9
rentang 1984-2009 kemudian menjadi presiden pasca pemerintahan transisi BJ. Habibie.
Ketika intensitas tinggi pelanggaran kebebasan beragama mengemuka, gerakan konstituensi kebebasan beragama juga menunjukan kecenderungan
menguat. Dalam konteks penguatan kecenderungan penguatan gerakan konstituensi kebebasan beragama tersebut salah satunya menandai peran Wahid
Institute. Beragam usaha yang dijalankan Wahid Institute diletakan dalam kerangka gerakan sosial yang secara konseptual dijelaskan Turner dan Killian
sebagai suatu tindakan kolektif berkelanjutan untuk mendorong atau menghambat perubahan dalam masyarakat atau organisasi yang menjadi bagian dari masyarakat
itu.
13
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Penegasan konstitusi, perundangan-undangan dan ratifikasi kovenan internasional instrumen pokok yang mengatur kebebasan beragama tidak menjadikan
implementasi kebebasan beragama menjadi lebih mudah. Seiring dengan itu, gerakan konstituensi kebebasan beragama menunjukan kecenderungan menguat.
Penelitian ini membatasi permasalahan pada beragam usaha yang dijalankan Wahid Institute sebagai bagian kecenderungan penguatan gerakan konstituensi
kebebasan beragama di Indonesia. Dari batasan masalah demikian, penelitian ini merumuskan tiga masalah
yaitu:
13
Ibid., h. 158.
10
1. Bagaimana struktur kesempatan politik pada kemunculan dan perkembangan Wahid Institute?
2. Bagaimana sumber daya mobilisasi gerakan kebebasan beragama Wahid Institute?
3. Bagaimana pembingkaian aksi kolektif gerakan kebebasan beragama Wahid Institute?
C. Tujuan Penelitian
Dengan demikian penelitian ini mengarah pada tiga tujuan, yaitu: 1. Untuk mengetahui struktur kesempatan politik pada kemunculan dan
perkembangan Wahid Institute. 2. Untuk menggambarkan sumber daya mobilisasi gerakan kebebasan beragama
Wahid Institute. 3. Untuk memahami pembingkaian aksi kolektif gerakan kebebasan beragama
Wahid Institute.
D. Mamfaat penelitian
Penelitian ini didorong untuk menjadi bagian pengayaan literatur studi-studi gerakan sosial di Indonesia. Sedangkan secara praktis, penelitian ini didorong
untuk dapat menjadi bagian dalam usaha mewujudkan kebebasan beragama. Hal ini terutama bagi institusi dan aparatur negara yang terkait dengan implementasi
kebebasan beragama maupun beragam civil society penggiat gerakan kebebasan beragama.
11
E. Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai kebebasan beragama telah cukup berlimpah. Penelitian mengenai kebebasan beragama diantaranya terfokus pada korban pelanggaran
kebebasan beragama, pelaku pelanggaran kebebasan beragama, dan lainnya terfokus pada gerakan kebebasan beragama dan dialog antar umat beragama.
Penelitian tersebut telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi pengayaan literatur teoritis dan metodologis bagi penelitian ini.
Pada 2010 Setara Institute melakukan penelitian Atas Nama Ketertiban dan Keamanan: Persekusi Ahmadiyah di Bogor, Garut, Tasikmalaya, dan
Kuningan. Penelitian Setara Institute ini seiring diskriminasi, intoleransi dan bahkan kekerasan terhadap jamaah Ahmadiyah oleh beragam organisasi Islam
radikal di wilayah tersebut. Selain menjadi isu yang populis, pembelaan terhadap Islam sangat potensial mendapat pembenaran dan dukungan publik luas.
Kelompok Islam garis keras telah memilih isu penolakan berkelanjutan terhadap Ahmadiyah sebagai salah satu agenda politik untuk kepentingan organisasi ini.
Penelitian ini dilakukan terhadap jemaat Ahmadiyah di wilayah penelitian dengan melakukan riset lapangan, dan wawancara.
Setara institute menunjukan jamaah Ahmadiyah di wilayah penelitian mengalami persekusi, yaitu, tindakan penganiayaan sistematis dalam berbagai
bentuknya yang dilakukan oleh individu atau kelompok terhadap kelompok lainnya. Rangkaian peristiwa yang menimpa jamaah Ahmadiyah menunjukan
keberulangan dan sistematis melibatkan organisasi Islam radikal, didukung oleh organisasi korporatis negara MUI, dan dilegitimasi oleh pemerintah dan
pemerintah daerah melalui kebijakan yang diskriminitaif dan intoleran. Setara
12
Institute juga menunjukan Surat Keputusan Bersama SKB Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 Tahun 2008,
No. KEP-033AJA62008, No. 199 Tahun 2008 Tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, danatau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah
Indonesia JAI dan Warga Masyarakat pada kenyataannya juga gagal melindungi kebebasan beragama jamaah Ahmadiyah.
Pada tahun yang sama Setara Institute melakukan penelitian lainnya, Wajah Para ‘Pembela’ Islam: Radikalisme Agama dan Implikasinya Terhadap
Kebebasan BeragmaBerkeyakinan. Penelitian Setara Institute ini seiring dinamika kebebasan beragama di Indonesia dalam rentang 2007-2009 yang
ditandai relasi intensitas tinggi pelanggaran kebebasan beragama dengan perkembangan beragam organisasi Islam radikal di Jakarta dan Jawa Barat.
Penelitian ini memadukan pendekatan kualitatif dengan melakukan riset, wawancara dan focused group discussion dengan organisasi Islam radikal dan
pegiat hak asasi manusia dan demokrasi di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi, Cirebon, Tasikmalaya, Garut, dan Cianjur dan pendekatan kuantitatif
survey opini publik. Setara Institute menunjukan implikasi anutan doktrin organisasi Islam
radikal dalam sejumlah sikap dan perilaku intoleran dan diskriminasi. Perkembangan organisasi Islam radikal seiring kondisi sosial yang intoleran dan
kegagalan negara dalam melakukan pencegahan untuk melindungi kelompok lain dan pembiarannya terhadap berbagai pelanggaran kebebasan beragama menjadi
lapangan terbuka bagi terjadinya pelanggaran kebebasan beragama. Dukungan elite politik ditingkat nasional dan lokal terhadap organisasi Islam radikal dan
13
bangunan jejaring politik antar keduanya menjadikan organisasi ini semakin mendapat dukungan publik yang luas terlebih dalam kondisi intoleransi
masyarakat yang terus mengalami radikalisasi pelanggaran kebebasan beragama berada dalam kerentanan untuk terulang.
Konsorsium untuk Kebebasan Sipil menulis Gerakan Kebebasan Sipil: Studi dan Advokasi Kritis Atas Perda Syari`ah yang merupakan upaya mengkritisi
berbagai peraturan daerah bernuansa syariah dan melakukan advokasi perubahannya. Penelitian ini terfokus pada gerakan yang dilakukan sejak
November 2006 hingga Oktober 2008, Konsorsium untuk Kebebasan Sipil, yang terdiri dari beberapa lembaga di Jakarta, yaitu, Freedom Institute, Lembaga Survei
Indonesia LSI, The Indonesia Institute TII, dan Jaringan Islam Liberal JIL, dan individu-individu penggiat penegakan hak-hak sipil. Konsorsium ini
menyelenggarakan sejumlah kegiatan mencakup studi kepustakaan, survei opini elite, wawancara radio, lokakarya dengan masyarakat sipil, dan dengar pendapat
dengan para elite politik di daerah. Gerakan ini dimulai dengan dua kali survei opini elite politik yang
dilakukan pada Mei 2007 dan Juni-Juli 2008 di beberapa wilayah, yaitu, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Banjar Baru,
Kabupaten Bulukumba, Kabupaten Jember, Kota Padang, Kota Tangerang , Kota Bekasi, dan Kota Bogor. Sembilan daerah tersebut, kecuali Kota Bekasi dan Kota
Bogor, menerbitkan peraturan daerah bernuansa syariah. Gerakan kemudian mengarah pada kegiatan advokasi melalui lokakarya dengan masyarakat sipil dan
dengar-pendapat dengan elite politik yang daerahnya memberlakukan peraturan
14
daerah berdasarkan syariah. Survei opini elite politik dan advokasi kebebasan sipil ditambah dengan liputan media massa yang dijalankan Konsorsium untuk
Kebebasan Sipil digerakan menjadi agen sosialisasi dan advokasi kebebasan sipil seiring terbitnya banyak peraturan daerah berdasarkan syariah.
Tesis Master of Arts Program Studi Agama dan lintas Budaya Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yance Zadrak Rumahuru pada 2005
berjudul Peace and Dialogue: Kajian Sosiologi terhadap Dialog dan Inisiatif Damai di Ambon 1999 – 2004. Tesis terfokus pada tema besar dialog dan
perdamaian peace and dialogue dalam konteks komunitas-komunitas sosial umat beragama di Ambon. Penelitian ini dilakukan di Ambon, dengan
mengambil fokus pada dua lokasi masing-masing, Negeri Batumerah negeri Islam di kecamatan Sirimau dan Negeri Passo negeri Kristen di kecamatan
Teluk Ambon Baguala di kota Ambon yang merupakan salah satu tempat di mana terjadi pemusatan pertikaian di Ambon 1999-2002. Data yang diperoleh melalui
kuesioner yang terdiri dari beberapa pertanyaan dengan pilihan jawaban tertentu dan terbuka. Kedua, melakukan focus group discussion, dengan kelompok-
kelompok masyarakat setempat. Ketiga, melakukan wawancara mendalam dengan empat belas informan pada kedua negeri.
Penelitian dilakukan di Passo dan Batumerah yang memiliki tingkat kemajemukan yang cukup tinggi, terutama dari latar belakang etnis tetapi secara
kultural memiliki kesamaan budaya dan adat istiadat menemukan bahwa pemerintah maupun kelompok-kelompok masyarakat sama-sama menggunakan
pendekatan struktural dan kultural dalam upaya penghentian dan penyelesaian
15
pertikaian sebagai prasyarat untuk membangun rekonsiliasi dan rehabilitasi di Maluku. Namun demikian, terdapat penilaian oleh komunitas setempat bahwa
pemerintah lebih cenderung menggunakan pendekatan yang sifatnya stuktural. Berbeda dengan pemerintah, umumnya kelompok-kelompok masyarakat
melakukan dialog dan inisiatif damai melalui pendekatan dari bawah dan menggunakan kearifan atau kebanggaan-kebanggaan lokal setempat yang dalam
tesis ini disebut dengan pendekatan kultural. Tesis Master of Arts Program Studi Agama dan lintas Budaya Sekolah
Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Siti Sarah Muwahidah pada 2007 berjudul Dialog Antariman di Tingkat Akar Rumput: Sebuah Studi Kasus tentang
Program-Program Pemberdayaan Dialog Antariman di Jawa Timur merupakan riset lapangan di sebuah dusun kecil di Jawa Timur, Banyu Urip. Peneliti merujuk
Swidler yang menjelaskan program antariman tidak bisa hanya dilaksanakan oleh kaum akademisi dan elite agama juga Knitter yang menjelaskan kerjasama
antariman di level akar rumput niscaya akan memunculkan dialog antariman. Tesis ini meneliti upaya pemberdayaan antariman yang dimulai oleh sekelompok
aktivis Katolik pada 1997 terhadap warga Banyu Urip yang mengalami tekanan secara ekonomi dan politik dan tekanan untuk memilih salah satu dari lima agama
yang diakui pemerintah karena tradisi Kejawen telah dibatasi. Temuan umum peneliti adalah dalam masyarakat yang miskin
pengetahuan agama yang mereka anut, dialog tentang agama yang muncul menjadi berbeda dengan apa yang telah dideskripsikan Knitter. Sebuah dialog
liberatif menjadi penting untuk mengatasi ketertekanan yang dialami warga dan
16
membentuk suatu forum yang dapat menjadi kontrol atas dusun dan kepentingan bersama serta memperkuat hubungan antaragama di antara mereka. Pemberdayaan
antariman telah mendorong warga Banyu Urip memperoleh klaim kepemilikan tanah yang menjadi common ground warga Banyu Urip.
F. Metodologi Penelitian