Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: 1.
Berdasarkan aspek etimologis dan terminologis maka perbuatan melawan hukum dalam bahasa Belanda dikenal dengan terminologi “wederrechtelijk” dalam ranah
hukum pidana. Pengertian dan terminologi “wederrechtelijk” dalam hukum pidana tersebut ada diartikan sebagai bertentangan dengan hukum in strijd met
het recht, atau melanggar hak orang lain met krenking van eens anders recht dan ada juga yang mengartikan sebagai tidak berdasarkan hukum niet steunend
op het recht atau sebagai tanpa hak zonder bevoegheid. Dalam hukum pidana, khususnya terhadap perkara tindak pidana korupsi telah terjadi pergeseran
perspektif dimana perbuatan melawan hukum formal formele wederrechtelijkheid menjadi perbuatan melawan hukum materil materiele
wederrechtelijkheid dalam artian setiap perbuatan yang melanggar norma-norma dalam kepatutan masyarakat atau setiap perbuatan yang dianggap tercela oleh
masyarakat. Dalam hukum pidana, sifat melawan hukum memiliki empat makna
yakni: Pertama, perbuatan melawan hukum diartikan syarat umum dapat dipidananya suatu perbuatan sebagaimana definisi perbuatan pidana yakni
kelakuan manusia termasuk dalam rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela. Kedua, kata melawan hukum dicantumkan dalam rumusan delik.
Dengan demikian, sifat melawan hukum merupakan syarat tertulis untuk dapat
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
dipidananya suatu perbuatan. Ketiga, sifat melawan hukum formal mengandung arti semua unsur dari rumusan delik telah dipenuhi. Keempat, sifat melawan
hukum materil mengandung dua pandangan bahwa dari sudut perbuatannya mengandung arti melanggar atau membahayakan kepentingan hukum yang
hendak dilindungi oleh pembuat undang-undang rumusan delik dan dari sudut sumber hukumnya, sifat melawan hukum mengandung pertentangan dengan asas
kepatutan, keadilan dan hukum yang hidup di masyarakat. Perkembangan berikut, sifat melawan huku m materil dibagi menjadi sifat melawan hukum materil dalam
negatif dan fungsi positif. Sifat melawan hukum materil dalam fungsi negatif berarti meski perbuatan memenuhi unsur delik tetapi tidak bertentangan dengan
rasa keadilan masyarakat, maka perbuatan itu tidak dipidana. Adapun sifat melawan hukum materil dalam fungsi positif mengandung arti, meski perbuatan
tidak memenuhi unsur delik, tetapi jika perbuatan itu dianggap tercela karena tidak sesuai rasa keadilan atau norma di masyarakat, maka perbuatan itu dapat
dipidana. 2.
Tindak pidana korupsi di Indonesia yang mempunyai karakteristik berbeda dengan tindak pidana pada umumnya sehingga merupakan salah satu bentuk
kejahatan luar biasa extra ordinary crime dan merupakan kejahatan yang secara serius. Penentuan terhadap pertanggungjawaban pelaku tindak pidana korupsi
dalam hal terjadinya perbuatan melawan hukum tidak dapat dipisahkan pada rumusan ketentuan Pasal 14 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 yang menentukan bahwa: “Setiap orang yang melanggar
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
ketentuan Undang-Undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang tersebut sebagai tindak pidan korupsi,
berlaku ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini”. Di samping itu rumusan Pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa“Setiap orang yang secara
melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 empat tahun dan paling lama 20 dua puluh
tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- dua ratus juta rupiah dan
paling banyak Rp. 1.000.000.000,- satu milyar rupiah. Bunyi pasal ini
mensyaratkan beberapa karakteristik unsur-unsur tindak pidana yaitu:
Pertama, Melawan Hukum. Kedua, Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Ketiga, Yang dapat merugikan keuanagan negara atau
perekonomian negara. Selanjutnya, untuk meminta pertanggungjawaban pelaku dalam hal terjadinya perbuatan melawan hukum dilandasi oleh adanya pergeseran
perbuatan melawan hukum fomal menjadi perbuatan melawan hukum materil dilakukan pembentukannya melalui yurisprudensi putusan hakim. Konkritnya,
yurisprudensi Mahkamah Agung RI telah memberi landasan dan terobosan serta melakukan pergeseran dalam penanganan Tindak Pidana Korupsi dari pengertian
perbuatan melawan hukum bersifat formal menjadi bersifat materil yang meliputi setiap perbuatan yang melanggar norma-norma dalam kepatutan masyarakat atau
setiap perbuatan yang dianggap tercela oleh masyarakat.
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
3. Mahkamah Agung yang tetap memberi makna perbuatan melawan hukum pada
Putusan Nomor 2609 KPID2006 sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No.31 tahun 1999, baik dalam arti formil maupun dalam arti
materil, walaupun oleh putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 25 Juli 2006, No.003PUU-IV2006 Penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No.20 tahun
2001 jo Undang-Undang No.31 tahun 1999 telah dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan telah pula dinyatakan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, mengingat alasan-alasan bahwa dengan dinyatakannya penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No.20 tahun
2001 jo Undang-Undang No.31 tahun 1999 sebagai bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan telah dinyatakan pula tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka yang dimaksud dengan unsur melawan hukum dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang tersebut menjadi tidak
jelas rumusannya, oleh karena itu berdasarkan doctrine ”Sens-Clair la doctrine du senclair hakim harus melakukan penemuan hukum dengan memperhatikan
Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang No.4 Tahun 2004 yang menentukan ”Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat”. Selanjutnya putusan Mahkamah Agung ini mengkontruskikan bahwa doktrin dan praktik peradilan jurisprudensi di Indonesia
tidak bersifat sebagai “the binding force of precedent” akan tetapi relatif bersifat sebagai“pressuasieve of precedent”. Dalam kasus tindak pidana korupsi
sebagaimana diputus oleh Mahkamah Agung Nomor 2609 KPID2006
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
berpatokan pada perbuatan terdakwa dalam perkara tindak pidana korupsi dengan melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara yang dilakukan terdakwa dengan cara melakukan penunjukan langsung pengadaan tinta sidik jari
yang digunakan pada Pemilu legislatif 2004.
B. Saran