76
2. Proses Pemberian Hak Tanggungan pada Hak Milik Satuan Rumah Susun
Pemberian Hak Tanggungan pada Hak Milik Satuan Rumah Susun terdiri dari beberapa tahap tertentu yang mana tahap-tahap tersebut adalah merupakan bagian
dari proses yuridis dan administratif.
a Perjanjian Kredit
Pada tahap awal yaitu dilakukan suatu pengikatan perjanjian kredit atau perjanjian utang dimana disepakati janji debitur untuk memberikan Hak
Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang. Perjanjian kredit tersebut merupakan suatu
90
: 1Perjanjian pokok basic agreement, principal agreement, yang berfungsi
sebagai dokumen pertama atau sebagai dokumen awal untuk membuktikan ada terjadinya perjanjian utang.
2Berdasarkan Pasal 10 ayat 1 UUHT yang berbunyi: “Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak
Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang
yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut.”
Maka diketahui bahwa eksistensi janji memberikan Hak Tanggungan dalam perjanjian utang atau perjanjian kredit merupakan satu kesatuan dengan janji
pemberian Hak Tanggungan. 3Perjanjian Hak Tanggungan bersifat accessoir dengan perjanjian pokok. Suatu
Hak Tanggungan tidak dapat berdiri sendiri, tetapi merupakan ikutan dari
90
M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Cetakan ke- IV, Jakarta : Sinar Grafika, 2009, hal. 189.
Universitas Sumatera Utara
77
perjanjian pokok yaitu perjanjian tentang pemberian jaminan atau pelunasan utang yang disebut dalam perjanjian pokok.
Perjanjian pokok seperti yang tersebut diatas, dapat berbentuk akta dibawah tangan onderhandse akte, atau berbentuk akta autentik authentieke akte.
Pembuatan perjanjian pokok tersebut dapat dilakukan didalam maupun diluar negeri, karena tidak disyaratkan validitas dan keabsahannya harus diperbuat
didalam negeri, perjanjian tetap sah apabila dibuat diluar negeri. Pihak-pihak sebagai subjek dalam perjanjian pokok dapat berupa orang perorangan, badan
hukum, maupun orang atau badan hukum asing dengan syarat kredit yang bersangkutan dipergunakan untuk pembangunan di wilayah Republik Indonesia.
b Pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan
Pemberian Hak Tanggungan didukung dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan atau disingkat dengan istilah APHT yang dibuat oleh Pejabat
Pembuat Akta Tanah PPAT dan Akta ini berfungsi sebagai bukti tentang Pemberian Hak Tanggungan yang berkedudukan sebagai dokumen perjanjian kedua, melengkapi
dokumen perjanjian utang perjanjian pokok.
91
Penjelasan seperti tersebut diatas juga diperkuat berdasarkan yang tercantum pada isi Pasal 10 ayat 2 UUHT yang menyebutkan bahwa: “Pemberian Hak
Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
91
Ibid , hal. 190.
Universitas Sumatera Utara
78
Adapun dalam pembuatan suatu APHT oleh seorang PPAT menurut Pasal 11 UUHT, wajib mencantumkan nama dan identitas pemegang dan pemberi HT,
domisili dari pihak-pihak tersebut, penunjukan secara jelas tentang utang yang dijaminkan, nilai tanggungan, dan uraian mengenai objek Hak Tanggungan yaitu
dalam hal ini satuan rumah susun yang akan dijadikan jaminan utang. Pencantuman elemen ini didalam APHT bersifat kumulatif, dan oleh karena
itu harus dilengkapi dan dicantumkan secara jelas. Jika lalai dalam pencantuman salah satu diantaranya, mengakibatkan APHT tersebut batal demi hukum, seperti
tercantum dalam Penjelasan Pasal 11 ayat 1 UUHT bahwa “Ketentuan ini dimaksudkan untuk memenuhi asas spesialitas dari Hak Tanggungan, baik mengenai
subyek, obyek, maupun utang yang dijamin”. Pada suatu APHT juga dicantumkan janji-janji tertentu agar dalam
pelaksanaannya tetap sesuai dengan peraturan yang berlaku. Hal ini seperti disebutkan dalam Pasal 11 ayat 2 UUHT, dimana terdapat sejumlah klausul yang
dapat dicantumkan yaitu: “Janji untuk membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk
menyewakan atau mengubah bentuk tata susunan objek Hak Tanggungan, dan janji untuk memberi kewenangan kepada penerima Hak Tanggungan
mengelola objek berdasarkan penetapan Pengadilan Negeri, menyelamatkan objek Hak Tanggungan dari hapusnya hak atas objek tersebut, kewenangan
pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual atas kekuasaan sendiri, dan terhadap janji pemberi Hak Tanggungan yang akan mengosongkan objek
Hak Tanggungan pada saat eksekusi”.
c Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8
Tahun 2012
Universitas Sumatera Utara
79
Pada tanggal 27 Desember 2012 yang lalu, terjadi perubahan ketetapan dalam sistem pembuatan Akta-akta PPAT yaitu dengan lahirnya sebuah peraturan dimana
dimungkinkan setiap PPAT dalam menjalankan jabatannya membuat dan menyusun sendiri akta-akta di bidang pertanahan, baik yang menyangkut peralihan hak seperti
Jual Beli, Tukar Menukar, Hibah, Pemasukan kedalam Perusahaan, dan Pembagian Hak Bersama, dan juga dalam bidang jaminan seperti pada
pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan, Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, atau
maupun juga untuk pelayanan seperti pembuatan akta Pemberian Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik.
Adapun sehubungan dengan pembuatan APHT sebagai proses pemberian Hak Tanggungan pada hak milik satuan rumah susun, awalnya
setiap PPAT menggunakan blanko formulir akta yang telah disediakan oleh Badan Pertanahan
Nasional BPN setempat dengan format yang telah ditetapkan, namun dengan dikeluarkannya Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 2012 yang selanjutnya disebut dengan Perkaban Nomor 8 Tahun 2012 ini, maka PPAT untuk seterusnya harus membuat dan menyusun akta tersebut
secara pribadi karena tidak dibenarkan lagi mempergunakan blanko. Hal tersebut sesuai dengan isi Perkaban Nomor 8 Tahun 2012 pada bahagian
menimbang huruf a yaitu: “Bahwa untuk meningkatkan pelayanan pertanahan, terhitung mulai tahun
2013 penyiapan dan pembuatan blanko Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah dilakukan oleh masing-masing Pejabat Pembuat Akta Tanah, Pejabat Pembuat
Akta Tanah pengganti, Pejabat Pembuat Akta Tanah sementara atau Pejabat Pembuat Akta Tanah Khusus.”
Universitas Sumatera Utara
80
Berdasarkan Hal tersebut, maka APHT sebagai bentuk perjanjian kedua yang merupakan kelanjutan dari perjanjian utang sebagai perjanjian pokok, dibuat dalam
bentuk konsep tersendiri yang disusun oleh PPAT sedemikian rupa dengan mencantumkan hal-hal yang penting dalam suatu APHT serta mengenai satuan rumah
susun sebagai objek Hak Tanggungan.
d Pendaftaran Pemberian Hak Tanggungan
Adapun dalam suatu perjanjian kebendaan, pada dasarnya mempunyai karakter yang bersifat berkelanjutan voortdurende overeenkomst yang diawali
dengan perjanjian pemberian Hak Tanggungan dan berakhir pada saat pendaftaran. Sepanjang pendaftaran belum dilakukan, perjanjian pemberian Hak Tangungan ini
dikatakan belum merupakan suatu perjanjian kebendaan.
92
Pendaftaran Hak Tanggungan merupakan syarat imperatif yaitu suatu syarat yang diharuskan. Hal tersebut yang menyebabkan Hak Tanggungan tersebut wajib
didaftarkan pada Kantor Pertanahan karena merupakan perwujudan asas publisitas serta sekaligus merupakan syarat mutlak untuk lahirnya dan mengikatnya Hak
Tanggungan terhadap pihak ketiga.
93
Adapun sebelum pendaftaran berlangsung, proses awalnya yaitu meliputi penandatanganan yang dilakukan oleh para pihak terhadap APHT yang telah dibuat
oleh seorang PPAT dengan syarat dan ketentuan sesuai sebagaimana dengan isi dari Pasal 11 Ayat 1 dan 2 UUHT.
92
Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit, hal. 61.
93
Ibid , hal. 73.
Universitas Sumatera Utara
81
Setelah penandatanganan akta tersebut, seorang PPAT sebagai pembuat APHT berdasarkan Pasal 13 ayat 2 UUHT, berkewajiban mengirimkan APHT dan
warkat lain yaitu meliputi surat-surat bukti yang berkaitan dengan objek Hak Tanggungan dan identitas para pihak, serta sertifikat hak atas tanah yang diperlukan
kepada Kantor Pertanahan selambat-lambatnya 7 tujuh hari kerja dari tanggal penandatanganan APHT.
Pengiriman tersebut sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal 13 ayat 2 UUHT, yang dapat dilakukan melalui petugas PPAT atau melalui pos tercatat,
yang mana disini PPAT tersebut wajib menggunakan cara yang paling baik dan aman sesuai dengan kondisi dan fasilitas yang ada di daerah yang bersangkutan. Seorang
PPAT yang lalai memenuhi kewajiban tersebut diancam dengan sanksi administratif berupa
teguran lisan
maupun tulisan,
pemberhentian sementara,
maupun pemberhentian dari jabatan.
Kantor Pendaftaran
Tanah sehubungan
dengan hal
tersebut diatas,
berkewajiban mendaftarkan Hak Tanggungan dan kemudian membuat Buku Tanah Hak Tanggungan atau yang kemudian disebut dengan BTHT dan mencatat dalam
Buku Tanah Hak Tanggungan atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan.
Pencantuman tanggal pada BTHT sesuai Pasal 13 ayat 4 dan 5 adalah hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap terhadap surat-surat yang diperlukan bagi
pendaftaran. Maka dari itu, efektifnya suatu Hak Tanggungan terhitung mulai tanggal Buku Tanah Hak Tanggungan dan sekaligus adanya asas keterbukaan openbaar dan
Universitas Sumatera Utara
82
perlindungan hukum
legal protection
terhitung dari
tanggal penerimaan
pendaftaran.
94
e Penerbitan Sertifikat Hak Tanggungan
Setelah dokumen-dokumen seperti yang dijelaskan sebelumnya diterima, lalu Kantor Pertanahan membuat buku tanah Hak Tanggungan atau disebut juga dengan
sertifikat Hak Tanggungan, lalu mencatatnya dalam buku hak atas tanah dan menyalin catatan itu pada sertifikat hak tanah.
Penerbitan sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UUHT ayat 1 yaitu: “Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor
Pertanahan menerbitkan sertipikat Hak Tanggungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” dan dengan mencantumkan irah-irah dengan
kata-kata Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Fungsi dari adanya sertifikat Hak Tanggungan ini adalah sebagai bukti atas
Hak Tanggungan dan sebagaimana tercantum dalam Pasal 14 ayat 3 yang menyatakan bahwa setifikat ini adalah sebagai landasan kekuatan eksekutorial yang
mana kekuatannya sama dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Adapun tindakan yang dilakukan selanjutnya oleh Kantor Pertanahan adalah mengembalikan sertifikat tanah yang berisi catatan pemberian Hak Tanggungan
tersebut kepada pemegang hak tanah dan sekaligus memberikan sertifikat Hak Tanggungan kepada pihak kreditur.
94
M. Yahya Harahap, Op. Cit, hal. 191.
Universitas Sumatera Utara
83
BAB III HUBUNGAN ANTARA HAK MILIK SATUAN RUMAH SUSUN
SEBAGAI OBJEK HAK TANGGUNGAN TERHADAP HAK ATAS TANAH DIMANA BANGUNAN RUMAH SUSUN TERSEBUT BERDIRI
A. Asas Pemisahan Horizontal
Pada suatu bangunan rumah susun diantara Hak Milik yang dipegang oleh masing-masing pemilik satuan-satuan rumah susun, terdapat hubungan dengan hak
atas tanah dimana bangunan rumah susun itu didirikan sebagai satu kesatuan. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan kenyataan bahwa antara satuan rumah susun yang
satu dengan satuan-satuan rumah susun yang lain merupakan bahagian-bahagian sebagai pembentuk suatu bangunan rumah susun secara keseluruhan.
Undang-undang Hak Tanggungan menentukan bahwa objek hak tanggungan tidak hanya terbatas pada hak-hak atas tanah yang ditentukan dalam UUPA yang
terdiri dari hak-hak yang terdaftar yaitu Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha dan hak-hak yang tidak tunduk pada pendaftaran tetapi juga meliputi benda-
benda yang berkaitan dengan tanah. Konsepsi demikian dikenal dengan Asas pemisahan horizontal.
Adapun dalam hukum tanah, suatu asas pemisahan horizontal bersumber dari hukum adat dan merupakan kebalikan dari asas pelekatan yaitu dimana suatu
bangunan dan tanaman merupakan satu kesatuan dengan tanah seperti juga yang dianut oleh sistem hukum BW yang berlaku dahulu bahwa tanah dan bangunan yang
didirikan di atasnya merupakan satu kesatuan.
83
Universitas Sumatera Utara
84
Asas pemisahan horizontal menyatakan bangunan dan tanaman bukan merupakan bagian dari tanah. Konsekuensinya yaitu bahwa hukum yang berlaku
terhadap tanah tersebut tidak dengan sendirinya berlaku juga terhadap bangunan yang berdiri diatasnya. Asas pemisahan horizontal ini dianut oleh hukum adat, yang
membedakan antara benda tanah dan benda bukan tanah. Asas hukum adat ini kemudian dianut oleh UUPA.
95
Pemisahan horizontal tersebut kemudian dapat dijadikan landasan penerapan Hak Tanggungan, disebabkan Hak Tanggungan dapat diberikan terhadap benda
bergerak, baik berupa tanah, tanah dan bangunan yang melekat padanya, atau terhadap bangunan yang berdiri atas tanah yang terpisah dari status hak atas tanahnya,
seperti halnya pada bangunan rumah susun. Hak Tanggungan yang diatur dalam UUHT pada dasarnya adalah Hak
Tanggungan yang dibebankan pada hak atas tanah. Namun kenyataannya seringkali terdapat benda-benda berupa bangunan, tanaman, dan hasil karya, yang secara tetap
merupakan satu kesatuan dengan tanah yang dijadikan jaminan tersebut. Pemisahan tanah dengan benda-benda yang ada di atas tanah melalui asas
pemisahan horizontal, dalam UUHT dapat dilakukan melalui pendaftaran, yang mana dengan pendaftaran bangunan maka diharapkan benda tersebut dapat menjadi benda
terdaftar dan memiliki tanda kepemilikan sendiri yang terpisah, sehingga benda itu dapat dijadikan objek perikatan yang dilepaskan dari tanahnya. Arti yuridis dari
pendaftaran ini adalah menciptakan hak kebendaan. Oleh karena itu setiap perbuatan
95
Adrian Sutedi, Op. Cit, hal. 164.
Universitas Sumatera Utara
85
hukum mengenai hak-hak atas tanah, tidak dengan sendirinya meliputi benda-benda tersebut. Maka dengan demikian, kepemilikan bangunan di atas tanah dapat saja
terpisah dengan kepemilikan tanahnya sedangkan hubungan keduanya dapat terjadi melalui perjanjian.
Kepemilikan atas Satuan Rumah Susun secara individual oleh tiap-tiap penghuni dilakukan
dengan menggunakan perangkat dan mekanisme pendaftaran tanah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah dan melengkapinya dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri. Pengkaitan Pendaftaran tanah dengan Hak Milik Satuan Rumah Susun tersebut
didasarkan pada perkembangan penerapan asas horizontal.
96
Peraturan-peraturan tersebut
menggambarkan bahwa
dimungkinkannya kepemilikan Satuan Rumah Susun secara individual berdasarkan asas pemisahan
horizontal terhadap keseluruhan bangunan rumah susunnya, dan terhadap tiap-tiap satuan yang dimiliki tersebut dapat dijadikan jaminan dengan Hak Tanggungan tanpa
merugikan antara pemilik yang satu dengan pemilik yang lainnya dalam satu bangunan rumah susun tersebut.
Penjabaran dalam norma-norma hukum asas pemisahan horizontal tersebut kemudian tidak berlaku secara mutlak. Penerapannya dilakukan secara konkret relatif,
yaitu bahwa dengan memperhatikan faktor-faktor konkret dan realita yang meliputi kasus yang dihadapi selalu ada kemungkinan untuk mengadakan penyimpangan agar
96
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
86
penyelesaiannya dapat memenuhi rasa keadilan, yang pada hakikatnya merupakan tujuan dari hukum yang melaksanakan tersebut.
B. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun Dan Hak Atas Tanah Dimana Bangunan Rumah Susun Berdiri
Hak Milik adalah merupakan hak yang terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas sebidang tanah maupun bangunan tertentu. Hak milik dikatakan
memiliki sifat yang terkuat yaitu tidak berarti bahwa hak tersebut merupakan hak yang mutlak dan tidak terbatas. Adapun hak milik dapat dikatakan suatu hak yang
terkuat dan terpenuh adalah bermaksud untuk membedakannya dengan hak atas tanah yang lainnya.
97
Pada satuan rumah susun, hak milik adalah merupakan hak yang bersifat perseorangan dan terpisah, namun tetap meliputi hak bersama atas bagian-bagian
bangunan rumah susun yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Hak milik pada satuan rumah susun bersifat simultan atau bersamaan yaitu mengandung
hak perorangan dan sekaligus hak bersama, namun kedua hak tersebut tetap mempunyai pembatasan kewenangan secara jelas.
Pada Pasal 41 Ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 PPRS mengenai kepemilikan perseorangan atas satuan rumah susun merupakan suatu
ruangan dalam bentuk geometrik tiga dimensi yang mempunyai luas dan batas tinggi tertentu, yang mana hak milik tersebut dapat jatuh kepada perseorangan dan badan
hukum yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah.
97
Tampil anshari Siregar, Undang-undang Pokok Agraria dalam Bagan, Cetakan ke-V, Medan: Kelompok studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU Medan, 2008, hal.147.
Universitas Sumatera Utara
87
Mengenai hak atas tanah dimana bangunan rumah susun tersebut berdiri dapat dibangun diatas tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas tanah
Negara dan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai diatas Hak Pengelolaan sebagaimana tercantum dalam Pasal 17 UURS yang baru, dan dalam membangun
rumah susun tersebut pelaku pembangunan wajib memisahkan rumah susun atas satuan-satuan rumah susun, bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang
dibangun sebagai bagian dari bangunan rumah susun.
C. Ketentuan Tentang Hak atas Tanah Bersama Suatu Rumah Susun
Peraturan-peraturan yang mengatur mengenai kepemilikan rumah susun secara pribadi dan hubungannya dengan hak atas tanah bersama sebelum berlakunya
UURS yaitu antara lain: 1. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1975 tentang Pendaftaran
Hak atas Tanah Bersama dan Pemilikan Bagian-bagian Bangunan yang ada diatasnya serta Penerbitan Sertifikatnya.
2. Peraturan Menteri
Dalam Negeri
Nomor 1
Tahun 1977
tentang Penyelenggaraan Tatausaha Pendaftaran Tanah mengenai Hak atas Tanah
yang dipunyai Bersama dan Pemilikan Bagian-bagian Bangunan yang Ada diatasnya.
3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 10 Tahun 1983 tentang Tata cara Permohonan dan Pemberian Izin Penerbitan Sertifikat Hak atas Tanah
Kepunyaan Bersama yang disertai dengan Pemilikan secara Terpisah Bagian- bagian pada Bangunan Bertingkat.
Universitas Sumatera Utara
88
Peraturan-peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut menegaskan kepemilikan suatu rumah susun secara individual disamping hubungannya sebagai kesatuan dari
bangunan rumah susun, yang mana sesuai dengan asas horizontal, dimana setiap benda yang menurut wujud dan tujuannya dapat digunakan sebagai satu kesatuan
yang berdiri sendiri, maka dapat dijadikan objek pemisahan secara individual. Pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1975
tentang
Pendaftaran Hak atas Tanah Bersama dan Pemilikan Bagian-bagian Bangunan yang ada diatasnya serta Penerbitan Sertifikatnya, diatur tentang pendaftaran hak atas tanah
yang dipunyai bersama serta penerbitan sertifikatnya dan juga pendaftaran pemilikan secara terpisah kepada bagian-bagian bangunan yang berdiri diatas tanah yang
haknya dipunyai bersama oleh para pemilik bagian-bagian bangunan itu serta penerbitan sertifikatnya.
98
Pemilikan bagian-bagian dari bangunan rumah susun yang terdiri dari satuan- satuan tertentu, dengan adanya ketentuan ini maka membuka kemungkinan untuk
melakukan penerbitan sertifikat hak atas tanah yang sekaligus berfungsi sebagai alat pembuktian mengenai pemilikan bagian-bagian tertentu dari suatu bangunan yang
berdiri diatas tanah yang bersangkutan. Tanah tersebut didaftarkan sebagai kepunyaan bersama dari para pemegang
hak milik bagian-bagian bangunan tersebut yang masing-masing seimbang dengan luas bagian bangunan yang dimilikinya. Sertifikat tersebut kemudian hanya dapat
98
Ibid, hal. 166.
Universitas Sumatera Utara
89
diterbitkan apabila tanahnya termasuk tanah yang didaftarkan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Alat bukti pemilikan berupa sertifikat hak atas tanah tersebut dilengkapi dengan pencatatan bagian-bagian tertentu dari bangunan yang berdiri diatas tanah
yang bersangkutan berupa suatu gambar pembantu yang menggambarkan denah tingkat bangunan dan letak bagian yang dimiliki, berdasarkan konstruksi yuridis
dimana tanah bangunan itu berdiri.
D. Hak dan Kewajiban Pemegang Hak Milik Satuan Rumah Susun
Hak Milik satuan rumah susun sebagai salah satu objek Hak Tanggungan, menjadikan pemegang Hak Milik tersebut dapat menjual atau menjadikan satuan-
satuan rumah susun tersebut sebagai jaminan utang, yang mana pihak yang berhak memiliki sarusun adalah merupakan subjek hukum yang memenuhi syarat sebagai
pemegang hak atas tanah karena pemilikan sarusun meliputi juga hak bersama atas tanah bersama yaitu perseorangan atau badan hukum.
Hal ini sangat erat kaitannya dengan tanah dimana bangunan rumah susun itu berdiri sebagai suatu kepunyaan bersama. Adapun dengan dijadikannya salah satu
satuan rumah susun itu sebagai jaminan utang dengan membebankan Hak Tanggungan terhadapnya, tidak mengurangi hak dan kewajiban yang dimiliki oleh
pemilik tersebut terhadap benda-benda kepemilikan bersama sebagai suatu kesatuan rumah susun.
Universitas Sumatera Utara
90
Adapun hak-hak tertentu yang dimiliki oleh subjek hukum sebagai pemegang Hak Milik atas sarusun yang kemudian harus dilindungi dan diperhatikan yaitu
99
: 1. Hak untuk benar-benar memiliki satuan rumah susun yang meliputi pula
bagian-bagian yang termasuk didalam keseluruhan bangunan rumah susun meliputi juga pemilikan atas bagian bersama, benda-benda bersama dan juga
tanah bersama dimana bangunan rumah susun itu berdiri, yang kesemuanya adalah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan satuan
rumah susun yang bersangkutan. 2. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum atau proteksi hukum atas
kepemilikan sarusun yang ada padanya, berdasarkan tanda bukti hak milik atau disebut juga dengan sertipikat hak milik atas satuan rumah susun.
3. Hak untuk mengalihkan hak milik atas sarusun yang dipegang olehnya kepada pihak lain, baik itu dengan cara melalui pewarisan apabila pemegang hak itu
adalah ahli warisnya, maupun dengan cara pemindahan hak, yang selaras dengan ketentuan hukum yang berlaku.
4. Hak untuk menjadikan atau menggunakan hak milik atas satuan rumah susun miliknya itu sebagai jaminan utang dengan membebankan hak tanggungan
terhadapnya. 5. Hak untuk menjadikan hak milik atas satuan rumah susun sebagai jaminan
utang untuk mendapatkan Kredit Pemilikan Rumah KPR yang akan diberikan apabila rumah susun yang bersangkutan selesai dibangun dan telah
99
A. Ridwan Halim, Op. Cit, hal. 117.
Universitas Sumatera Utara
91
pula dilakukan
pemisahan dalam
satuan-satuan rumah
susun yang
bersertipikat. Adapun KPR itu dimaksudkan agar warga yang bersangkutan dapat secara langsung membayar harga satuan rumah susun yang hendak
dimilikinya itu secara lunas, sedangkan kredit tersebut dapat dibayar secara angsuran.
Selain dari pada hak-hak yang sudah semestinya dimiliki oleh pemegang hak milik sarusun seperti dijelaskan diatas, mereka juga secara bersamaan memiliki
kewajiban yang harus dipenuhi sebagai pemegang hak milik atas satuan rumah susun. Kewajiban-kewajiban tersebut antara lain yaitu
100
: 1. Kewajiban memenuhi persyaratan sebagai pihak yang menurut ketentuan
undang-undang dapat menjadi pemegang hak milik, atau hak guna bangunan atau hak pakai sebagai hak atas tanah yang bersangkutan sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 8 ayat 1 UURS yang pertama, beserta penjelasannya. Adapun persyaratan yang harus dipenuhi oleh pemegang hak atas tanah
bersama yang bersangkutan menurut UUPA yaitu: a Apabila hak atas tanah itu adalah hak milik, maka persyaratan yang harus
dipenuhi oleh pemegangnya adalah: 1 Bahwa yang bersangkutan ialah Warga Negara Indonesia jika
pemegang hak itu adalah orang pribadi, dan kewarganegaraan Indonesia itu dimilikinya secara tunggal dalam arti bahwa ia tidak
100
Ibid , hal. 118.
Universitas Sumatera Utara
92
memiliki kewarganegaraan lain yang disandangnya secara bersamaan. Hal ini sesuai dengan Pasal 21 ayat 1 dan 4 UUPA.
2 Berdasarkan Pasal 21 ayat 20 UUPA bahwa yang bersangkutan merupakan badan hukum yang oleh pemerintah ditetapkan sebagai
badan pemegang hak milik menurut persyaratan tertentu yaitu pemegang hak itu adalah badan hukum atau pribadi hukum, dan
persyaratan itu telah dipenuhinya. Adapun persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu badan hukum agar dapat diizinkan menjadi
pemegang hak milik atas tanah, berdasarkan Penjelasan Umum UUPA bagian II angka 5 yaitu badan hukum yang usahanya bergerak dibidang
sosial dan keagamaan. b Apabila hak atas tanah itu adalah hak guna bangunan, maka persyaratan
yang harus dipenuhi oleh pemegangnya adalah: 1 Bahwa yang bersangkutan haruslah Warga Negara Indonesia jika dia
adalah orang pribadi. 2 Berdasarkan Pasal 36 ayat 1 UUPA, bahwa yang bersangkutan
adalah badan hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
c Apabila hak atas tanah itu adalah hak pakai, maka persyaratan yang harus dipenuhi oleh pemegangnya adalah sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
93
1Adapun jika pemegang hak itu adalah orang pribadi, maka ia harus Warga Negara Indonesia atau orang asing yang berkedudukan di
Indonesia. 2Bila pemegang hak adalah suatu badan hukum atau pribadi hukum,
menurut Pasal 42 UUPA, maka haruslah badan hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia atau berupa
badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. 2. Kewajiban untuk secara tekun dan cermat menata dan memelihara sarusun
yang telah mereka miliki masing-masing agar setiap sarusun yang menjadi bagian dari setiap gedung atau bangunan rumah susun itu dapat terpelihara
secara langgeng sebagai satuan tempat tinggal atau permukiman yang sehat dan memadai serta selaras, serasi, seimbang dalam hubungannya dengan
satuan tempat tinggal atau satuan rumah susun lainnya yang terdekat, atau yang terdapat masih pada satu gedung atau bangunan rumah susun yang sama.
Adapun dengan kata lain, yang bersangkutan diharuskan untuk selalu menjaga dan mempertahankan kelayakan huni dari sarusun yang mereka kuasai pada
khususnya dan bangunan gedung rumah susun pada umumnya, yang mana sejak sebelum dijual untuk dihuni seharusnya kelayakan huni harus telah
dipenuhi. Hal ini seperti yang termasuk dalam Pasal 18 UURS yang baru. 3. Kewajiban para warga penghuni sarusun untuk bergotong-royong merawat
dan memelihara bagian-bagian tertentu dari bangunan rumah susun yang
Universitas Sumatera Utara
94
mereka tempati bersama, dimana hal tersebut memang merupakan tanggung jawab mereka bersama. Bagian-bagian tertentu tersebut yaitu:
a Bagian bersama yang merupakan bagian rumah susun yang dimiliki secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi dengan
satuan-satuan rumah susun. Pasal 1 angka 4 UURS pertama. b Bagian bersama yaitu benda yang bukan merupakan bagian rumah susun
akan tetapi yang dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama. Pasal 1 angka 5 UURS yang pertama
4. Kewajiban para warga penghuni sarusun secara bersama-sama senantiasa memelihara kelestarian lingkungan tempat tinggal mereka bersama.
5. Kewajiban para pemegang hak milik atas sarusun sebagai penghuni untuk melaporkan
dan mendaftarkan
setiap tindakan
hukum yang
berupa pembebanan sarusun yang mereka miliki berikut tanah tempat bangunan
rumah susun itu berdiri serta berbagai benda yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut sebagai jaminan utang misalnya dengan hak
tanggungan.
E. Hubungan antara Hak Milik Satuan Rumah Susun dengan Tanah dimana Bangunan Rumah Susun Berdiri
Perbuatan hukum yang berkaitan dengan sarusun selalu dihubungkan dengan tanah dimana bangunan rumah susun itu berdiri atau dibangun. Maka sebagai akibat
dari rumah susun tidak terlepas dari tanah, maka titik tolak pengaturannya berdasarkan Hukum Tanah Nasional dan hal ini merupakan konsekuensi logis adanya
Universitas Sumatera Utara
95
unifikasi Hukum Tanah sejak tanggal 24 September 1960, dimana semua ketentuan Buku II KUHPerdata sepanjang mengatur bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dinyatakan tidak berlaku lagi kecuali mengenai hipotik.
101
Hak atas tanah memberikan wewenang untuk menggunakan tanah, hak jaminan memberikan kewenangan kreditor untuk menjual atau melelang tanah yang
ditunjuk sebagai jaminan apabila debitur tidak memenuhi kewajibannya dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil pelelangan tersebut dengan hak
mendahului dari kreditor-kreditor yang lain. HMSRS merupakan kelembagaan hukum yang baru dimana pemegang hak mempunyai kewenangan untuk memiliki
satuan rumah susun secara individual, yang penggunaannya tidak terlepas dari hak atas bagian, benda dan tanah bersama.
102
Menurut Imam Kuswahyono
103
, sistem pemilikan atas suatu gedung bertingkat dapat dibagi 2 dua, yaitu:
1. Pemilikan tunggal single ownership;
Pemilikan tunggal dilihat dari pemilikan tanah tempat gedung bertingkat itu berdiri sehingga pemegang sertifikat juga merupakan pemilik gedung.
2. Pemilikan bersama multi ownership.
Pemilikan bersama dapat terbagi atas dua macam yaitu pemilikan bersama yang terikat yang mana dasar utamanya adanya ikatan hukum lebih dahulu antara
101
Adrian Sutedi, Op. Cit, hal. 196.
102
Ibid , hal. 197.
103
Imam Kuswahyono, Hukum Rumah Susun, Cetakan ke-I, Malang, Jatim: Bayumedia Publishing, 2004, hal. 12.
Universitas Sumatera Utara
96
pemilik, dasar pengaturannya yaitu Permendagri No. 14 Tahun 1975 dan pemilikan bersama yang bebas yaitu antara para pemilik tidak ada hubungan
hukum lebih dahulu selain hak bersama menjadi pemilik untuk dipergunakan bersama yang mana dasar pengaturannya UURS juncto PP No. 4 Tahun 1988
tentang rumah susun. Hubungan hak milik satuan rumah susun dengan tanahnya merupakan hukum
perdata, artinya kewenangan pemegang hak milik tersebut untuk berbuat sesuatu atas tanahnya sebatas hak yang diberikan oleh Negara yang memiliki kewenangan publik,
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka dari itu, orang atau badan hukum sebagai pemegang hak milik tidak boleh melakukan hal-
hal diluar haknya. Sehubungan hal tersebut dengan lingkup hukum perdata, yang mana tentang
kewenangan berbuat sesuatu atas tanah, maka pemegang hak dapat melakukan perbuatan hukum atas tanah tersebut. Hal ini juga terjadi pada pemegang hak milik
satuan rumah susun, yang mana hak milik tersebut memberikan kewenangan kepada mereka agar dapat melakukan berbagai tindakan hukum seperti jual beli, hibah atau
yang lebih khusus dibahas disini yaitu untuk dijadikan jaminan utang.
Universitas Sumatera Utara
97
BAB IV EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN
ATAS HAK MILIK SATUAN RUMAH SUSUN APABILA SALAH SATU PIHAK CIDERA JANJI
A. Berakhirnya Hak Tanggungan pada Hak Milik atas Satuan Rumah Susun
Satuan rumah susun berakhir sebagai jaminan karena adanya pelunasan maupun hal-hal lain yang menyebabkan piutang yang dimilikinya menjadi hapus dan
hak tanggungan tersebut kemudian juga menjadi hapus demi hukum, yang mana pada buku tanah Hak Tanggungan yang bersangkutan kemudian dibubuhkan catatan
mengenai hapusnya hak tersebut. Pencatatan mengenai hapusnya Hak Tanggungan kemudian diikuti dengan
peniadaan sertifikat Hak Tanggungannya. Pencatatan serupa yang disebut dengan pencoretan atau yang lebih dikenal sebagai istilah roya, dilakukan juga pada buku
tanah dan Sertifikat Hak Milik atas satuan rumah susun yang semula dijadikan jaminan. Sertifikat Hak Milik atas satuan rumah susun yang telah dibubuhi catatan
tersebut kemudian diserahkan kembali kepada pemegang haknya. Kesederhanaan administrasi pendaftaran Hak Tanggungan, dengan tidak
mengabaikan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan, selain dalam hal peralihan dan hapusnya piutang yang dijaminkan, juga terlihat pada hapusnya hak
tersebut karena sebab-sebab lain yaitu karena dilepaskan oleh kreditur yang bersangkutan, pembersihan objek Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat
oleh ketua Pengadilan Negeri dan hapusnya hak atas tanah yang dijadikan jaminan.
97
Universitas Sumatera Utara
98
Penyebab-penyebab yang menjadikan Hak Tanggungan dapat menjadi hapus ditentukan berdasarkan pada Pasal 18 ayat 1 UUHT, yaitu dikarenakan hal-hal
sebagai berikut: 1. “Hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan
2. Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan 3. Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua
Pengadilan Negeri 4. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan”
Hak Tanggungan dapat sengaja dihapuskan dan dapat pula hapus karena hukum. Adapun yang sengaja dihapuskan yaitu karena dilepaskannya jaminan
tersebut oleh pemegangnya atau karena dilakukan pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri, sedangkan Hak
Tanggungan yang hapus karena hukum yaitu disebabkan hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan dan karena hapusnya hak atas tanah yang
dibebankan Hak Tanggungan.
104
Adapun mengenai Hak Tanggungan dapat dihapuskan sesuai kehendak kreditur dikarenakan Hak Tanggungan tersebut merupakan jaminan utang yang
pembebannya adalah untuk kepentingan kreditur itu sendiri, sehingga sangat dimungkinkan apabila Hak Tanggungan dapat dan hanya dapat dihapuskan oleh
kreditur sebagai pemegangnya. Sebaliknya pada pemberi Hak Tanggungan yang tidak mungkin berwenang untuk dapat membebaskan Hak Tanggungan tersebut.
Suatu Hak Tanggungan sesuai dengan sifatnya yang accessoir, yang mana adanya Hak Tanggungan tersebut bergantung kepada adanya piutang yang dijamin
104
Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit, hal. 153.
Universitas Sumatera Utara
99
pelunasannya. Maka dari itu, apabila utang tersebut hapus karena pelunasan maupun sebab-sebab yang lain, dengan sendirinya Hak Tanggungan yang bersangkutan juga
menjadi hapus. Adapun hapusnya Hak Tanggungan karena pembersihan Hak Tanggungan
berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri
105
adalah berkaitan dengan ketentuan Pasal 19 Ayat 1 UUHT yang mana menurut pasal ini:
“Pembeli objek Hak Tanggungan baik dalam suatu pelelangan umum atas perintah Ketua Pengadilan Negeri maupun dalam jual beli sengketa, dapat
meminta kepada pemegang Hak Tanggungan agar benda yang dibelinya itu terbebas dari segala beban Hak Tanggungan yang melebihi harga pembelian.”
Berdasarkan hal tersebut, dapat terjadi kemungkinan dimana pemegang Hak Tanggungan tidak bersedia mengabulkan permintaan pembeli, yang mana objek Hak
Tanggungan dibebani lebih dari satu Hak Tanggungan dan tidak terdapat kesepakatan diantara pemegang Hak Tanggungan tersebut mengenai pembersihan objek Hak
Tanggungan dari beban yang melebihi harga pembeliannya. Adapun apabila hal itu terjadi, menurut Pasal 19 Ayat 3 UUHT
106
: “Pembeli benda tersebut dapat mengajukan permohonan kepada Ketua
Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi letak objek Hak Tanggungan yang bersangkutan untuk menetapkan pembersihan itu dan
sekaligus menetapkan ketentuan mengenai pembagian hasil penjualan lelang diantara para yang berpiutang dan peringkat mereka menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.”
Suatu Hak Tanggungan dikatakan hapus dikarenakan hapusnya hak atas tanah dinilai wajar dan sudah semestinya. Hal tersebut karena keberadaan suatu Hak
105
Ibid , hal. 154.
106
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
100
Tanggungan hanya dimungkinkan apabila telah atau masih ada objek yang dibebani dengan Hak Tanggungan itu. Maka dari itu Hak Tanggungan akan hapus apabila hak-
hak atas tanah itu hapus atau berakhir. Menurut Sudikno Mertokusumo, bahwa terdapat 6 enam cara berakhirnya
atau hapusnya hak tanggungan, yaitu
107
: 1. Dilunasinya hutang atau dipenuhinya prestasi secara sukarela oleh debitur;
2. Debitur tidak memenuhi tepat waktu, yang berakibat debitur akan ditegur oleh pihak kreditur untuk memenuhi prestasinya;
3. Debitur cidera janji, dengan adanya cidera janji tersebut maka kreditur dapat mengadakan parate executie dengan menjual lelang barang yang dijaminkan
tanpa melibatkan pengadilan. Utang dilunasi dari hasil penjualan lelang tersebut. Dengan demikian, perjanjian utang piutang berakhir;
4. Debitur cidera janji, maka kreditur dapat mengajukan sertifikat hak tanggungan ke pengadilan untuk dieksekusi berdasarkan Pasal 224 HIR yang
diikuti pelelangan umum. Dengan dilunasi utang dari hasil penjualan lelang, maka perjanjian utang piutang berakhir.
5. Debitur cidera janji dan tetap tidak mau memenuhi prestasi, maka kreditur dapat menggugat debitur, yang kemudian diikuti oleh putusan pengadilan
yang memenagkan kreditur. 6. Debitur tidak mau melaksanakan putusan pengadilan yang mengalahkannya
dan menghukum melunasi utangnya maka putusan pengadilan dieksekusi secara paksa dengan pelelangan umum yang hasilnya digunakan untuk
melunasi hutang debitur, dan mengakibatkan perjanjian utang-piutang berakhir.
B. Eksekusi Suatu Jaminan Utang
Eksekusi terhadap suatu jaminan utang dijalankan pengadilan bukan berupa putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, akan tetapi
pelaksanaan pemenuhan isi perjanjian yang diperbuat oleh para pihak terkait dengan pemberian jaminan utang diantara keduanya.
107
Salim HS, Op. Cit, hal. 187-188.
Universitas Sumatera Utara
101
Adapun hal tersebut merupakan penyimpangan terhadap prinsip eksekusi yang ada yaitu hanya dijalankan terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap. Pasal 224 HIR atau Pasal 258 RBG akan tetapi memperkenankan adanya eksekusi terhadap suatu perjanjian apabila berbentuk grosse
akta, karena terhadap grosse akta pasal tersebut menyetarakannya dengan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dan memiliki kekuatan eksekutorial.
108
Suatu grosse akta menurut Achmad Ichsan adalah salinan dari suatu vonis pengadilan atau akta otentik yang mempunyai kekuatan eksekutorial, yang berarti
bahwa grosse akta itu harus menggunakan irah-irah dengan kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagaimana setiap vonis pengadilan harus
memakai kepala putusan kata-kata tersebut berdasarkan Pasal 4 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman.
109
Adapun didalam suatu eksekusi dikenal istilah larangan milik Beding dalam APHT. Pengertian milik beding yaitu berupa klausul yang membuat janji memberi
kewenangan kepada kreditur untuk memiliki objek Hak Tanggungan secara serta merta apabila debitur cidera janji. Larangan Milik beding diatur dalam Pasal 12
UUHT, dan jika larangan ini dilanggar maka perjanjian atau klausul tersebut sejak semula batal demi hukum.
110
108
M. Yahya Harahap, Op. Cit, hal. 11.
109
Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Grosse Akta dalam Pembuktian dan Eksekusi
, Cetakan Ke-I, Jakarta: Rineka Cipta, 1993, hal. 39.
110
M. Yahya Harahap, Op. Cit, hal. 205.
Universitas Sumatera Utara
102
Menurut pendapat R. Soepomo, larangan milik beding sejalan dengan maksud eksekusi yang diatur dalam Pasal 195-224 HIR yaitu bertujuan dan berkenaan dengan
pemenuhan pembayaran utang dengan jalan melalui lelang harta kekayaan debitur, yaitu bukan bertujuan untuk memiliki harta jaminan yang diberikan debitur.
111
Berdasarkan penjelasan Pasal 12 UUHT, disebutkan bahwa tujuan adanya larangan milik beding yaitu untuk melindungi kepentingan debitur dan dan pemegang
Hak Tanggungan lainnya jika nilai objek Hak Tanggungan jauh lebih besar dari utang yang dijamin, dan oleh karena itu melarang pemegang Hak Tanggungan untuk secara
serta merta menjadi pemilik apabila debitur cidera janji.
C. Debitur yang Cidera Janji
Pada Pasal 6 UUHT maupun penjelasannya tidak mengatur lebih lanjut mengenai cidera janji. Suatu cidera janji hanya menjadi dasar bagi pemegang Hak
Tanggungan untuk melaksanakan haknya dalam menjual objek Hak Tanggungan. Pada penjelasan Pasal tersebut disebutkan bahwa: “Apabila debitur cidera janji,
pemegang Hak Tanggungan berhak menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri apabila dalam APHT dicantumkan klausul yang demikian.”
Hal yang sama terlihat pada Pasal 20 UUHT yang menyatakan apabila debitur cidera janji, maka pemegang Hak Tanggungan berhak menjual objek Hak
Tanggungan dengan
parate executie
berdasarkan Pasal
224 HIR
atau
111
R. Soepomo, Hukum Acara Pengadilan Negeri, Cetakan Ke-12, Jakarta: Pradnya Pramita, 1993, hal. 119-120.
Universitas Sumatera Utara
103
menjualberdasarkan kekuasaan sendiri jika APHT menyatakan klausul yang demikian dan pula dapat dilakukan penjualan dibawah tangan sesuai Pasal 20 Ayat 2 dan 3.
Adapun dikarenakan UUHT tidak mengatur lebih lanjut mengenai cidera janji, maka untuk menentukan hal tersebut terhadap seorang debitur dapat
menggunakan ketetapan pada Pasal 1243 jo Pasal 1763 KUH Perdata. Pada Pasal 1243 KUH Perdata, yang dimaksud dengan cidera janji yaitu
apabila lalai memenuhi perjanjian dengan tidak menyerahkan atau membayar dalam jangka waktu yang ditentukan dan bahkan jika tidak berbuat sesuai yang dijanjikan
dalam tenggang waktu yang ditentukan, dan pada Pasal 1763 dijelaskan dengan lebih rinci yaitu dikatakan melakukan tindakan cidera janji apabila tidak mengembalikan
pinjaman sesuai dengan jumlah pinjaman dalam waktu yang telah ditentukan. Pada Pasal 1267 KUH Perdata memberikan pilihan kepada kreditur untuk
mengambil tindakan
apabila debitur
melakukan cidera
janji, tanpa
mempermasalahkan perjanjian kredit telah jatuh tempo atau belum. Tindakan tersebut yaitu dengan meminta kepada Pengadilan untuk memaksa debitur memenuhi
perjanjian, dan apabila tidak dilakukan yaitu dengan menuntut pembatalan perjanjian disertai dengan penggantian biaya disertai bunga.
D. Sertifikat Hak Tanggungan yang Berkekuatan Eksekutorial
Adapun telah diketahui sebelumnya, sebagai suatu tanda bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan mengeluarkan sertifikat Hak Tanggungan, yang
didalamnya terdapat irah-irah seperti yang telah disebutkan diatas, yang menjadikan sertifikat Hak Tanggungan tersebut memiliki kekuatan eksekutorial yang sama
Universitas Sumatera Utara
104
dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai grosse akta.
112
Pencantuman irah-irah pada sertifikat Hak Tanggungan yang melahirkan kekuatan eksekutorial tersebut kemudian dimaksudkan agar apabila debitur cidera
janji, maka debitur tersebut siap untuk dieksekusi dan dimintakan kepada pengadilan negeri tanpa melalui prosedur yang rumit, menyita waktu, biaya serta tenaga.
113
Seorang debitur yang cidera janji, maka terhadap hak milik atas satuan rumah susun yang dibebani dengan Hak Tanggungan tersebut berhak dilakukan penjualan
oleh pemegang Hak Tanggungan atau pihak kreditur tanpa melalui persetujuan dari pemberi Hak Tanggungan dan juga ia tidak dapat menyatakan keberatan atas
penjualan tersebut. Terhadap proses pelaksanaan penjualan itu agar terlaksana secara jujur,
UUHT mengharuskan penjualan tersebut dilakukan melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 20 Ayat 1 UUHT. Pada Pasal 6 UUHT disebutkan bahwa: “Apabila debitor cidera janji,
pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil
pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.”
112
A.P. Parlindungan, Komentar Undang-undang tentang Hak Tanggungan atas Tanah Berserta Benda-benda yang berkaitan dengan Tanah UU No. 4 Tahun 19969 April 1996L.N. No.
42 Sejarah Terbentuknya , Cetakan Ke- I, Bandung: C.V. Mandar Maju, 1996, hal. 55.
113
Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Op. Cit, hal. 48.
Universitas Sumatera Utara
105
Pemegang Hak Tanggungan yang pertama tidak perlu meminta persetujuan terlebih dahulu dari pemberi Hak Tanggungan dan atau tidak perlu pula meminta
penetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk melakukan eksekusi tersebut. Pemegang Hak Tanggungan yang pertama cukup mengajukan permohonan kepada
Kepala Kantor Lelang Negara setempat untuk melakukan pelelangan umum terhadap eksekusi tersebut.
E. Proses Eksekusi Hak Tanggungan atas Satuan Rumah Susun
Suatu eksekusi jaminan terhadap Hak Tanggungan, pada umumnya merupakan eksekusi yang diakhiri dengan pembayaran sejumlah uang yang mana
bersumber dari suatu perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok atau dikarenakan debitur yang cidera janji sehingga diharuskan membayar ganti kerugian atau bahkan
dapat juga dikarenakan perbuatan melawan hukum. Kesemuanya pada dasarnya disebabkan oleh adanya suatu kewajiban untuk melakukan pelunasan utang.
Berdasarkan Pasal 20 UUHT terdapat dua kemungkinan yang dapat dilakukan kreditur terhadap objek Hak Tanggungan apabila seorang debitur cidera janji yaitu:
1. Melaksanakan parate executie