BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG MASALAH
Sejarah gerakan mahasiswa Indonesia tidak berbeda dengan sejarah gerakan mahasiswa lainnya diberbagai belahan dunia manapun. Gerakan
mahasiswa yang didominasi oleh pemuda yang memang memiliki watak muda menginginkan adanya suatu perubahan yang cukup signifikan dalam suatu
pemerintahan rezim yang berkuasa. Dan hampir seluruh gerakan mahasiswa yang ada di belahan dunia manapun tidaklah dilakukan secara matang tapi lebih
dikarenakan adanya suatu momentum. Jadi tidak salah jika banyak orang yang akhirnya menyimpulkan bahwa gerakan mahasiswa hanya bersandar pada
momentum semata, bukanlah atas kesadaran dan telah dipersiapkan secara matang.
Seperti halnya gerakan mahasiswa yang terjadi di Indonesia. Sejak zaman pra kemerdekaan hingga sekarang, gerakan mahasiswa di Indonesia bersandar
pada momentum. Zaman pra kemerdekaan, gerakan mahasiswa ditandai dengan munculnya organisasi-organisasi modern pada masa pemerintahan kolonial
Belanda. Di mana pada masa pemerintahan kolonial, tenaga-tenaga rakyat Indonesia dihisap dan dipaksa bekerja tanpa ampun dengan sistem penjajahan
yang memaksa bangsa Indonesia menjadi budak di negerinya sendiri. Dan untuk memaksimalkan penindasan yang mengeruk kekayaan alam Indonesia sampai
Universitas Sumatera Utara
kedasar-dasarnya, mereka pemerintahan kolonial membangun sekolah-sekolah yang bisa melahirkan tenaga-tenaga ahli baru yang kelak akan dipergunakan
kembali oleh mereka. Misalnya, seperti sekolah militer yang dibangun di Semarang pada tahun 1819. Belanda membutuhkan militer untuk alat menindas
yang akan menjadi sekrup-sekrup kapitalisme. Baru kemudian setelah itu, Belanda membuka sekolah-sekolah umum seperti Sekolah Tinggi Leiden 1826, Institut
Bahasa Jawa Surakarta 1832, Sekolah Pegawai Hindia-Belanda di Delft 1842, Sekolah Guru Bumiputra di Surakarta 1852.
1
Sekolah-sekolah ini jelas-jelas dibuka untuk tangan-tangan pemerintah kolonial Belanda di Hindia Belanda, dan
sekolah-sekolah ini tentu saja hanya diperuntukkan bagi anak-anak Belanda dan pegawai Tinggi Pribumi. Selain membuka sekolah-sekolah tinggi, di Hindia mulai
dibangun sekolah dasar—tetapi sekali lagi khusus untuk golongan Belanda— dengan membuka sekolah dasar yang sekuler di Weltervreden pada 24 Februari
1817.
2
Dan baru 1871—bersamaan dengan liberalisme di Hindia Belanda— dikeluarkan UU Pendidikan pertama, pendidikan dan pengajaran semakin
diarahkan bagi kepentingan Bumiputra.
3
Seiring dengan pekembangan liberalisme di Hindia Belanda—yang ditandai dengan disahkan UU Pokok Agraria yang memberikan keleluasaan
kepada modal swasta Belanda masuk ke Hindia Belanda—mau tidak mau pendidikan menjadi salah satu faktor penting dalam pembangunan sistem
Dan hingga tahun 1850 telah terdapat lebih kurang 562 sekolah dasar yang mana setengahnya dikuasai oleh Belanda dan
swasta.
1
Parakitri T Simbolon, Menjadi Indonesia, Penerbit Kompas, Jakarta, Hal.185.
2
Parakitri, Ibid.hal.188
3
Parakitri, Ibid.hal.186.
Universitas Sumatera Utara
kapitalisme. Dengan kedok Politik Etis, dibukalah sekolah-sekolah dasar sampai sekolah tinggi bagi pribumi yang tujuan pokoknya adalah sebagai tenaga-tenaga
bagi industrailisasi modal-modal swasta Belanda di tanah jajahan. Ini seiring dengan prinsip liberalisme dimana koloni bukan hanya sebagai penghasil produk-
produk yang menguntungkan seperti kopi, teh, gula, tembakau, tetapi juga sumber suplai bahan mentah seperi baja, minyak, batu bara, dll bagi industrialisasi di
Belanda.
4
Dengan dibukanya sekolah-sekolah tersebut, semakin membuka kesempatan bagi masyarakat Indonesia pada masa itu untuk mengetahui tentang
dunia luar, perkembangan teknologi dan bahkan sampai kepada teori-teori tentang pentingnya nasionalisme bagi rakyat Pribumi. Perluasan pengajaran tingkat atas
mulai terjadi secara berangsur-angsur. Dan pada tahun 1902 didirikanlah STOVIA, dimana Tirto Adi Suryo yang merupakan pelopor pendiri organisasi
modern pertama Indonesia adalah jebolan atau tamatan dari sekolah ini. Disusul kemudian NIAS pada tahun 1913 yang setahun kemudian menjadi sekolah
kedokteran hewan. Dan pada tahun 1927 sekolah kedokteran diubah menjadi GHS Geneeskundige Hoogeschool. Sedangkan untuk perguruan tinggi sendiri
belumlah muncul di Nusantara. Hanya beberapa pribumi yang mampu dan kaya Sumber-sumber bahan mentah tersebut sebagian besar ada diluar Jawa
sehingga banyak membutuhkan tenaga-tenaga kerja baru, maka bergandenganlah program politik etis—edukasi, irigrasi dan emigrasi—untuk mengekploitasi
sumber bahan mentah tersebut.
4
W.F Wertheim, Masyarakat Indonesia Dalam Transisi Studi Perubahan Sosial, Yogyakarta: Tiara Wacana hlm.71.
Universitas Sumatera Utara
yang mampu mengirimkan anaknya untuk bersekolah di Eropa.
5
Daerah
Namun setelah kepulangan mereka dari Eropa, mereka malah menjadi bibit-bibit baru yang siap
untuk mendobrak penindasan yang selama ini telah mengakar dan menghisap setiap tetes keringat bangsa Indonesia. Politik Etis akhirnya menjadi senjata balik
atau menjadi bumerang balik bagi kaum kolonial pada masa itu. Bukannya menjadi taktik yang menguntungkan. Karena pada awalnya Politik Etis hanya
untuk mendapatkan tenaga terdidik yang murah dari masyarakat pribumi.
Tabel 1. Sekolah Dasar di Hindia Belanda Sekitar Tahun 1900
Sekolah Negeri
Sekolah Swasta
Sekolah Misi
Total Populasi
dalam ribuan Jawa dan Madura
269 231
62 562
28386 Sumatera kecuali Daerah Batak
77 17
4 98
2862 Daerah Batak
19 6
175 200
321 Kalimantan
12 3
21 36
1076 Sulawesi kecuali Manado
14 -
- 14
1442 1895
Manado 115
14 237
366 423
Ternate 2
2 9
13 133
Ambon 74
75 17
166 271
Timur 15
10 16
41 306
1905 Bali dan Lombok
4 1
- 5
1039 Total
601 359
541 1501
36259
Sumber: Bernhard Dahm, Bergerak Bersama Rakyat, 200. Hal 51.
5
Suharsih, Ing Mahendra K, Bergerak Bersama Rakyat, Sejarah Gerakan Mahasiswa dan Perubahan Sosial di Indonesia, Yogyakarta: Resist Book, 2007, hlm.50.
Universitas Sumatera Utara
Berjamurnya sekolah-sekolah yang ada di Nusantara pada saat itu juga turut mendorong munculnya organisasi-organisasi modern di Indonesia.
Organisasi yang pertama kali muncul adalah Sarekat Priyayi pada tahun 1906. Pendirinya pada saat itu adalah Tirto Adi Suryo yang merupakan jebolan dari
STOVIA. Dalam perkembangannya Sarekat Priyayi berkembang pesat menjadi sebuah organisasi modern pertama Nusantara yang memiliki semangat
kebangsaan yang besar dalam melawan kolonialisme pada saat itu. Akan tetapi keberadaan organisasi ini pun tidak terlalu lama. Sarekat Priyayi akhirnya hancur
dan bubar. Salah satu faktor yang menyebabkannya adalah meletakkan kepemimpinan kepada kaum priyayi sebagai unsur yang dianggap mampu untuk
melakukan perubahan. Golongan priyayi ini merupakan golongan yang beku, yang hanya mengharapkan kedudukan dari gubermen, impian-impian mereka
hanya sebatas pada kenaikan gaji dan kenaikan pangkat
6
, yang dunia pikirannya berlindung di bawah kewibawaan gubermen
7
, tanpa kewibawan, mereka tidak ada artinya
8
. Sedangkan sifatnya yang paling progresif adalah gonta-ganti istri, sebelum kawin ‘sesungguhnya’, sebagai latihan, para priyayi-priyayi ini
melakukan ‘gladi bersih’ dengan menikahi perempuan dari keturunan orang kebanyakan.
9
6
Pramodya Ananta Toer, Rumah Kaca, Jakarta: Hasta Mitra, 1998. Hal.264
7
Pamodya Ananta Toer, Ibid, hal.300
8
Pramodya Ananta Toer, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Jakarta: Hasta Mitra,1998. Hal. 169
9
Pramodya Ananta Toer, Gadis Pantai, Jakarta: Hasta Mitra,1998. Hal.62.
Kegagalan Sarikat Priyayi juga dikarenakan ketidakmampuan menggerakkan kaum priyayi yang sudah mapan dan tidak mau bergerak tanpa
restu pemerintah.
Universitas Sumatera Utara
Setelah kegagalan itu, mulai tumbuh satu benih baru dalam perjuangan rakyat Nusantara. Tahun 1908 berdirilah Boedi Oetomo dengan tokoh-tokohnya
antara lain E. Douwes Dekker dan Wahidin Soediro Hoesodo. Sama seperti Sarikat Priyayi, Boedi Oetomo juga dipelopori oleh pemuda dan mahasiswa yang
berada di STOVIA. Dalam sejarah resmi Indonesia, Boedi Oetomo dikatakan sebagai organisasi modern pertama Nusantara. Sejalan dengan perkembangannya,
Boedi Oetomo bergerak hanya dalam kawasan terbatas di Jawa dan Madura. Namun akhirnya gerakan ini meluas ke seluruh Hindia. Cita-cita Boedi Oetomo
saat itu masih hanya diterapkan tentang rasa nasionalisme terhadap Hindia melawan penjajahan kolonialisme Belanda.
Boedi Oetomo memandang bahwa intelektualitas dan budaya merupakan bagian dari jati diri sebuah bangsa dan dari sanalah maka kebijakan dan wawasan
terhadap bangsa ditumbuhkan. Keberadaan Boedi Oetomo yang lahir pada masa penjajahan kolonial yang berkarakter menindas, menghisap dan tidak memberikan
hak kepada kaum pribumi untuk berpartisipasi di dalam masalah-masalah politik yang menyangkut nasib bangsanya sendiri membuat Boedi Oetomo tidak hanya
disenangi oleh kaum muda tapi juga mendapat simpati luas dari masyarakat Hindia. Dan ketika itu, posisi pelajar menjadi tergeser oleh generasi yang lebih
tua. Dan saat kongres Boedi Oetomo dibuka di Yogyakarta, pimpinan organisasi beralih kepada golongan tua dan terutama kaum priyayi rendahan.
10
10
Suharsih, Ing Mahendra K, op.cit., Hal 55.
Banyak dari mereka meluaskan pendidikan Barat dan terutama kepada pengetahuan terhadap
Bahasa Belanda yang merupakan sebagai suatu syarat untuk bisa memasuki jenjang kepegawaian pemerintahan kolonial. Hal ini menyebabkan organisasi
Universitas Sumatera Utara
menjadi semakin lemah dan mengulang kembali sejarah terdahulu yang salah yang meletakkan kepemimpian ditangan kaum priyayi. Bahkan sekolah-sekolah
yang didirikan oleh Boedi Oetomo pun ikut memasukkan kurikulum sekolah dasar Belanda dengan penyesuaian pada kondisi asal murid dan mendapat subsidi dari
pemerintahan kolonial.
Setelah dua organisasi di atas, mulai menjamurlah organisasi-organisasi modern di Indonesia. Sarekat Priyayi setelah bubar berubah menjadi Serikat
Dagang Islamiah SDI dengan basis utamanya kaum pedagang—yang kemudian berkembang menjadi SI dan dalam perkembangan selanjutnya sebagai embrio dari
PKI. Organisasi ini bukan hanya sebagai wadah bagi masyarakat Pribumi untuk melakukan perlawanan terhadap pedagang-pedagang Cina yang pada masa itu
menguasai hampir setiap pintu masuk perdagangan Nusantara. Organisasi ini juga merupakan wadah bagi masyarakat pribumi untuk melakukan perlawanan
terhadap segala bentuk penghinaan yang dilakukan terhadap masyarakat. SI tidak lagi bersifat elitis seperti Sarikat Priyayi. Hampir setiap lapisan masyarakat bisa
menjadi anggotanya. Dan tujuan SI didirikan pada waktu itu adalah:
11
• Mengembangkan jiwa berdagang • Memberi bantuan kepada anggota-anggotanya yang menderita
kesukaran • Memajukan pengajaran dan semua yang dapat mempercepat
naiknya derajat bumiputera • Menentang pendapat-pendapat yang keliru tentang Islam
11
Suharsih, Ing Mahendra K, op.cit., Hal: 56
Universitas Sumatera Utara
SI berkembang dengan sangat pesat dan mengaku memiliki 2.000.000 orang anggota sehingga menjadikannya sebagai organisasi massa yang terbesar
pada saat itu. Namun konflik internal yang ada ditubuh SI sendiri yang menyebabkan SI terpecah menjadi dua. Adalah Semaoen, seorang buruh muda
yang bekerja di perusahaan kereta api pada saat itu yang mampu membawa SI menjadi lebih revolusioner. SI akhirnya terpecah menjadi SI Merah dan SI Putih.
Dan diputuskan dalam kongres pada bulan Oktober 1921 bahwa yang merupakan anggota SI tidak boleh merangkap dua keanggotaan di organisasi lainnya.
Keputusan ini akhirnya membawa anggota SI yang juga merupakan anggota PKI dikeluarkan oleh SI. Selanjutnya, setelah perpecahan tersebut, SI Merah yang
merupakan SI yang massif menentang segala bentuk penindasan dan penghisapan yang dilakukan oleh pemerintahan kolonial, berubah nama menjadi Syarikat
Rakyat SR.
Sementara itu, di Bandung pada 6 September 1912 dua mahasiswa lulusan STOVIA, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat serta seorang
Indo keturunan Indonesia, E.F.E. Douwes Dekker, mendirikan Partai Hindia atau Indishe Partij IP.
12
Maka semakin maraklah organisasi-organisasi kebangsaan yang dipelopori oleh mahasiswa. Tidak ketinggal, mahasiswa-
mahasiswa Indonesia di negeri Belanda antara bulan Januari-Pebruari 1925 didirikan organisasi yaitu Perhimpunan Indonesia PI—organisasi ini merupakan
kelanjutan dari Indische Vereeniging
13
12
Parakitri T Simbolon, opcit. Hal 246-247.
13
John Ingleson, Jalan Ke Pengasingan, Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun 1927- 1938, Jakarta: LP3ES. Hal. 2.
. PI sangat dipengaruhi oleh ideologi marxisme yang sedang naik daun di Eropa dan juga banyak melakukan diskusi-
Universitas Sumatera Utara
diskusi dengan tokoh-tokoh komunis Indonesia seperti Semaoen.
14
1. Hanya suatu kesatuan Indonesia yang mengesampingkan
perbedaan-perbedaan sempit dapat menghancurkan kekuasaan penjajah. Tujuan bersama untuk membentuk suatu Indonesia yang
merdeka menuntut pembinaan tata kebangsaan yang didasarkan kepada suatu aksi-massa yang sadar dan percaya diri.
Dalam program perjuangannya, PI menyatakan:
2. Syarat mutlak untuk mencapai tujuan itu ialah adanya partisipasi
seluruh lapisan rakyat Indonesia dalam suatu perjuangan yang terpadu untuk mencapai kemerdekaan.
3. Unsur yang pokok dan dominan dalam setiap masalah politik dan
penjajahan ialah konflik kepentingan antara penguasa dan yang dijajah. Kecenderungan pihak penguasa untuk mengaburkan dan
menutupi masalah ini harus dilawan dengan mempertajam dan mempertegas konflik kepentingan tersebut.
4. melihat adanya dislokasi dan demoralisasi sebagai akibat pengaruh
pemerintah kolonial terhadap kesehatan fisis dan psikologis dari kehidupan orang Indonesia, diperlukan sejumlah besar usaha untuk
memulihkan kondisi rohani dan kondisi material menjadi normal.
Selain organisasi-organisasi ini, di Indonesia juga berkembang study-study club misalnya yang terdapat di Surabaya dan di Bandung. Sekembalinya dari
Eropa, mahasiswa-mahasiswa Indonesia mulai mempraktekkan apa yang mereka
14
Harry A. Poeze, Tan Malaka, Pergulatan Menuju Republik, Jakarta: Grafiti. Hal. 368.
Universitas Sumatera Utara
pelajari untuk dapat diterapkan di Indonesia sesuai dengan geo-politik Indonesia pada saat itu. Berjamurlah study clubs saat itu. Study Club yang ada di Bandung
dengan nama Algemeene Studie Club didirikan oleh Ir. Soekarno pada tahun 1925 dan kemudian berkembang menjadi Partai Nasionalis Indonesia PNI yang juga
dipimpin oleh Soekarno.
Apabila kita amati, organisasi-organisasi yang dipelopori oleh mahasiswa di atas condong kepada ideologi kebangsaan. Kerangka organisasi yang dibuat
oleh gerakan mahasiswa ketika itu tidak semata-mata hanya melibatkan mahasiswa, tetapi berusaha melibatkan massa rakyat secara luas untuk
kepentingan kemerdekaan, bahkan sudah sampai pada pendirian partai politik. Dalam kerangka gerakan, konsep yang dibangun oleh mahasiswa-mahasiswa
ketika itu untuk membangun format gerakan adalah tepat, bahwa tulang punggung dari gerakan adalah massa rakyat yang terlibat aktif dalam organisasi modern.
Sikap sektarian, dalam artian hanya melibatkan mahasiswa dalam gerakan pembebasan nasional tidak terjadi, tetapi yang tumbuh adalah sikap kebangsaan
untuk mencapai Indonesia Merdeka.
Sejarah juga mencatat bahwa pada masa pendudukan Jepang organisasi pemuda yang ada dibubarkan dan pemuda dimasukkan ke dalam; Seinendan
dan Keibodan Barisan Pelopor dan PETA Pembela Tanah Air untuk dididik politik untuk kepentingan fasisme. Yang menjadi topik menarik pada zaman ini
adalah ramainya bermunculan Gerakan Bawah Tanah GBT dengan rapat-rapat gelap, dan penyebaran pamflet. GBT ini dikombinasikan dengan gerakan legal
Sukarno; merupakan jalan keluar yang logis bagi perlawanan anti fasis. Suatu
Universitas Sumatera Utara
jalan keluar yang mencekam dan tidak memassa. Tingkat kesadaran massa untuk mengambil jalan keluar ini belum mencapai tingkat yang revolusioner. Penguasa
baru ini melarang semua kegiatan yang berbau politik, dan membubarkan semua organisasi pelajar dan mahasiswa, serta partai politik. Banyak perguruan tinggi
juga ditutup. Karena kondisi yang lebih represif itu, mahasiswa memilih melakukan kegiatan berkumpul dan berdiskusi di asrama-asrama. Tiga asrama
yang terkenal dalam sejarah kemerdekaan adalah Asrama Menteng Raya, Asrama Kebon Sirih, dan Asrama Cikini. Para mahasiswa inilah yang kemudian menjadi
pemuda generasi ’45, yang bangkit merebut dan mempertahankan kemerdekaan dengan cara pemuda.
Masa 1945-1950 merupakan momentum yang penting dalam gerakan pemuda dan pelajar: selain melucuti senjata Jepang, juga memunculkan
organisasi-organisasi seperti: Angkatan Pemuda Indonesia API, Pemuda Republik Indonesia PRI, Gerakan Pemuda Republik Indonesia GERPRI,
Ikatan Pelajar Indonesia IPI, Pemuda Putri Indoensia PPI dan banyak lagi. Pada saat belum ada organisasi pemuda dan pelajar, yang berbentuk federasi,
diselenggarakan Kongres Pemuda seluruh Indonesia I 1945 dan II 1946. Dan Gerakan Pemudalah yang berhasil mendesak Soekarno-Hatta melalui penculikan
untuk segera memproklamirkan Kemerdekaan RI.
Dalam situasi seperti inilah gerakan mahasiswa mulai bangkit kembali. Gerakan mahasiswa yang timbul pasca revolusi didasari pada ideologi yang
berbeda-beda. Pada tanggal 5 Februari 1947 diresmikan terbentuknya Himpunan Mahasiswa Islam HMI, kemudian diikuti berdirinya Perhimpunan Mahasiswa
Universitas Sumatera Utara
Kristen Indonesia PMKI pada tanggal 25 Maret 1947 dan kemudian disusul dengan pendirian Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia
PMKRI.
15
Organisasi-organisasi mahasiswa ini mengunakan ideologi agama— Islam atau KatolikKristen. Kemunculan organisasi-organisasi yang berideologi
agama ini sebetulnya mengikuti kemunculan partai politik yang seideologi yaitu Masyumi 7 Nopember 1945—yang berideologi Islam dan Partai Katolik 8
Desember 1945—yang berideologi Katolik.
16
Pada masa demokrasi terpimpin, organisasi-organisasi yang berafiliasi dengan partai politiklah yang banyak meramaikan panggung perpolitikan. Mereka
Sementara itu partai besar lainya yaitu Partai Nasional Indonesia PNI mempunyai ormas mahasiswa Gerakan
Mahasiswa Nasional Indonesia GMNI yang berdiri pada tanggal 23 Maret 1954, sedngkan Partai Komunis Indonesia PKI membangun ormas mahasiswa yaitu
Central Gerakan Mahasiswa Indonesia CGMI.
Selain organisasi yang didasarkan pada ideologi tertentu, juga banyak bermunculan organisasi mahasiswa yang berdasarkan profesi dan komunitas.
Dalam kategori ini, kita dapat mengambil contoh Perhimpunan Mahasiswa Kedokteran Hewan PMKH di Bogor, Perhimpunan Mahasiswa Djakarta PMD,
Perhimpunan Mahasiswa Jogyakarta PMJ, Masyarakat Mahasiswa Malang MMM. Kemudian di UGM pada tanggal 11 Januari 1950 terbentuk Dewan
Mahasiswa DM yang merupakan lembaga mahasiswa tingkat universitas, dan kemudian diikuti dengan berdirinya Dewan Mahasiswa di UI pada 20 Nopember
1955.
15
Arbi Sanit, Mahasiswa, Kekuasaan dan Bangsa, Jakarta: Lingkar Studi Indonesia, hal.84.
16
Arbi Sanit, Ibid.
Universitas Sumatera Utara
saling berlomba-lomba, adu program untuk mendapatkan basis massa yang besar. Pertarungan semakin ramai ketika Soekarno lebih dekat pada organisasi-
organisasi yang berideologi komunis dan nasionalis radikal. Organisasi-organisasi mahasiswa yang berbasiskan agama—HMI, PMKRI—semakin terpinggirkan.
Pada tahun 1963, ketegangan politik di dalam kampus semakin memanas setelah GMNI, CGMI, Germindo, Permi semakin mendominasi senat fakultas dan dewan
mahsiswa universitas di perguruan-pergurun tinggi yang ada.
17
Konflik yang terjadi misalnya ketika kongres nasional keempat Majelis Mahasiswa Indonesia
MMI pada bulan April 1964 di Malino, dalam kongres ini GMMI memenangkan 18 dari 24 kursi esekutif. Sementara itu, kelompaok mahasiswa dari UI dan ITB
yang non-GMNI tidak mendapatkan posisi yang menyebabkan mereka menolak hasil kongres, dan akibatnya dewan mahasiswa dari kedua universitas ini
dikeluarkan dari MMI.
18
Pertentangan-pertentangan terus terjadi sampai tahun 1965. Sebuah pertarungan di tingkat fakultas misalnya terjadi di fakultas sastra UI
ketika GMNI dan sekutu-sekutunya menuntut agar senat yang baru terbentuk dibubarkan karena terdapat unsur-unsur kontra-revolusioner seperti HMI.
19
Mahasiswa yang semakin tersingkir semakin membenci konsepsi Soekarno sendiri tentang demokrasi terpimpin, yang mereka anggap sebagai biang
keladi semakin tersingkirnya posisi mereka. Mahasiswa-mahasiswa ini, yang telah mendapatkan pendidikan tentang demokrasi liberal, yang sayup-sayup mereka
peroleh dari barat, merasakan bahwa demokrasi tepimpin sangat merantai kebebasan mereka, tidak sesuai dengan teori yang pernah mereka dapatkan.
17
John Maxwell, Soe Hok-Gie, Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani, Jakarta: Grafiti. Hal. 140.
18
John Maxwell, Ibid, hal.143.
19
John Maxwell, Ibid, hal.147.
Universitas Sumatera Utara
Apalagi kedekatan pemerintahan Soekarno dengan Soviet maupun Cina Komunis yang membuat gerah banyak kalangan—termasuk mahasiswa. Ruang-ruang bagi
golongan non komunis dan non nasionalisme radikal seakan-akan telah tertutup. Golongan-golongan mahasiswa yang merasa senasib sepenanggungan ini
kemudian bersatu, mengorganisasikan di dalam kesatuan-kesatuan aksi.
Sementara itu, situasi tahun 1960-an semakin memanas dengan adanya konfontrasi dengan Malaysia yang menyebabkan hubungan dengan negara-negara
barat—khususnya Amerika dan Inggris—semakin memburuk. Amerika yang melihat Indonesia sebagai tempat yang strategis karena letaknya pada jalur
perdagangan internasional dan mempunyai jumlah penduduk yang besar sangat potensial bagi pasar produk-produk Amerika. Namun, situasi yang semakin
berkembang semakin menunjukkan Indonesia semakin jatuh dalam genggaman komunis yang selalu mengusung isu-isu anti imperialisme. Dan apabila Indonesia
sampai jatuh ke tangan kaum komunis, maka semakin sulitlah bagi bangsa-bangsa barat untuk mendominasi ekonomi di negara-negara Asia Tenggara.
Kekuatan lain yang merasa terdesak pada masa demokrasi terpimpin ini adalah tentara. Mereka yang sejak demokrasi parlementer merasa disingkirkan,
dalam beberapa hal memang mendukung demokrasi terpimpin yang menguntungkan mereka. Namun, karena kedekatan Soekarno dengan kelompok
komunis, menyebabkan tentara semakin gerah karena secara ideologi mereka sangat berseberangan dengan ideologi komunis, apalagi setelah kaum komunis
mengusulkan dibentuknya angkatan kelima dengan mempersenjatai kaum tani.
Universitas Sumatera Utara
Akhirnya, ketiga kekuatan di atas—mahasiswa yang berideologi liberal, Amerika dan tentara—bersatu ketika pecah peristiwa 30 September 1965—yang
dianggap sebagai pemberontakan PKI. Histeria anti komunis kemudian ditiupkan keseluruh pelosok negeri, dibentuklah Kesatuan Aksi Penggayangan Gestapu
KAP-Gestapu. Badan ini dipimpin oleh politikus NU Subchan dan aktivis katolik Harry Tjan dengan dukungan penuh dari tentara.
20
Dalam perkembangan selanjutnya, setelah pertemuan terakhir dirumah Menteri Pendidikan Tinggi,
Brigjen. Syarief Thayep, tepatnya pada tanggal 25 Oktober 1965 dibentuklah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia KAMI. Organisasi ini didominasi oleh
organisasi seperti PMKRI, SOMAL, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia PMII, dan Mahasiswa Pancasila Mapancas—organisasi ini dekat dengan
tentara, ketuanya David Napitupulu dekat dengan Brigjen Sukendro dan Jendral Nasution.
21
20
John Maxwell, Ibid, hal.154.
21
John Maxwell, Ibid, hal 159.
Maka, sejak saat ini, pemburuan terhadap orang-orang komunis atau simpatisanya dimulai. Inilah prestasi dari Gerakan Mahasiswa 1966, bersama
tentara dan Amarika, berhasil menggulingkan kekuasaan Soekarno dan menaikkan Soeharto dengan tumbal jutaan rakyat yang tidak berdosa. Salah satu pimpinan
GM ’66, Soe Hok-Gie merasa ngeri sendiri setelah melihat dari demostrasi- demontrasi pengganyangan terhadap komunis selama delapan belas bulan:
“Tetapi bagi yang ikut-ikutan PKI karena pertimbangan-pertimbangan ekonomi keadaan ini sangat sulit. Banyak ex-SOBSI tidak tahu-menahu
tentang komunisme. Mereka masuk SOBSI karena kalau tidak masuk mandor mereka yang komunis akan mempersulitnya. Demikian pula
BTI-nya. Pernah seorang petani hampir dibunuh di Bali minta-minta ampun dan bersumpah bahwa ia bukan PKI. “Organisasi saya adalah
BTI,” katanya dengan berlinang air mata.
Universitas Sumatera Utara
Mereka tidak bisa mengerti mengapa tiba-tiba mereka dipecat, dibunuh, diasingkan masyarakat dan diusir dari pergaulan. Dan hampir tak ada
yang mau memberikan kerja baru untuk mereka karena mereka ex- SOBSI. Lowongan yang tersedia untuk mereka adalah yang tak perlu
tanda tidak terlibat Gestapu tukang beca, kuli harian, pedagang kecil tukang loak dan untuk wanita babu atau pelacur bagi yang masih
muda dan lumayan wajahnya.
Di desa di aman kesempatan kerja lebih sulit biasanya mereka menjadi pedagang kecil atau lari ke kota. Saya pernah menjumpai di sebuah desa
di Jawa tengah seorang istri “Gestapu” yang membuka warung kopi mulai jam 3 pagi untuk memberikan makan 9 orang anaknya. Kehidupan
mereka sangat berat. Anak-anaknya juga “punya inferiority complex” karena ayahnya ada di penajara. Kesembilan anak ini tidak berani
bermain-main disawah atau jalan-jalan karena “malu” diejek oleh kawan-awan sebayanya. Mereka bermain-main sesama saudara di
rumah mereka sendiri. Anak-anak kecil ini telah belajar betap “pahitnya” politik.
Bagi yang keluarganya yang dibunuh keadaanya lebih parah. Mereka diam dan tak banyak berkata. Tetapi dalam hati kecilnya tumbuh dendam
kebencian terhadap golongan yang telah membunuh sanak mereka. Dan saat kebencian ini kebencian akan mengambil bentuknya. Kita tidak tahu
berapa jumlah mereka. Tetapi kalau kita ambil angka 300 ribu orang mati terbunuh selama masa-masa tersebut dan pembunuhan ini
menimbulkan bekas pada 3 atau 4 orang sanaknya yang terdekat istri- anak-saudara kandung, ayah maka dewasa ini terdapat kira-kira satu
juta orang yang hidup menyimpan dendam untuk masa kemudian”.
22
22
John Maxwell, Ibid, hal.273.
Gerakan mahasiswa kembali memberi warna dalam ritme politik nasional ketika di tahun 1974 mahasiswa kembali bergerak, Bandung, Jakarta, dan
Yogyakarta adalah kota dimana para mahasiswa mulai merasakan depolitisasi yang dilakukan oleh Orde Baru. Pergolakan kembali dilakukan dengan menolak
Soeharto menjadi Presiden untuk yang kedua kali. Beberapa mahasiswa di tangkap dan dijeboskan kedalam penjara.
Universitas Sumatera Utara
Pada 19 April 1978, sebagai bagian dari upaya depolitisasi kampus dan meredam aktivitas politik mahasiswa, konsep Normalisasi Kehidupan
KampusBadan Koordinasi Kemahasiswaan NKKBKK diterapkan secara resmi oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan DR. Daoed Joesoef, melalui Surat
Keputusan Menteri P dan K No. 01V1978. NKKBKK ini baru diakhiri secara formal oleh Mendikbud Prof. DR. Fuad Hassan pada 28 Juli 1990, dengan
keluarnya Surat Keputusan No. 403U1990 tentang Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi SMPT.
Iklim politik nasional sementara itu makin menunjukkan penguatan rezim Orde Baru, yang ditandai dengan kemenangan Golkar yang didukung militer pada
Pemilu 1971, 1977, dan 1982. Penguatan rezim Orde Baru ini diperkokoh dengan pencanangan Pancasila sebagai asas tunggal bagi seluruh organisasi politik dan
kemasyarakatan pada 1982, penyeragaman pemahamannya sebagai ideologi melalui Tap MPR No. IIMPR1978, serta pemberlakuan Paket 5 UU Politik pada
tahun 1985, yang membatasi jumlah partai politik dan merampas kedaulatan rakyat. Melalui Tap MPR No. IIMPR1978 juga diberlakukan Penataran P4
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila kepada berbagai kalangan masyarakat, birokrat sipilmiliter, dengan metode indoktrinasi.
Mahasiswa dilarang berpolitik, ataupun melakukan aktivitas yang berbau politik, kebebasan intelektual kampus di kebiri, dan kontrol yang kuat kepada
organisasi – organisasi mahasiswa diperketat. Kampus menjadi sebuah penjara berpikir bagi semua civitasnya.
Universitas Sumatera Utara
Praktis sejak diberlakukan NKKBKK, gerakan mahasiswa “tertidur”. Kebijaksanaan NKKBKK ini kemudian lebih diperketat lagi. Ketika Mendikbud
dijabat oleh Nugroho Notosusanto, pemerintah memberlakukan transpolitisasi yaitu ketika mahasiswa ingin berpolitik, mahasiswa harus disalurkan melalui
organisasi politik resmi macam Senat, BEM, dll, diluar itu dianggap ilegal. Dalam kurun waktu ini juga diberlakukan Sistem Kredit Semester SKS, sehingga
aktivitas mahasiswa dipacu hanya untuk cepat selesai studikuliah dan meraih IP yang tinggi. Inilah hal-hal yang membuat mahasiswa semakin mengalami
depolitisasi dan semakin terasing dari lingkungannya.
Implikasi konsep NKKBKK adalah pembubaran DEMA, yang merupakan simbol demokrasi kampus. Segala kegiatan kemahasiswaan tidak lagi dibawah
asuhan DEMA tapi langsung di bawah kontrol BKK. Alhasil semua kegiatan pun langsung dibawah kontrol pejabat teras Universitas, Rektor dan para dosen.
Ditambah lagi salah satu peraturan dalam NKKBKK, jabatan Pemimpin Umum Pers Mahasiswa harus dipegang oleh dosen yang ditunjuk langsung oleh rektorat.
Yang terjadi kemudian adalah demoralisasi di tingkatan mahasiswa. Mahasiswa dipaksa kembali ke dunia akademik --mengajar, berbangku kuliah
lagi, belajar ke luar negeri, -- membentuk NGOs yang pada tahun 1982 sudah ada ribuan NGO, berbisnis, berkolaborasi dengan rejim dan sebagainya. NGO
menjajakan kemanusiaan borjuis-kecil --mengemis reformasi ekonomi-politik pada rejim diktatorkorup, bahkan ada yang masih bermimpi membangun pulau
impian di tengah modal raksasa-- kaum sekolahan yang baru pulang belajar dari
Universitas Sumatera Utara
luar negeri mengajarkan -- di tengah kemampuan bahasa Inggris kaum muda yang menyedihkan-- teori-teori baru sosial-demokrasi, neo-marxis, new-left ….
23
Ada dua kecenderungan yang muncul kemudian. Pertama, kembali kepada gerakan awal 1900: munculnya kembali kelompok-kelopok diskusi. Kehadiran
kelompok-kelompok diskusi inipun dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, karena apabila diketahui oleh rejim bisa berakibat fatal. Kita dapat melihat nasib
yang menimpa Bonar Tigor Naipospos, Bambang Isti Nugroho
24
….kebanyakan mahasiswa mencerahkan sel-sel otaknya dalam kelompok-kelompok studi untuk menemukan makna demokrasi walau sering tak
bisa menerima sifat blak-blakannya, makna egalitarian walau tak bisa menerima radikalisme dalam mewujudkannya. Semua nilai-nilai budaya baru itu
diserap dan dimuntahkan dalam dunia bacaan --betapa militannya mereka yang bisa berbahasa Ingris mencari buku-buku langka yang baru…..
dari kelompok diskusi Palagan yang dipenjara hanya karena memperjualbelikan buku Pramoedya
Ananta Toer. Rejim memang tidak ambil peduli kepada siapapun yang akan kembali mengusik ketenangannya. Marlin menggambarkan sebagai berikut:
25
Kedua, mereka yang “melarikan” ke luar negeri setelah represi 1978 membawa ide-ide kiri baru New Left. Teori-teori yang sebetulnya sudah usang
ini diterapkan dengan apa adanya, “seperti halnya anak kecil yang baru melihat hal yang baru, ditiru begitu saja”. Ditengah rasa demoralisasi, mereka mengatakan
metode perjuangan harus diubah, perjungan harus melalui “pemberdayaan” rakyat. Maka dalam kurun waktu itu beratus-ratus LSM Lembaga Swadaya
23
John Maxwell, Ibid.
24
Bambang Isti Nugroho, seorang droup-out kelas 3 SMA, yang kemudian bekerja di fakultas MIPA UGM. Dia diadili karena memperdagangkan buku-buku Pramoedya Ananta Toer
dan menyimpan buku-buku Pram, Marxim Gorky, Frans Magnis Suseno.
25
Wawancara Marlin, LINK
Universitas Sumatera Utara
Masyarakat didirikan. Tapi dalam kenyataanya, LSM ini hanya dijadikan kedok untuk memperoleh kekayaan pribadi dengan membuat proposal dengan kata-kata
indah, “memperjuangkan” rakyat miskin.
Ada baiknya kita bahas secara singkat kemunculan organisasi LSM karena bagaimanapun berpengaruh kepada gerakan mahasiswa sampai saat ini.
Berbarengan dengan terjadinya represi terhadap gerakan mahasiswa 1978, Barat yang merupakan pusat dari kapitalisme mulai menyadari bahwa kebijaksanaan
mereka mulai menimbulkan keresahan sosial. Keadaan ini tentunya tidak dapat dibiarkan karena apabila dibiarkan bisa menjadi picu ledak bagi perlawanan
rakyat. Maka mulailah disiapkan dana untuk membangun organisasi-organisasi yang seolah-olah anti negara, berasal dari arus bawah,
26
26
Lihat James Petras, Kritik Terhadap Kaum Post Marxis, LINK.
. Organisasi inilah yang dipakai untuk masuk ke daerah-daerah “api” dan kemudian digunakan untuk
menjaga “api” tersebut supaya tidak membesar. Organisasi ini juga digunakan untuk mendemoralisasi perlawanan rakyat. Lembaga-Lembaga Swadaya
Masyarakat ini mempunyai hubungan simbiosis mutualisme dengan kapitalis internasional. Kapitalis butuh LSM untuk mencegah terjadinya konflik sosial,
sedangkan LSM butuh dana kapitalis untuk memperbesar “perut” mereka. Sampai saat ini menjadi anggota LSM adalah kecenderungan mantan aktivis mahasiswa
yang sudah selesai kuliah. Ini terjadi karena perspektif ideologi mereka lemah – setelah selesai studi di universitas berarti sudah tidak pantas lagi terlibat aktif
dalam gerakan mahasiswa – padahal apabila mereka mempunyai kesadaran ideologis, tentu akan bergabung dengan organisasi revolusioner.
Universitas Sumatera Utara
Walau bagaimanapun ketatnya rejim berusaha “memagari” gerak mahasiswa, lambat laun mahasiswa bisa lepas juga dari kungkungan yang ada.
Perlahan namun pasti, mahasiswa yang mempunyai kesadaran politis, keluar dari “ruang-ruang” diskusi dan kembali mulai turun ke jalan. Seperti yang dijelaskan
diatas, gerakan mahasiswa mengambil strategi “melingkar”, melakukan aksi-aksi advoksi terhadap kasus-kasus rakyat, hal ini mengingat depolitisasi kampus yang
amat kronis. Gerakan mahasiswa mencoba menyadarkan mayoritas mahasiswa yang terkena trauma dan mengalami depolitisasi dengan menunjukkan realitas-
realitas yang ada di masyarakat, bahwa penindasan, pelanggaran HAM, kesewenang-wenangan dilakukan oleh penguasa. Memang dalam kurun waktu ini
banyak kasus-kasus seperti penghapusan becak dan angling darmo, pengusuran tanah, masalah perburuhan, pem-PHK-an yang kesemuanya tanpa perlawanan
pihak yang ditindas.
Strategi “melingkar” ini memang berhasil – walaupun tidak maksimal, seperti yang dijelaskan diatas, kampus tidak mampu untuk diliberalisasikan --
mengusik hati para mahasiswa yang masih ada di dalam kampus untuk kembali terlibat dalam gerakan-gerakan mengkritisi, menentang kebijaksanaan penguasa.
Awal-awal 1990 mulai muncullah organisasi mahasiswa “ilegal” bagi rejim. Ini merupakan perkembangan dari organisasi-organisasi bentukan gerakan mahasiswa
akhir 1986–1990, yang berupa komite-komite aksi. Gerakan mahasiswa mencoba melakukan konsolidasi ditingkat nasional dan mulai mempermanenkan organ
yang ada. Di Yogyakarta muncul Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta FKMY, di Surabaya muncul Forum Komunikasi Mahasiswa Surabaya FKMS,
Universitas Sumatera Utara
di Manado lahir Forum Komunikasi Mahasiswa Manado FKMM, dan organ- organ lain di Jakarta, Bandung, Solo, Semarang.
Dalam periode diatas, pers mahasiswa juga memberikan sumbangan yang cukup besar dalam menumbuhkan semangat demokratisasi. Ditengah membeonya
pers-pers umum, pers mahasiswa berani muncul sebagai pers alternatif dalam melihat kondisi yang terjadi di Indonesia. Kritik-kritik pedas dan bahkan
dilakukan secara terus terang terhadap rejim Soeharto seringkali membuat gerah pengguasa, sehingga banyak pers-pers mahasiswa yang ditutup oleh penguasa
lewat tangan rektorat.
Sejak munculnya organisasi-organisasi diatas, gerakan mahasiswa semakin menguat. Aksi-aksi mahasiswa mulai membesar kembali, energi perlawanan
mahasiswa timbul kembali. Di Yogyakarta pertengahan tahun 1992, 12 ribu mahasiswa Universitas Gajah Mada dan universitas lain di Yogya didampingi
rektor UGM -- Prof. Koesnadi Harjosoemantri -- melakukan rally dari kampus UGM menuju DPRD I Yogyakarta, memprotes diberlakukanya Undang-undang
Lalu Lintas No. 141992. Tahun 1993 ribuan mahasiswa – mayoritas mahasiswa Islam – menduduki Gedung DPRMPR, menuntut SDSB dihapuskan. Menteri
Sosial waktu itu, Inten Soeweno, dengan menitikkan air mata mencabut pemberlakuan SDSB di depan anggota DPR sementara diluar gedung, ribuan
mahasiswa terus menjalankan aksinya.
Satu tahun kemudian, mahasiswa diberbagai daerah memprotes dibredelnya Tempo, Detik, dan Editor. Beberapa aksi direpresif oleh militer,
seperti yang terjadi di Jakarta. Namun demikian aksi-aksi mahasiswa terus
Universitas Sumatera Utara
berlanjut. Tahun 1996, tepatnya bulan April, di Ujung Pandang, mahasiswa yang memprotes kebijaksanaan kenaikan tarif transportasi ditembaki oleh militer,
sekitar 7 mahasiswa tewas dalam insiden tersebut. Aksi ini telah menimbulkan solidaritas di kalangan mahasiswa lain di berbagai daerah, seperti Jakarta,
Surabaya, Lampung, Yogyakarta, Solo, Semarang, bahkan di Yogyakarta sempat terjadi bentrokan dengan militer.
Sentimen anti kediktoran rejim Orde Baru Soeharto mulai meluas. Keberanian rakyat untuk mempertahankan hak-haknya semakin tumbuh. Jaringan
dan wadah-wadah perlawanan mulai dibentuk diberbagai tempat dan sektor masyarakat. Watak kerakyatan dalam perlawanan demokratik mulai muncul
sebagai pendorong utama untuk memaksakan keterbukaan dengan mulai terangkatnya isu perburuhan dan tani pertanahan. Unsur-unsur demokratik dan
kerakyatan dalam perlawanan telah mampu berkembang dan berdiri di garda depan, baik dalam skala sektoral maupun wilayah tertentu.
Sementara di dalam kampus mulai dibentuk organ mahasiswa sektor kampus. Sebelumnya selama kurun waktu 1979-1995 hanya ada lembaga
mahasiswa formal yang diakui oleh pemerintah, yaitu Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi SMPT. Tahun 1995 mulai dirintis berdirnya kembali Dewan Mahasiswa
Dema, yang sejak diberlakukannya NKKBKK dimatikan keberadaannya. Maka muncullah Dema UGM, Dema UI, Dema USD. Namun sebelum konsolidasi ini
selesai, meletuslah peristiwa 27 Juli 1996. Setelah “Peristiwa Sabtu Kelabu”, rejim Soeharto memburu-buru aktivis mahasiswa radikal dan aktivis PRD yang
difitnah sebagai dalang peristiwa tersebut. Dalam kurun waktu 1996-akhir 1997,
Universitas Sumatera Utara
dapat dikatakan gerakan mahasiswa tiarap. Kalaupun ada aksi, hanya sebatas dilakukan oleh kelompok-kelompok mahasiswa radikal dengan kembali memakai
komite aksi yang bersifat “musiman” untuk terus melakukan perlawanan.
Sejak September 1997 krisis ekonomi global ikut menyapu Indonesia, nilai rupiah melemah terhadap dolar AS, harga-harga barang kebutuhan pokok mulai
merangkak naik, banyak perusahaan yang gulung tikar akibatnya banyak buruh yang ter-PHK. Dampak ini secara langsung juga menimpa mahasiswa, terutama
mahasiswa perantauan, harga makanan melonjak, kertas naik, belum lagi orang tuanya yang di PHK atau perusahaan mereka yang bangkrut.
Dari kondisi seperti ini, aksi-aksi mahasiswa mulai marak kembali, dengan tuntutan-tuntutan ekonomis, seperti turunkan harga. Akan tetapi kelompok
mahasiswa radikal yang masih minoritas secara kuantitatif tetap melancarkan tuntutan politik, seperti suksesi kepemimpinan nasional, pencabutan Dwi Fungsi
ABRI. Secara perlahan, bersamaan dengan krisis ekonomi yang semakin memuncak, usaha-usaha kelompok radikal untuk menarik dari kesadaran
“ekonomis” menjadi kesadaran politik mulai berhasil. Aksi-aksi mahasiswa yang semakin membesar mulai meneriakkan tuntutan politik, meminta Soeharto turun.
Ini merupakan sejarah maju dalam gerakan mahasiswa di Indonesia. Tuntutan yang selama ini “diharamkan” tidak ditabukan lagi. Seperti halnya dalam tulisan
Aspinal tentang tuntutan mahasiswa yang semakin politis:
Tipe demostrasi mahasiswa merupakan reduksi dari naiknya harga barang, menuntut dihapuskannya korupsi, kolusi dan nepostisme, dan menuntut reformasi.
Dari awal kebanyakan protes secara ekplisit menuntut Soeharto turun dari jabatan
Universitas Sumatera Utara
sebagai presiden sebuah ekpresi dari sentimen ini dapat dilihat pembakaran gambar Soeharto pada sebuah aksi di Universitas Gadjah Mada pada tanggal 11
Maret.
27
Dalam kurun waktu awal Februari sampai Mei 1998, secara kuantitatif dan kualitatif gerakan mahasiswa naik secara dratis, dengan tuntutan yang sudah
politis. Di kampus UI, Depok, dari tanggal 19-26 Maret terjadi aksi besar yang hampir menyamai aksi di tahun 1966
28
. Pada hari terakhir Sidang Umum MPR 1998, di Yogyakarta, sebuah patung raksasa berwajah Soeharto dibakar oleh para
demonstran, sekitar 50 ribu mahasiswa memenuhi Balairung UGM dalam aksi tersebut. Pada hari yang sama juga terjadi aksi-aksi di Solo, Surabaya, Malang,
Manado, Ujung Pandang, Denpasar, Padang, Purwokerto, Kudus
29
Dalam perkembangannya aksi-aksi mahasiswa semakin radikal. Diberbagai wilayah terjadi bentrokan antara demostran dengan militer. Di
Universitas Sebelas Maret Surakarta dan di kampus Universitas Lampung, pada tanggal 17 Maret 1998 terjadi bentrokan antara mahasiswa-- yang ingin
melanjutkan rally keluar kampus-- dengan militer. Sementara di Yogyakarta, tanggal 2 - 3 April bentrokan terjadi di Boulevard UGM dan bentrokan berulang
pada tanggal 13 April ketika demonstran dikejar-kejar dan ditembaki oleh militer sampai ke dalam kampus. Hampir 8 jam kampus UGM dikusai oleh militer. Di
Medan juga terjadi bentrokan serupa, dalam aksi tanggal 24 April demosntran melempari militer dengan molotov, akibatnya kampus Universitas Sumatera
Utara USU diliburkan beberapa hari. Pada bulan Mei aksi-aksi mahsiswa .
27
The Indonesia Student Uprising of 1998, Edwad Aspinal .
28
Ibid
29
Ibid
Universitas Sumatera Utara
semakin bertambah banyak, kampus-kampus yang selama ini apolitis ikut terlibat dalam aksi-aksi. Peristiwa paling tragis terjadi tanggal 12 Mei ketika terjadi aksi
di Universitas Trisakti, Jakarta, 6 mahasiswa gugur diterjang peluru militer. Peristiwa ini kemudian menyulut perlawanan dari sektor rakyat lain, tanggal 13-
14 Mei Jakarta lumpuh total dengan adanya kerusuhan masal. Sementara pada peringatan Hari Pendidikan Nasional, tanggal 2 Mei, terjadi bentrokan di Jakarta,
Medan, Yogyakarta, Jember, Malang dan beberapa kota lain. Antara tanggal 1 Maret sampai 2 Mei tercatat 14 bentrokan antara mahasiswa dan militer yang
terjadi di Jawa, Sumatera, Bali dan Lombok. Ketika hari-hari terakhir Soeharto akan “lengser”, gedung DPRMPR dikuasai mahasiswa, ratusan ribu mahasiswa
menggelar mimbar bebas di gedung tersebut. Sementara di Yogyakarta, sehari sebelum Soeharto turun, sekitar satu juta rakyat – yang dipelopori mahasiswa
Yogyakarta -- memenuhi alun-alun Utara, menuntut Soeharto mundur.
Masa-masa ini merupakan masa-masa yang revolusioner bagi gerakan mahasiswa. Aksi-aksi mahasiswa dibeberapa tempat bahkan sudah menguasai
RRI seperti yang terjadi di Surabaya, Semarang, Padang. Sementara di Medan, mahasiswa menguasai bandar udara. Dapat dikatakan aktivitas penerbangan,
terutama penerbangan internasional, lumpuh total. Dalam kurun waktu ini juga bermunculan beratus-ratus komite mahasiswa, besar maupun kecil. Namun
sayangnya gerakan yang sudah membesar ini hanya mampu menghasilkan pengalihan jabatan presiden dari Soeharto ke Habibie. Kelemahan-kelemahan apa
yang menyebabkan gerakan mahasiswa gagal melakukan perubahan total, nanti akan kita bahas lebih lanjut.
Universitas Sumatera Utara
Setelah berhasil “melengserkan” Soeharto, secara kualitatif dan kuantitatif gerakan mahasiswa menurun, hampir 6 bulan gerakan seperti tenggelam tertelan
tanah. Gerakan kembali bangkit mendekati Sidang Istimewa MPR, pertengahan Nopember. Pada tanggal 13-14 Nopember 1998 aksi besar-besaran terjadi di
Jakarta. Sekitar satu juta mahasiswa dan rakyat berkumpul didepan kampus Universitas Atmajaya, Jakarta. Mereka akan melakukan rally ke gedung
DPRMPR. Kemudian meletuslah insiden Semanggi, ketika mahasiswa yang akan meninggalkan Universitas Atma Jaya ditembaki oleh militer, korban kembali
berjatuhan. Gerakan kali ini disokong penuh oleh rakyat – disamping rakyat terlibat aktif dalam aksi-aksi, ikut membuat barikade, mengejar pamswakarsa,
juga memberikan bantuan logistik --, kerusuhan seperti Mei tidak terjadi karena mahasiswa berhasil memimpin. Gerakan tidak hanya terjadi di Jakarta, dibeberapa
daerah seperti Yogyakarta, markas militer seperti Korem sempat dikuasai mahasiswa selama beberapa jam, sementara di tempat lain mahasiswa berhasil
memaksa RRI menyiarkan tuntutan-tuntutan mereka. Represi memang hanya terjadi di Jakarta, sedangkan gerakan di daerah tidak mengalami represi, secara
kualitatif dan kuantitatif gerakan di daerah juga tidak membesar seperti di bulan Mei ’98. Kembali tuntutan mahasiswa seperti cabut Dwi Fungsi ABRI, Tolak SI
dan pemerintahan transisi belum berhasil digolkan.
Merujuk pada masalah diatas, penulis tertarik untuk menganalisa lebih mendalam mengenai gerakan perlawanan mahasiswa dalam merubuhkan simbol
kediktatoran pada masa Orde Baru. Gerakan yang secara spontan terjadi pada masa tersebut terjadi juga karena momentum dimana ketika itu krisis ekonomi
semakin memuncak dan semakin menjerat leher orang miskin yang ada di negeri
Universitas Sumatera Utara
ini. Segala kebijakan ekonomi yang ditetapkan oleh Soeharto menjadi boomerang kembali kepadanya dengan hadirnya perlawanan dari semua basis-basis massa
yang dipelopori oleh mahasiswa. Meskipun masih bersifat momentuman, sektarian dalam artian hanya didominasi oleh kaum intelektual kampus dan tidak
melibatkan massa rakyat luas tapi gebrakan dari gerakan ini mampu mengantarkan Indonesia ke dalam suatu system pemerintahan baru yakni
reformasi dan menjatuhkan symbol kediktatoran selama 32 tahun. Namun strategi taktik seperti apa yang telah dilakukan oleh mahasiswa pada masa itu serta
bagaimana peran, keterlibatan dan keberpihakan Negara pada mahasiswa?
2. PERUMUSAN MASALAH