The Wahid Institute dan Strategi Gerakan Kebebasan Beragama Civil Society

57 Ketiga, intensitas tinggi pelanggaran kebebasan beragama terkait permasalahan pada level masyarakat. Alamsjah menunjukan pada level masyarakat permasalahannya lebih kompleks daripada relasi problematik regulasi maupun kapasitas aparatur negara dalam implementasi kebebasan beragama, karena di dalamnya melibatkan struktur kesadaran, baik yang berasal dari agama, tradisi maupun perpaduan antara keduanya. Seiring paradigma regulasi kebebasan beragama masih bias pemihakan mayoritas, penggunaan alasan ketertiban umum dan meresahkan masyarakat oleh aparatur negara diasosiasikan untuk menjaga kepentingan mayoritas guna membatasi kelompok minoritas. Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum, tampak aparatur negara tersandera oleh kelompok-kelompok yang mengatasnamakan mayoritas. 83

D. The Wahid Institute dan Strategi Gerakan Kebebasan Beragama Civil Society

Ruang publik dipandang penting karena merupakan lokasi tempat diskursus dan aksi-aksi kolektif gerakan kebebasan beragama Wahid Institute dijalankan. Jurgen Habermas menjelaskan ruang publik dalam konteks Eropa Barat sebagai sebuah tempat pertemuan bagi lingkaran-lingkaran intelektual dalam masyarakat merkantil Eropa yang terurbankan, dimana individu-individu perseorangan berbaur demi berbincang secara bebas dan setara dalam wacana yang rasional, sehingga membuat mereka menyatu menjadi kelompok yang relatif kohesif yang pertimbangan-pertimbangannya bisa menjadi suatu kekuatan yang tangguh. 84 83 Wawancara dengan Rumadi, Staf The Wahid Institute 19 September 2012. 84 Latif .2005: 60-61 menjelaskan pandangan Habermas mengenai perkembangan lebih jauh, ruang publik borjuis yang mengalami perluasan yang terus-menerus sehingga mencakup lebih banyak partisipan dan juga berkembang organisasi-organisasi berskala besar sebagai mediator- 58 Latif menjelaskan perlunya penyesuaian konsepsi ruang publik Habermas dalam konteks Indonesia. Pertama, dalam konteks Indonesia ruang publik telah dipergunakan bukan hanya untuk mengekspresikan argumen-argumen yang bersifat rasional dan kritis melainkan juga dalam kebanyakan kasus mengekspresikan proses rasionalisasi politik identitas dan ideologi-ideologi dari kekuatan-kekuatan yang saling bersaing. Kedua, transformsi ruang publik dalam konteks Indonesia tidak hanya berarti transformasi dalam cakupannya tetapi juga dalam derajat kebebabasannya, yaitu, dari keterbatasan menuju keterbukaan dan sebaliknya. Ketiga, bagi sebuah masyarakat plural seperti Indonesia yang elemen- elemen tatanan sosialnya yang jarang menyatu dalam satu unit politik, praktik- praktik diskursif dalam ruang publik terutama dengan tidak adanya musuh bersama, terarah pada upaya mempengaruhi relasi-relasi kuasa dalam masyarakat. 85 Ketika hanya sedikit kemajuan dalam implementasi kebebasan beragama, Wahid Institute intensif dengan beragam usaha dalam kerangka gerakan kebebasan yang menyasar tiga level masalah yang menjadi pemicu kebebasan beragama. Relasi gerakan kebebasan beragama Wahid Institute dan civil society, seperti dijelaskan Chandoke, sebagai suatu arena di mana masyarakat masuk ke dalam dengan hubungan, di mana dalam arena itu dimungkinkan munculnya hasil mediator bagi partisipasi individu. Habermas memandang ruang publik yang ideal terjamin kesetaraan serta argumen yang kritis dan rasional. Para partisipan dapat mempengaruhi negara tanpa harus mengalami tekanan koersi negara maskipun sebagian besar bersifat informal. Namun dalam masyarakat kontemporer ruang publik publik telah menjadi daerah konflik kepentingan diantara kelompok-kelompok dan organisasi. 85 Ibid., h. 61-63. 59 kritik yang rasional melalui wadah sosial yang Chandoke sebut institusi-institusi civil society. 86 Civil society berpijak di atas prinsip egalitarianisme dan inklusivisme yang bersifat universal, dimana pengalaman mengartikulasikan kemauan politik dan pengambilan keputusan kolektif merupakan hal-hal krusial bagi kelangsungannya dalam reproduksi nilai-nilai demokrasi. Civil society merujuk pada karakteristik yang Gellner jelaskan sebagai aktor-aktor di luar pemerintahan yang memiliki cukup kekuatan untuk mengimbangi negara–untuk mencegah atau membendung negara dalam mendominasi atau memanipulasi kehidupan masyarakat–namun demikian tidak mengingkari pula peran negara sebagai penjaga perdamaian dan menengahi di antara berbagai kepentingan besar yang dapat menghancurkan tatanan sosial dan politik keseluruhan. Civil society, lanjut Gellner, juga merupakan kelompok, institusi, lembaga, dan asosiasi yang cukup kuat mencegah tirani politik baik oleh negara maupun komunal atau komunitas lainnya, dengan demikian civil society memberi ruang bagi adanya kebebasan individu di mana asosiasi dan institusi tersebut dapat dimasuki dan ditinggalkan oleh individu dengan bebas. 87 Dalam perspektif tersebut, negara maupun civil society terdapat kekuatan-kekuatan potensial yang dapat bekerja sama mewujudkan demokrasi atau sebaliknya–menghambat demokrasi. Dalam kaitan ini, Hegel menjelaskan dalam civil society mengandung 86 Adi Suryadi Culla, Masyarakat Madani: Pemikiran, Teori, dan Relevansinya dengan Cita-Cita Reformasi Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999, h. 208. 87 Adi Suryadi Culla, Masyarakat Madani: Pemikiran, Teori, dan Relevansinya dengan Cita-Cita Reformasi, h. 206. 60 potensi menjadi anarki bila kebebasan yang dimiliki untuk mengatur dirinya sendiri itu dibiarkan tanpa adanya sebuah kekuatan kontrol. 88 Protes dan advokasi Wahid Institute mengiringi terjadinya intensitas tinggi pelanggaran kebebasan beragama. yang menandai pelanggaran oleh negara dalam bentuk tindakan aktif negara yang mengarah pada pelanggaran kebebasan beragama by commission maupun pembiaran yang dilakukan negara termasuk tidak menjalankan penyelesaian hukum terhadap pelanggaran kebebasan beragama by omission serta tindakan warga negara ini secara garis besar mencakup tindakan kriminal berupa pembakaran rumah ibadah, intimidasi, kekerasan fisik, dan lain-lain serta tindakan intoleransi. Protes kemudian mengarah pada diskursus di ruang publik yang kemudian menjadi instrumen utama gerakan kebebasan beragama Wahid Institute. 89 Praktik- praktik diskursif sebagai proses produksi, distribusi, dan konsumsi teks dipandang penting sebagai medium dan instrumen dari pergulatan kuasa, perubahan sosial, dan konstruksi sosial. Pergulatan kuasa berlangsung baik didalam maupun diatas wacana. Foucault menjelaskan diskursus instrumen yang mentransmisikandan memproduksi kuasa, diskursus mengukuhkan kuasa, tetapi juga melemahkan kuasa, membuat kuasa menjadi rapuh dan memberi kemungkinan untuk 88 Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Organisasi Nonpemerintah di Indonesia Jakarta: LP3ES, 2006, h. 83. 89 Wawancara dengan Rumadi, Staf The Wahid Institute 26 Maret 2012. 61 merintangi kuasa. 90 Dengan demikian mengubah praktik-praktik diskursif merupakan sebuah elemen penting dalam perubahan sosial. Dalam menjalankan usaha-usaha kampanye wacana Islam, demokrasi, pluralisme agama-agama, multikulturalisme, dan toleransi Wahid Institute menggunakan beragam media, yaitu, www.gusdur.net dan www.wahidinstitute. org, film dokumenter dan dalam bentuk penerjemahan dan penerbitan naskah- naskah. Wahid Institute kemudian mengambil peran untuk memfasilitasi komunikasi dan kerja sama antara intelektual Muslim dan non-Muslim melalui penyelenggaraan diskusi dan konferensi, serta merilis briefing tentang Islam dan beragam isu strategis dalam perkembangan Islam dan masyarakat Muslim, juga agama-agama dan kepercayaan. Sejak 2005 Wahid Institute telah melakukan pendokumentasian beragam isu keagamaan, terutama terkait kebebasan beragama meski laporan yang komprehensif dilakukan pada 2008, baik menyangkut tindakan pelanggaran maupun intoleransi kebebasan beragama. Secara berkala Wahid Institute menerbitkan Monthly Report on Religious Issues yang melaporkan fakta-fakta peristiwa keagamaan dari berbagai wilayah di Indonesia yang kemudian menjadi acuan laporan tahunan situasi kehidupan beragama Wahid Institute. Wahid Institute juga menerbitkan bulletin Nawala terbit setiap tiga bulan untuk merespon dan memberi analisis berbagai isu keagamaan dan menjalin kerja sama dengan 90 Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke- 20, h. 59. 62 majalah-majalah terkemuka dan koran-koran lokal menerbitkan sisipan artikel bertema wajah Islam Indonesia yang damai. 91 Diskursus kebebasan beragama Wahid Institute menyasar tiga level permasalahan, pertama, Wahid Institute menyasar regulasi terkait kebebasan beragama dalam berbagai tingkatannya, salah satunya Wahid Institute menyebut keharusan mencabut atau setidaknya merevisi Undang Undang No. 1PNPS1965 Tentang Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Wahid Institute mendesakan pemerintah memberi policy yang tegas terhadap lembaga yang dibiayai negara untuk tidak berpihak hanya pada salah suatu tafsir kebenaran dengan disertai diskriminasi terhadap kelompok lain. Wahid Institute juga mendesakan peninjauan kembali regulasi yang dalam konteks otonomi daerah pasca Orde Baru tanpa memperhatikan kesesuaian dengan hak asasi manusia yang kemudian ditandai adanya perubahan mekanisme dari peraturan daerah kemudian diterbitkan berbentuk Surat Keputusan, Surat Edaran dan Keputusan Bersama. 92 Kedua, Wahid Institute menyebut kapasitas aparatur negara yang kurang memadai dalam implementasi regulasi kebebasan beragama. Paradigma aparatur negara yang bias pemihakan mayoritas diiringi kelambanan aparatur negara dalam mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya pelanggaran kebebasan beragama. Untuk itu, Wahid Institute mendesakan keharusan penguatan wawasan kepada aparatur penegak hukum menyangkut isu kebebasan beragama. Aparatur negara mulai dari proses penyusunan regulasi dan implementasinya harus 91 Pada 2008 sisipan Wahid Institute, yaitu, dua majalah terkemuka Tempo dan Gatra, sedangkan Koran lokal Radar Jogjakarta dan Bandung. 92 The Wahid Institute, Laporan Kebebasan Beragama dan Toleransi di Indonesia 2011 The Wahid Institute: Lampu Merah Kebebasan Beragama Jakarta: The Wahid Institute, 2011, h. 54. 63 mempunyai sensitifitas dengan isu-isu kebebasan beragama dan diskriminasi serta inisiatif untuk mengambil tindakan yang untuk mencegah terjadinya pelanggaran kebebasan beragama. Ketiga, seiring dengan regulasi dan kapasitas aparatur negara yang belum sepenuhnya kebebasan beragama fakta-fakta intoleransi oleh warga negara mengemuka di ruang publik. Perkembangan organisasi-organisasi Islam radikal dengan doktrin intoleransi organisasi Islam radikal salah satunya kemudian mengarah pada aksi kolektif yang melanggar kebebasan beragama individu atau kelompok lain. Implikasi lebih jauh dari anutan doktrin intoleran organisasi Islam radikal mengarah pada tindakan diskriminasi, intoleransi, dan kekerasan. 93 Dalam konteks ini, Wahid Institute mendesakan dialog sebagai penyelesaian konflik yang berbasis perbedaan pandangan keagamaan. Selain pengarusutamaan diskursus kebebasan beragama, Suaedy menjelaskan Wahid Institute kemudian menjadi bagian aliansi terbuka konstituensi gerakan kebebasan beragama AKKBB yang terdiri dari 72 93 Kategori-kategori pelanggaran hak-hak asasi manusia organisasi-organisasi Islam radikal yang ditujukan pada kelompok lain. Pertama, terganggunya aktivitas keagamaan atau ibadah kelompok- kelompok minoritas yang menjadi sasaran korban. Kedua, timbulnya kesulitan untuk mengakses tempat-tempat ibadah sebagai akibat aksi penyegelan, penutupan, pengrusakan dan pembakaran rumah-rumah ibadah. Ketiga, tindakan perusakan dan pembakaran rumah, harta benda lainnya di pemukiman suatu komunitas agama atau keyakinan maupun pengrusakan suatu kelompok usaha telah menimbulkan sebagian mereka kehilangan hak atas perumahan dan menderita kerugian hak milik. Keempat, tindakan pengeroyokan dan penganiayaan dalam peristiwa penyerangan telah berimplikasi pada rusaknya hak atas keutuhan pribadi right to personal integrity seperti menderita luka-luka dan kematian hak untuk hidup. Kelima, suatu komunitas agama atau keyakinan yang diusir atau dipaksa pindah dari pemukiman mereka, terpaksa harus hidup dalam pengungsian. Keenam, beberapa tindakan yang memaksa orang untuk pindah agama atau keyakinan merupakan pelanggaran serius. Ketujuh, dari serentetan aksi pemberangusan kemaksiatan telah mengakibatkan sebagian orang yang sedang bekerja mengalami kehilangan pekerjaan dan penghasilan. Kedelapan, tanpa perlindungan yang cukup, bukan saja menimbulkan ketakutan pada suatu kelompok agama atau keyakinan, namun juga kekhawatiran sebagian orang dalam mengekspresikan kebebasan berpendapat. Kesembilan, sangat terkesan bahwa kelompok- kelompok yang bertindak intoleran justru memperoleh otoritas atau kewenangan sebagai polisi moral Setara Institute, 2010:168-169. 64 organisasi. 94 AKKBB dibentuk oleh lembaga-lembaga yang memiliki perhatian terhadap kebebasan beragama. AKKBB melakukan advokasi terhadap individu dan kelompok yang menjadi korban pelanggaran kebebasan beragama. 95 AKKBB melakukan kampanye dan aksi kolektif anti kekerasan berbasis agama terutama menyangkut relasi mayoritas dan minoritas. Seiring dengan terjadinya intensitas pelanggaran kebebasan beragama terhadap jamaah Ahmadiyah dan pelanggaran kebebasan beragama lainnya yang mengemuka diruang publik, AKKBB melakukan aksi kolektif di Monumen Nasional bertepatan dengan momen hari kelahiran Pancasila 1 Juni 2008. Tetapi aksi kolektif yang ditujukan untuk menguatkan kesadaran keberagaman bangsa kemudian berakhir dengan insiden kekerasan. Ketika aksi kolektif damai 94 Wawancara dengan Ahmad Suaedy, Direktur Eksekutif The Wahid Institute 26 Maret 2012. 95 Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Jaringan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan terdiri atas 72 organisasi, yaitu, Indonesian Conference on Religion and Peace, National Integration Movement, The Wahid Institute, Kontras, LBH Jakarta, Jaringan Islam Kampus, Jaringan Islam Liberal, Lembaga Studi Agama dan Filsafat, Generasi Muda Antar Iman, Crisis Center Gereja Kristen Indonesia, Institut DIANInterfidei, Masyarakat Dialog Antar Agama,Komunitas Jatimulya, ILRC, eLSAM, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika, Lembaga Kajian Agama dan Jender, Pusaka Padang, Yayasan Tunas Muda Indonesia, Konferensi Waligereja Indonesia, Komunitas Utan Kayu, Anand Ashram, Gerakan Anti Diskriminasi Indonesia, Persekutuan Gereja- gereja Indonesia, Forum Mahasiswa Ciputat, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Gerakan Ahmadiyah Indonesia, Tim Pembela Kebebasan Beragama, El_Ai_Em Ambon, Yayasan Ahimsa Jakarta, Gedong Gandhi Ashram Bali, Koalisi Perempuan Indonesia, Dinamika Edukasi Dasar Jogjakarta, Forum Persaudaraan Antar-Umat Beriman Jogjakarta, Forum Suara Hati Kebersamaan Bangsa Surakarta, SHEEP Indonesia Jogjakarta, Forum Lintas Agama Jawa Timur Surabaya Lembaga Kajian Agama dan Sosial Surabaya, Adriani Poso, PRKP Poso, Komunitas Gereja Damai, Komunitas Gereja Sukapura, GAKTANA, Wahana Kebangsaan, Komunitas Penghayat, Forum Mahasiswa Syariah se-Indonesia NTB, Relawan untuk Demokrasi dan Hak Asasi Manusia Lombok, Forum Komunikasi Lintas Iman Gorontalo, Crisis Center SAG Manado, LK3 Banjarmasin, Forum Dialog Antar Kita Sulawesi Selatan Makassar, Jaringan Antar-iman se- Sulawesi, Forum Dialog Kalimantan Selatan Banjarmasin, PERCIK Salatiga, Sumatera Cultural Institut Medan, Muslim Institut Medan, PUSHAM UII Jogjakarta, Swabine Yasmine Flores-Ende, Komunitas Peradaban Aceh, Yayasan Jurnal Perempuan, AJI Damai Yogyakarta, LBH Padang, Lensa NTB, PP Fatayat NU, Kapal Perempuan, Aliansi Masyarakat Depok Cinta Damai, AKUR Bandung, AKUR NTB, IPTP, Rumah Indonesia, dan Gerakan Nurani Ibu. 65 dilangsungkan massa FPI yang kemudian diklarifikasi Munarman sebagai Laskar Komando Islam LKI menyerang partisipan AKKBB. 96 Hanya berselang 8 hari dari peristiwa di Monumen Nasional 1 Juni 2008, pemerintah atas nama ketertiban dan keamanan mengeluarkan Surat Keputusan Bersama SKB Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 Tahun 2008, No. KEP-033AJA62008, No. 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, danatau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia JAI dan Warga Masyarakat. 97 Wahid Institute SKB menandai ketundukan pemerintah atas tuntutan pembubaran Ahmadiyah yang dilakukan oleh organisasi Islam radikal. 98 SKB yang dikeluarkan oleh Tiga Menteri terbukti tidak mampu menyelesaikan masalah kekerasan terhadap jamaah Ahmadiyah. Pada 2008, terjadi 145 pelanggaran 96 Dalam perkembangannya, pemimpin FPI Rizieq Shihab dan pemimpin LKI Munarman divonis bersalah oleh pengadilan dan dihukum satu tahun enam bulan penjara. 97 Enam hal yang ditegaskan dalam SKB tersebut, yaitu; 1 Memberi peringatan dan memerintahkan semua warga negara untuk tidak menceritakan, menafsirkan suatu agama di Indonesia yang menyimpang sesuai Undang-Undang No. 1 PNPS 1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama, yaitu; 2 Memberi peringatan dan memerintahkan bagi seluruh penganut, pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia JAI agar menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran Agama Islam pada umumnya, seperti pengakuaan adanya Nabi setelah Nabi Muhammad SAW; 3 Memberi peringatan dan memerintahkan kepada anggota atau pengurus JAI yang tidak mengindahkan peringatan tersebut dapat dikenai saksi sesuai peraturan perundangan 4 Memberi peringatan dan memerintahkan semua warga negara menjaga dan memelihara kehidupan umat beragama dan tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum terhadap penganut JAI 5 Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah dapat dikenakan sanksi sesuai perundangan yang berlaku, dan 6 Memerintahkan aparat pemerintah dan pemerintah daerah agar melakukan langkah-langkah pembinaan dalam rangka pengamanan dan pengawasan pelaksanaan SKB ini. 98 The Wahid Institute, Laporan Tahunan The Wahid Institute 2008 Pluralisme Beragama Berkeyakinan di Indonesia: Menapaki Bangsa yang Kian Retak, h. 71. 66 kebebasan beragama pasca keluarnya SKB yang lebih tinggi dari sebelum SKB sejumlah 48 pelanggaran kebebasan beragama. 99 Suaedy menunjukan langkah lebih jauh dari diskursus dan aksi kolektif dengan mengarahkan gerakan kebebasan beragama Wahid Institute pada jalinan relasi dengan Forum Kerukunan Umat FKUB di beberapa daerah. 100 FKUB dibentuk berdasarkan Peraturan Bersama PBM Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006. PBM tersebut menjelaskan tentang tugas kepala daerah untuk menjaga kerukunan beragama di wilayahnya, dan pembentukan suatu FKUB yang diharapkan menjadi bagian penting dalam usaha penciptaan kerukunan beragama di setiap propinsi dan kota atau kabupaten dalam kerangka peran menghormati, memenuhi, dan melindungi kebebasan beragama. Inisiatif pembentukan FKUB dilakukan oleh pemerintah di tingkat provinsi dan kabupaten atau kota. FKUB telah berdiri hampir di semua daerah tingkat Propinsi dan tingkat Kabupaten. Beberapa terbentuk setelah PBM diterbitkan tetapi banyak di antaranya adalah kelanjutan dari lembaga-lembaga yang sudah ada sebelumnya yang disebut dengan berbagai nama seperti FKAUB, BKSUA, FKAUMA, dan lainnya. Dalam struktur FKUB yang ditetapkan PBM, posisi dewan penasehat diisi wakil-wakil pemerintah. Secara umum, keanggotaan dalam FKUB dibatasi pada jumlah 21 untuk tingkat propinsi dan 17 untuk tingkat kabupaten, yang ditentukan secara proporsional dengan penganut agama di 99 Setara Institute, Negara Menyangkal: Kondisi Kebebasan Beragama Berkeyakinan di Indonesia 2010 Jakarta: Setara Institute, 2011, h. 78. 100 Wawancara dengan Ahmad Suaedy, Direktur Eksekutif The Wahid Institute 26 Maret 2012. 67 wilayah terkait. PBM hanya menyebut pemuka-pemuka agama setempat sebagai anggota FKUB, perinciannya disebut oleh Peraturan Gubernur. 101 FKUB ternyata tidak dihadapkan hanya dengan hubungan antar-agama sebagai mandat utamanya, namun juga intra-agama. Tugas pokok FKUB, yang dijabarkan secara terinci dalam satu bab khusus menyangkut pendirian rumah ibadah. Pada akhirnya, keberhasilan atau kegagalan FKUB tampaknya salah satunya akan diukur dari penanganannya atas masalah paling krusial ini. Tetapi seperti dijelaskan Suaedy, FKUB berada dalam kerentanannya terjadinya benturan dengan kepentingan politik karena pertimbangan FKUB tentang isu kerukunan hidup beragama rentan diintervensi untuk kepentingan politik pemerintah yang cenderung berorientasi pada kepentingan mayoritas dan merugikan minoritas. 102 Suaedy menjelaskan peran strategis yang dimiliki FKUB dalam dinamika kebebasan beragama mendorong Wahid Institute menjalin relasi dengan FKUB dengan mengadakan workshop penguatan kapasitas anggota FKUB. 103 workshop penguatan kapasitas FKUB oleh Wahid Institute dan mitra kerjanya ditekankan pada aspek wawasan Islam, toleransi beragama, dan wawasan kebangsaan. Workshop juga ditekankan pada wawasan ratifikasi sejumlah kovenan internasional yang menjadi instrumen pengaturan kebebasan beragama. Situasi toleransi kebebasan beragama di tingkat lokal juga menjadi bagian materi 101 Secara umum tampaknya diasumsikan bahwa majelis-majelis agama nasional mewakili masyarakat: Islam oleh MUI, Katolik oleh Konferensi Waligereja Indonesia KWI, Kristen oleh Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia PGI, Hindu oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia PHDI, Buddha oleh Perwalian Umat Buddha Indonesia Walubi, dan di beberapa tempat, Khonghucu oleh Majelis Tinggi Agama Konghuchu Indonesia Matakin. 102 Wawancara dengan Ahmad Suaedy, Direktur Eksekutif The Wahid Insstitute 29 Maret 2012. 103 Wawancara dengan Ahmad Suaedy, Direktur Eksekutif The Wahid Insstitute 29 Maret 2012. 68 workshop penguatan kapasitas FKUB untuk kemudian merumuskan rekomendasi atas sejumlah permasalahan terkait kebebasan beragama maupun mengantisipasi kerentanan konflik yang mengarah pada ketegangan bahkan kekerasan berbasis agama. Workshop penguatan kapasitas anggota FKUB yang diselenggarakan Wahid Institute dan mitra kerjanya meliputi tiga aktifitas utama, yaitu, presentasi, dialog, dan focus group discussed. Agenda penguatan kapasitas FKUB oleh Wahid Institute dan Fahmina Institute di Cirebon dilaksanakan pada Desember 2008, sedangkan di Palembang pada 24-26 Oktober 2009 merupakan jalinan kerja sama Wahid Institute dan LKHI Palembang, dan workshop di Jakarta dilaksanakan pada 26-27 Maret 2012. Ketika implikasi lebih jauh dari doktrin anutan organisasi Islam radikal mengarah pada pelanggaran kebebasan beragama. Secara garis besar, sasaran korban intoleransi organisasi Islam radikal tertuju pada tiga komunitas. Pertama, komunitas minoritas Kristen atau Nasrani sebagai implikasi dari doktrin memberangus pemurtadan. Kedua, mereka yang diprasangkakan sebagai penganut aliran sesat atau menyimpang dari ajaran Islam. Ketiga, pihak-pihak yang mengelola tempat hiburan, pelaku perjudian, serta prostitusi. Seiring dengan itu, dalam banyak pelanggaran kebebasan beragama juga menunjukan kecenderungan silent majority, yaitu, sikap memilih diam dari sebagian besar masyarakat yang belum teridentifikasi keberpihakannya–dan masyarakat yang rentan, yaitu, kondisi sosial yang tidak memiliki resistensi atas berbagai doktrin dan rangsangan sosial karena keterbatasan pilihan yang dimilikinya yang terjadi oleh berbagai sebab 69 sosial, ekonomi, politik, hukum, dan ketidakpercayaannya pada institusi negara maupun pranata sosial di sekitarnya–telah turut berkontribusi bagi terjadinya pelanggaran kebebasan beragama. 104 Seiring dengan keadaan demikian, Suaedy menjelaskan usaha Wahid Institute dalam penciptaan kehidupan beragama yang toleran kemudian mengarah pada inisiatif untuk menjalin relasi dialog. 105 Dialog dijalankan dalam kerangka memberikan pemahaman mengenai Islam damai terhadap pemeluk agama lain dan mengukuhkan kesadaran pluralisme diantara umat beragama sebagai sebuah kenyataan sosial yang mutlak harus terjaga dalam kerangka keutuhan bangsa. Jalinan ini kemudian didorong untuk menumbuhkan pola pikir dan sikap kritis terhadap sejumlah regulasi yang berada dalam kerentanan memicu terjadinya pelanggaran kebebasan beragama. Bekerjasama dengan Gereja Kristen Indonesia GKI Jawa Timur Wahid Institute menggelar Workshop Islam dan Pluralisme pada 5-8 November 2007, bertempat di Mojokerto, Jawa Timur dan pada September 2006 di Jakarta yang diikuti para pendeta, teolog, calon pendeta, akademisi, maupun praktisi advokasi kebebasan beragama. Sedangkan kerjasama Wahid Institute dengan kedutaan besar Inggris menyelenggarakan dialog kebebasan beragama pada 4 November 2008 di Magelang jawa Tengah. Kegiatan serupa juga dilakukan pada 10 November 2011 di Bandung. 104 Setara Institute, Negara Harus Bersikap: Realitas Legal Diskriminatif dan Impunitas Praktik Persekusi Masyarakat atas Kebebasan BeragamaBerkeyakinan Jakarta: Setara Institute, 2010, h. 81. 105 Wawancara dengan Ahmad Suaedy, Direktur Eksekutif The Wahid Institute 26 Maret 2012. 70 Ketika diskursus dan advokasi kebebasan beragama dianggap belum berhasil mengubah cara pandang masyarakat terhadap keberagaman, Wahid Institute terkait memandang peran strategis pemuka agama lokal dalam dinamika kehidupan beragama. Terlebih dalam banyak ketegangan bahkan kekerasan terkait perbedaan pandangan keagamaan, pemuka agama lokal menempati subyeknya sebagai pemicu terjadinya ketegangan bahkan kekerasan berbasis agama. Pengutan kapasitas pemuka agama lokal Wahid Institute, seperti penjelasan Suaedy, dijalankan dalam kerangka membasiskan kesadaran para pemimpin agama tentang pentingnya penghormatan kebebasan beragama dan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan pemuka agama baik pada tingkat diskursus maupun aksi dalam pemajuan pemahaman kebebasan beragama masyarakat serta merumuskan strategi dan metode pelibatan para pemimpin agama dalam advokasi kebebasan beragama. 106 Untuk itu Wahid Insitute menjalankan usaha penguatan kapsitas pemuka agama lokal. Agenda tersebut dijalankan Wahid Institute di Jakarta pada 24-25 September 2008. Di Kebumen pada 25-27 Desember 2008. Di Jombang pada 4 - 6 Februari 2009. Di Tangerang pada 26-28 Februari 2009. Dan di Makassar pada 18-20 Maret 2009. Gerakan kebebasan beragama Wahid Institute mengarah pada penguatan peran lebih besar dari beragam eksponen civil society. Suaedy menjelaskan kerja sama Wahid Institute dengan The Asia Foundation dan TIFA Foundation dalam peran penguatan kapasitas gerakan kebebasan beragama dalam konteks 106 Wawancara dengan Ahmad Suaedy, Direktur Eksekutif The Wahid Institute 26 Maret 2012. 71 pemantauan dan advokasi kebebasan beragama terutama untuk jaringan Wahid Institute diberbagai daerah. 107 Workshop monitoring dan advokasi kebebasan beragama bertujuan untuk, mengkoordinasikan kegiatan pemantauan advokasi terkait regulasi dan kinerja aparatur negara terkait implementasi kebebasan beragama, penyusunan agenda dan strategi pemantauan dan advokasi yang efektif dan penguatan jaringan dalam rangka diseminasi pluralisme. Pada 24-27 Februari 2006, sebanyak tiga belas perwakilan lembaga swadaya masyarakat dari delapan daerah di Indonesia mengikuti pelatihan advokasi paralegal Wahid Institute, yaitu, DIKTI Muhammadiyah Aceh, Rabitah Taliban Aceh, Fahmina Institute, al-Masturiyah, Majalah Syir’ah, Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah, PP Fatayat Nahdlatul Ulama, LABDA, LKIS, PUSPEK Averroes, LAKPESDAM Nahdlatul Ulama Surabaya, LAPAR, dan LKPMP Makassar. Pada 30 Oktober–3 November 2007 dilaksanakan di Bogor, pada 4-6 Agustus 2008 di Banjarmasin Kalimantan Selatan, pada 17 - 19 Juni 2010 di Yogyakarta, dan pada 23-24 Mei 2011 di Palembang, diikuti antara lain, INCRES Jawa Barat, Seroja Jakarta, ELSA Semarang, CMARS Surabaya, Averroes Malang, LAPAR Makassar, Nahdlatul Ulama Ambon, Lensa NTB, LK3 Banjarmasin, Setara Institute, Paramadina, PPIM UIN Jakarta.

E. The Wahid Institute: Menyemai Keberagaman Menyemai Islam Damai