Keterbukaan Ruang Publik dan Kemunculan The Wahid Institute

37

Bab IV Gerakan Kebebasan Beragama The Wahid Institute

A. Keterbukaan Ruang Publik dan Kemunculan The Wahid Institute

Abdurrahman Wahid yang kelak mendirikan Wahid Institute dikenal publik luas sebagai intelektual Muslim terkemuka yang memiliki latar keluarga yang sangat dihormati di kalangan Muslim tradisional. Wahid adalah cucu pendiri utama Nahdlatul Ulama, Hasjim Asjari, dan anak intelektual-ulama terkemuka Nahdlatul Ulama yang juga pernah menjadi Menteri Agama pada masa Orde Lama, Wahid Hasjim. Tidak hanya dikenal sebagai intelektual Muslim terkemuka, Wahid juga dikenal publik karena keterlibatannya dalam aktivisme civil society dan politik praksis. Namun demikian, keterlibatan Wahid dalam aktivisme praksis dipandang tidak mereduksi intelektualitasnya sebagai pemikir independen, tetapi justru memperkuat kematangan aktivisme praksis Wahid. Wahid tidak hanya menguasai literatur Islam tetapi juga literatur Barat. Hal ini salah satunya karena latar pendidikan Wahid yang setelah belajar dibeberapa pesantren tradisional, Wahid muda melanjutkan belajar di Universitas al-Azhar, Mesir dan Universitas Baghdad, Irak serta visitasi dibeberapa universitas Eropa dan Amerika. Setelah delapan tahun belajar di Timur Tengah, Eropa, dan Amerika, pada 1971 Wahid kembali ke Jombang yang merupakan basis kaum Muslim tradisional terutama Nahdlatul Ulama. Wahid segera berhadapan dengan dua tantangan besar dikalangan Nahdlatul Ulama, yaitu, 38 tantangan modernisasi yang dijalankan rezim developmentalisme-represif Orde Baru dan ketegangan keduanya terutama setelah Nahdlatul Ulama meraih hasil cukup signifikan pada pemilihan umum 1971. Pada permulaan kenaikannya, Orde Baru memulai upaya-upaya pemulihan ekonomi untuk mengalihkan perhatian rakyat dari politik. Pemerintah Orde Baru mengubah wawasan nasional dari politik-sebagai-panglima Orde Lama, menjadi ekonomi-sebagai-panglima Orde Baru. Dalam perkembangannya, ruang publik yang sangat dibatasi tidak hanya menjadikan masyarakat tidak dapat mengembangkan gagasan dan praktik politik selain dari apa yang telah didiktekan oleh negara bahkan menghadapi konfrontasi negara. Pada tahap ini politik menjadi wilayah yang harus dihindari. Watak rezim Orde Baru digambarkan Benedict Anderson, seperti dikutip Latif, sebagai rezim yang telah begitu jauh dari suara nurani rakyat dan tidak memberika ruang umpan-balik dalam persoalan- persoalan kebijakan dan tidak peka dengan kebutuhan-kebutuhan publik sebagai sebuah negara yang kuat, monolitik, dan memiliki tujuannya sendiri atau negara- demi-dirinya sendiri. 47 Rezim Orde Baru kemudian menggunakan beragam cara represif untuk mengekang kebebasan berbicara, berkumpul, dan kritik intelektual di ruang publik karena dianggap dapat menjadi ancaman-ancaman serius bagi pembangunan ekonomi dan stabilitas politik yang dijalankan. Hampir sepanjang pemerintahannya, penekanan pada pentingnya pembangunan ekonomi dan stabilitas politik berimplikasi besar pada demoralisasi gerakan Muslim yang oleh 47 Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke- 20 Bandung: Mizan, 2005 h. 455. 39 pemerintahan Orde Baru dianggap turut bertanggung jawab besar atas kekacauan ekonomi dan politik pada masa Orde Lama. 48 Wahid merupakan salah satu eksponen terpenting gerakan pembaruan Islam dalam upaya-upaya rekonsiliasi Islam dan negara ini kemudian dikenal dengan. Ketika keretakan hubungan Islam dan negara sangat terkait erat dengan dimensi-dimensi teologis dan filosofis politik Muslim yang mempengaruhi pembentukan gagasan dan gerakan Muslim Orde Baru. Wahid menjalankan upaya-upaya memperbaiki keretakan hubungan ini turut mempengaruhi kemunculan intelektualisme Islam baru ketika itu. Wahid mengembangkan sebuah format baru hubungan Islam dan negara di mana substansi, bukan bentuk, yang menjadi orientasi terpenting gagasan dan gerakan Muslim. 49 48 Latif 2005:573 menunjukan respons terbelah gerakan Muslim kontrol atas kebebasan dan partisipasi politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru. Pertama, respons untuk tidak kooperatif terhadap pemerintah Orde Baru yang ditandai sikap kritis terhadap ortodoksi negara Orde Baru. Terhadap pendukung respons tidak kooperatif ini, rezim developmentalisme-represif selanjutnya menghalangi peran politik mereka dan menyingkirkan figur-figur gerakan ini secara sosio-politik. Besarnya tekanan pemerintahan Orde Baru terhadap pendukung respons ini kemudian menggeser orientasi gerakan politik ke gerakan pendidikan dan dakwah yang menjadi fondasi bagi pembentukan solidaritas dan identitas kolektif. Ruang publik yang tidak cukup kondusif untuk gerak perkembangannya, gerakan dakwah menemukan pilihan mobilisasi tindakan kolektif baru yang berbasis di masjid universitas, terutama masjid universitas-universitas sekuler. Kedua, respons kooperatif terhadap pemerintahan Orde baru yang ditunjukkan dengan kecenderungan akomodisionis terhadap rezim developmentalisme-represif Orde Baru. Bagi pendukung respons ini, keretakan hubungan Islam dan negara sangat terkait erat dengan dimensi- dimensi teologis dan filosofis politik Muslim yang mempengaruhi pembentukan gagasan dan gerakan Muslim. Upaya-upaya memperbaiki keretakan hubungan negara dan agama telah turut mempengaruhi kemunculan intelektualisme Islam baru yang mengembangkan sebuah format baru hubungan Islam dan Negara di mana substansi, bukan bentuk, yang menjadi orientasi terpenting. Upaya-upaya rekonsiliasi Islam dan negara ini kemudian dikenal dengan gerakan pembaruan Islam. 49 Intelektualisme Wahid juga dipengaruhi pergaulannya dengan beragam komunitas, terutama intelektual pembaruan di Jakarta. Sejak 1970-an, Wahid telah menjalin hubungan Tawang Alun, Dawam Rahardjo, dan Adi Sasono yang merupakan intelektual Himpunan Mahasiswa Islam yang juga menggerakan lembaga swadaya masyarakat. Wahid diminta untuk mengambil bagian dalam proyek pengembangan masyarakat pesantren yang dirancang dua lembaga swadaya terkemuka ketika itu, yaitu, Lembaga, Penelitian, Pendidikan, Penerangan Ekonomi dan Sosial LP3ES, berdiri 1971 dan Perkumpulan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat P3M, berdiri 1983. Wahid juga diundang untuk bergabung dengan lingkaran intelektual pembaruan Lembaga 40 Komitmen Wahid yang besar terhadap pluralisme, kepentingan nasional, dan demokrasi tidak dapat dilepaskan dari kepentingan politik. Komitmen besar membela kepentingan kaum Muslim tradisionalis, mendorong Wahid membela kepentingan meredakan ketegangan dengan rezim Orde Baru melalui peran besarnya dalam penerimaan Nahdlatul Ulama terhadap Pancasila sebagai asas tunggal. Begitu pula ketika kebijakan pemerintah untuk melakukan fusi partai- partai politik Islam yang ada, termasuk Nahdlatul Ulama, dalam Partai Persatuan Pembangunan PPP pada 1973 dalam perkembangannya memarjinalisasi keberadaan Nahdlatul Ulama selain perkembangan wacana agama dan transformasi sosial dan ekonomi telah mendorong terjadinya perubahan sosial dan pemikiran dalam Nahdlatul Ulama. Seperti yang dijelaskan van Bruinessen, konflik-konflik kepentingan agama, politik, dan ekonomi menjadi praktik-praktik di luar wacana kembali ke khittah yang justru banyak berpengaruh pada pembentukan wacana tersebut. 50 Muktamar 1984 di Situbondo kemudian memutuskan Nahdlatul Ulama menarik diri sepenuhnya dari PPP dan kembali ke khittah dengan memilih Siddiq sebagai Rais Am Syuriah dan Wahid sebagai Ketua Tanfidziyah. Kembali ke khittah, seperti ditunjukan Hikam, telah menjadi strategi untuk memperluas Kebajikan Islam Samanhudi LKIS, berdiri 1974 yang mengembangkan pembangunan alternatif dan penelitian Islam bersama Nurcholish Madjid, Dawam Rahardjo, Utomo Dananjaya, AM Fatwa, Fahmi Saefuddin, Abdullah Sjarwani dan forum diskusi plural Majelis Reboan berdiri 1984. Hal ini mengarah pada perumusan pada pribumisasi Islam yang kemudian menjadi paradigma Islam Wahid. Melalui paradigma pribumisasi Islam Wahid kaum Muslim tradisionalis memiliki argumen-argumen intelektual dalam praktik historis keagamaannya yang sangat penting dalam merespons kritik terutama dari pembaru-modernis sekaligus menjadi argumen baru peletakan kepentingan Islam dibawah kepentingan nasional. 50 Martin van Bruinessen, “Konjungtur Sosial Politik di Jagat NU Pasca Khittah: Pergulatan NU Dekade 1990-an”, dalam Ellyasa KH Dharwis, ed., Gus Dur, NU, dan Masyarakat Sipil Yogyakarta: LKIS, 1994, h. 61-88. 41 kembali ruang politik negara otoritarian Orde Baru yang semakin menyempit. Dalam perkembangannya, menarik diri sepenuhnya dari perpolitikan partai dan berkonsentrasi pada permasalahan sosial dan budaya masyarakat, Nahdlatul Ulama tumbuh menjadi kekuatan dalam civil society yang menandingi pemerintahan Orde Baru. 51 Dalam kepemimpinan Wahid pada rentang 1984-1999 hubungan Wahid dan Nahdlatul Ulama dengan rezim Orde Baru ditandai hubungan rapat-renggang. Posisinya sebagai intelektual mendorong Wahid untuk terlibat dalam kampanye mengenai pluralisme, demokrasi dan hak asasi manusia bersama aktivis-aktivis lembaga swadaya masyarakat yang sering menunjukan kecenderungan berbeda bahkan berlawanan dengan pemerintah Orde Baru. Wahid menjadi oposisi penting merespons pendirian Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia ICMI yang merupakan bagian akomodasionisme Orde Baru terhadap politik Muslim ketika itu. Didorong komitmennya pada pluralitas dan kecemasan terpinggirnya kepentingan Muslim tradisional yang selama ini dibelanya Wahid menjadi salah satu oposisi terpenting atas kemunculan dan perkembangan ICMI. 52 Keadaan tidak mengalami banyak perubahan sampai krisis ekonomi pada akhir dekade 1990-an yang bergerak meluas pada krisis sosial dan politik. 51 Muhammad AS Hikam, “Khittah dan Penguatan Civil Society di Indonesia: Sebuah Kajian Historis Struktural Atas Nahdlatul Ulama Sejak 1984”, dalam Ellyasa KH Dharwis, ed., Gus Dur, NU, dan Masyarakat Sipil Yogyakarta: LKIS, 1994, h. 135-166. 52 Dalam perkembangannya, Wahid menjalin relasi dengan intelektual lain untuk kemudian mendirikan Forum Demokrasi FORDEM yang menghimpun 45 intelektual terkemuka dan Wahid menjadi ketuanya. Intelektual terkemuka yang bergabung bersama Wahid dalam FORDEM, diantaranya, Bondan Gunawan, Djohan Effendi, YB Mangunwidjaja, Todung Mulya Lubis, Rahman Tolleng, Marsilam Simanjuntak, Daniel Dhakidae, Mudji Sutrisno, D. Riberu, Frans Magnis-Suseno, Arief Budiman, Ghafar Rahman, Aswab Mahasin, dan Sutjipto Wirosardjono. 42 Meskipun sebelumnya tentu saja menjalankan usaha-usaha mengatasi beragam krisis yang terjadi, sangat jelas terlihat bahwa Soeharto telah kehilangan kendali atas birokrasi, Golongan Karya Golkar, dan militer yang menjadi pilar kekuasaannya. Sedangkan tuntutan atas pengunduran dirinya yang dipelopori terutama oleh mahasiswa, para intelektual, dan aktivis politik mengemuka di seluruh negeri. Berbeda dengan krisis ekonomi pertengahan dekade 1960-an yang dapat diatasi, krisis ekonomi pada akhir dekade 1990-an memaksa memaksa Soeharto untuk mengakhiri lebih dari tiga dekade kekuasaan rezim Orde Baru. Pengunduran diri Soeharto dan kenaikan Wakil Presiden BJ Habibie menggantikan Soeharto menandai awal bergulirnya era reformasi. Segera saja Habibie menjalankan kebijakan-kebijakan yang mendorong terciptanya kehidupan berbangsa dan bernegara yang berlandaskan nilai-nilai demokrasi. Era reformasi menandai perubahan yang signifikan bagi perkembangan gerakan Muslimyang kemudian mengarah pada fragmentasi dalam berbagai orientasi partai politik. Pada pertengahan 1998, Wahid bersama arus besar pemimpin Nahdlatul Ulama Wahid mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa PKB yang kemudian menjadi salah satu partai dengan perolehan suara terbesar pada pemilihan umum 1999. Aliansi Wahid dengan partai-partai Muslim pada pemilihan umum 1999 dan politisi-politisi Muslim Golkar menjadikan Wahid terpilih sebagai presiden pasca pemerintahan transisi Habibie. Wahid menyisihkan Megawati Soekarno Putri yang dicalonkan partai pemenang pemilihan umun 1999–Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan PDIP. 53 53 Terpilihnya Wahid yang dicalonkan oleh Poros Tengah yang didukung partai-partai politik Muslim, baik yang menggunakan Islam atau Pancasila sebagai asas partai mengejutkan banyak 43 Pemerintahan pasca transisi reformasi Wahid ditandai dengan tantangan- tantangan besar dan kebijakan-kebijakan politik Wahid yang memicu kontroversi diruang publik yang terbuka. 54 Seiring dengan itu, hubungan Wahid dan poros tengah, partai pendukung pemerintahannya, dan militer ditandai konflik tanpa penyelesaian, 55 Wahid dikaitkan dengan dua skandal, yaitu, skandal Buloggate dan Bruneigate. Kekecewaan-kekecewaan politik mendorong Rais untuk mengumpulkan elite politik dalam usaha pemakzulan Wahid dengan mengarahkan dilaksanakannya Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat pada 23 Juli 2001. Meski melakukan perlawanan politik atas pemakzulan dirinya dengan mengeluarkan dekrit presiden, 56 pada akhirnya Wahid menerima pemakzulan dirinya untuk kemudian digantikan Megawati dan Hamzah Haz sebagai wakil presiden. kalangan, tidak saja karena perolehan suara PKB hanya 12,60 dari total suara atau 54 kursi di parlemen tetapi juga karena sebelumnya PKB cenderung memberikan dukungan kepada Megawati, yang kemudian menjadi lawan Wahid, yang dicalonkan partai pemenang pemilu 1999 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan PDIP yang memperoleh 35,68 dari total suara atau 153 kursi di parlemen. 54 Beberapa kebijakan politik Wahid yang memicu kontroversi diruang publik membubarkan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial yang Wahid anggap membatasi kebebasan sipil dan korup. Reformasi militer dan membatasi militer dari ruang sosial-politik. Instabilitas Aceh, Maluku, dan Irian Jaya yang kemudian digantinya dengan nama Papua. Wahid juga mengusulkan agar Ketetapan MPRS No. XXIXMPR1966 yang melarang Marxisme-Leninisme dicabut dan inisiatifnya membuka hubungan dengan Israel. 55 Setelah satu bulan berada dalam Kabinet Persatuan Nasional, Menteri Menteri Koordinator Pengentasan Kemiskinan Hamzah Haz mengumumkan pengunduran dirinya pada bulan November. Wahid juga meminta Jendral Wiranto yang menjadi Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan sebagai bagian reformasi militer. Dalam rentang waktu yang berdekatan Wahid memberhentikan Menteri Negara Perindustrian dan Perdagangan Jusuf Kalla dan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Laksamana Sukardi, Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra, Menteri Kehutanan Nurmahmudi Ismail. Terakhir, ketika menjelang pemerintahannya berakhir Wahid memberhentikan Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono beserta empat menteri lainnya dalam reshuffle kabinet pada tanggal 1 Juli 2001. 56 Dekrit yang berisi; 1 pembubaran MPRDPR, 2 mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan 3 membekukan Partai Golkar. 44 Setelah tidak lagi menjadi presiden, selain aktivismenya sebagai ketua dewan syura PKB, 57 Wahid juga dengan aktivisme civil society dengan mendirikan Wahid Institute atas inisiatifnya sendiri juga inisiatif Gregorius Barton, Yenni Zannuba Wahid, dan Ahmad Suaedy. Dipersiapkan selama kurang lebih satu tahun, Wahid Institute kemudian dikenalkan ke publik luas pada 7 September 2004. Suaedy menunjukan konteks keterbukaan ruang publik seiring terjadinya perubahan struktur kesempatan politik pasca Orde Baru telah memungkinkan kemunculan dan perkembangan Wahid institute. 58 Sehingga pasca Orde Baru dinamika gerakan Muslim tidak lagi didominasi dua organisasi massa Islam terkemuka, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sebagai dua organisasi massa Islam terbesar di Indonesia. Ruang publik pasca Orde Baru yang terbuka ditandai aktivisme organisasi-organisasi Muslim kecil, diantaranya, Majelis Mujahidin Indonesia MMI, Front Pembela Islam FPI, Hizbut Tahrir Indonesia HTI, Jamaah Islamiyah JI, Jaringan Islam Liberal JIL, The Wahid Institute, Maarif institute, dan lainnya. Dalam keterbukaan terhadap kondisi-kondisi post-modern dan semakin mendalamnya penetrasi globalisasi salah satunya mengarah pada antitesis penguatan liberalisme 57 Sejak pediriannya PKB tidak terlepas dari Konflik internal partai. Konflik yang terjadi selalu melibatkan Ketua Dewan Syura DPP PKB Wahid sebagai tokoh sentral yang mempengaruhi seluruh kebijakan dengan beberapa orang yang dianggap Wahid sudah tidak sejalan dengannya, misalnya saja kasus pemecatan Mathori Abdul Djalil, kasus penggusuran Alwi Shihab, pemberhentian Choirul Anam, hingga konflik yang terjadi dengan Muhaimin Iskandar sebagai Ketua Umum Dewan Tanfidziyah yang dalam perkembangannya perpecahan melibatkan massa di masing-masing kubu. Kubu Wahid menyelenggarakan Muktamar Luar Biasa di Parung sedangkan Kubu Muhaimin Iskandar menyelenggarakan Muktamar Luar Biasa di Ancol. Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemudian Mahkamah Agung mensahkan PKB kubu Muhaimin Iskandar. 58 Wawancara dengan Ahmad Suaedy, Direktur Eksekutif The Wahid Institute 26 Maret 2012. 45 Islam dan radikalisme Islam maupun pengembangan hibriditas diantara tradisi- tradisi kultural yang berbeda. Hal ini ditandai perkembangan Majelis Mujahidin Indonesia MMI, Front Pembela Islam FPI, Hizbut Tahrir Indonesia HTI, Jamaah Islamiyah JI. Wahid Institute menghimpun latar belakang kenaikan organisasi Islam radikal, pertama, adanya keyakinan yang sangat mendalam pada diri umat Islam bahwa Islam adalah agama paling sempurna yang tidak hanya terkait urusan ukhrawi tetapi juga duniawi. Kedua, adanya kegelisahan dikalangan sebagian umat Islam mengenai demoralisasi masyarakat. Ketiga, Islam merupakan agama yang dipeluk mayoritas masyarakat. Keempat, hukum yang berlaku di Indonesia sebagian besar berasal dari kolonial. Kelima, secara konstitusional tidak ada larangan ajaran dan hukum Islam menjadi hukum negara. Keenam, konteks di atas semakin menguat ketika otonomi daerah diberlakukan. 59 Kemunculan Wahid Institute kemunculan dan perkembangan beragam gerakan Muslim pasca Orde Baru. Dalam pandangan Alamsyah M. Djafar, staf Wahid Institute, kemunculan Wahid Institute tidak dapat dilepaskan dari keterkaitannya dengan kenaikan radikalisme Islam seiring keterbukaan ruang publik pasca Orde Baru. 60 Dalam konteks demikian, seperti dituturkan Suaedy, diskursus dan aksi-aksi kolektif gerakan Muslim pasca Orde Baru menandai 59 The Wahid Institute, Laporan Tahunan The Wahid Institute 2008 Pluralisme Beragama Berkeyakinan di Indonesia: Menapaki Bangsa yang Kian Retak, h. 24-25. 60 Wawancara dengan Alamsyah M Djafar, Staf The Wahid Institute 19 September 2012. 46 kemunculan dan perkembangan Wahid Institute yang mengemban komitmen pada pluralisme, demokrasi dan hak asasi manusia. 61

B. Generasi Muda Nahdlatul Ulama dan Perkembangan The Wahid Institute