memanfaatkan  sesuatu  yang  menjadi peninggalan  Belanda,  dan  tidak  didayagunakan  oleh  pemerintah  karena  kurang
ekonomis.  Akan  tetapi  Pemerintah  dalam  hal  ini  PT  Pertamina  melakukan  langkah langkah  yang  sangat  mencekik  warga  dengan  membuat  kebijakan-kebijakan  yang
sangat  memberatkan.  Seperti  mangharusakan  menjual  hasil  kerja  mereka  ke  PT Pertamina  melalui  KUD  yang  terdaftar  resmi,  dengan  harga  tertentu  jauh  di  bawah
standar  layak,  yaitu  saat  konsumen  luar  berani  membeli  latung  Wonocolo  dengan harga Rp.  100.000drum.  Pertamina hanya  membeli  latung Wonocolo  dengan  harga
Rp.  45.000drum.  Tentu  hal  ini  sangat  tidak  wajar.  Dan  membuat  warga  mencari “celah”  untuk  meningkatkan  pendapatan.  Mereka  dibiarkan  menambang,  namun
ternyata  hanya  dimanfaatkan  demi  keuntungan    PT  Pertamina.  Seandainya  memang dianggap  menyimpang  dan  illegal,  maka  lebih  baik  diberikan  penyuluhan  dan
penertiban,  atau  diatur  menggunakan  Undang-Undang  pertambangan  rakyat  yang telah  ada,  serta  memberikan  jalan  keluar  agar  sama-sama  menguntungkan  kedua
belah pihak.
Sebelum  tahun  2006,  Pertamina  begitu  aktif  men-cukongi  latung-latung hasil timbaan warga. Pertamina dengan berani menentukan harga jual warga  jauh di
bawah  harga  pasar,  dan  setiap  latung  dari  warga  harus  dijual  ke  Pertamina.  Barang siapa  yang  berani  menjual  keluar  dari  Pertamina,  maka  akan  ditangkap.  Menurut
penulis, apa yang dilakukan Pertamina tidak ubahnya seperti mengambil keuntungan dari  sesuatu  yang  tidak  dapat  mereka  lakukan  istilah  orang  jawa  aji  mumpung.
Pertamina  hanya  memanfaatkan  warga  untuk  menjadi  pemasok  latung  dari  sumur- sumur yang tidak dapat mereka upayakan karena pertimbangan ekonomis.
Pertamina  adalah  perusahaan  negara  yang  dipercaya  menangani  masalah permiyakan,  dia  juga  yang  harus  menyediakan  cadangan  keperluan  dalam  negeri,
bertanggung  jawab  memasok  dan  mendistribusikannya  sampai  ke  daerah-daerah. Tapi,  jika  kita  melihat  cara  PT  Pertamina  mengumpulkan  latung  dari  warga
Wonocolo,  maka  hal  itu  sangat  tidak  manusiawi.  Pertamina  tidak  mau  tahu,  berapa modal  masyarakat  untuk  membeli  peralatan  timba,  serta  usaha  mereka  untuk
mengeluarkan  sisa-sisa  minyak  di  perut  bumi,  tapi  dengan  seenaknya  Pertamina mewajibkan warga menjual hasil latung mereka ke PT Pertamina, dengan harga yang
sangat  rendah.  Saya  tidak  ingin  menyebut  ini  penindasan,  jika  masih  ada  kata-kata yang lebih santun.
Selanjutnya  mengenai  status  kepemilikan  tambang  yang  berada  pada  tanah dengan  milik  individu,  maka  dalam  hukum  positif  jelas  telah  diatur,  bahwa  demi
terselenggaranya pemerataan kekayaan negara, maka tambang tersebut akan diambil
alih oleh negara. Meskipun terkadang harus melalui proses yang  alot di  pengadilan, namun  biasanya  pada  akhirnya  pengadilan  lebih  berpihak  pada  pemegang  kuasa
pertambangan  KPdengan pertimbangan maslahat bersama. Tetapi pemegang kuasa pertambangan  diharuskan  membayar  ganti  rugi  sesuai  dengan  kesepakatan  dengan
pemilik tanah. Dalam  kehidupan  sehari-hari  tidak  jarang  kita  menemukan  konflik  antara
pemegang  hak  atas  tanah  dengan  pemegang  kuasa  pertambangan.  Pemegang  kuasa pertambangan  mempunyai  hak  untuk  menambang  bahan-bahan  galian  yang  ada  di
dalam tanah, namun  pemegang hak atas tanah mempunyai hak untuk mengolah dan memanfaatkan  permukaan  tanah.  Konflik  ini  akan  berlarut-larut  jika  pemerintah
tidak dapat menjadi penengah diantara kedua belah pihak. Biasanya pemerintah lebih mendahulukan  kepentingan  pemegang  kuasa  pertambangan,  dan  mengharuskan
membayar  ganti  rugi  kepada  pemegang  hak  atas  tanah.  Namun  terkadang  hal  itu tidak  dapat  menjadi  solusi  karena  dengan  uang  ganti  rugi  tersebut  belum  tentu
pemegang  hak  atas  tanah  mendapat  ganti  lokasi,  yang  biasanya  yang  mereka membutuhkan  lokasi  baru  ketika  tanah  mereka  di  ambil.  Menurut  penulis,  akan
sangat tepat jika Pemerintah mau mencarikan solusi, tidak hanya member ganti rugi, tetapi  juga  mencarikan  lokasi  baru  sehingga  mereka  tetap  dapat  bekerja,  atau
merelokasi warga jika area yang akan diambil menyangkut orang banyak seperti satu kampung.  Di  Wonocolo,  sebenarnya  pada  awalnya  banyak  warga  yang  memiliki
tanah  luas  untuk  bercocok  tanam.  Namun,  karena  banyak  calo  yang  membeli  tanah
warga  dengan  harga  yang  lebih  tinggi  dibanding  harga  pasaran,  maka  warga pedesaan  yang  rata-rata  kurang  berpendidikan  sangat  mudah  terayu  apalagi  setelah
ditemukan  cadangan  minyak  baru  di  desa  Banyu  Urip  2001,  banyak  para  jutawan dari  Surabaya  yang  menyebar  calo  untuk  membeli  tanah-tanah  warga,  akhirnya
ketika PT. Pertamina hendak membebaskan tanah mereka, yang ia hadapi bukan lagi warga pedesaan, tetapi para calo yang sudah memprediksi bahwa PT. Pertamina akan
membebaskan tanah warga. Ringkasnya  bahwa  barang-barang  tambang  adalah  milik  orang  banyak,
meskipun  diperoleh  dari  tanah  hak  milik  khusus.  Maka  barang  siapa  menemukan barang  tambang  atau  petroleum  pada  tanah  miliknya  tidak  halal  baginya  untuk
memilikinya dan ia harus memberikannya kepada negara, berapun ukurannya.
111
Sistem pengelolaan
Pertambangan  minyak  rakyat  desa  Wonocolo  pada  dasarnya  adalah pertambangan  yang  dilakukan  warga  setempat  secara  berkelompok-kelompok
berserikat,  dan  hasilnya  dibagi  sesuai  sumbangsih  atau  kontribusi  masing-masing anggota. Seperti telah dijelaskan di atas, bahwa setiap sumur dimiliki oleh beberapa
nama  yang  didaftarkan  dalam  sumur  tersebut.  Dan  setiap  nama  yang  akan didaftarkan  harus  memberikan  kontribusi-sebagai  modal-  yang  akan  diperhitungkan
nilai  dari  pengorbanannya.  Tidak  jarang  sumur  yang  dikelola,  dikerjakan  dalam
111
Ibid.,  hal. 73
jumlah  besar  anggota.  Hal  ini  bertujuan  selain  agar  tidak  terasa    berat  untuk membiayai sebuah sumur.
Menurut  penulis,  apa  yang  dilakukan  warga  Wonocolo  adalah  seperti Syirkah  yang  diajarkan  dalam  ekonomi  islam.  Seperti  kita  ketahui,  dalam  ekonomi
islam diajarkan konsep tentang penyertaan modal, baik sama-sama berupa harta, atau salah satu berupa harta dan pihak lain berupa tenaga. Dalam prakteknya, secara tidak
langsung di Wonocolo banyak menerapkan berbagai macam syirkah yang ada dalam konsep  ekonomi  islam.  Misalnya,  ketika  mereka  bersama-sama  membiayai  sebuah
sumur,  kemudian  mengerjakannya  pula  bersama-sama,  maka  secara  tidak  langsung mereka  menerapkan  syirkah  Inan.  Kemudian  ketika  mereka  bersama-sama
mengerjakan  sebuah  sumur  dengan  modal  dari  pihak  luar,  maka  secara  tidak langsung diantara mereka terjadi syirkah wujuh, dan antara mereka dengan pihak luar
terjadi syirkah mudharabah. Menurut  penilaian  penulis,  dari  sistem  yang  dijalankan  oleh  warga
Wonocolo  terlepas  dari  status  legalitas  usaha  mereka,    tidak  bertentang  dengan syariat  islam,  justru  konsep  syirkah  dan  bagi  hasil  inilah  yang  menjadi  urat  nadi
sistem  ekonomi  islam.  Dengan  diterapkannya  konsep  seperti  ini,  maka  solidaritas dan rasa  kebersamaan antar  warga akan  semakin  kuat.  Dan  ini menjadi  nilai  positif
bagi mereka. Kasus  di  Wonocolo  sebenarnya mirip dengan apa yang pernah terjadi  pada
masyarakat  Bangka,  ketika  diberikan  izin  oleh  Pemda  setempat  untuk  dapat
menambang timah di lokasi-lokasi diluar area penambangan PT Timah. Alasan yang diutarakan  pemda  setempat  adalah  keadaan  masyarakat  yang  sangat  miskin  dan
memprihatinkan. Padahal banyak sekali tempat mereka memberikan pemasukan bagi negara. Sekiranya akan sangat membantu jika mereka diberi hak untuk mendapatkan
bagian, atau  jika  pada  akhirnya  akan merelokasi  atau  menutup  usaha  mereka  maka, memberi  kesempatan  mereka  untuk  mengumpulkan  uang  terlebih  dahulu  menurut
penulis bukan hal yang tercela. Atau melaui program-program CSR corporate social responsibility kearah yang lebih mengembangkan keahlian warga setempat, melalui
bimbingan-bimbingan dan pelatihan-pelatihan tertentu. Jika  kita  membandingkan  kehidupan  warga  pesisir  pantai  utara  dengan
warga  seperti  Wonocolo,  terkadang  kita  akan  merasakan  sebuah  ketidakadilan.  Di wilayah  pesisir  -yang  kaya  dengan  sumber  daya  ikan-    siapa  saja  boleh  melayar
mencari  ikan.  Sehingga  kebanyakan  kehidupan  masyarakat  pesisir  lebih  kuat ekonominya.  Namun  di  daerah  seperti  di  Wonocolo,  Bangka,  Timika,  dan  daerah-
daerah lain semisalnya, kekayaan alam di dekat mereka telah dikuasai diklaim oleh negara.  Sehingga  seandainya  mereka  menjadi  orang  yang  benar-benar  taat  hukum,
mereka  hanya  bisa  melihat  ketika  hutan  disamping  rumah  mereka  dipanen  oleh negara.  Mereka  hanya  bisa  menonton  ketika  timah  di  belakang  rumah  mereka
dikeruk  negara.  Mereka  hanya  bisa  menyaksikan  pompa-pompa  minyak  yang menganguk-angguk 24  jam  setiap  hari  menyedot  minyak  mentah di  samping  rumah
mereka. Paling maksimal, dengan modal pendidikan yang rendah, mereka hanya bisa menjadi kuli panggul, itupun seandainya dibutuhkan.
Dalam  beberapa  peraturan  telah  dijelaskan  mengenai  pertambangan  rakyat, telah  diberikan  suatu  kriteria  bahwa  yang  dimaksud  dengan  pertambangan  rakyat
adalah: 1.
Dilaksanakan oleh rakyat setempat, yaitu berdasarkan hukum adatadat setempat. Atau penduduk yang sudah diterima menjadi penduduk setempat, atau warga desa
yang sah dalam wilayah kecamatan tempat terdapatnya galian tersebut. 2.
Diusahakan secara sederhana atau kecil-kecilan yang dikerjakan dengan alat-alat sederhana,  dengan  cara  sendiri  tanpa  penelitian  atau  perencanaan,  serta
perhitungan ekonomi terlebih dahulu. 3.
Untuk suatu pencaharian mereka sendiri, yaitu tidak ada perjanjian kerja layaknya majikankaryawan.
4. Dapat memakai permesinan sejumlah kekuatan maksimal 25 PK.
5. Tidak memakai alat-alat berat dan bahan peledak.
6. Dilaksanakan  dalam  wilayah  pertambangan  rakyat,  setelah  mendapatkan  izin
pertambangan rakyat. Dari  batasan  utama  yang  diberikan  oleh    Undang-Undang  ini  terdapat
beberapa  hal  yang  menjadi  permasalahan  yang  terjadi  di  wilayah  Pertambangan Rakyat Wonocolo, yaitu:
1. Pelaksanaan  kegiatan  “Pertambangan  Rakyat”  di  desa  Wonocolo  hanya
berlandaskan pada izin lisan yang diberikan pemerintah daerah, dari Kepala Desa sampai pada tingkat Bupati.
2. Terdapatnya  pendatang  dari  luar  daerah  yang  turut  melakukan  penambangan
dengan menggunakan peralatan  yang lebih canggih, bahkan  yang awalnya hanya memanfaatkan sumur peninggalan belanda, belakangan para penambang dari luar
sampai  membuat  mengebor  sumur  baru  dengan  modal  yang  sangan  besar,  dapat dikatakan Pertambangan Rakyat Wonocolo hanya dipakai untuk  kedok,  sehingga
hal ini bisa dianggap masuk dalam kategori “menggunakan perhitungan ekonomi” dan hal ini dilarang dalam pertambangan rakyat.
3. Biasanya,  dengan  semakin  meningkatnya  kegiatan  pertambangan  pertambangan
rakyat,  maka  akan  menggangu  kegiatan  pertambangan  yang  sah,  serta  akan menimbulkan  kerusakan  lingkungan,  terutama  jika  tidak    dilaksanakan  dengan
benar,  dan  sesuai  peraturan  yang  berlaku.  Sebagai  akibat  dari  adanya penambangan  yang dilakukan dengan tidak benar, dapat menimbulkan kerusakan
lingkungan antara lain: a.
Pembukaan lahan tanpa ada yang bertanggung jawab untuk mereklamasinya. b.
Pencemaran air oleh limbah di sekitar area pertambangan. Jika kita perhatikan, maka sisa-sisa sulingan yang masih mengandung zat kimia, atau material berat,
dialirkan  begitu  saja  ke  parit  parit,  dan  hal  ini  akan  berbaha  bagi keberlangsungan ekosistem dalam jangka panjang.
4. Sosial  ekonomi,  permasalahan  sosial  ekonomi,  dalam  kegiatan  Pertambangan
Rakyat  yang  dilakukan  oleh  rakyat,    meskipun  dilakukan  di  wilayah  Kuasa Pertambangan  WKP,  selain  menimbulkan  gangguan  terhadap  kegiatan
eksplorasi,  yang  sedang  dilakukan  oleh  pemegang  KP  atau  KK,  juga menimbulkan dampak negatif terhadap pemerintah, antara lain:
a. Di bidang pendapatan negara
Kerugian keuangan bagi negara akibat tidak dipungutnya iuran tetap dan iuran eksploitasi.  Hal  ini  sangat  jelas  ketika  rakyat  Wonocolo  tidak  membayarkan
iuran pertambangan atas usaha yang tidak ia daftarkan. b.
Kerawanan Sosial dan Kamtibnas. Adanya  pendatang  yang  lebih  siap  dan  matang  secara  modal  dan  menejemen
sehingga akan mengundang rasa kedengkian warga, dan tidak jarang ulah para pendatang ini yang menyebabkan kegiatan penambangan ditutup. Hal tersebut
seperti penggunaan alat-alat berat, penambangan dalam kapasitas besar untuk mencari  keuntungan.    Untuk  kasus  di  Wonocolo,  sebuah  perusahaan
pendatang  pernah  menyebabkan  kerusakan  sumur  yang  sempat  menyebabkan kemarahan  warga,  yaitu    terjadinya  flowing  pada  2006.  Sebuah  sumur  yang
dibor oleh sebuah  PT dari luar Wonocolo menyemburkan minyak bercampur lumpur  setinggi  kira-kira  20  meter.  Akhirnya  sumur  tersebut  ditutup  karena
minyak yang keluar tidak dapat disuling dan hanya mencemari lingkungan
Sebenarnya  yang  harus  dilakukan  oleh  pemda  adalah  membuat  peraturan atau menerapkan konsep pertambangan rakyat yang telah ada dalam Undang-Undang
Pertambangan  rakyat.  Hal  ini  untuk  menjaga  agar  antara  warga  dan  Pemda  dapat sama-sama  mendapatkan  penghasilan.  warga  dapat  bekerja  dan  pemda  dapat
pemasukan.  Disamping  itu  ketika  diterapkan  UUD  ini  maka  proses  pertambangan akan semakin tertata dan tertib.
Insallah…
C. Pelanggaran Terhadap Ketentuan Ulil Amri