Gerakan Mahasiswa Dalam Perspektif Kepentingan Kelas.

2. Gerakan Mahasiswa Dalam Perspektif Kepentingan Kelas.

Tradisi historis yang mengandung gagasan ini dimulai dari Babeuf melalui Hegel dan sampai ke Marx. Penaklukan ideologis ini berarti bahwa pembebasan manusia harus diarahkan pada usaha yang sadar untuk merombak tatanan masyarakat, untuk mengatasi sebuah keadaan di mana manusia didominasi oleh kekuatan ekonomi pasar yang buta dan mulai menggurat nasib dengan tangannya sendiri. Aksi pembebasan yang sadar ini tidak dapat dijalankan secara efektif, dan tentunya tidak dapat berhasil, jika orang belum menyadari dan mengenal lingkungan sosial tempatnya hidup, mengenal kekuatan sosial yang harus dihadapinya, dan kondisi sosial ekonomi yang umum dari gerakan pembebasan itu. Sama seperti persatuan antara teori dan praktek merupakan penuntun yang mendasar bagi setiap gerakan pembebasan saat ini, begitu pula Marxisme mengajarkan bahwa revolusi, revolusi yang sadar, hanya dapat berhasil jika orang mengerti azas masyarakat tempatnya hidup, dan mengerti kekuatan pendorong yang menggerakkan perkembangan sosial ekonomi masyarakat tersebut. Dengan kata lain, jika ia tidak mengerti kekuatan yang menggerakkan evolusi sosial, ia tidak akan sanggup mengubah evolusi itu menjadi sebuah revolusi. Ini adalah konsepsi utama yang diberikan Marxisme kepada gerakan mahasiswa revolusioner di Eropa. Para mahasiswa pelopor tidak sekadar mengidentifikasikan diri mereka dengan perjuangan di Aljazair, Kuba dan Vietnam. Mereka memperlihatkan simpati kepada perjuangan pembebabasan dari apa yang disebut Dunia Ketiga Universitas Sumatera Utara secara keseluruhan. Perkembangannya dimulai dari sini. Di Prancis, Jerman, Italia --dan proses yang sama sedang berlangsung di Inggris-- tidak akan mungkin memulai aksi yang revolusioner tanpa analisis teori tentang asas dari imperialisme, kolonialisme, dan kekuatan-kekuatan yang mendorong eksploitasi Dunia Ketiga dengan imperialisme, dan di sisi lain, kekuatan yang mendorong perjuangan pembebasan massa yang revolusioner menentang imperialisme. Melalui analisis tentang kolonialisme dan imperialisme kekuatan gerakan mahasiswa Eropa yang paling maju dan terorganisir kembali kepada titik di mana Marxisme dimulai, yakni analisis tentang masyarakat kapitalis dan sistem kapitalis internasional di mana kita hidup. Jika kita tidak memahami sistem ini, kita tidak akan dapat memahami alasan dilakukannya perang kolonial dan gerakan pembebasan di negeri jajahan. Kita juga tidak akan dapat mengerti kenapa kita harus mengikatkan diri kepada kekuatan-kekuatan ini di tingkat dunia. Di Jerman misalnya, proses ini terjadi dalam waktu kurang dari enam bulan. Gerakan mahasiswa dimulai dengan mempertanyakan struktur universitas yang otoriter, dan terus menuju masalah imperialisme dan keadaan Dunia Ketiga, dan dengan menghubungkan diri dengan gerakan pembebasan maja timbul kebutuhan menganalisis kembali neo-kapitalisme di tingkat dunia dan di negeri di mana mahasiswa-mahasiswa Jerman itu bergerak. Mereka kembali kepada titik awal analisis Marxis tentang masyarakat di mana kita hidup untuk memahami alasan- alasan terdalam dari masalah sosial dan perlawanan. Dalam perspertif kepentingan kelas ini, pada dasarnya mennggunakan tiga asumsi dasar, yaitu; pertama, rakyat dianggap memiliki sejumlah kepentingan dasar dimana mereka akan terus berupaya keras akan memenuhinya, kedua, Universitas Sumatera Utara kekuasaan menjadi inti dari struktur social dan ini akan melahirkan perjuangan untuk mendapatkannya, ketiga, nilai dan gagasana dalah senjajta konflik yang digunakan oleh berbagai kelompok untuk mencapai tujuan masing-masing, ketimbang sebagai alat mempertahankan identitas dan menyatukan tujuan masyarakat. Berakar dari pandangan Marxisme, yang didasarkan pada pandangan bahwa revolusi adalah sebagai sebuah kebutuhan yang disebabkan oleh memburuknya hubungan produksi yang memunculkan masa krisis ekonomi, depresi dan kehancuran. Jawaban yang jelas dari pengalaman sejarah gerakan revolusioner, bukan hanya dari periode Marxis tapi bahkan dari periode pra- Marxis, adalah kenyataan bahwa keduanya tidak dapat dipisahkan. Aksi tanpa teori tidak akan efisien atau tidak akan berhasil melakukan perubahan yang mendasar, atau seperti saya katakan sebelumnya, kita tidak dapat membebaskan manusia tanpa sadar. Di pihak lain, teori tanpa aksi tidak akan mendapat watak ilmiah yang sejati karena tidak ada jalan lain untuk menguji teori kecuali melalui aksi. Setiap bentuk teori yang tidak diuji melalui aksi bukan teori yang sahih, dan dengan sendirinya menjadi teori yang tidak berguna dari sudut pandang pembebasan manusia. Hanya melalui usaha terus menerus memajukan keduanya pada saat bersamaan, tanpa pemisahan kerja, maka kesatuan teori dan aksi dapat dimantapkan, sehingga gerakan revolusioner tersebut, apapun asal usul maupun tujuan sosialnya, dapat mencapai hasilnya. Dalam hubungannya dengan pemisahan kerja, ada satu hal lain yang membuat saya tersentak, dan benar- Universitas Sumatera Utara benar menyentak karena diajukan dalam satu pertemuan orang-orang sosialis. Pemisahan teori dan aksi yang sudah begitu buruk, kini diberi satu dimensi baru dalam gerakan sosialis ketika dikatakan: di satu pihak ada para aktivis, orang- orang awam yang kerja kasar. Di pihak lain adalah elit yang kerjanya berpikir. Jika elit ini terlibat dalam aksi demonstrasi, maka mereka tidak akan punya waktu berpikir atau menulis buku, dan dengan begitu maka ada elemen berharga dalam perjuangan yang akan hilang. Reformasi ini tidak akan mencapai tujuannya karena tidak menyentuh persoalan dasar dari pemberontakan mahasiswa. Mereka tidak berusaha menekan sebab-sebab keterasingan mahasiswa, dan sekalipun melakukannya, mereka hanya akan membuat mahasiswa makin terasing. Dalam kenyataan, rancangan reformasi itu tidak lain untuk meluruskan organisasi universitas agar sesuai dengan kepentingan ekonomi neo-kapitalis dan masyarakat neo-kapitalis. Para pemilik modal mengatakan bahwa tentu sangat disayangkan adanya proletariat akademis dan akan sangat sayang sekali begitu banyak orang yang meninggalkan universitas dan tidak berhasil mendapat pekerjaan. Ini akan menimbulkan ketegangan sosial dan ledakan sosial. Peradaban, pendidikan, dan kemajuan hanyalah untuk menyembunyikan kenyataan ekspolitasi dan perampasan, penindasan, tindakan brutal, dan penghinaan. Semuanya adalah kata-kata rendah yang dimaksudkan untuk membodohi dan meninabobokan kita dalam tidur. Inilah sebabnya mengapa kita harus mencermati setiap kata-kata yang dikemukakan oleh rezim opresif untuk kenyataan yang disembunyikannya. Golongan borjuasi terus menegaskan bahwa Universitas Sumatera Utara minoritas yang pintar dan ahli, orang-orang kaya dengan gelar akademis, harus memerintah mayoritas yang mereka anggap bodoh dan tidak becus. Eca de Queiroz, salah seorang penulis terbesar Portugal, dalam suatu karya besarnya, O Conde de Abranbos, mencela dan rnembuka kedok kaum borjuasi, dengan mengungkapkan mentalitas dari borjuasi penghisap dan penindas yang terwujud dalam sistem pendidikan universitas: “Mahasiswa selamanya tetap dicekoki ide-ide sosial mulia bahwa ada dua kelas, satu kelas yang mengetahui dan satu lagi kelas yang menghasilkan. Secara alamiah, kelas yang pertama menjadi otak, memerintah; kelas yang kedua menjadi tangan, yang bekerja membuat pakaian, sepatu, memberi makan, dan membayar kelas pertama ... Lulusan-lulusan universitas menjadi politisi, ahli-ahli pidato, penyair, dan menjadi kapitalis, bankir, serta menjadi pengusaha besar. Kelas kedua yang tidak terdidik menjadi tukang kayu, tukang kasar di jalanan, pekerja perkebunan tembakau, penjahit” ... “Ide mengenai pembagian menjadi dua kelas ini bermanfaat karena setelah diajarkan untuk menerimanya, mereka yang lulus meninggalkan universitas tidak akan teracuni ide yang berlawanan --ide yang absurd dan ateistis yang merusak harmoni universal-- yang berpendapat bahwa orang tidak berpendidikan itu bisa mengerti hal-hal seperti yang dimengerti oleh kaum terpelajar. Tidak, tidak bisa. Kecerdasan itu tidak sama, yang karena itu menghancurkan prinsip-prinsip kesamaan intelektual yang membahayakan, dasar dari suatu sosialisme yang jahat.” Negara Imperialis mulai mendominasi negara dunia ketiga melalui kontrol penjajahan langsung. Sekarang kontrol mereka itu kebanyakan mengambil bentuk dominasi ekonomi atau modal. Kucuran hutang yang diberikan bank-bank negara maju kepada dunia ketiga yang dipaksakan untuk membiayai pembangunan Universitas Sumatera Utara dengan menggunakan pinjaman tersebut, memaksa negara-negara dunia ketiga untuk mengijinkan perusahaan-perusahaan dari negara-negara imperialis untuk mengeksploitasi secara massif sumber daya alam dan kaum buruh mereka. Biasanya, klas penguasa menggunakan nasionalisme untuk menghancurkan solidaritas para pekerja yang ada di negara Imperialis terhadap penindasan yang menimpa kaum buruh di negara dunia ketiga. Perasaan solidaritas inilah yang dapat mengakibatkan keberhasilan dalam perjuangan melawan eksploitasi imperialis. Rasisme biasanya juga digunakan untuk memecah-belah buruh-buruh di negara dunia pertama dan ketiga. Di negara- negara otoriter, sistem ini dipaksakan dengan cara-cara yang lebih brutal seperti kediktatoran, aturan-aturan militer, dan repressi. Dalam teori negara klasik dikatakan bahwa negara merupakan refleksi dari masyarakat, yang muncul sebagai produk dari tak terdamaikannya kontradiksi kelas. Negara Indonesia merupakan negara yang paling dikuasai oleh kelas kapitalis, kelas yang berkuasa. Contohnya bila para penguasa mati, perusahaan- perusahaan modal yang ia miliki akan jatuh ke keluarganya bukan ke negara. Tetapi, minimal yang harus kita terima dari teori-teori negara adalah bahwa negara tidaklah netral, ia adalah penjaga dari sistem yang menguntungkan sebagian kecil dari masyarakat, sementara sebagian besar lainnya yang tidak berpunya hidup di bawah penindasan sistem kapitalisme ini. Kembali kepada teori negara klasik, negara merupakan alat dari kelas penguasa untuk menindas. Alat negara mengesahkan penindasan dengan bantuan lembaga pemaksa yang paling utama yaitu: tentara, pengadilan dan penjara, sehingga apa yang disebut dengan Universitas Sumatera Utara negara kapitalis merupakan negara yang berfungsi sebagai alat untuk melipatgandakan modal. Gerakan Demokrasi yang dilakukan mahasiswa menyadari bahwa kita tidak dapat mengharapkan kelas borjuasi atau kelas menengah. Yang penulis maksudkan kelas menengah di sini adalah para manajer, kaum profesional, teknokrat dan juga dari kaum sekolahan. Kelas menengah bagaimana pun tidak akan menghasilkan kekuatan yang efektif di Orde Baru ini. Apalagi depolitisasi serta ketiadaan basis material mereka untuk merespon deregulasi dan liberalisasi ekonomi Orde Baru menyebabkan mereka cenderung untuk mendukung kekuasaan atau paling mentok yang muncul pada kelas menengah hanyalah rasa nasionalisme dan rasa humanisme ketimbang demokrasi. Mereka mungkin saja akan memainkan peranan efektif bila terjadi perpecahan di antara elit penguasa, tetapi hal ini adalah utopis belaka, karena biasanya perpecahan di tingkat elit akan benar-benar menjadi kenyataan bila ada gerakan dari bawah yang akan memainkan peranan utama dalam proses demokratisasi di Indonesia. Sedangkan posisi kelas mahasiswa tidak jelas serta kenyataan historis gerakan mahasiswa dalam masa orde baru menunjukkan kenyataan yang tidak dapat dibantah, bahwa gerakan mahasiswa tidak akan mempunyai kekuatan apa-apa bila tidak bersatu dengan kekuatan mayoritas lain yang ada di masyarakat. Seperti telah dikatakan di atas bahwa mereka, secara struktural, tidak mempunyai kekuatan. Dalam hal ini kita akan melihat siapakah yang menjadi tenaga penggerak utama dalam proses demokratisasi di Indonesia. Arti penting tenaga penggerak utama di sini dimaksudkan bukan hanya terletak pada Universitas Sumatera Utara ketertarikankepentingan mereka terhadap demokrasi, tetapi yang lebih penting lagi adalah apakah mereka mempunyai kekuatan yang sanggup memaksa negara terpaksa menyelenggarakan sistem demokrasi di Indonesia. Demokrasi yang saya maksudkan di sini jangan dipandang hanya dari segi aturan formal belaka. Demokrasi harus nyata, yaitu kebebasan berbicara, berserikat dan --bahkan-- berpartai, yang dalam abstraksinya adalah memunculkan kekuatan-kekuatan di Rakyat sehingga negara tidak dapat memaksakan kehendaknya dengan sewenang- wenang kepada Rakyat. Parlemen yakni DPR dan MPR juga harus lebih berkuasa dibandingkan dengan pemerintah dan harus dipahami bahwa perjuangan demokrasi juga selalu beriringan dengan perjuangan di tingkat ekonomi rakyat, dan inilah alasan mengapa yang paling berkepentingan dan mempunyai kekuatan untuk mencapai masyarakat demokratis adalah Rakyat. Gerakan mahasiswa beberapa tahun belakangan ini juga telah mengambil isu-isu kerakyatan sebagai agenda gerakan seperti kasus-kasus penggusuran tanah baik oleh proyek pemerintah maupun swasta, kenaikan harga listrik, serta undang- undang lalu lintas dan sebagainya. Tetapi yang harus disadari adalah bagaimana memunculkan dan membangun kekuatan mahasiswa dan yang lebih penting lagi adalah membangun kekuatan rakyat yang telah kita ketahui sebagai satu-satunya kekuatan utama demokrasi. Tidak ada cara lain bagi perjuangan yang sulit dan panjang ini kecuali dengan berhubungan langsung dengan mereka, mengorbankan waktu kita untuk mendengarkan, belajar dan memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh mereka secara bersama-sama, yang selanjutkan dapat menyadarkan rakyat akan arti pentingnya pendirian organisasi yang membela kepentingan mereka. Universitas Sumatera Utara Kita tahu bahwa selama ini rakyat tidak mempunyai alatorganisasi untuk memperbaiki kondisi kehidupan mereka. Sedangkan kebebasan berorganisasi dihambatdilarang di negeri ini. Sehingga tuntutan utama bagi proses demokrasi di Indonesia Orde Baru adalah kebebasan bagi rakyat untuk mendirikan organisasi. Tuntutan ini harus menjadi tema utama bagi gerakan demokrasi di masa Orde Baru. Tetapi tuntutan ini tidak boleh hanya disuarakan oleh mahasiswa tetapi yang lebih penting lagi adalah tuntutan oleh rakyat sendiri yang telah sadar akan pentingnya organisasi bagi perjuangan memperbaiki kondisi sosial ekonomi dan politik mereka. Oleh karena itu tugas yang paling berat dan panjang adalah menyatukan gerakan mahasiswa dan gerakan rakyat, terutama gerakan buruh serta proses pendidikan politik rakyat dan ini merupakan salah satu tindakan politik yang selama ini telah dihalang-halangi sekian lama. Protes-protes mahasiswa dan buruh menjadi mata rantai bagi perjuangan demokrasi. Pendidikan sebagai sebuah pranata sosial hanya berfungsi melestarikan kebudayaan antar generasi. Kebudayaan dengan sendirinya merupakan produk interaksi sosial, di mana di dalamnya saling jalin faktor-faktor ekonomi, politik bahkan pertahanan keamanan. Masyarakat bukan sebuah benda mati yang inert, tetapi sistem yang dinamik. Kampus dan sekolah berada di tengah masyarakat yang bergejolak kadang evolusioner, namun tak jarang muncul dalam bentuk letupan-letupan revolusi. Maka pendidikan tidak mungkin lari dari persoalan- persoalan sosial, betapa pun diklaim bahwa warga kampus memiliki keunikannya sendiri sebagai bagian dari komunitas intelektual. Universitas Sumatera Utara Kebudayaan yang hidup di kampus tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan yang menghegemoni mendominasi paling kuat masyarakat. Artinya, sistem pendidikan yang diberlakukan oleh suatu rejim mencerminkan tipe kebudayaan yang ingin dilestarikan oleh rejim sebagai otoritas hegemoni. Di sinilah kita bisa memahami letak rencana privatisasi ITB sebagai sebuah keputusan politik yang dilatari oleh cara pandang dan kepentingan tertentu. Kepentingan itu tidak lain adalah industrialisasi, motor pembangunan nasional yang lebih sering menguntungkan kalangan pemilik modal kapital ketimbang rakyat kebanyakan. Untuk mengamankan kepentingan para pemodal, pemerintah menggunakan alat- alat rejim, mulai dari parlemen, peradilan yudikatif, regulasi-regulasi pemerintah, polisi, tentara, lembaga-lembaga agama dan termasuk lembaga pendidikan. Maka jangan heran mengapa pemerintah berusaha sekuat mungkin mencegah aksi-aksi kaum buruh menuntut hak-haknya, karena itu berarti mengancam kepentingan kapitalis yang selama ini menghidupi napas penguasa. Demonstrasi-demonstrasi mahasiswa yang berujung tindakan brutal polisi dan tentara menunjukkan upaya rejim membendung radikalisasi massa rakyat. Bisa dikatakan setiap rejim menyimpan ketakutan terhadap aksi radikal mahasiswa. Mahasiswa berpotensi membawa kesadaran politik kepada rakyat melalui aksi-aksi massa dan gerakan bawah tanahnya. Untuk itulah rejim berusaha membatasi gerak-gerik mahasiswa di dalam kampus melalui aparat pendidikan dan secara sistemik dengan kebijakan pendidikan. Pengetatan kurikulum menjadi 144 SKS bisa dibaca sebagai upaya untuk menjinakkan mahasiswa sehingga waktunya tersedot untuk akademis saja. Mahasiswa dipacu untuk cepat-cepat lulus. Pemerintah mempunyai dua keuntungan: Pertama, mahasiswa tidak bisa Universitas Sumatera Utara banyak tingkah. Kedua, lulusan perguruan tinggi makin cepat terserap ke dalam sistem industri. Pendidikan tidak pernah steril dari motif-motif politik dan ekonomi. Di bangku SD hingga SLTA diajarkan indoktrinasi nasionalisme- chauvinistik melalui pelajaran PSPB. Pelajaran sejarah, kita tahu persis hanya mengikuti versi pemerintah. Banyak fakta-fakta sejarah yang disembunyikan. Perguruan-perguruan tinggi di Indonesia sendiri dikenal lemah kecakapan akademiknya. PTN atau pun PTS tidak mampu menghasilkan karya-karya penelitian bermutu yang berguna bagi pengembangan industri dalam negeri. Jalan pintasnya, industri membeli teknologi dari negara maju, yang berarti ketergantungan terhadap kekuatan modal internasional. Akibatnya PTN dan PTS pun tidak mempunyai daya tawar sama sekali terhadap industri dan terpaksa menyesuaikan diri dengan kepentingan industri, dengan memfungsikan dirinya semata-mata pemasok tenaga kerja melimpah dan murah. Pemerintah mengekalkan hegemoni sistem itu melalui kewenangan legalnya untuk memaksakan kebijakan pendidikan. Rencana privatisasi kampus berarti pemerintah akan mengurangi anggaran pendidikan. Kampus harus membiayai dirinya sendiri. Alasannya, banyak perguruan tinggi yang sudah maju hingga patut dilepaskan pemerintah. Selama kontrol dari mahasiswa dan masyarakat tidak berfungsi, tidak tertutup kemungkinan kampus akan menaikkan SPP tanpa banyak protes. Kurikulum dan peraturan-peraturan lainnya akan semakin otoriter dipaksakan kepada mahasiswa. Intervensi pemodal ke dalam kampus makin besar, didesak oleh kebutuhan kampus untuk membiayai dirinya. Kampus akan semakin jauh dari fungsinya Universitas Sumatera Utara sebagai lembaga pendidikan, berubah menjadi industri pendidikan yang komersial, semata-mata berfungsi sebagai pabrik bagi “bahan baku” tenaga kerja yang terampil. Privatisasi tidak sejalan dengan otonomisasi kampus. Dalam privatisasi, mahasiswa sama sekali diabaikan. Hak mahasiswa untuk mengorganisasi diri tidak disinggung-singgung. Hubungan antara mahasiswa dan aparat pendidikan tidak dijelaskan. Padahal, justru mahasiswa yang paling terkena dampak kebijakan tersebut, baik selama kuliah maupun setelah bekerja. Sangat mendesak penguatan daya tawar mahasiswa terhadap pihak Rektorat melalui organisasi mahasiswa yang solid dan mengakar ke bawah. Dalam artian betul-betul konsisten memperjuangkan tuntutan mahasiswa sehingga dapat menarik simpati massa mahasiswa. Perjuangan untuk kepentingan akademik ini tidak bisa dipisahkan dari perjuangan dalam spektrum yang lebih luas, yaitu menentang sistem pendidikan kapitalistik yang tidak memanusiakan. Pendidikan yang hanya menghasilkan sekrup-sekrup mesin industrialisasi untuk memupuk kekayaan kalangan kapitalis. Pendidikan macam ini tidak bisa dibiarkan menelan kita. Kontrol dari mahasiswa dan masyarakat luas harus dihidupkan. Privatisasi tidak boleh dilakukan sebelum prasyarat-prasyarat partisipasi politik tersebut tumbuh. Kebebasan berorganisasi bagi mahasiswa serikat mahasiswa dan staf pendidikan serikat buruh pendidikan, kontrol mahasiswa dan kedewasaan dari kalangan penentu kebijakan pendidikan sendiri. Prasyarat tersebut hanya bisa dihidupkan dengan mengajukan tuntutan-tuntutan seperti kesamaan kesempatan bagi semua lapisan masyarakat untuk memperoleh Universitas Sumatera Utara pendidikan tinggi termasuk anak-anak buruh, nelayan, petani, dsb yang selama ini didominasi lapisan menengah, dan penurunan biaya pendidikan. Idealnya, pendidikan gratis. Dengan kekayaan alam yang melimpah, sudah sewajarnya masyarakat memperoleh hak berupa fasilitas pendidikan modern dan murah gratis. Tuntutan pembebasan biaya pendidikan tidak lain adalah bagian dari perjuangan menciptakan tatanan demokrasi sosial yang di dalamnya tercakup demokrasi politik, ekonomi dan kebudayaan. Sampai saat ini, dalam kenyataannya, negara tak pernah menjalankan secara konsekuen dengan amanat UUD 1945 dalam persoalan pendidikan. Di masa Orde Baru, kecenderungan ini justru lebih terlihat dibanding periode sebelumnya. Bahkan terkesan di masa Orde Baru, pendidikan mulai secara perlahan dikomersialkan. Bertambahnya populasi manusia Indonesia semasa Orde Baru tak pernah dihadapi dengan persiapan infrastruktur sosial, termasuk pendidikan. Bahkan dapat dikatakan, pemerintah justru tak pernah dengan serius memperhatikan persoalan ini. Pemerintah Orde Baru justru lebih membiarkan anak-anak Indonesia masuk ke dalam jeratan pendidikan swasta. Memang begitu banyak dibangun SD-SD Inpres, tetapi sangat jelas kelanjutan dari pendidikan dasar tersebut sangat tidak diperhatikan. Bahkan kini, program SD Inpres ini sepertinya sama sekali ditinggalkan, jika kita melihat begitu banyak gedung- gedung SD Inpres, terutama di daerah pedesaan, yang nyaris rubuh dan hanya memiliki beberapa orang guru saja untuk mendidik semua tingkat kelas yang ada. Dengan pembenaran kesulitan semacam inilah, pintu untuk pendidikan swasta, di bawah naungan yayasan-yayasan yang kebanyakan bersifat keagamaan, Universitas Sumatera Utara masuk memanfaatkan segenap potensi pasar yang ada. Berdirilah sekolah-sekolah dan kampus-kampus yang kini semakin jelas terlihat tujuan mereka sebenarnya hanyalah uang dan penumpukan akumulasi modal serta keuntungannya di tangan satu orang saja. Seiring dengan pertumbuhan industri, kebutuhan akan tenaga kerja terdidikpun muncul, terutama dengan keahlian yang benar-benar seperti yang diinginkan oleh para pemilik perusahaan. Kebutuhan tersebut ternyata tak terjawab oleh adanya sekolah-sekolah kejuruan yang ada. Untuk menjawab keinginan ini, negara memperkenalkan sistem pendidikan D1, D2, dan D3. Iming- iming cepatnya lulusan diploma mendapatkan pekerjaan, membuat program ini laku diminati orang dan berbondong-bondong lulusan SMA menyertakan dirinya ke dalam program ini. Tahun-tahun terakhir dari masa Orde Barupun kita mulai mendengar istilah “Link and Match” yang bermakna hubungan yang katanya harmonis antara dunia Industri dan Pendidikan. Tujuan dari model pendidikan seperti ini, menurut Wardiman Djojonegoro, adalah setiap peserta didik dapat langsung mendapatkan pelatihan yang menggunakan perkembangan teknologi terakhir sehingga memudahkan ia untuk bekerja nantinya dan pihak industri mendapatkan pekerja yang sesuai dengan kualifikasi yang diinginkannya. “Link and Match” meski belum sempat diterapkan secara efektif, namun minimal ia adalah salah satu gerbang masuknya pengaruh perusahaan-perusahaan besar ke dalam sistem pendidikan Indonesia. Pemerintah begitu bersemangatnya, sehingga merasa harus memberikan insentif berupa pembebasan pajak bagi Universitas Sumatera Utara industri yang menjalankan konsep ini, atau yang sering disebut Pendidikan Sistem Ganda. 75 Hasil akhir dari sistem pendidikan yang dibangun oleh Orde Baru adalah sebuah mimpi buruk. Dari penelitian yang dilakukan Departemen Pendidikan dan PBB Dalam kenyataannya kemudian, pelibatan dunia industri justru membuka kesadaran bagi dunia industri untuk mentenderkan riset dan pengembangan produknya di kampus-kampus. Dan juga membuka kesadaran di kalangan kampus, bahwa kampus dapat dijadikan lahan bisnis yang cukup besar. 76 75 Insentif bagi Industri yang Lakukan Pelatihan, Kompas, Kamis, 26 Juni 1997 menyatakan, di tingkat Sekolah Dasar misalnya, hanya separuh siswa SD di Indonesia yang lulus pada tahun keenam, 65 persen lulus pada tahun ketujuh, dan 70 persen yang lulus pada tahun kedelapan. Penyebaran kualitas pendidikan pun sangat menyedihkan. 80 persen calon mahasiswa PTN terbaik berasal dari sekolah-sekolah di Jawa. Lihat saja skor rata- rata untuk penerimaan mahasiswa baru UMPTN tahun 2000 yaitu 771 orang, sedangkan di luar Jawa hanya berkisar 400-600 orang. Salah satu argumen yang berkembang tentang sumber persoalan ini adalah karena pola kebijakan pendidikan yang sentralistis, di mana pusat mengatur mulai dari jam belajar, metode belajar, dan target yang harus dicapai. Akibatnya, terdapat keterbatasan sekolah dalam mengatasi berbagai macam masalah, karena sekolah dan guru hanyalah pelaksana yang selalu dibelenggu oleh aturan-aturan baku yang ditetapkan oleh pusat. 76 Tempo, 7 Januari 2001 Universitas Sumatera Utara Intervensi komersialisasi justru menjadi penyebab utama dari segudang persoalan di atas. Soeharto menyebabkan membengkaknya iuran pendidikan yang harus dibayar orang tua siswa akibat adanya pengutipan oleh birokrasi sekolah atau kampus. Ia juga menyebabkan adanya buku-buku tidak bermutu yang malah dipakai oleh sekolah-sekolah. Ia menyebabkan munculnya sekolah-sekolah dan kampus-kampus yang materi pengajarannya harus dengan sangat terpaksa kini diragukan. Pemerintah yang cuci tangan dari kewajibannya dan pembukaan pendidikan untuk komersialisasi jelas adalah penyebab utama dari amburadulnya hasil pendidikan Orde Baru. Semasa Orde Baru, dana pendidikan yang dikeluarkan tak lebih dari 8 persen dari APBN. Jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, seperti Thailand, maka dapat terlihat bahwa pemerintah Indonesia tak pernah memperhatikan pendidikan. Sejak tahun anggaran 1992, 1993, 1994, 1995, 1996 Thailand masing-masing mengalokasikan 18,8 persen, 19,3 persen, 19,5 persen, 18,9 dan 20,40 persen maka untuk periode yang sama Indonesia hanya 8,08 persen, 7,69 persen, 7,1 persen, 6,73 persen, dan 6,96 persen. Untuk hal yang sama, sering disebut-sebut Malaysia sudah mengalokasikan 25 persen sejak tahun 1974. 77 Anggaran pendidikan saat ini sangat memperlihatkan bahwa pemerintah memang benar-benar melepaskan tanggungjawabnya dari dunia pendidikan, apalagi memasukkan pendidikan sebagai salah satu yang diberikan tanggungjawabnya kepada pemerintah daerah. Sebelumnya, untuk kasus 77 Lewat Persentase Anggaran, Belajar dari Negara Lain, Kompas, Sabtu, 2 Mei 1998 Universitas Sumatera Utara Universitas Indonesia, pemerintah menanggung subsidi untuk setiap mahasiswa sebesar 2,5 juta rupiah per semesternya untuk menghadapi kebutuhan sekitar 7 juta per semester per mahasiswa. Pemerintah lalu memotong subsidi ini, dengan alasan agar dapat digunakan di pendidikan dasar-menengah. Akibatnya, iuran SPP yang ditanggung mahasiswa UI meningkat menjadi 750.000 rupiah dari 450.000 rupiah. 78 Konsep yang berlaku dalam otonomi pendidikan adalah apa yang disebut manajemen pendidikan berbasis sekolah dan kampus. Sekolah dan kampus bertanggung jawab atas keuangan, kegiatan atau program, sarana-prasarana, dan komponen-komponen penunjang pendidikan lainnya. Sekolah dan kampuslah yang merencanakan, melaksanakan, dan mengontrol dirinya dalam melakukan pembangunan diri ataupun pendidikan bagi siswa-siswanya. Otonomi pendidikan ini juga sejalan dengan otonomi daerah yang berlaku 1 Januari 2001. Berbagai Pemerintah Daerah Tingkat I dan II sudah menyatakan kesiapan dirinya. Mereka terutama adalah daerah-daerah yang memiliki sumber daya alam yang kaya. Dan inipun harus ditambah dengan dana DPKP yang menyebabkan total biaya yang ditanggung per mahasiswa lebih dari 1 juta per semester. Setelah mengatakan bahwa pemotongan subsidi untuk perguruan tinggi karena pemerintah ingin menggunakan dananya di pendidikan dasar dan menengah, diumumkanlah pemberlakuan otonomi pendidikan yang termasuk dalam paket otonomi daerah. Dalam otonomi pendidikan ini juga diperkenalkan manajemen pendidikan berbasis sekolah yang dapat disimpulkan dengan singkat bahwa uang SPP SD- SMTA juga ikut naik. 78 Kabupaten dan Kota Menjadi Basis Pengelolaan Pendidikan Dasar, Kompas, Rabu, 24 Februari 1999 Universitas Sumatera Utara Sebagai contoh Pemda Kalimantan Timur yang mengklaim sudah menyiapkan anggaran pendidikan sebesar 340 milyar rupiah dan dengan tambahan dana dari sektor kehutanan sebesar dua dolar per meter kubik kayu hutan industri yang dimilikinya. Salah satu kabupatennya, Kutai Kertanegara, yang kaya akan hasil tambang minyak dan emas bahkan akan menggratiskan sekolah sampai SMA. Namun tak semua provinsi dan kabupaten seperti Kalimantan Timur dan Kutai Kertanegara. Provinsi dan kabupaten yang selama ini miskin kekayaan alam dan berjubel penduduknya tidak akan mengalami keindahan dunia pendidikan seperti yang dialami Kaltim dan Kutai. Artinya, ada beberapa hal yang harus dicermati dalam pelaksanaan otonomi pendidikan. Desentralisasi pendidikan dimulai dengan memberi peran kepada pemerintah daerah tingkat kabupaten atau kotamadya sebagai basis pengelolaan pendidikan dasar. Sedangkan untuk pendidikan tinggi. Pertama, otonomi daerah telah menyebabkan kembalinya sumber-sumber daya untuk pendidikan ke daerah- daerah. Asumsi dari otonomi daerah, atau lebih tepatnya sumber kepalsuannya, setiap daerah memiliki potensinya masing-masing sehingga justru dengan otonomi daerah setiap daerah bisa mencapai tingkat kemakmuran. Di Jabotabek dan Jawa Barat masih banyak SD-SD yang fasilitasnya dan mutu pendidikan yang diperoleh siswa-siswanya sama-sama menyedihkan dengan di daerah-daerah lainnya. Dibandingkan dengan SD-SD yang berada dalam perkembangan infrastruktur di daerah-daerah luar Jawa di mana alam masih menjadi sumber keterbatasan, sebenarnya SD-SD di Jawa, di mana segala macam fasilitas telah tersedia, ternyata memiliki nasib sama-sama menyedihkan. Yang tak Universitas Sumatera Utara kalah penting adalah kondisi yang sangat dipenuhi ketimpangan di awal pemberlakuan pendidikan. Kondisi SD-SD di Jawa Barat dan SD-SD di Papua jelas sangat jauh berbeda baik dari segi fasilitas, tenaga pengajar, kemampuan siswa, dan mutu pendidikannya. Atau dalam contoh ekstrem, sebuah SMA negeri unggulan di Jakarta dengan semua ruang kelas ber-AC, memiliki lab komputer, dan segudang fasilitas lainnya bisa beroperasi karena SPPnya mencapai ratusan ribu rupiah. Bahkan saat ini juga telah muncul sekolah-sekolah plus dari swasta yang berfasilitas hebat dan berstandar pendidikan internasional. 79 Kedua, otonomi pendidikan tidaklah berarti peningkatan porsi anggaran pendidikan, atau titik perhatian pemerintah. Padahal, penyebab utama rendahnya mutu pendidikan Indonesia adalah rendahnya dana yang dialokasikan untuk sektor pendidikan. Jangan pernah tertipu oleh jumlah uang yang dianggarkan untuk pendidikan, tapi perhatikanlah persentasinya dari total anggaran. Jika alokasi anggarannya tetap rendah, maka justru otonomi pendidikan justru akan menyengsarakan siswa-siswa. Karena otonomi pendidikan juga berarti menyerahkan tanggung jawab penyediaan dana kepada sekolah-sekolah, dan yang paling mudah untuk mendapatkan dana adalah menaikkan iuran sekolah. Sekolah-sekolah ini memang berkualitas karena dananya juga berasal dari murid-muridnya yang kaya. Otonomi pendidikan justru akan menghambat pemerataan mutu pendidikan baik antar daerah dan juga antar lapisan-lapisan ekonomi masyarakat. Jika begitu, otonomi pendidikan dengan konsep manajemen berbasis sekolahnya menjadi upaya cuci tangan pemerintahan dari tanggung jawab membenahi segala macam kerusakan yang telah terjadi dalam sistem pendidikan Indonesia. 79 Sekolah Plus, Menghitung Dengan Dollar, Suplemen, Tempo, 18 Maret 2001 Universitas Sumatera Utara Seperti yang pernah diungkapkan di atas, masuknya intervensi industri ke dalam kampus telah menciptakan basis bisnis baru, riset dan pengembangan produk. Awalnya, ladang bisnis ini dijalankan secara diam-diam ataupun bahkan diselimuti oleh institusi-institusi penelitian kampus untuk membiayai berbagai macam kegiatan akademik. Yang digunakan juga fasilitas-fasilitas kampus. Kenapa tidak? Di negara-negara maju hal ini sudah menjadi sesuatu yang lumrah. Apalagi hampir kebanyakan tenaga pengajar yang dinilai terbaik oleh kampus- kampus Indonesia dididik di negara-negara tersebut. Namun lama kelamaan, ia menjadi lahan bisnis yang menguntungkan, terutama untuk beberapa kalangan di dalam kampus yang dekat dengan fasilitas penelitian dan pengembangan kampus. Dan pihak birokrasi kampus pun mulai melihat riset IPTEK sebagai lahan bisnis yang dapat memberikan pemasukkan untuk anggaran kampus, ataupun anggaran pribadi jika person-personnya terlibat KKN. Dunia bisnis dengan dunia kampus memiliki perbedaan yang mendasar. Jika dunia kampus adalah bertugas melayani masyarakat, dunia bisnis memiliki hanya satu kepentingan yakni memperkaya para pemegang saham. Dan apa jadinya jika fasilitas penelitian di kampus-kampus lebih banyak dipakai untuk kebutuhan-kebutuhan komersil, maka akan terjawab dengan sendirinya semua pusat perhatian penelitian di kampus akan lebih banyak tercurah kepada kepentingan-kepentingan para pemilik modal, bukan mayoritas masyarakat. Saat inipun, banyak tugas-tugas akhir mahasiswa S1, terutama di fakultas- fakultas teknik, sudah sangat banyak dipengaruhi oleh pengembangan fasilitas penilitian kampus sebagai sarana bisnis. Banyak dosen-dosen pembimbing yang Universitas Sumatera Utara juga terlibat proyek penelitian dengan berbagai perusahaan justru memanfaatkan tenaga gratisnya para mahasiswa tugas akhir tersebut untuk membantu menyelesaikan proyeknya. Konsep otonomi kampus juga memperkenalkan model performance contract untuk pemberian subsidi pendidikan. Misal, di kampus A pemerintah memberikan sejumlah bantuan block grant yang diikat oleh sejumlah persyaratan seperti jumlah kelulusan yang dihasilkan dan kualitas dari kelulusan tersebut haruslah mencapai standar tertentu.Jika kuantitas dan kualitas yang ditentukan tidak dapat dipenuhi, maka akan menjadi evaluasi dalam pemberian bantuan selanjutnya. Bisa jadi evaluasi tersebut menjadi alasan pengurangan subsidi yang diberikan ke kampus A tersebut. Sistem semacam ini tak ubahnya membuat kampus menjadi pabrik sarjana, dimana manusia-manusia yang dididik di dalam kampus-kampus benar-benar hanya siap untuk menjadi mur dan baut dunia industri. Kurikulum jelas akan benar-benar dipengaruhi prasyarat-prasyarat yang tercantum dalam kontrak bantuan. Lihat saja betapa besar genjotan yang dilakukan pihak birokrasi kampus untuk mempercepat masa studi seorang mahasiswa perguruan tinggi negeri. Di banyak kampus negeri saat ini, dalam satu tahun dapat mengadakan tiga kali masa persidangan skripsi ataupun tugas akhir. Ini juga ditambah dengan batas maksimum masa studi yang perpanjangannya diembel-embeli dengan penambahan beban SPP. Dan semua itu sama sekali tidak memperhatikan apa yang diperoleh setiap wisudawan selama masa studinya di kampus-kampus tersebut. Universitas Sumatera Utara Dalam konsep otonomi pendidikan saat ini memang negara tidak terlalu dominan dibanding masa Orde Baru. Namun yang menarik, pelibatan semua unsur-unsur masyarakat di dalam Lembaga Pertimbangan Pendidikan dan Kebudayaan LPPK untuk SD-SMTA di pemda-pemda setempat, dan Majelis Wali Amanat MWA untuk perguruan tinggi negeri. Karena di dalam setiap lembaga tersebut, unsur usahawan selalu dimasukkan sebagai daftar pertama sebagai anggotanya. Jelas, masuknya usahawan ke dalam manajemen pendidikan tidak bisa ditolak jika yang bersangkutan benar-benar ingin membantu dunia pendidikan tanpa imbalan apapun. Namun kenyataannya, ini sering kali membuat institusi-institusi pendidikan memasukkan hitungan untung rugi finansial dalam memberikan pendidikan kepada peserta didiknya. Hal tersebut telah terjadi di berbagai negara, terutama negara-negara maju. Di Kanada misalnya, pengaruh korporat mulai mengarahkan kampus sebagai pelayan kepentingan ekonomi mereka, yaitu pasar produk mereka dan riset yang dilakukan kampus. Komersialisasi riset dan pengembangan justru dianjurkan oleh sebuah badan yang didirikan oleh pemerintah federal, Expert Panel on the Commercialization of University Research. Ternyata, badan yang diketuai oleh Menteri Perindustrian Kanada ini tidak diisi oleh ahli-ahli akademik, melainkan para pengusaha dan non akademisis lainnya yang memang ditunjuk oleh pemerintah. Penerapan model MWA di Kanada juga terjadi, sebagai contoh Board of Governors dari McGill University adalah para pengusaha besar di Montreal. 80 80 Kasrai, Reza, Corporate University, CFS-Quebec Education Action, edisi musim gugur 2001. Kasus demi kasus terjadi, dua yang terakhir adalah pendirian McGill College Universitas Sumatera Utara International yang didanai swasta dan kasus kesepakatan rahasia mengenai riset minuman dingin. Terlepas dari semua frasa kosong yang dikeluarkan oleh para konseptor otonomi pendidikan di Indonesia, kita tak bisa melupakan satu hal yang berkaitan langsung dan paling terasa oleh masyarakat. Otonomi pendidikan akan selalu diikut i oleh kenaikan SPP. Pengalaman di UNAM, Meksiko, membuktikan gratisnya sebenarnya tidak gratis tetapi sekitar 50 sen per semester, sehingga dapat dikatakan gratis pendidikan tidak berarti buruknya fasilitas kampus. Bahkan UNAM yang jumlah mahasiswanya mencapai 268.000 orang, memiliki fasilitas berupa empat buah SMA yang siswa-siswanya begitu lulus menjadi mahasiswa UNAM. Namun ketika program Neoliberalisme diperkenalkan, biaya SPP dinaikkan hingga US 140, sebuah angka yang cukup mahal di kota Meksiko. Akibatnya, hampir sebagian mahasiswa UNAM melakukan mogok kuliah yang kemudian berbentrokan dengan aparat kepolisian yang diundang oleh pemerintah untuk merebut kembali kampus. 81 Di Indonesia, mahasiswa negeri angkatan 1999 dan 2000 kini membayar uang mendekati 1 juta rupiah sebagai SPP. Sampai saat ini memang masih belum jelas untuk tingkat pendidikan di bawahnya, tetapi memang telah terlihat akibat- akibat kenaikan SPP ini, 3 juta anak usia SMTP tidak sekolah. Sementara itu, pemerintah tetap mendorong kebijakan otonomi pendidikan kepada pemda-pemda dan otonomi kampus. Untuk otonomi kampus saja, direncanakan subsidi untuk 81 http:www.newyouth.comarchivescampaignsmexicoUNAM.asp Universitas Sumatera Utara pendidikan tinggi akan terus-menerus dikurangi sampai nol dalam jangka beberapa tahun. Neo-liberalisme sendiri adalah variasi dari liberalisme klasik di abad 19 ketika Inggris dan imperialisme lainnya menggunakan ideologi kompetisi pasar dan perdagangan bebas untuk menyetujui kapitalisme di negara mereka sendiri dan negeri jajahan mereka di seluruh dunia. Pemberontakan di negeri-negeri Utara oleh buruh industri dan para pengangguran di tahun 1930-1940an dan di negeri- negeri Selatan di tahun 1940-1950an dalam perjuangan anti kolonial untuk mengakhiri liberalisme klasik dan kolonialisme pada umumnya. Akan tetapi usaha-usaha ini menggunakan ide aliran keynesian, yaitu digunakannya manajemen pemerintah pada upah dan tawar-menawar bersama collective bargaining sebagai subsidi pada industri untuk mendukung pertumbuhan produktivitas dan ide welfare state dengan tidak diakuinya upah dan campuran isue antara pemberontakan dan pembangunan untuk melawan koloni baru. Dalam perspektif sejarah, Neo-liberalisme dapat dilihat sebagai respon terakhir dari kapitalis pada kekuatan rakyat untuk menghancurkan bentuk eksploitasi sebelumnya dan mengagendakan sendiri perubahan sosial. Neo- liberalisme muncul dan dikenal meluas seperti yang terjadi di Amerika Latin ketika krisis hutang luar negeri meledak di tahun 1982 dimana Mexico mengumumkan tidak dapat lagi memenuhi kewajibannya atas hutang LN-nya. Tampak dengan naiknya bunga pinjaman dikemudikan oleh American Federal Reserve Boards Campaign Against Global Inflation - lembaga yang dibentuk untuk kampanye melawan inflasi global, seperti atas upah, runtuhnya produksi Universitas Sumatera Utara dunia dan perdagangan membuat tidak mungkin naiknya nilai mata uang asing dan Mexico dan negara-negara lain terancam kegagalan atas pinjaman luar negerinya. Di seluruh dunia, neo-liberalisme telah didiktekan oleh lembaga-lembaga keuangan yang berkuasa seperti International Monetary Fund IMF, Bank Dunia dan Inter-American Development Bank. Dalam responnya, IMF dan Bank Dunia melihat pada unsur kepemimpinan, menuntut adanya penggantian kebijakan berorientasi pasar di mana negara sebelumnya menerapkannya dan kemudian menggantinya dengan pendekatan pembangunan sebagai bagian dari persyaratan jaminan hutang. Pemerintah lokal apakah dengan penghargaan atau sakit yang tersembunyi -gembira dan menyepakatinya. Kebijakan ini mencampur apa yang telah diimplementasikan di negara-negara penghutang akan tetapi berbeda sedikit dengan inti dari orientasi secara umum dari kebijakan kapitalis di manapun di dunia ini di mana term neo-liberalisme dapat melayani cukup baik sebagai gambaran umum sekarang ini. Seperti beberapa penjahat Neo-liberalisme telah mempunyai banyak nama lain atau alias: Reaganomics, Thatcherism, supply-side economics, monetarism, new classical economics, shock therapy dan structural adjustment. Persoalannya bukan pada alias tapi para kapitalis pembuat kebijakan dan pembelanya dalam periode ini sangat antusias untuk mengikutsertakan kerakusan dan keuntungan dan memutarbalikan pada rakyat pekerja dan miskin. Sejak mahasiswa memapankan dirinya sebagai agen perubah dengan alatnya: gerakan mahasiswa. Mahasiswa belum mampu untuk melepaskan dirinya dari mitos tentang peran dan posisi sosial mereka. Hampir semua gerakan Universitas Sumatera Utara mahasiswa paska orde lama muncul akibat dari dorongan atas keyainan terhadap peranan sosial mereka. Namun bukannya berhasil untuk menunjukan kebenaran mitos tersebut, gerakan mahasiswa justru menjadi “alat negara” untuk menghegemoni rakyat. Negara sebagai pihak yang memiliki kekuasaan justru memberi ruang bagi mahasiswa untuk menjalankan peran yang dimitoskan, tidak pernah dan tidak akan diperbolehkan keluar dari mitos tersebut, sehingga rakyat dan mahasiswa semakin meyakini mitos tersebut. Namun semua itu menyebabkan mahasiswa semakin tidak mampu mengidenfikasikan peranan dan posisi sosial mereka. Gerakan mahasiswa dipengaruhi oleh proses interaksi antara sebuah konsep tak sadar tentang posisi dirinya yang diturunkan melalui lembaga pendidikan, yaitu sebagai calon pengisi jabatan politik dan ekonomi, dengan konsep yang diperoleh dari pemitosan dirinya sebagai agent of social change. Kedua aspek ini kemudian saling berdilektika dalam perjalanan gerakan mahasiswa ini. Aspek tak sadar yang menjadi motif pendorong seringkali lebih kuat dibandingkan aspek konsep yang cenderung bersifat mitos dan paradoks dengan dirinya sendiri. Keinginan untuk memposisikan diri dalam kekuasaan politik dan ekonomilah yang sebenarnya merupakan dasar dorongan utama atas gerakan-gerakan mahasiswa. Pada sistem otoriter dan korup, jalur untuk menduduki jabatan-jabatan penting secara politik dan ekonomi telah dihalangi oleh sistem itu sendiri. Hanya orang-orang yang direstui oleh pengusa, dalam hal ini bisa berupa orang yang memiliki kedekatan dengan pengusa atau memiliki uang yang cukup untuk “membeli” pejabat yang korup, yang dapat mengakses jabatan-jabatan tersebut. Ketiadaan akses inilah yang menghalangi mahasiswa Universitas Sumatera Utara untuk memmenuhi “takdirnya” sehingga ketiadaan akses ini harus dilawan demi “takdir” mereka sendiri. Sehingga bukanlah suatu hal yang aneh jika dalam banyak kasus gerakan mahasiswa lebih digunakan sebagai alat untuk memperoleh kekuasaan baik dalam ranah ekonomi maupun politik. Kedua aspek yang bergulat dalam diri mahasiswa ini juga yang dipergunakan oleh penguasa sebuah orde untuk meredam gerakan rakyat, gerakan mahasiswa dipergunakan sebagai alat hegemoni oleh penguasa. Dengan mengamini mitos bahwa mahasiswa adalah agent of social change, dan mempropangandakannya ke masyarakat, maka pemerintah dapat dengan mudah mengendalikan gerakan-gerakan di rakyat. Karena dengan memposisikan mahasiswa sebagai agen perubah maka rakyat akan dengan sukarela “menyerahkan nasibnya” untuk diperjuangankan oleh mahasiswa sehingga gerakan-gerakan rakyat akan jauh berkurang dan lebih didominasi oleh mahasiswa. Sedangkan sebagaimana kita tahu gerakan mahasiswa lebih mudah dipatahkan. Oleh karena itu selama konsepsi agent of change ini masih kuat melekat di mahasiswa dan rakyat maka gerakan mahasiswa akan selalu menjadi alat negara untuk meninabobokan rakyat. Universitas Sumatera Utara

3. Gerakan Mahasiswa Dalam Teori Demokrasi dan Demokratisasi