26
membentuk struktur mobilisasi yang kemudian disebut organisasi gerakan sosial.
32
3. Perspektif Pembingkaian Aksi Kolektif Collective Action Frames
Para teoritisi gerakan sosial memperkenalkan perspektif pembingkaian aksi kolektif untuk menjelaskam mentransformasikan mobilisasi potensial ke dalam
mobilisasi aktual dalam upaya menyakinkan kelompok sasaran yang beragam dan
luas sehingga mereka terdorong mendesakan perubahan. Klandermans, dikutip
Muhtadi, menjelaskan mobilisasi aksi berhubungan dengan persoalan psikologi sosial klasik mengenai hubungan antara sikap dan perilaku.
33
Perspektif pembingkaian aksi kolektif dapat dijelaskan sebagai konstruksi budaya sebagai
sistem kesadaran kolektif yang mengandung makna-makna yang menjadi kekuatan legitimasi dan motivasi bagi lahirnya tindakan-tindakan kolektif.
Snow dan Benford menjelaskan tiga aspek pembingkaian aksi kolektif gerakan sosial. Pertama, framing diagnostic, berupa identifikasi masalah dan
penanggungjawab serta target kesalahan atau penyebabnya. Kedua, framing prognostic, berupa artikulasi solusi yang ditawarkan bagi permasalahan-
permasalajan tersebut serta identifikasi strategi, taktik dan target gerakan sosial. Ketiga, pembingkaian motivasi yaitu elaborasi panggilan untuk bergerak atau
penjelasan mengenai aksi yang melampaui diagnosis dan prognosis.
34
32
John D McCarthy, “Constrain and Opportunities in Adopting, Adapting, and Inventing”, h. 141.
33
Burhanuddin Muhtadi, Diskusi Agama dan Sekularisme di Ruang Publik; Pengalaman Indonesia: Demokrasi Zonder Toleransi: Potret Islam Pasca Orde Baru, h. 4.
34
David A Snow dan Robert D Benford, “Ideology, Frame Resonance and Participant Mobilization”, International Social Movement Research 1 1988, h. 197–217.
27
Klandermans, dikutip Muhtadi, menjelaskan perspektif psikologi gerakan sosial meliputi tiga hal, yaitu, perasaan tidak adil atas perlakuan terhadap suatu
kelompok partisipan, identitas kelompok yang mendefinisikan partisipan gerakan sosial sebagai korban ketidakadilan oleh kelompok sosial lain, rezim, dan
agensi.
35
Keadaan demikian disebutnya deprivasi relatif yang berkaitan dengan persepsi tentang adanya nilai-nilai prinsip dalam suatu masyarakat yang dilanggar
atau tidak ditegakkan oleh pihak berwenang. Namun demikian, penjelasan mengenai deprivasi relatif saja tidak cukup
menjadikan seseorang partisipan gerakan sosial. Agensi menjadi krusial untuk memfasilitasi perasaan deprivatif itu, terutama berkaitan dengan efikasi politik.
Klandermans, dikutip Muhtadi, menjelaskan efikasi sebagai perasaan individu bahwa terlibat dalam gerakan bersama dengan anggota yang lain dapat merubah
keadaan menjadi lebih baik, juga persepsi bahwa orang lain akan ikut serta dan persepsi bahwa gerakan itu kemungkinan akan sukses.
36
[]
35
Burhanuddin Muhtadi, Diskusi Agama dan Sekularisme di Ruang Publik; Pengalaman Indonesia: Demokrasi Zonder Toleransi: Potret Islam Pasca Orde Baru, h. 5-6.
36
Ibid., h. 6.
28
Bab III Profil The Wahid Institute