Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
3. Bahan Hukum Tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang
memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer, sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah, serta
bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian.
48
Di samping itu untuk melengkapi data skunder, juga didukung dengan data primer yakni dilakukannya wawancara dengan informan yang dianggap memahami
tentang ajaran perbuatan melawan hukum dalam tindak pidana korupsi. Data primer berupa wawancara kepada informan digunakan sebagai data pelengkap dan
pendukung dari data skunder. Dengan kerangka teoritis merupakan alat untuk menganalisis data yang diperoleh baik berupa bahan hukum sekunder, pendapat-
pendapat atau tulisan para ahli atau pihak lain berupa informasi baik dalam bentuk formal maupun melalui naskah resmi yang dijadikan sebagai landasan teoritis.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan teknik dokumentasi. Metode ini penulis lakukan tidak lain hanya mengumpulkan bahan-
bahan melalui kepustakaan, yakni berupa buku-buku, putusan-putusan pengadilan jurnal, dokumen-dokumen serta sumber-sumber teoritis lainnya sebagai dasar
penyelesaian pokok masalah dalam tesis ini. Keseluruhan data ini kemudian
48
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Sebagaimana dikutip dari Seojono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Rajawali
Press, 1990, hal. 41.
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
digunakan untuk mendapatkan landasan teoritis berupa bahan hukum positif, pendapat-pendapat atau tulisan para ahli atau pihak lain berupa informasi baik dalam
bentuk formal maupun melalui naskah resmi.
4. Analisis Data
Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan selanjutnya akan ditelaah dan dianalisis secara kualitatif. Analisis kualitatif ini dilakukan dengan cara
pemilihan pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang penerapan asas perbuatan melawan hukum materil dalam perspektif tindak pidana
korupsi, kemudian membuat sistematika dari pasal-pasal tersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam
penelitian ini. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian yang sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data,
selanjutnya semua data diseleksi dan diolah kemudian dianalisis secara deskriptif sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan diharapkan akan memberikan
solusi atas permasalahan dalam penelitian dalam tesis ini.
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
BAB II AJARAN DAN KONSEP PERBUATAN MELAWAN HUKUM DI DALAM
HUKUM PIDANA
A. Eksistensi Perbuatan Melawan Hukum Di dalam Konsepsi Hukum Pidana
Hukum pidana di dalam prespektif sistem hukum di Indonesia berada pada ruang lingkup hukum publik yang secara esensial dapat dibagi lagi menjadi hukum
pidana materiil materieel strafrecht dan hukum pidana formal formeel strafrechtstrafprocesrecht.
49
Selanjutnya, ketentuan hukum pidana sesuai konteks di atas dapat diklasifikasikan menjadi hukum pidana umum ius commune dan hukum
pidana khusus ius singulare, ius speciale atau bijzonder strafrecht. Ketentuan hukum pidana umum dimaksudkan berlaku secara umum sebagaimana termaktub
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP, sedangkan hukum pidana
khusus menurut W.P.J. Pompe, H.J.A. Nolte, Sudarto dan E.Y. Kanter diartikan
ketentuan hukum pidana yang mengatur mengenai subyeknya dan perbuatan yang khusus bijzonder lijkfeiten.
50
49
L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 2005, hal. 171. Lihat juga, Jan Remmelink, Hukum Pidana Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003, hal. 5
50
Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Normatif, Teoretis, Praktik dan
Masalahnya, Bandung: Alumni, 2007, hal. 1
Hukum pidana sebagai lingkup hukum publik merupakan salah satu sarana untuk social defence dalam arti melindungi masyarakat
terhadap kejahatan dengan memperbaiki atau memulihkan kembali si pembuat tanpa mengurangi keseimbangan kepentingan perorangan pembuat dan masyarakat.
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
Identifikasi dari beberapas aspek atau bentuk-bentuk perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan adalah sebagai berikut:
51
1. Dilihat dari sudut perlunya perlindungan masyarakat terhadap perbuatan anti
sosial yang merugikan dan membahayakan masyarakat maka timbullan pendapat atau teori bahwa tujuan pidana dan hukum pidana adalah penanggulangan
kejahatanpenindasan kejahatanpenegakan kejahatanpengendalian kejahatan. 2.
Dilihat dari sudut perlindungan masyarakat terhadap sifat berbahaya orang si pelaku, maka timbul pendapat bahwa tujuan pidana adalah untuk memperbaiki si
pelaku rehabilitasi reformasi sosial resosialisasi pemasyarakatanpembebasan. Memperbaiki si pelaku mengandung makna mengubah atau mempengaruhi
tingkah laku kembali patuh pada hukum. 3.
Dilihat dari sudut perlunya perlindungan masyarakat terhadap penyalahgunaan kekuasaan dalam menggunakan sanksi pidana atau reaksi terhadap pelanggar
pidana, maka dapat dikatakan tujuan pidana adalah mengatur atau membatasi kesewenangan penguasa maupun warga masyarakat pada umumnya dalam
melakukan reaksi terhadap si pelanggar sering pula dikatakan bahwa pidana dimaksudkan untuk menyediakan saluran untuk mewujudkan motif-motif balas
dendam atau untuk menghindari balas dendam. 4.
Aspek lain dari perlindungan masyarakat adalah perlunya mempertahankan keseimbangan atau keselarasan berbagai kepentingan dan nilai yang terganggu
51
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996, hal. 26
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
oleh adanya kejahatandapat dikatakan bahwa tujuan pidana adalah untuk memelihara atau memulihkan keseimbangan masyarakat.
Selanjutnya, dikaji dari perspektif teoretis dan praktik konsepsi perbuatan melawan hukum dikenal dalam dimensi hukum perdata dan hukum pidana. Dari
aspek etimologis dan terminologis maka perbuatan melawan hukum dalam bahasa Belanda dikenal dengan terminologi “wederrechtelijk” dalam ranah hukum pidana
dan terminologi “onrechtmatige daad” dalam ranah hukum perdata. Akan tetapi, pengertian dan terminologi “wederrechtelijk” dalam hukum pidana tersebut ada
diartikan sebagai bertentangan dengan hukum in strijd met het recht, atau melanggar hak orang lain met krenking van eens anders recht dan ada juga yang
mengartikan sebagai tidak berdasarkan hukum niet steunend op het recht atau sebagai tanpa hak zonder bevoegheid. Dalam hukum pidana, khususnya terhadap
perkara tindak pidana korupsi telah terjadi pergeseran perspektif dimana perbuatan melawan hukum formal formele wederrechtelijkheid menjadi perbuatan melawan
hukum materil materiele wederrechtelijkheid dalam artian setiap perbuatan yang melanggar norma-norma dalam kepatutan masyarakat atau setiap perbuatan yang
dianggap tercela oleh masyarakat. Pergeseran perbuatan melawan hukum formal menjadi perbuatan melawan hukum materil tersebut dalam hukum pidana dipengaruhi
dari pengertian luas ajaran perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata melalui arrest Cohen-Lindenbaum tanggal 31 Januari 1919.
52
52
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003, hal. 13
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
Dalam hukum pidana, sifat melawan hukum memiliki empat makna yakni: Pertama, perbuatan melawan hukum diartikan syarat umum dapat dipidananya suatu
perbuatan sebagaimana definisi perbuatan pidana yakni kelakuan manusia termasuk dalam
rumusan delik, bersifat melawan hukum
dan dapat dicela. Kedua, kata melawan hukum dicantumkan dalam rumusan delik. Dengan demikian,
sifat melawan hukum merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidananya suatu perbuatan. Ketiga, sifat melawan huku m formal mengandung arti semua unsur dari
rumusan delik telah dipenuhi. Keempat, sifat melawan hukum materil mengandung dua pandangan sebagai berikut:
53
2. Dari sudut perbuatannya mengandung arti melanggar atau membahayakan
kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembuat undang-undang rumusan delik.
3. Dari sudut sumber hukumnya, sifat melawan hukum mengandung pertentangan
dengan asas kepatutan, keadilan dan hukum yang hidup di masyarakat. Perkembangan berikut, sifat melawan hukum material dibagi menjadi sifat
melawan hukum material dalam negatif dan fungsi positif. Sifat melawan hukum materil dalam fungsi negatif berarti meski perbuatan memenuhi unsur delik tetapi
tidak bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat, maka perbuatan itu tidak dipidana. Adapun sifat melawan hukum materil dalam fungsi positif mengandung
arti, meski perbuatan tidak memenuhi unsur delik, tetapi jika perbuatan itu
53
Perbuatan melawan hukum di dalam hukum pidana, http:www.google.co.id, diakses tanggal 25 Mei 2009
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
dianggap tercela karena tidak sesuai rasa keadilan atau norma di masyarakat, maka perbuatan itu dapat dipidana.
B. Unsur Perbuatan Melawan Hukum Wederrechtelijke Dalam Suatu Tindak
Pidana
Hukum pidana dikenal sebagai ultimum remidium atau sebagai alat terakhir apabila usaha-usaha lain tidak bisa dilakukan, ini disebabkan karena sifat pidana yang
menimbulkan nestapa penderitaan, demikian Sudarto mengemukakan pada pelaku kejahatan, sehingga sebisa mungkin dihindari penggunaan pidana sebagai sarana
pencegahan kejahatan.
54
Tetapi tidak semua orang berpendapat bahwa pidana itu menimbulkan penderitaan, setidak-tidaknya Roeslan Saleh mengemukakan bahwa
dalam pidana itu mengandung pikiran-pikiran melindungi dan memperbaiki pelaku kejahatan.Untuk menjatuhkan pidana harus dipenuhi unsur-unsur tindak pidana yang
terdapat dalam suatu pasal. Salah satu unsur dalam suatu pasal adalah sifat melawan hukum wederrechtelijke baik yang secara eksplisit maupun yang secara implisit ada
dalam suatu pasal.
55
Adanya sifat melawan hukum yang secara implisit dan eksplisit terdapat dalam suatu pasal masih dalam perdebatan, tetapi tidak disangsikan lagi bahwa unsur
ini merupakan unsur yang harus ada atau mutlak dalam suatu tindak pidana agar si pelaku atau terdakwa dapat dilakukan penuntutan dan pembuktian di pengadilan. Jika
54
Sudarto, dalam H. Setiyono, Kejahatan Korporasi, Malang: Bayumedia Publishing, 2005, hal. 102
55
Roeslan Saleh, Ibid
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
meneliti Pasal-Pasal dalam KUHP maka akan tercantum kata-kata melawan hukum wederrechlijke untuk menunjukan sah suatu tindakan atau suatu maksud.
Penggunaan kata wederrechlijke untuk menunjukan sifat tidak sah suatu tindakan terdapat dalam Pasal 167 ayat 1, 168, 179, 180, 189, 190, 198, 253 – 257, 333 ayat
1, 334 ayat 1, 335 ayat 1 angka 1, 372, 429 ayat 1, 431, 433 angka 1, 448, 453 – 455, 472 dan 522 KUHP. Sedangkan penggunaan kata wederrechlijke untuk
menunjukan suatu maksud dapat dijumpai dalam Pasal 328, 339, 362, 368 ayat 1, 369 ayat 1, 378, 382, 390, 446 dan 467 KUHP.
56
2. Perbuatan melawan hukum berarti bahwa perbuatan seseorang melanggar atau
bertentangan dengan kaidah materil yang berlaku baginya, oleh karena itu dengan sendirinya berarti bahwa memidana orang yang tidak melakukan perbuatan
Pada umumnya para sarjana hukum menyatakan bahwa melawan hukum merupakan unsur-unsur dari tiap-tiap delik baik dinyatakan secara eksplisit atau tidak,
tetapi tidak semua Pasal dalam KUHP mencantumkan unsur melawan ini secara tertulis, hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:
1. Bilamana dari rumusan undang-undang, perbuatan yang tercantum sudah
sedemikian wajar sifat melawan hukumnya sehingga tidak perlu dinyatakan secara eksplisit;
56
P.A.F. Lamitang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, Bandung, 1990, hal. 332
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
pidana adalah onzining, tidak masuk akal, sifat melawan hukumnya perbuatan merupakan salah satu syarat pemidanaan.
57
Keberadaan formale wederrechtelijkheid tidak menjadi persoalan karena secara eksplisit menjadi unsur dari suatu pasal, sehingga untuk menentukan apakah
seseorang itu wederrechtelijk atau tidak cukup apabila orang itu melihat apakah perbuatan itu telah memenuhi semua unsur yang terdapat dalam rumusan delik atau
tidak. Hal ini tentunya berbeda dengan materiele wederrechtlikheid. Terhadap hal ini memang menjadi persoalan karena di negeri Belanda sendiri ajaran materiele
wederrechtlikheid kurang berkembang, sedangkan persoalannya menjadi lain karena di Indonesia berkembang pula hukum tidak tertulis yaitu hukum adat yang
memungkinkan sifat melawan hukum tidak berdasarkan hukum tertulis dan terdapat dalam KUHP tetapi unsur melawan hukum itu ada dalam kehidupan masyarakat yang
tidak tertulis. Perkembangan ajaran sifat melawan hukum yang materil di Indonesia Pembicaraan mengenai dasar atau alasan penghapus pidana yang meliputi
alasan pembenar dan alasan pemaaf maka sifat melawan merupakan alasan pembenar, artinya jika alasan sifat melawan hukum dari suatu perbuatan hapus atau tidak
terbukti maka terdakwa harus dibebaskan. Unsur sifat melawan hukum ini tidak hanya sifat melawan hukum yang bersifat formil formele wederrechtelijkheid
maupun sifat melawan hukum yang materil materiele wederretelijkheid.
57
Andi Zainal Abidin, Asas-Asas Hukum Pidana Bagian Pertama, Bandung: Alumni, 1987, hal. 269-270.
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
ternyata tidak seperti yang terjadi di Belanda. Meskipun sebelumnya Mahkamah Agung dalam kasasinya tanggal 17 Januari 1962 No. 152 KKr1961 menganut
paham formale wederrechtelijkheid, tetapi perkembangan selanjutnya menunjukan hal yang sebaliknya. Sejak Mahkamah Agung mengeluarkan Keputusan No. 42
KKr1965 tanggal 8 Januari 1966, badan peradilan tertinggi ini secara terang- terangan menganut ajaran sifat melawan hukum yang materil materiele
wederrechtlikheid sebagai alasan pembenar. Kaidah hukum yang ditarik dari putusan tersebut adalah sebagai berikut:
58
Keputusan ini dianggap sebagai yang pertama tentang pengakuan penggunaan ajaran materiele wederrechtlikheid yang selanjutnya digunakan pula
dalam beberapa putusan Mahkamah Agung yang lain. ”Suatu tindakan dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya
berdasarkan suatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis dan
bersifat umum, sebagai misalnya 3 faktor :
a. negara tidak dirugikan;
b. kepentingan umum dilayani;dan
c. terdakwa tidak mendapat untung.
59
58
L. Suryadarmawan, Himpunan Keputusan-Keputusan Dari Mahkamah Agung, Jakarta: 1967, hal 555.
59
Lihat juga putusan MARI No. 30 KKr1969 dalam kasus jual beli vespa bekas, MARI NO. 72 KKr1970 dalam kasus penarikan cek kosong Caltex, MARI No. 43 KKr1973, dalam kasus
Komisi Dokter Hewan, MARI No. 97 KKr1973 dalam kasus Deposito Telkom, MARI No. 81 KKr 1973 dalam kasus Reboisasi Hutan.
Kaidah hukum yang terdapat
dalam Keputusan No. 42 KKr1965 tidak terdapat dalam KUHP, khususnya dalam
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
Bab 3 Buku 1 tentang alasan-alasan penghapus pidana. Kaidah ini tercipta sebagai akibat dari suatu perkara korupsi yang diputuskan oleh Mahkamah Agung yang
mengambil alih pertimbangan hukum Pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 27 Januari 1965 No. 1461964 yang merupakan perkara banding dan PN Singkawang tanggal 24
September 1965 No. 61964. Putusan ini mengundang berbagai pendapat, diantaranya
adalah Sudarto, yang menyatakan bahwa :
Terhadap kasus tersebut ada dua hal yang perlu dikemukakan :
a. Keputusan PT Jakarta tersebut memberi presedent bahwa ajaran sifat
melawan hukum yang material dalam fungsinya yang negatif telah dianut;
b. Sangat diragukan kebenaran pendapat bahwa dalam persoalan
penggelapan apabila ”negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani dan terdakwa tidak mendapat untung” terdakwa lalu dipandang
tidak berbuat sesuatu yang melawan hukum. Apabila jalan pikiran ini diikuti, seorang pemegang kas negara, yang membungakan uang yang
dikuasainya, baik kepada Bank maupun kepada perseorangan, tidak dapat dituduh menggelapkan kalau memenuhi tiga faktor tersebut,
misalnya bunganya disumbangkan kepada orang-orang miskin atau badan-badan sosial. Dapat kita menarik konsekuensi sedemikian jauh.
60
Terhadap persoalan di atas, Oemar Seno Adjie berpendapat lain. Oemar Seno Adjie mengemukakan:
61
Maka, suatu konstruksi sekitar materiele wederrechtlikheid dan
perumusannya yang mengakui adanya strafuitslutings, tidak ada perbuatan melawan hukum yang materiil, jika ada afweziheid van alle materiele
wederrechtlikheid. Ia merupakan suatu kesimpulan dalam ilmu hukum, yang
60
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung: Sinar Baru, 1983, hal. 56
61
Oemar Seno Adjie, Hukum Pidana Pengembangan, Jakarta: Erlangga, 1985, hal. 44
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
seterusnya dapat dikembangkan pula oleh yurisprudensi dan semoga dapat disumbangkan bagi para legislator untuk menetukan perundang-
undangannya.
Dari kedua pendapat tersebut memang terlihat tidak ada ukuran yang pasti tentang kapan dan dapat hilangnya sifat melawan hukum materiil. Tentu saja yang
dimaksud dengan ukuran yang pasti di sini bukanlah suatu ukuran yang matematis, tetapi suatu ukuran obyektif yang dilihat dari asas-asas hukum yang berlaku.
62
Melawan undang-undang berarti secara formil melawan hukum. Mungkin perbuatan itu bertentangan dengan norma-norma lain yang tidak diatur oleh undang-
undang, di sinilah letaknya sifat melawan hukum materil. Meskipun demikian belumlah tentu perbuatan itu sebagai pidana jika tidak terlebih dahulu ditentukan
dalam undang-undang. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya kesulitan dalam penegakan hukum karena banyak perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma
hukum yang belum diatur dalam perundang-undangan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Muladi yang mengatakan ”......... dengan meningkatnya kuantitas
kasus-kasus malpraktek di kalangan profesi, akan di sini penerapan ajaran sifat melawan hukum materil dalam penegakan hukum pidana”.
63
Kesulitan lain juga muncul di samping karena sifat hukum pidana sebagai ultimum remidium, yaitu karena badan legislatif tidak begitu cepat tanggap terhadap
62
Komariah Emong S, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel dalam Hukum Pidana Indonesia, Prisma, No. 7 Juli 1995, hal. 30
63
Muladi, Sinkronisasi Pelaksanaan Penegakan Hukum dalam Mewujudkan Integrated Criminal Justice System, Makalah dalam diskusi hukum ICJS, Yogyakarta, 25 – 26 Juli 1990.
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
pembentukan undang-undang baru untuk mengantisipasi kejahatan-kejahatan bentuk baru sebagai akibatnya hakim harus berhadapan dengan masalah penafsiran yang bagi
hakim pidana terbatas jenisnya. Schaffmeister melukiskan keadaan ini sebagai keadaan di mana hakim terpaksa menerapkan Pasal-Pasal penipuan bagi perkara-
perkara yang muncul sebagai akibat perkembangan masyarakat sedangkan perangkat undang-undang pidana belum mengaturnya.
64
Peran legislatif menjadi sangat penting untuk membuat suatu peraturan hukum pidana. Menurut Roeslan Saleh, ”dengan
jalan menyatakan sesuatu perbuatan dapat di pidana, maka pembentuk itu sebagai bersifat melawan hukum atau untuk selanjutnya akan dipandang demikian.
65
64
D. Schaffimeister, Fraud Bestrijding Zonder Grondslag, Leiden, 1990
65
Roeslan Saleh, Sifat Melawan Hukum dari Perbuatan Pidana, Jakarta: Aksara Baru, 1987, hal 7.
Sebagai contoh pentingnya peran legislatif dalam membuat suatu peraturan pidana adalah
dalam perumusan tindak pidana korupsi. Dalam UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terdapat rumusan delik yang memuat ajaran
sifat melawan hukum yang materil. Hal ini tersimpul dalam kalimat ”Kerugian keuangan negara” atau ”perekonomian” seperti yang tercantum dalam Pasal 1 ayat 1
huruf a dan b. Unsur ini oleh jaksa penuntut umum ditafsirkan sebagai unsur yang
harus dibuktikan di persidangan. Oleh Romli Atmasasmita, kelemahan rumusan delik
dalam UU No. 3 Tahun 1971 ini diperlemah dengan adanya keputusan MARI No. 24 KKr1965 tersebut di atas sehingga banyak tindak pidana korupsi yang menyangkut
konglomerat tidak dilanjutkan ke tingkat pemeriksaan di pengadilan karena tidak
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
terbukti unsur kerugian keuangan negara atau perekonomian negara dengan dikembalikannya uang hasil korupsi oleh terdakwa kepada negara.
66
Perkembangan selanjutnya, pembicaraan antara pemerintah dengan lembaga legislatif menghasilkan rumusan yang berbeda dengan UU No. 3 Tahun 1971. UU
No. 31 Tahun 1999 sebagai ganti UU No. 3 Tahun 1971 menetapkan tindak pidana korupsi dirumuskan secara formal delik formal, bukan delik materil, di mana
pengembalian kerugian negara tidak menghapuskan penuntutan pidana terhadap terdakwa, melainkan hanya sebagai faktor yang meringankan pidana.
67
Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh penyidik Satuan Tipikor Polda Sumatera Utara yang
menyatakan bahwa:
”Undang-undang tindak pidana korupsi yang diatur di dalam undang-undang sebagai kerangka penyidik untuk melakukan serangkaian penyidikan atas
terjadinya suatu peristiwa pidana yang dituduhkan kepada tersangka tindak pidana korupsi maka kerangka hukum yang digunakan penyidik adalah
mengacu pada ketentuan yang terdapat dalam undang-undang tindak pidana korupsi yang merumuskan tentang perbuatan melawan hukum formil,
sedangkan melawan hukum materiil penyidik tidak dapat menggunakan kerangka hukum ini walaupun telah ada putusan Mahkamah Konstitusi dan
Putusan Mahkamah Agung”
66
Romli Atmasasmita, Proses Penanggulangan Korupsi di Indonesia Memasuki Abad XXI : Suatu Reorientasi atas Kebijakan Hukum Pidana di Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar Madya,
FH UNPAD, Bandung 25 September 1990.
67
Hasil wawancara dengan penyidik pada Satuan Tindak Pidana Korupsi Polda Sumatera Utara, tanggal 25 Mei 2009
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
C. Perbuatan Melawan Hukum Berhubungan Dengan Adanya Kesalahan
Schuld Sebagai Syarat Pengenaan Pidana
Prinsip pertanggungjawaban pelaku kejahatan di dalam hukum pidana dilandasi oleh adanya kesalahan shuld di dalam perbuatan melawan hukum
wederechtelijk sebagai syarat untuk pengenaan pidana,
68
sehingga untuk pertanggungjawaban suatu perbuatan pidana di dalam faham KUH Pidana diperlukan
beberapa syarat yakni: Pertama, adanya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh kealpaan. Kedua, adanya unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan. Ketiga,
adanya pembuat yang mampu bertanggungjawab dan tidak ada alasan pemaaf. Kesalahan schuld sangat erat kaitannya dengan suatu kejahatan yang dilakukan oleh
subjek hukum manusia alamiah yang mengandung arti bahwa dapat dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan hukum atau sifat melawan hukum. Meskipun perbuatannya memenuhi rumusan tindak pidana dalam undang-undang dan tidak dapat dibenarkan,
namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana karena penjatuhan pidana memerlukan adanya syarat bahwa orang yang melakukan
perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah subjective guilt.
69
68
Bandingkan, Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Badan Penyediaan Bahan-Bahan Kuliah FH Undip, 19871988, hal. 85, bahwa dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu
telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang-undnag dan tidak dibenarkan an
objective breach of a penal provision, namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemindanaan masih perlu adanya syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemindanaan
masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah subjektive guilt. Dengan perkataan lain orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan
atas perbuatanya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut.
69
H. Setiyono, Op.cit, hal. 101
Hal ini
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
tentunya mengambarkan bahwa perbuatan melawan hukum berhubungan dengan kesalahan sebagai syarat penjatuhan pidana
dalam rangka meminta pertanggungjawaban pelaku sesuai dengan asas geen straf zonder schuld di dalam
faham hukum pidana, untuk menentukan kesalahan sebagai dasar penjatuhan pidana tentunya didasarkan kepada perbuatan yang dilakukan bertentangan dengan hukum
atau bersifat melawan hukum. Selanjutnya, pertanggungjawaban pidana akibat timbulnya perbuatan
melawan hukum pada dasarnya dapat dipertanggungjawabkan kepada diri seorang pelaku tindak pidana harus memenuhi 4 empat persyaratan sebagai berikut:
70
1. Ada suatu tindakan commission atau ommission oleh si pelaku:
2. Yang memenuhi rumusan-rumusan delik dalam undang-undang;
3. Dan tindakan itu bersifat “melawan hukum” atau unlawful serta’
4. Pelakunya harus dapat dipertanggungjawabkan.
Hubungan perbuatan melawan hukum dengan kesalahan sebagai syarat dapat dipertanggungjawabkannya perbuatan pelaku tindak pidana bermakna bahwa schuld
harus mengadung unsur pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Jadi orang yang bersalah melakukan perbuatan berarti bahwa perbuatan itu
dapat dicelakan kepadanya. Pencelaan dimaksud bukannya diartikan pencelaan berdasarkan kesusilaan melainkan pencelaan berdasarkan hukum yang berlaku
70
Lihat, Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, Bandung: Mandar Maju, 2000, hal. 67.
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
bukan ethische schuld melainkan verantwoordelijk heid rechtens.
71
Hal ini berarti bahwa penjatuhan pidana berdasarkan syarat pertanggungjawaban pelaku tindak
pidana dilandasi oleh kriminalisasi suatu perbuatan pidana di dalam undang- undang.
72
Menurut Komariah Emong Sapardjaja bahwa suatu tindak pidana adalah suatu perbuatan manusia yang memenuhi perumusan delik melawan hukum dan pembuat
bersalah melakukan perbuatan itu.
73
Unsur untuk dikatakan bahwa adanya perbuatan pidana sebagai perbuatan yang bertentangtan dengan undang-undang atau perbuatan melawan didasarkan pada
Perumusan delik ini dikarenakan asas legalitas dianut dalam konsepsi hukum pidana yang mewajibkan kepada pembuat undang-
undang untuk menentukan terlebih dahulu dalam undang-undang dan apa yang dimaksud dengan tindak pidana harus dirumuskan dengan jelas karena perumusan
mempunyai peranan yang menentukan mengenai apa yang dilarang dan apa yang harus dilakukan orang. Hal ini sebagaimana dirumuskan oleh Enschede bahwa “een
strafbaar feit is een menselijke gedraging, die valt binnen de grenzen van een delictsomschrijving, wederrechtelijk is en aan schuld te wijten” tindak pidana adalah
suatu perbuatan manusia yang termasuk dalam perumusan delik, melawan hukum dan kesalahan yang dapat dicelakan padanya.
71
Ibid
72
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Op.cit, hal. 240 bahwa kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan
tindak pidana tidak dipidana menjadi suatu tindak pidana perbuatan yang dapat dipidana. Jadi, pada hakikatnya kebijakan kriminalisasi merupakan bahagian dari kebijakan kriminal criminal policy
dengan menggunakan sarana hukum pidana penal dan oleh karena itu termasuk bagian dari kebijakan hukum pidana penal policy.
73
Komariah Emong Sapardjaja, Op.cit, hal. 23
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
adanya kesalahan berupa kesengajaan dolus, opzet, intention yang diwarnai dengan sifat melawan hukum kemudian dimanifestasikan dalam sikap tindak. Di samping
kesalahan berupa kealpaan atau culpa yang diartikan sebagai akibat kurang kehati- hatian secara tidak sengaja sesuatu terjadi.
74
Dalam bahasa Belanda asas tindak pidana tanpa kesalahan dikenal dengan istilah “Geen Straf Zonder Schuld”. Asas ini
tidak dijumpai pada KUH Pidana sebagaimana halnya asas legalitas, karena asas ini adalah asas yag ada dalam hukum tidak tertulis.
75
Asas kesalahan ini merupakan asas yang diterapkan dalam pertanggungjawaban pidana akibat terjadinya perbuatan melawan hukum, artinya
pidana hanya dijatuhkan terhadap mereka yang benar-benar telah melakukan kesalahan dalam suatu tindak pidana. Adapun mengenai pengertian kesalahan ini,
Mezger mengatakan bahwa “kesalahan adalah keseluruhan syarat uang memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat pidana”.
76
74
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab Pidana Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana, Jakarta: Centra, 1968, hal. 23 bahwa asas legalitas mengandung asas
perlindungan yang secara historis merupakan reaksi terhadap kesewenangan-wenangan penguasa di jaman Ancient Regime, serta jawaban atas kebutuhan fungsional terhadap kepastian hukum yang
menjadi keharusan dalam suatu negara liberal pada waktu itu. Roeslan Saleh, menyatakan dengan tegas ”nyata bahwa penolakan atas asas legalitas, suatu asas dan pengertian dalam lapangan hukum
pidana adalah bertentangan dengan makna hukum pidana itu sendiri”.
75
Moeljanto, Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta: Liberty, 1980, hal. 3.
76
Sudarto, Op.cit, hal. 30.
Berdasarkan pendapat tersebut maka dapat dikatakan bahwa kesalahan itu mengandung unsur
pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan perbuatan itu, berarti bahwa perbuatan itu dapat dicelakan kepadanya. Perbedaan antara kesengajaan dan kelalaian
semata-mata diperlukan dalam pembidanaan dan bukan penghapusan kesalahan. Oleh
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
sebab itu pada hakikatnya pertanggungjawaban selalu dimintakan terhadap individu yang dianggap bersalah dalam terjadinya suatu tindak pidana.
Selanjutnya, hukum pidana mengenai 3 pengertian dasar yaitu sifat melawan hukum unrechf, kesalahan schuid, dan pidana strafe yang secara dogmatis unsur
kesalahan harus ada dalam hukum pidana. Unsur-unsur kesalahan dalam arti yang seluas- luasnya dimana antara satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan, yaitu :
a. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat;
b. Hubungan batin antara pelaku dengan perbuatannya yang berupa
kesengajaan dolus atau kealpaan culpa; c.
Tidak ada alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf;
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI
DALAM HAL TERJADINYA PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIELE WEDERRECHTELIJKHEID
A. Pertanggungjawaban Pelaku Berdasarkan Perumusan Undang-Undang
Tindak Pidana Korupsi
Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana khusus ius singulare, ius speciale atau bijzonder strafrecht. Apabila dijabarkan,
tindak pidana korupsi mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana umum, seperti penyimpangan hukum acara dan materi yang diatur
menyangkut konsepsi perbuatan melawan hukum dimaksudkan menekan seminimal mungkin terjadinya kebocoran serta penyimpangan terhadap keuangan dan
perekonomian negara. Tindak pidana korupsi di Indonesia yang mempunyai karakteristik berbeda
dengan tindak pidana pada umumnya sehingga merupakan salah satu bentuk kejahatan luar biasa extra ordinary crime dan merupakan kejahatan yang secara
serius. Hal ini juga telah diakui oleh masyarakat Internasional sebagaimana dirumuskan oleh Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB Anti Korupsi 2003
United Nations Convention Against Corruption UNCAC, 2003.
77
77
Romli Atmasasmita, Strategi Dan Kebijakan Pemberantasan Korupsi Pasca Konvensi PBB
Menentang Korupsi Tahun 2003: Melawan Kejahatan Korporasi, Jakarta: Paper, 2006, hal. 1
Mendiskripsikan masalah korupsi sudah merupakan ancaman serius terhadap stabilitas, keamanan
masyarakat nasional dan internasional, telah melemahkan institusi, nilai-nilai demokrasi dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan maupun
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
penegakan hukum. Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang UU Nomor 7 Tahun 2006, menimbulkan implikasi karakteristik
dan subtansi gabungan dua sistem hukum yaitu “Civil Law” dan “Common Law”, sehingga akan berpengaruh kepada hukum positif yang mengatur tindak pidana
korupsi di Indonesia. Romli Atmasasmita menyebutkan implikasi yuridis tersebut,
bahwa: “Nampak adanya kriminalisasi perbuatan memperkaya diri sendiri illicit
enrichment dimana ketentuan Pasal 20 United Nations Convention Against Coruuption UNCAC 2003 menentukan, bahwa: ...each State Party shall
consider adopting... to establish as a criminal offence, when committed intentionally, illicit enrichment, that is, a significant increase in the assets of a
public official that he or she cannot reasonably explain in relation to his or her lawful income”.
78
78
Romli Atmasasmita, Ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi
Dan Implikasinya Terhadap Sistem Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Paper, 2006, hal. 9-10
Selain itu, dikaji dari perspektif internasional pada dasarnya korupsi
merupakan salah satu kejahatan dalam klasifikasi White Collar Crime dan mempunyai akibat kompleksitas serta menjadi atensi masyarakat internasional.
Konggres PBB ke-8 mengenai “Prevention of Crime and Treatment of Offenders” yang mengesahkan resolusi “Corruption in Goverment” di Havana tahun 1990
merumuskan tentang akibat korupsi, berupa: 1. Korupsi dikalangan pejabat publik corrupt activities of public official:
a. Dapat menghancurkan efektivitas potensial dari semua jenis program pemerintah “can destroy the potential effectiveeness of all types of
govermental programmes”
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
b. Dapat menghambat pembangunan “hinder development”. c. Menimbulkan korban individual kelompok masyarakat “victimize
individuals and groups”. 2. Ada keterkaitan erat antara korupsi dengan berbagai bentuk kejahatan ekonomi,
kejahatan terorganisasi dan pencucian uang haram.
79
Asumsi konteks tersebut di atas dapat ditarik suatu konklusi dasar pertanggungjawaban tindak pidana korupsi bersifat sistemik, terorganisasi,
transnasional dan multidimensional dalam arti berkorelasi dengan aspek sistem, yuridis, sosiologis, budaya, ekonomi antar negara dan lain sebagainya.
80
Ketentuan Pasal tersebut di atas memegang teguh asas Lex Specialis Derogat Lex Generalis terhadap perbuatan melawan hukum karena melalui penafsiran secara
a contrario Pasal 14 menentukan, selain Undang-undang pemberantasan tindak Penentuan terhadap pertanggungjawaban pelaku tindak pidana korupsi dalam
hal terjadinya perbuatan melawan hukum tidak dapat dipisahkan pada rumusan ketentuan Pasal 14 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 yang menentukan bahwa: “Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-Undang yang secara tegas
menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang tersebut sebagai tindak pidan korupsi, berlaku ketentuan yang diatur dalam undang-
undang ini”.
79
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum
Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998, hal. 69
80
Romli Atmasasmita, Op.Cit, hal. 1
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
pidana korupsi tidak ditegaskan bahwa pelanggaran atas ketentuan pidana dalam undang-undang lain merupakan tindak pidana korupsi.
Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai lex specialis pada dasarnya mengacu kepada ketentuan yang terdapat di dalam KUH Pidana,
sehingga kerangka hukum yang dijadikan sebagai dasar penindakan pelaku kejahatan korupsi sebagai tindak pidana
81
menggunakan norma hukum KUH Pidana lex generalis.
82
81
Mulyanto dalam Faisal Salam, Op.cit, hal. 84, bahwa tindak pidana ialah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan
tersebut, selanjutnya beliau menyatakan menurut wujudnya atau sifatnya, tindak pidana itu adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum dan juga merugikan masyarakat dalam arti bertentangan
dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu perbuatan akan menjadi suatu tindak pidana,
apabila perbuatan itu:
Ketentuan yang mengatur di dalam UUPTPK Undang-
e. melawan hukum;
f. merugikan masyarakat;
g. dilarang oleh aturan pidana;
h. pelakunya diancam dengan pidana.
82
Ibid, hal. 87, bahwa KUH Pidana adalah merupakan suatu kodifikasi hukum pidana yang tidak semua tindak pidana dimasukkan dalam kodifikasi tersebut. Tetapi hal ini tidak mungkin karena
selalu timbul perbuatan-perbuatan yang karena perkembangan masyarakat yang tadinya bukan merupakan tindak pidana lalu menjadi tindak pidana. Sebagaimana diketahui dalam KUH Pidana
terdapat suatu bagian yang memuat aturan umum yaitu buku kesatu, yang memuat asas-asas hukum pidana pada umumnya dan defenisi-defenisinya yang berlaku bagi seluruh bidang hukum pidana
positif, baik yang dimuat dalam KUH Pidana maupun yang dimuat dalam peraturan perundang- undangan lainnya. Aturan penutup dari buku kesatu KUH Pidana Pasal 103 menyatakan bahwa
ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII dari buku kesatu juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan-ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan
pidana, kecuali jika oleh undang-undang yang bersangkutan ditentukan lain. Jadi semua tindak pidana di luar KUH Pidana harus tunduk pada aturan-aturan umum yang dimuat dalam buku kesatu KUH
Pidana itu, kecuali apabila secara khusus diatur oleh peraturan perundang-undangan itu sendiri. Peraturan perundang-undangan yang memuat tindak pidana di luar KUH Pidana itu, berbeda dengan
KUH Pidana. Sebab pada umumnya selain mengatur tentang segi-segi hukum pidana materiil perumusan tindak pidana, macam-macam pidana dan lain-lain, juga mengatur secara khusus tentang
segi-segi hukum pidana formal, yaitu bagaimana cara melaksanakan hukum pidana materiil itu, misalnya pengusutan, penuntutan, mengadili perkara dan lain-lain. Begitu juga halnya undang-undang
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 selain merumuskan perbuatan apa sajakah yang termasuk tindak pidana korupsi, macam pidananya
hukumannya juga memuat tentang penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara korupsi di muka pengadilan.
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi hanya beberapa pasal saja hasil rumusan dari pembuat UUPTPK sendiri lex spesialis, sedangkan yang lain
adalah menarik dari perumusan KUH Pidana. Adapun pasal-pasal itu antara lain yaitu Pasal 1, 2, 3, 4, 13, 18, 19, 20. 21, 22, 41, 42 dan 43. Tetapi Pasal 21, 22 dan
24 tidak mengenai korupsi dalam arti materiil dan keuangan, karena ketiga pasal itu mengenai perbuatan yang mempersulit pemeriksaan perkara pada tingkat
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di muka sidang pengadilan. Tindak Pidana dalam arti materiil dan keuangan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan 3
UUPTPK. Sebagaimana diuraikan berikut ini.
Pasal 2 ayat 1
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 empat
tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- dua ratus juta rupiah dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,- satu milyar rupiah. Bunyi pasal ini mensyaratkan beberapa karakteristik unsur-unsur tindak
pidana yaitu : 1.
Melawan Hukum. 2.
Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. 3.
Yang dapat merugikan keuanagan negara atau perekonomian negara.
Ad. 1. Unsur Melawan Hukum
Yang dimaksud dengan unsur melawan hukum dapat diartikan bahwa tersangkaterdakwa tidak mempunyai hak untuk menikmati atau menguasai
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
suatu benda, dalam hal ini berupa uang. Dalam buku-buku hukum pidana yang dimaksud dengan melawan hukum itu terdapat perbedaan pendapat
antara para pakar misalnya ada yang memakai istilah bertentangan dengan hak orang lain, ada yang memakai istilah tanpa hak, dan lain-lain.
83
Dari penjelasan umum UUPTPK dapat dikontruksikan bahwa melawan hukum diartikan seperti dalam hukum perdata, yang pengertiannya meliputi:
Perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma kesopanan yang lazim atau pertentangan dengan keharusan dalam pergaulan hidup untuk
bertindak cermat terhadap orang lain, barangnya maupun haknya. Ini dimaksudkan agar mudah memperoleh pembuktian tentang perbuatan yang
dapat dihukum, yaitu memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu badan. Penjelasan dari UUPTPK Pasal 2 ayat 1 menentukan bahwa yang dimaksud
Yurisprudensi Indonesia menafsirkan unsur melawan hukum secara sosiologis, yang
meliputi baik melawan hukum yang formal tertulis maupun yang materiil tertulis dan tidak tertulis.
83
Lihat, Sudarto, Op.cit, hal. 78, di dalam bukunya membagi 2 dua sifat melawan hukum yakni:
c. Menurut ajaran sifat melawan hukum yang formil.
Suatu perbuatan itu bersifat melawan hukum apabila perbuatan diancam pidana dan dirumuskan sebagai suatu delik dalam undang-undang, sedang sifat melawan hukumnya
perbuatan itu dapat hapus hanya berdasarkan suatu ketentuan undang-undang. Jadi menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan melawan atau bertentangan dengan
undang-undang hukum tertulis.
d. Menurut ajaran sifat melawan hukum materiil.
Suatu perbuatan itu melawan hukum atau tidak, tidak hanya yang terdapat dalam undang- undang yang tertulis saja, akantetapi harus dilihat berlakunya asas-asas hukum yang
tidak tertulis. Sifat melawan hukumnya perbuatan yang nyata-nyata masuk dalam rumusan delik itu dapat hapus berdasarkan ketentuan undang-undang dan juga
berdasarkan aturan-aturan yang tidak tertulis iibergesetzlicht.
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
dengan secara melawan hukum adalah mencakup perbuatan melawan huku m dalam arti formal maupu n dalam arti materil, yakni meskipun
perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan; namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa
keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Jadi bahwa unsur melawan hukum itu tidak hanya menjadikan perbuatan melawan hukum sebagai suatu perbuatan yang dapat dihukum, melainkan
melawan hukum itu adalah untuk melakukan perbuatan yang dapat dihukum, dalam hal ini dengan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau badan atau
korporasi dan dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan tetap dipidana. Hal
ini sebagaimana dirumuskan oleh Penjelasan Umum UUPTPK menyatakan bahwa:
”Agar dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara atau perekonomian negara yang semakin canggih dan
rumit, maka tindak pidana yang diatur dalam undang-undang ini dirumuskan sedemikian rupa sehingga meliputi perbuatan-perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum dalam pengertian formil dan materiil. Dengan
perumusan tersebut, pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang
menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana”. Perkembangan selanjutnya berdasarkan Kutipan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor. 003PUU-IV2006, di dalam putusannya menyatakan bahwa oleh karenanya Penjelasan Pasal 2 ayat 1 UU PTPK tidak sesuai
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
dengan dengan perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil yang dimuat dalam Pasal 28D ayat 1 UUD 1945. dengan demikian Penjelasan
Pasal 2 ayat 1 UU PTPK sepanjang mengenai frasa “ Yang dimaksud dengan secara melawan hukum dalam pasal ini mencakup perbuatan-
perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materil yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-
undangan namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam
masyarakat, maka perbuatan dapat dipidana, harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Perbuatan melawan hukum di dalam Pasal 2 ayat 1 UU PTPK inilah yang menjadi dasar bahwa diajukannya permohonan pembatalan terhadap unsur
perbuatan melawan hukum materil dalam UUPTPK yang oleh Putusan Mahkamah Konstitusi dinyatakan bahwa terhadap tindak pidana korupsi unsur
perbuatan melawan hukum secara formil yang menjadi dasar dalam penjeratan pelaku tindak pidana korupsi. Adapun rumusan perbuatan melawan hukum
yang terdapat di dalam Pasal 2 ayat 1 UU PTPK adalah unsur perbuatan melawan hukum tidak hanya perbuatan melawan formil formele
wederrechtelijkheid saja sebagaimana dianut KUH Pidana, melainkan juga perbuatan melawan hukum secara materil materiele wederrechtelijkheid.
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
Dengan diperluasnya pengertian melawan hukum itu maka hal itu meliputi pula pengertian onrechmatige daad dalam hukum perdata, ditambah dengan
unsur lain yaitu merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Ad. 2. Unsur Memperkaya Diri Sendiri
Secara harafiah memperkaya artinya bertambah kaya, sedangkan kata kaya artinya mempunyai banyak harta, uang dan sebagainya. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa memperkaya berarti menjadikan orang yang belum kaya menjadi kaya atau orang yang sudah kaya bertambah kaya.
Pembuat undang-undang tidak memberikan penjelasan apa yang dimaksud dengan memperkaya diri atau orang lain atau suatu badan, akan tetapi hal ini
dihubungkan dengan Pasal 37 ayat 4 di mana terdakwatersangka berkewajiban memberikan keterangan tentang sumber kekayaan sedemikian
rupa sehingga kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilan atau penambahan dapat digunakan sebagai alat bukti.
Jadi penafsiran istilah memperkaya adalah menunjukkan adanya perubahan kekayaan seseorang atau pertambahan kekayaan yang diukur dari penghasilan
yang diperolehnya. Untuk melihat pembuktian unsur memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi dengan sifat melawan hukum dapat
dilihat pada Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 2068Pid.B2005PN.Jak-Sel tgl. 20 Februari 2005 sebagai berikut:
84
84
Lihat, contoh pertimbangan hakim di dalam memutus suatu pemenuhuan unsur perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi, berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
1. Unsur Memperkaya Orang Lain dinyatakan terpenuhi dengan pertimbangan sebagai berikut dan karena unsur ini sifatnya relative, maka unsur
memperkaya diri sendiri atau Korporasi menurut Majelis Hakim tidak perlu dibuktikan:
a Menimbang bahwa untuk menyatukan satu pengertian apa yang
dimaksud dengan istilah memperkaya semestinya kita mencarinya kedalam UU Nomor 31 tahun 1999 ataupun UU nomor 20 tahun
2001. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 2068Pid.B2005PN.Jak-Sel tgl. 20 Februari 2005, hal. 220 alinea
5
b Menimbang bahwa barangkali hal ini sudah disadari oleh legislatif
dan eksekutif betapa sulitnya memberi pengertian apalagi mengartikan apa itu memperkaya diri sendiri, orang lain atau
korporasi sehingga didalam UU nomor 31 maupun UU nomor 20 tahun 2001 tidak dijelaskan apa itu memperkaya kecuali hanya
dijelaskan dalam penjelasannya dengan satu kata “cukup jelas” dan bagi orang lain yang kurang atau tidak jelas silahkan mengartikan
dan memberi pengertian sendiri; Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 2068Pid.B2005PN.Jak-Sel tgl. 20
Februari 2005, hal. 221 alinea 2
c Menimbang bahwa sangat disayangkan ada sesuatu penjelasan
yang “cukup jelas” akan tetapi sesungguhnya tidak jelas; Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor
2068Pid.B2005PN.Jak-Sel tgl. 20 Februari 2005,hal. 221 alinea 3
d Menimbang bahwa terlepas dari itu semua maka berdasarkan
Kamus Indonesia yang dimaksud dengan “memperkaya” ialah suatu perbuatan yang mengakibatkan sesorang yang semula tidak
memiliki suatu harta miskin menjadi memiliki harta yang banyak kaya atau melakukan perbuatan yang mengakibatkan orang yang
sudah banyak hartanya kaya menjadi semakin banyak hartanya semakin kaya; Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Nomor 2068Pid.B2005PN.Jak-Sel tgl. 20 Februari 2005, hal. 221 alinea 4
e Bahwa Majelis juga sependapat bahwa adalah tidak hanya di
angan-angan dan hitungan secara utopis saja bahwa sesungguhnya ada penambahan kekayaan bagi PT CGN penerima kredit atau
sebaliknya tidak; Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Selatan Nomor 2068Pid.B2005PN.Jak-Sel tgl. 20 Februari 2005Jak-Sel tgl. 20 Februari 2005, hal. 220 alinea 5
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
Nomor 2068Pid.B2005PN.Jak-Sel tgl. 20 Februari 2005, hal. 223 alinea 4
f Bahwa tidak perlu dipertimbangkan apakah si debitur itu setelah
menerima kucuran kredit kemudian uang itu habis untuk membeli atau untuk menutup kewajiban PT Tahta Medan sebagai tujuan
pemberian kredit yang ditetapkan oleh PT Bank Mandiri Tbk. sebagai dasar pemberian kredit kepada debiturPT CGB, yang
penting untuk dipertimbangkan apakah pada saat PT CGN menerima kredit dari PT Bank Mandiri Tbk. dia PT CGN sudah
menjadi semakin kaya. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 2068Pid.B2005PN.Jak-Sel tgl. 20 Februari 2005, hal.
223 alinea 6
2. Dari pertimbangan Majelis Hakim tersebut dapat disimpulkan bahwa : a
UU nomor 31 maupun nomor 20 tidak memberikan rumusan yang jelas sehingga Majelis Hakim hakim menyadari dan mengakui
sepenuhnya bahwa sangat sulit untuk merumuskan mengenai “memperkaya”;
b Walaupun Majelis Hakim sudah menyadari kesulitan tersebut,
namun Majelis Hakim hanya menggunakan Kamus saja untuk mengartikan “memperkaya” yang kemudian dijadikan
landasandasar untuk menentukan terpenuhinya Unsur “Memperkaya” bukan dengan melakukan tindakan yang sepadan
dengan kesulitan dimaksud yaitu dengan memanggil para ahli yang saat ini dengan adanya kemajuan tehnologi dan ilmu pengetahuan
memiliki alat ukur yang valid dan akurat serta dapat mencerminkan fakta sesungguhnya mengenai definisi
“memperkaya” tersebut;
c Pertimbangan yang digunakan Majelis Hakim untuk menyatakan
terpenuhinya unsur “memperkaya” hanya kesimpulan sederhana sesuai kamus bahwa debitur dengan menerima kredit menjadi
bertambah kaya dengan tidak memperdulikan bahwa dengan diterimanya kredit tersebut debiturPT CGN memiliki kewajiban
untuk mengembalikan kredit yang diterimanya ditambah dengan pembayaran Provisi Kredit dan Bunga ;
Ad.3. Unsur Merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara
Di dalam unsur ini dikatakan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Menyangkut pengertian keuangan negara dapat dilihat dalam
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
perspektif Undang-Undang No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dituangkan dalam Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 1 yaitu: Keuangan
Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat
dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dengan demikian pengertian keuangan negara diatas meliputi hal-hal
sebagai berikut: a.
Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;
b. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum
pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga; c.
Penerimaan negara; d.
Pengeluaran negara; e.
Penerimaan daerah; f.
Pengeluaran daerah; g.
Kekayaan negarakekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang
dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negaraperusahaan negara;
h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka
penyelenggaran tugas pemerintahan dan atau kepentingan umum;
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang
diberikan pemerintah. Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan keuangan negara pada
Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 ini adalah dari sisi objek, subjek, proses dan tujuan sebagai berikut:
a. Dari sisi objek, yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi semua
hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan
kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. b.
Dari sisi subjek, yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi seluruh
objek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan atau dikuasai oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan negaradaerah, dan
badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. c.
Dari sisi proses, keuangan negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan objek sebagaimana tersebut diatas
mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban.
d. Dari sisi tujuan, keuangan negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan
hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan atau penguasaan
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
objek sebagaimana tersebut daitas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara.
Lebih lanjut pengertian keuangan negara disebutkan dalam bagian
penjelasan umum UUPTPK yaitu keuangan negara adalah seluruh kekayaan
negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan
termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan
kewajiban yang timbul karena berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik tingkat pusat maupun di
daerah, berada dalam penguasan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik NegaraBadan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum dan
perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang
menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjan dengan negara. Pada
bagian yang sama yaitu penjelasan umum disebutkan bahwa yang dimaksud dengan perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun
sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijaksanaan pemerintah
baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang beralku yang bertujuan memberikan manfaat,
kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan masyarakat.
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
Menyangkut tentang merugikan keuangan negara dan perekonomian negara UUPTPK menganut faham bahwa tindak pidana korupsi sebagai delik formil.
Hal ini sebagaimana dirumuskan dalam penjelasan Pasal 2 ayat 1 yaitu: Dalam ketentuan ini, kata dapat sebelum frasa merugikan keuangan atau
perekonomian negara, menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan
dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.
Pada Penjelasan Pasal 2 ayat 2 Yang dimaksud dengan keadaan tertentu dalam ketentuan ini
dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan
bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau
pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Penjelasan Pasal 2 ayat 2 ini kemudian mengalami perubahan di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, sebagai berikut:
”Yang dimaksud dengan ”keadaan tertentu” dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberantasan pidana bagi pelaku
tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan
bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter dan pengulangan tindak pidana korupsi”.
Selanjutnya Pasal 3 UUPTPK menyatakan sebagai berikut : Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 satu
tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun dan atau denda paling sedikit
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
Rp. 50.000.000,- lima puluh juta rupiah dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- satu milyar rupiah.
Dari bunyi Pasal 3 ini terdapat beberapa unsur yaitu :
a. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
korporasi. b. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan. c. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Apabila kita cermati sekilas akan tergambar bahwa bunyi Pasal 3 ini hampir sama dengan bunyi Pasal 2 ayat 1. Tetapi kalau dilihat lebih men-
dalam, maka terlihat ada perbedaannya.
85
Adapun perbedaan perumusan tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, pada Pasal 3 tidak disebutkan unsur melawan hukum secara tegas, tetapi
unsur melawan hukumnya termasuk inherent dalam keseluruhan perumusan, yaitu dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya. Dengan perbuatan itu merupakan suatu perbuatan yang telah melawan hukum. Oleh karena itu dengan disebutnya
unsur itu, maka Penuntut Umum tidak perlu mencantumkan secara tegas unsur melawan hukum itu dalam surat dakwaan begitu pula dalam
requisitor tuntutan. Kedua, adapun tujuan dari menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan
85
Faisal Salam, Ibid, hal. 94
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
atau kedudukannya adalah untuk memperkaya dirinya sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Oleh karena itu di dalam undang-undang ini bagi
terdakwa diwajibkan membuktikan bahwa kekayaannya itu didapatkan bukan dari hasil korupsi, dengan kata lain sistem pembuktian terbalik.
Ketiga, dengan adanya penyalahgunaan kewenangan sebagaimana dimak- sud di atas, maka perbuatan itu dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara. Keempat, perumusan kata dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, maka dalam hal ini Penuntut
Umum harus dapat membuktikan adanya kerugian negara atau perekonomian negara akibat dari telah dilakukan penyalahgunaan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada pada terdakwa karena jabatan atau kedudukannya sebagai dimaksudkan di atas.
Pasal-pasal yang diuraikan di atas merupakan perumusan asli dari pembuat Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, sedangkan perumusan pasal-pasal
selanjutnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasa1 7, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, unsur-unsurnya dari unsur-unsur pasal
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP yang ditarik menjadi tindak pidana korupsi.
B. Perumusan Pengelompokan Unsur-unsur Terkait Tindak Pidana Korupsi
Di dalam Undang-Undang No. 31 tahun 1999, bunyi pasal-pasal tersebut tidak dirinci sesuai dengan unsur-unsur tindak pidana dalam perumusan pasal,
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
akan tetapi hanya menunjuk saja pada pasal-pasal yang terkait. Sedangkan di dalam Undang-undang No. 20 tahun 2001, yang merupakan Undang-undang
merubah dan menambah UndangUndang No. 31 tahun 1999, maka pasal-pasal yang ditunjuk atau yang terkait, unsur-unsur tindak pidana dalam pasal-pasal itu
dirinci dimaksudkan dalam pasal-pasal tindak pidana korupsi yang baru. Dari tindak-tindak pidana yang ditunjuk atau yang terkait itu dapat
dikelompokkan sebagai berikut :
86
Dalam kelompok ini termasuk baik penyuapan yang aktif yang menyuap rnaupun yang pasif yang menerima suap, yaitu pasal-pasal 209, 210, 418
sd 420 KUHP. Pasal-pasal ini berpasangan aktif dan pasif yaitu: Pasal 209 pemberi suap dengan pasal 418 dan 419 pegawai negeri yang
a. Kelompok tindak pidana Penyuapan. b. Kelompok tindak pidana Perbuatan Curang.
c. Kelompok tindak pidana Memalsukan buku atau daftar pemeriksaan. d. Kelompok tindak pidana Penggelapan.
e. Kelompok tindak pidana Menerima hadiah atau janji. Adapun kelompok-kelompok tindak pidana sebagaimana disebutkan pada
pengelompokan di atas dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Kelompok Tindak Pidana Penyuapan
a. Penyuapan Terhadap Pegawai Negeri atau penyelenggara Negara.
86
Ibid, hal. 95-114
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
menerima suap dan Pasal 210 pemberi suap pada hakim dengan Pasal 420 hakim yang menerima suap mengenai perkara yang ditanganinya.
Walaupun Pasal 209 berpasangan dengan Pasa1 418 dan Pasa1 419, namun penuntutan tidaklah harus serempak. Jadi, walaupun yang
menyuap belumtidak dituntut, sipenerima suap tetap dapat dituntut, sebagaimana terlihat dari beberapa keputusan Mahkamah Agung.
Selengkapnya perbuatan penyuapan terhadap Pegawai Negari sebagaimana dimaksud di dalam Pasa1 5 Undang-Undang No. 20 tahun
2001 yaitu : 1. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 satu tahun
dan paling lama 5 lima tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp.50.000.000,- lima puluh juta rupiah dan paling
banyak Rp.250.000.000,- dua ratus lima puluh juta rupiah setiap orang yang :
a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri
atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan
kewajibannya ; atau
b. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang berten-
tangan dengan kewajibannya, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
2. Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat 1
huruf a atau huruf b, dipidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat 1. Sebagaimana telah diutarakan, di atas, bahwa
ada dua kelompok pelaku penyuapan yaitu yang aktif dan yang pasif.
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
Mencermati bunyi pasal 5 ayat 1 ini perbuatan yang dilakukan menurut rumusan ayat ini adalah perbuatan yang aktif, yang mengan-
cam dengan hukuman bagi setiap orang baik orang perorangan maupun korporasi yang memberi atau menjanjikan sesuatu atau men-
janjikan sesuatu kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara. Dengan adanya janji tersebut menyuruh pegawai negeri yang
bersangkutan untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.Oleh karena itu perbuatan menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dilarang oleh undang-undang. Adapun pengertian pegawai negeri dapat dilihat dari rumus undang-undang
berikut ini:
87
87
Lihat, Pasal 1 butir 1 Undang-undaog Nomor 43 Tahun 1999
”Pegawai negeri adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat
yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Di dalam Pasal 92 KUHP merumuskan yang dimaksud dengan pegawai negeri itu adalah :
1. Yang masuk sebutan amtenar pegawai, yaitu sekalian orang yang dipilih menurut pilihan yang sudah diadakan menurut
undangundang umum, demikian pula sekalian orang. yang bukan karena pemilihan menjadi anggota Dewan pembuat
Undang-undang Pemerintahan atau perwakilan rakyat yang dibentuk oleh atau atas nama pemerintah, seterusnya sekalian
anggota dari Dewan-Dewan daerah dan setempat dan sekalian kepala bangsa Indonesia dan Timur Asing, yang melakukan
kekuasaan yang sah.
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
2. Yang masuk sebutan amtenar dan hakim, termasuk pula ahli memutuskan perselisihan, yang termasuk sebutan hakim, yaitu
mereka yang menjalankan kekuasaan hukum administratif, demikian juga ketua dan anggota agama.
3. Sekalian orang yang masuk bala tentara dipandang juga sebagai amtenar.
Undang-Undang No. 31 tahun 1999 merumuskan mengenai pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal l yaitu :
1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorguanisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan
badan hukum. 2. Pegawai negeri adalah meliputi :
a. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-- undang Hukum tentang Kepegawaian.
b. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana. c.
Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah.
d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu
korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah.
e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain
yang mempergunakan modal atas fasilitas dari negara atau masyarakat.
3. Setiap orang adalah orang perorangan atau termasuk korporasi. Pengertian pegawai negeri di dalam Pasal 1 Undang-undang No, 31
tahun 1999 sangat luas sekali, di mana dalam rumusan tersebut termasuk rumusan pegawai negeri yang dirumuskan di dalam UndangUndang No.
43 tahun 1999 maupun yang dirumuskan di dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana.
Pasal 5 ayat 1 a, UU No. 20 Tahun 2001 menyatakan bahwa yang diancam dengan hukuman yaitu pemberian atau janji terhadap pegawai
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
negeri atau penyelenggara negara agar yang bersangkutan berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan
dengan kewajiban, atau karena berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam
jabatannya. Adapun pengertian berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu ialah
seorang pejabat yang mempunyai wewenang untuk mengeluarkan izin suatu produk, seharusnya produk tersebut izinnya tidak boleh
dikeluarkan, akan tetapi karena adanya suatu pemberian atau suatu janji, maka izin itu dikeluarkan atau tidak berbuat sesuatu, seharusnya
suatu izin harus dikeluarkan, tapi pejabat yang berwenang tersebut tidak mengeluarkan izin yang dimaksud.
Sedangkan pengertian yang terkandung di dalarn Pasal 5 ayat 1 b adalah suatu pemberian terhadap penyelenggara negara dengan
tujuan agar penyelengara negara yang bersangkutan melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
Masalah kewajiban dari penyelenggara negara atau bagi pegawai negeri, biasanya tergantung dari program kerja yang telah disusun
berdasarkan peraturan yang berlaku. Di dalam pasal 5 ayat 1 b, ini mengandung pengertian pula bahwa
selain orang yang diberi sesuatu atau dijanjikan sesuatu, maka bagi
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
yang memberi sesuatu itu diancam pula dengan hukum sebagaimana yang dimaksud di dalarn Pasal 5 ayat 2.
Jadi di dalam undang-undang ini baik orang atau korporasi yang memberi sesuatu atau menjanjikan sesuatu terhadap pegawai negeri
atau penyelengara negara, maka bagi orang atau korporasi yang memberi sesuatu atau menjanjikan sesuatu itu, diancam dengan
hukuman yang sama dengan pegawai negeri atau penyelenggara negera yang menerima pemberian tersebut. Hal ini berbeda dengan
ketentuan yang diatur di dalam Pasal 418 dan Pasal 419 KUHP yang membedakan hukuman bagi pemberi sesuatu atau janji, terhadap
pegawai negeri atau penyelenggara negara. b. Menyuap Hakim dan Advokat
Penyuapan terhadap hakim sebetulnya hakim juga merupakan pegawai negeri, akan tetapi karena tugas hakim adalah menegakkan
hukum, maka penyuapan terhadap hakim dibedakan dengan penyuapan terhadap pegawai negeri biasa atau terhadap
penyelenggara negara lainnya. Ketentuan mengenai penyuapan terhadap hakim tersebut diatur di
dalam Pasal 6 UU No. 20 tahun 2001 yaitu : l. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tiga tahun
dan paling lama 15 lima belas tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.150.000.000,- seratus lima puluh juta
rupiah setiap orang yang :
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim
dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau
b. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk
mempengaruhi nasihat atau mendapat uang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan
kepada pengadilan untuk diadili.
2. Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf a atau advokat yang menerima
pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1.
Dari bunyi Pasal 1 ayat 1 huruf b, walaupun advokat bukan merupa- kan pegawai negeri atau penyelenggara negara yang diangkat oleh
pejabat umum, clan berkewajiban juga sebagai aparat penegak hukum oleh karena itu bagi advokat yang menerima suap dari lawan yang
berperkara, maka perbuatan itu diancam dengan ketentuan pasal 1 ayat 1 tersebut di atas.
2. Perbutan Curang yang Berkaitan dengan Pemborongan, Leveransir dan Rekanan