Teknik Analisa Data METODE PENELITIAN

lapangan field research, seperti wawancara interview dan observasi. 45 Oleh karenanya dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data yakni: metode kepustakaan library research. Sumber data lainnya diperoleh dari text book yaitu buku bacaan, artikel, majalah ataupun surat kabar dan web site.

6.3 Teknik Analisa Data

Data yang telah dikumpulkan tidak akan berarti apa-apa kalau tidak dianalisa. Tujuan dari analisa data adalah untuk memperoleh keluaran out put dari hasil yang ingin dicapai dari proses penelitian. Dalam analisa data ini, data yang sudah terkumpul akan diolah dan kemudian di analisis untuk dapat diambil kesimpulan sebagai hasil dari penelitian. Penelitian ini mencoba menganalisis perlawanan gerakan sosial mahasiswa di Indonesia pada tahun 1998. Metode analisa dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif yaitu suatu metode dimana data yang diperoleh disusun dan kemudian diinterpretasikan. Sehingga memberikan keterangan-keterangan terhadap masalah-masalah yang aktual berdasarkan data-data yang terkumpul dari penelitian. Selanjutnya, dalam penelitian ini menggunakan perspektif gerakan sosial mahasiswa dalam melawan hegemoni negara. 45 Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000, hal. 130 Universitas Sumatera Utara BAB II GERAKAN MAHASISWA INDONESIA PADA MASA ORDE BARU 1998 Buruknya perekonomian Indonesia pada masa 1998 juga tidak terlepas dari penghambaan Soeharto sejak masa kepemimpinannya kepada kaum kapitalis Internasional. Rezim otoritarian Soeharto dibangun atas kerjasamanya dengan pemilik modal besar dari Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya yang ada di Eropa. Konsolidasi kapitalisme di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari skenario lembaga-lembaga sistem kapitalisme dunia seperti IMF dan World Bank. Kapitalisme dengan syarat-syarat kekuatan produktif yang rapuh dibidang teknologi serta kurangnya dana segar untuk modernisasi menjadikan penguasa Orde Baru harus bergantung sepenuh-penuhnya pada kekuatan modal Internasional seperti Jepang, Amerika, Inggris, Jerman, Taiwan, Hongkong, dan lainnya. Pengabdian Orde Baru pada modal semakin membuktikan bahwa pada prinsipnya negara Orde Baru dibawah kekuasaan yang dipimpin oleh Jendral Soeharto adalah alat kepentingan-kepentingan modal. Pada tahapan awal konsolidasi kekuasaannya, Soeharto berhasil memanfaatkan pinjaman hutang luar negeri dan penanaman modal asing. Soeharto melahirkan orang kaya baru dan tumbuhnya kapitalis. Soeharto juga memberikan lisensi penuh kepada sekutu dan kerabatnya untuk monopoli export-import, penguasaan HPH dan perkebunan-perkebunan kepada yayasan-yayasan Angkatan Universitas Sumatera Utara Darat. Sehingga seluruh aset ekonomi kekayaan negara dikuasai oleh kroni-kroni Soeharto. Dan Rezim Orde Baru ini juga menggunakan kekuatan militernya untuk merefresif, membungkam dan meredam kekritisan dan protes dari rakyat. Senjatanya yaitu Dwi Fungsi ABRI dengan manifestasinya yaitu kodam, kodim, korem, koramil, babinsabinmas. Juga badan extra yudisialnya seperti BIA, BAIS dan lainnya. Struktur tersebut diperkuat pada masa Orde Baru dan selama hampir 32 tahun dibekali dengan otoritas khusus untuk campurtangan dalam urusan politik. Badan-badan koordinasi khusus di tingkat nasional, yang berbasis di markas besar Angkatan Bersenjata, didirikan untuk mengkoordinasikan sisitim manajemen politik tersebut. Yang pertama dinamakan Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban KOPKAMTIB, yang kemudian seperlunya saja direkstrukturisasi dan diganti namanya menjadi Badan Koordinasi Stabilitas Nasional BAKORSTANAS. Pos komando mliliter ada di hampir setiap tingkatan mayarakat, dengan menempatkan personil tentara di seluruh desa. Struktur tersebut bertujuan menjamin bahwa larangan aktivitas politik partai di pedesaaan dengan ketat dilaksanakan. Beberapa partai diizinkan terus membuka kantor cabang di tingkat kabupaten dan kota-kota besar. Yakni, tentu saja, partai-partai yang dengan sendirinya mendukung diserahkannya inisiatif politik kepada tentara. Bagaimanapun juga, Orde Baru memutuskan bahwa kontra-revolusi bahkan membutuhkan partai-partai tersebut—keseluruhannya ada 9 partai—yang kemudian menerima dirinya didepolitisasi. Pertama, mereka harus melakukan Universitas Sumatera Utara ”penyederhanaan”. Partai-partai Islam dipaksa bergabung, fusi, menjadi satu partai yang dinamakan Partai Persatuan Pembangunan PPP. Partai-partai non- Islam, termasuk PNI, yang sekarang secara sistimatik telah dibersihkan, dipaksa digabungkan menjadi partai Demokrasi Indonesia PDI. Keduanya, PPP dan PDI, juga merupakan sasaran campurtangan pemerintah saat memilih pipinannya. Partai rejim sendiri, GOLKAR, menjadi partai ketiga yang diizinkan mengikuti pemilu. Tentu saja, partai-partai tersebut tidak diizinkan menjadi kendaran untuk mengembalikan politik mobilisasi. Seluruh kampanye perlu dilarang, kecuali dalam sepuluh hari menjelang pemilu empat tahunan. Periode kampanye juga diawasi ketat dengan cara bahwa masing-masing partai diperbolehkan mengadakan pawai atau arak-arakan hanya tiga hari dalam sepuluh hari tersebut. Di bawah massa mengambang, peran massa benar-benar dibatasi hanya untuk mencoblos saja. Tak mengherankan, di bawah kondisi tersebut, saat diselenggarakannya pemilu, PDI dan PPP tak pernah bisa menandingi GOLKAR. GOLKAR memiliki uang yang sangat banyak tapi secara defakto juga ada di desa. Rejim telah mendeklarasikan kebijakan monoloyalitas loyalitas tunggal bagi semua pegawai negeri hingga ke kepala desa dan para pegawainya. Mereka harus aktif menjadi anggota GOLKAR. Serangan terhadap partai-partai politik bukan saja dalam kaitannya dengan perannya sebagai organisasi-organisasi elektoral. Peran untuk mengorganisir rakyat dalam serikat buruh, perhimpunan petani—seluruh struktur organisasi aliran—juga dilarang. Pembubaran organisasi massa yang berafiliasi ke partai Universitas Sumatera Utara tersebut bukan sekadar, bagaimanapun juga, ditujukan untuk mengancurkan genggaman partai-partai. Dalam beberapa hal, teror tahun 1965-1968 telah melakukannya. Kebijakan lain juga harus dilembagakan, untuk menjamin bahwa organisasi-organisasi yang diizinkan tetap hidup tersebut harus memainkan peran agar kelas-kelas popular, yang tak teroganisir dan didemoralisasi oleh teror, tetap tak teroganisir. Kebijakan kontra-revolusi adalah mengorganisir kelas popular secara keseluruhan. Depolitisasi yang dilakukan oleh rezim otoritarian Soeharto ini berlangsung dengan cukup lama selama tiga puluh dua tahun dan berhasil mengukir kembali ingatan sejarah masyarakat Indonesia. Segala bentuk kebijakan yang ada digunakan untuk memuaskan kepentingan kaum kapitalis dan memperkaya para kapitalis lokal yang ada di Indonesia. Sebagai rejim kapitalis, orientasi Orde Baru lebih mirip dengan kapitalisme kroni, dimana akumulasi kapital hanya bersumbu kepada Soeharto, keluarganya, beserta kroni-kroninya. Di Indonesia, enam anak Soeharto memiliki saham dalam jumlah signifikan sekurang-kurangnya di 564 perusahaan, dan kekayaan luar negeri mereka mencakup ratusan perusahaan-perusahaan lainnya, tersebar dari Amerika ke Uzbekistan, Belanda, Nigeria dan Vanuatu. Dalam buku panduan yang dikeluarkan PBB, dalam peluncuran prakarsa penemuan kembali kekayaan yang dicuri Stolen Asset Recovery StAR Initiative di Markas Besar PBB, New York, disebutkan bahwa Soeharto 1967-1998 berada dalam daftar urutan pertama pencurian asset Negara, dengan total diperkirakan 15 miliar dolar hingga 35 miliar dolar AS. Temuan PBB-Bank Dunia itu menyebutkan perkiraan Universitas Sumatera Utara total PDB Indonesia setiap tahunnya pada rezim Soeharto 1970-1998 sebesar 86,6 miliar dolar AS. Selain Soeharto, pemimpin politik dunia lainnya yang diperkirakan mencuri kekayaan negara adalah Ferdinand Marcos dari Filipina 1972-1986 dengan 5-10 miliar dolar AS; Mobutu Sese Seko dari Zaire 1965- 1997 dengan lima miliar dolar AS; Sani Abacha dari Nigeria 1993-1998 dengan 2-5 miliar dolar AS serta Slobodan Milosevic dari SerbiaYugoslavia 1989-2000 dengan satu miliar dolar AS. Menurut George Aditjondro, pengajar Sosiologi di Universitas Newcastle, Australia, terdapat sekitar 79 yayasan yang dikuasai oleh Suharto, istrinya meninggal tahun 1996, saudara-saudara istrinya dari desa, sepupunya dan saudara tirinya, enam anaknya, keluarga dan orang tua pasangan anak-anak tersebut, orang-orang militer yang dipercaya, dan teman-teman dekat lainnya seperti Habibie, Hasan dan Liem. Diawali di tahun 1978, seluruh Bank milik pemerintah diminta memberikan 2,5 persen keuntungannya untuk Yayasan Dharmais dan Yayasan Supersemar, demikian menurut Jaksa Agung terdahulu Soedjono Atmonegoro. Keppres no. 92 tahun 1996 memerintahkan bahwa setiap pembayar pajak dan perusahaan yang berpenghasilan 40.000 setahun, diharuskan menyumbang 2 pendapatannya untuk Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, yang dibentuk untuk mendukung program pemberantasan kemiskinan perintah ini kemudian ditiadakan pada bulan Juli 1998. Saat ini, pegawai negeri dan anggota militer menyumbang sebagian penghasilan mereka setiap bulannya kepada Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, yang digunakan Suharto untuk memenangkan dukungan bagi kalangan umat Islam. Sementara “sumbangan” tersebut menjadi bagian besar dari penghasilan yayasan, masih terdapat sumber- Universitas Sumatera Utara sumber keuangan lainnya. Di tahun 1978, Yayasan Suharto menguasai 60 saham Bank Duta –sebuah Bank swasta terkemuka,kata seorang bekas pejabat Bank Duta. Saham tersebut bertambah secara perlahan menjadi 87 . Penelitian yang dilakukan oleh sebuah badan ekonomi, Jubilee Research, menyebutkan bahwa selama 32 tahun berkuasa Soeharto telah melakukan korupsi dari pinjaman luar negeri sebesar 126 Juta. World Bank mengestimasikan diantara tahun 1997 dan 1998 pendapatan buruh sektor pertanian menurun sebanyak 40. Dan juga para pekerja di perkotaan pendapatannya menurun sebanyak 34. Sejak tahun 1997, sebanyak lebih dari 39 juta penduduk Indonesia kehilangan pekerjaannya. Sementara itu dana yang dipinjamkan oleh World Bank menyebutkan total pinjaman yang diberikan kepada Soeharto sejak tahun 1966 hingga tahun 1998 sebesar 30 Miliar Amerika. Akan tetapi 70 dari 160 juta penduduk Indonesia pada tahun 1990an hidup dibawah garis kemiskinan dengan pendapatan dibawah 2 perharinya. Suatu realitas yang sangat kontras dari kebijakan ekonomi pembangunan yang bertahap seperti yang digambarkan oleh para ekonom dunia. 46 Bank Dunia menyebutkan sejak tahun 1988 hingga 1996, Indonesia menerima Investimasi lebih dari 130 Milyar Amerika, dan ini sangat mungkin dikorupsi oleh pemerintahan Soeharto, dan diperuntukkan bagi keuntungan ekonomi Soeharto Inc. Soeharto dan keluarganya bahkan memiliki 564 perusahaan dari berbagai sektor dan ini tersebar di beberapa negara seperti Amerika, Vanuatu, Nigeria, Belanda. Di New Zealand saja mereka memiliki 46 Opcit, Dokumen Resmi Materi Pendidikan Dasar Liga Mahasiswa untuk Demokrasi Politik Rakyat Miskin LMND PRM Sumatera Utara. Universitas Sumatera Utara peternakan besar ranch yang bernilai 4 Juta, sedangkan di luar Darwin, Australia, mereka memiliki 2 Juta pada perusahaan kapal pesiar Yacht. Jauh sebelum itu pada tahun 1978 Soeharto sudah mengontrol 60 saham Bank Duta. Bahkan putra bungsunya Hutomo Mandala Putra nicknamed Tommy memiliki 75 saham di 18 lapangan golf terkenal dan memiliki 22 apartemen mewah di Ascott, England. Ia juga memiliki saham di perusahaan mobil-mobil mewah seperti Lamborghini. Ia juga memiliki saham sebesar 11 Juta di beberapa perusahaan real estate. Bambang Trihatmodjo, anak keduanya, memiliki saham sebesar 8 Juta di Penthouse, Singapore, dan memiliki saham sebanyak 12 juta di perumahan-perumahan mewah di Los Angeles. Putri tertua Soeharto, Siti Hardiyanti Rumana Tutut bahkan memiliki beberapa pesawat-pesawat jet mewah. Sedangkan adiknya Sigit Harjoyudanto memiliki 9 Juta di beberapa apartemen di Singapore. Majalah Time menyebutkan bahwa Soeharto beserta keluarganya, sejak tahun 1966 hingga 1998 memiliki dana dari beberapa proyek pertambangan, kayu, perminyakan, dan lainnya total sebesar 73 Miliar. Inilah hasil investasi terbesar yang didapatkan dari mengkorupsi pinjaman uang luar negeri. Dari pinjaman yang didapat Soeharto beserta keluarga dan kroni-kroninya. Secara legal dana-dana tersebut dikucurkan ke beberapa yayasan-yayasan yang mereka kontrol, seperti: Dharmais, Supersemar, Dana Sejahtera Mandiri, Amal Bakti Muslim Pancasila. Pada awal tahun 1978, perusahaan-perusahaan swasta dan pemerintah diwajibkan untuk menyumbangkan 2.5 dari keuntungan mereka kepada yayasan Dharmais, Supersemar. Dan bahkan demi kepentingan mempertahankan kekuasan politiknya, perusahaan-perusahaan yang mendapatkan Universitas Sumatera Utara keuntungan diatas 40,000 setahun wajib memberikan 2 dari pendapatannnya ke yayasan Dana Sejahtera Mandiri, dengan alasan dan pembenaran untuk menanggulangi kemiskinan. Juga dalam kepentingan yang sama setiap pegawai negeri dan tentara diwajibkan menyumbangkan sebagian kecil gajinya kepada yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila. Hal ini agar kelompok muslim terus mendukung kekuasaan politik Soeharto. Yayasan-yayasan tersebut secara legal dipergunakan untuk kepentingan sosial social services tapi kenyataannya menjadi media untuk mentransferkan uang ketangan Soeharto, anak-anaknya dan kroni-kroninya. Gebrakan yang dilakukan oleh mahasiswa pada tahun 1998 tidak terlepas dari krisis ekonomi yang melanda dunia terlebih lagi Asia pada tahun 1997. Asian Miracle yang merupakan slogan bagi negara-negara industri baru yang diyakini mampu menjadi pesaing berat bagi Eropa dan Amerika Serikat pada masa itu juga tidak mampu meredam arus krisis ekonomi yang ada. Namun krisis tersebut tidak lebih merupakan suatu krisis akibat berlebihnya proses produksi yang dilakukan kapitalisme. Begitu banyak barang yang diproduksi dan dihasilkan oleh pemilik modal namun pasar tidak memadai dikarenakan daya tampung dan daya beli masyarakat yang rendah. Denny J. A dalam bukunya “Democratization From Below: Protest Events and Regime Chance in Indonesia 1997-1998” menjelaskan tentang pertumbuhan ekonomi Indonesia sebelum dan sesudah krisis bahwa: “Indonesia economic growth was reduced to 4.7 in 1997 and went down very sharp to -13.6 in 1998. GDP per capita decreased from US 1,155 in 1996 to US 1,088 in 1997 and to only US 425.8 in 1998. Universitas Sumatera Utara import was reduced from US 42.9 billion in 1996 to US 41.7 billion in 1997 and US 11.15 billion in 1998.” Denny juga mengatakan bahwa salah satu faktor yang mendasari adanya gerakan perlawanan mahasiswa pada 1998 adalah dominasi isu krisis ekonomi yang terjadi saat itu. Aksi protes yang ada bukan lagi berdasarkan atas isu krisis ekonomi tapi juga merambat hingga kepada isu politik. Karena mahasiswa yang melakukan aksi tersebut percaya bahwa untuk menyelesaikan kemelut ekonomi yang ada pada saat itu haruslah juga disertai penyelesaian dalam bidang politik. Tabel 2.1: Economic Crisis, Macro-Economic Indicator, Indonesia 1994-1998. Indicator 1994 1995 1996 1997 1998 Economic Growth 7.5 8.2 7.9 4.7 -13.6 Constant 1993 Price GDP Per Capita 928 1039 1155 1088 425.8 Export US billion 30.4 34.9 38.1 41.8 16.65 Import US billion 32 40.6 42.9 41.7 11.15 Balance of Payment -2.9 -6.8 -7.8 -5.8 0.7 Foreign Currency 13.2 14.7 19.1 17.4 13.92 International Debt 106.0 116.5 118.0

20.5 130.0