Perjanjian Utang-Piutang Terhadap Hak Tanggungan

63 memanfaatkan posisi debitur yang sedang dalam keadaan sangat membutuhkan utang harus terpaksa menerima janji itu dengan persyaratan yang sulit dan merugikan baginya. o Pelaksanaan Eksekusi Hak Tanggungan Mudah dan Pasti Berdasarkan Pasal 6 UUHT, ketika debitur cidera janji, maka pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk melakukan parate executie yaitu dengan menjual objek Hak Tanggungan dan atas kekuasaan sendiri melakukan pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Adapun dalam hal ini tidak diperlukan perolehan persetujuan dari pemberi Hak Tanggungan ataupun meminta penetapan pengadilan dalam pelaksanaannya.

3. Perjanjian Utang-Piutang Terhadap Hak Tanggungan

Perjanjian piutang berkaitan erat dengan pemberian suatu Hak Tanggungan. Hal ini terlihat pada Pasal 10 Ayat 1 menyebutkan bahwa: “Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan didalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut.” Adapun dengan kata lain, bahwa timbulnya Hak Tanggungan hanya dimungkinkan apabila sebelumnya telah diperjanjikan didalam perjanjian utang- piutang atau disebut juga dengan perjanjian kredit yang menjadi dasar pemberian utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan kepada kreditur, dan kemudian terhadap pemberian Hak Tanggungan itu nantinya dilakukan dengan pembuatan perjanjian Universitas Sumatera Utara 64 tersendiri oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT berupa suatu akta yang disebut dengan APHT. 85 Pelaksanaan yang terjadi dalam praktek sehari-hari diketahui bahwa tidak selamanya didalam perjanjian kredit telah dicantumkan janji-janji yang menyatakan bahwa untuk menjamin pelunasan kredit yang dibebankan akan selalu diberikan Hak Jaminan tertentu misalnya gadai, fidusia, hipotik ataupun sekarang ini telah digantikan dengan Hak Tanggungan. Adapun pihak pemberi kredit atau pihak kreditur biasanya baru akan meminta pemberian suatu hak jaminan tertentu setelah diadakannya perjanjian kredit disebabkan karena objek hak jaminan itu baru kemudian dimiliki oleh debitur atau baru kemudian dapat diberikan dan diserahkan oleh debitur kepada pihak kreditur. Suatu keharusan dalam membuat perjanjian utang ditentukan berdasarkan penjelasan Pasal 10 Ayat 1 yang menyatakan bahwa: “Sesuai dengan sifat accessoir dari Hak Tanggungan, pemberiannya haruslah merupakan ikutan dari perjanjian pokok, yaitu perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang-piutang yang dijamin pelunasannya. Perjanjian yang menimbulkan hubungan utang-piutang ini dapat dibuat dengan akta di bawah tangan atau harus dibuat dengan akta otentik, tergantung pada ketentuan hukum yang mengatur materi perjanjian itu. Dalam hal hubungan utang piutang itu timbul dari perjanjian utang-piutang atau perjanjian kredit, perjanjian tersebut dapat dibuat di dalam maupun di luar negeri dan pihak- pihak yang bersangkutan dapat orang perseorangan atau badan hukum asing sepanjang kredit yang bersangkutan dipergunakan untuk kepentingan pembangunan di wilayah negara Republik Indonesia.” 85 Ibid , hal. 50. Universitas Sumatera Utara 65 Pembuatan perjanjian kredit seperti yang dimaksud tersebut dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum yang mengatur materi perjanjian tersebut. Apabila diharuskan dibuat dengan akta otentik, maka perjanjian kredit itu dibuat dengan akta otentik. Akan tetapi apabila tidak diharuskan menggunakan akta otentik, maka cukup dibuat dengan akta dibawah tangan.

4. Objek Hak Tanggungan