Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
dianggap tercela karena tidak sesuai rasa keadilan atau norma di masyarakat, maka perbuatan itu dapat dipidana.
B. Unsur Perbuatan Melawan Hukum Wederrechtelijke Dalam Suatu Tindak
Pidana
Hukum pidana dikenal sebagai ultimum remidium atau sebagai alat terakhir apabila usaha-usaha lain tidak bisa dilakukan, ini disebabkan karena sifat pidana yang
menimbulkan nestapa penderitaan, demikian Sudarto mengemukakan pada pelaku kejahatan, sehingga sebisa mungkin dihindari penggunaan pidana sebagai sarana
pencegahan kejahatan.
54
Tetapi tidak semua orang berpendapat bahwa pidana itu menimbulkan penderitaan, setidak-tidaknya Roeslan Saleh mengemukakan bahwa
dalam pidana itu mengandung pikiran-pikiran melindungi dan memperbaiki pelaku kejahatan.Untuk menjatuhkan pidana harus dipenuhi unsur-unsur tindak pidana yang
terdapat dalam suatu pasal. Salah satu unsur dalam suatu pasal adalah sifat melawan hukum wederrechtelijke baik yang secara eksplisit maupun yang secara implisit ada
dalam suatu pasal.
55
Adanya sifat melawan hukum yang secara implisit dan eksplisit terdapat dalam suatu pasal masih dalam perdebatan, tetapi tidak disangsikan lagi bahwa unsur
ini merupakan unsur yang harus ada atau mutlak dalam suatu tindak pidana agar si pelaku atau terdakwa dapat dilakukan penuntutan dan pembuktian di pengadilan. Jika
54
Sudarto, dalam H. Setiyono, Kejahatan Korporasi, Malang: Bayumedia Publishing, 2005, hal. 102
55
Roeslan Saleh, Ibid
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
meneliti Pasal-Pasal dalam KUHP maka akan tercantum kata-kata melawan hukum wederrechlijke untuk menunjukan sah suatu tindakan atau suatu maksud.
Penggunaan kata wederrechlijke untuk menunjukan sifat tidak sah suatu tindakan terdapat dalam Pasal 167 ayat 1, 168, 179, 180, 189, 190, 198, 253 – 257, 333 ayat
1, 334 ayat 1, 335 ayat 1 angka 1, 372, 429 ayat 1, 431, 433 angka 1, 448, 453 – 455, 472 dan 522 KUHP. Sedangkan penggunaan kata wederrechlijke untuk
menunjukan suatu maksud dapat dijumpai dalam Pasal 328, 339, 362, 368 ayat 1, 369 ayat 1, 378, 382, 390, 446 dan 467 KUHP.
56
2. Perbuatan melawan hukum berarti bahwa perbuatan seseorang melanggar atau
bertentangan dengan kaidah materil yang berlaku baginya, oleh karena itu dengan sendirinya berarti bahwa memidana orang yang tidak melakukan perbuatan
Pada umumnya para sarjana hukum menyatakan bahwa melawan hukum merupakan unsur-unsur dari tiap-tiap delik baik dinyatakan secara eksplisit atau tidak,
tetapi tidak semua Pasal dalam KUHP mencantumkan unsur melawan ini secara tertulis, hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:
1. Bilamana dari rumusan undang-undang, perbuatan yang tercantum sudah
sedemikian wajar sifat melawan hukumnya sehingga tidak perlu dinyatakan secara eksplisit;
56
P.A.F. Lamitang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, Bandung, 1990, hal. 332
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
pidana adalah onzining, tidak masuk akal, sifat melawan hukumnya perbuatan merupakan salah satu syarat pemidanaan.
57
Keberadaan formale wederrechtelijkheid tidak menjadi persoalan karena secara eksplisit menjadi unsur dari suatu pasal, sehingga untuk menentukan apakah
seseorang itu wederrechtelijk atau tidak cukup apabila orang itu melihat apakah perbuatan itu telah memenuhi semua unsur yang terdapat dalam rumusan delik atau
tidak. Hal ini tentunya berbeda dengan materiele wederrechtlikheid. Terhadap hal ini memang menjadi persoalan karena di negeri Belanda sendiri ajaran materiele
wederrechtlikheid kurang berkembang, sedangkan persoalannya menjadi lain karena di Indonesia berkembang pula hukum tidak tertulis yaitu hukum adat yang
memungkinkan sifat melawan hukum tidak berdasarkan hukum tertulis dan terdapat dalam KUHP tetapi unsur melawan hukum itu ada dalam kehidupan masyarakat yang
tidak tertulis. Perkembangan ajaran sifat melawan hukum yang materil di Indonesia Pembicaraan mengenai dasar atau alasan penghapus pidana yang meliputi
alasan pembenar dan alasan pemaaf maka sifat melawan merupakan alasan pembenar, artinya jika alasan sifat melawan hukum dari suatu perbuatan hapus atau tidak
terbukti maka terdakwa harus dibebaskan. Unsur sifat melawan hukum ini tidak hanya sifat melawan hukum yang bersifat formil formele wederrechtelijkheid
maupun sifat melawan hukum yang materil materiele wederretelijkheid.
57
Andi Zainal Abidin, Asas-Asas Hukum Pidana Bagian Pertama, Bandung: Alumni, 1987, hal. 269-270.
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
ternyata tidak seperti yang terjadi di Belanda. Meskipun sebelumnya Mahkamah Agung dalam kasasinya tanggal 17 Januari 1962 No. 152 KKr1961 menganut
paham formale wederrechtelijkheid, tetapi perkembangan selanjutnya menunjukan hal yang sebaliknya. Sejak Mahkamah Agung mengeluarkan Keputusan No. 42
KKr1965 tanggal 8 Januari 1966, badan peradilan tertinggi ini secara terang- terangan menganut ajaran sifat melawan hukum yang materil materiele
wederrechtlikheid sebagai alasan pembenar. Kaidah hukum yang ditarik dari putusan tersebut adalah sebagai berikut:
58
Keputusan ini dianggap sebagai yang pertama tentang pengakuan penggunaan ajaran materiele wederrechtlikheid yang selanjutnya digunakan pula
dalam beberapa putusan Mahkamah Agung yang lain. ”Suatu tindakan dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya
berdasarkan suatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis dan
bersifat umum, sebagai misalnya 3 faktor :
a. negara tidak dirugikan;
b. kepentingan umum dilayani;dan
c. terdakwa tidak mendapat untung.
59
58
L. Suryadarmawan, Himpunan Keputusan-Keputusan Dari Mahkamah Agung, Jakarta: 1967, hal 555.
59
Lihat juga putusan MARI No. 30 KKr1969 dalam kasus jual beli vespa bekas, MARI NO. 72 KKr1970 dalam kasus penarikan cek kosong Caltex, MARI No. 43 KKr1973, dalam kasus
Komisi Dokter Hewan, MARI No. 97 KKr1973 dalam kasus Deposito Telkom, MARI No. 81 KKr 1973 dalam kasus Reboisasi Hutan.
Kaidah hukum yang terdapat
dalam Keputusan No. 42 KKr1965 tidak terdapat dalam KUHP, khususnya dalam
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
Bab 3 Buku 1 tentang alasan-alasan penghapus pidana. Kaidah ini tercipta sebagai akibat dari suatu perkara korupsi yang diputuskan oleh Mahkamah Agung yang
mengambil alih pertimbangan hukum Pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 27 Januari 1965 No. 1461964 yang merupakan perkara banding dan PN Singkawang tanggal 24
September 1965 No. 61964. Putusan ini mengundang berbagai pendapat, diantaranya
adalah Sudarto, yang menyatakan bahwa :
Terhadap kasus tersebut ada dua hal yang perlu dikemukakan :
a. Keputusan PT Jakarta tersebut memberi presedent bahwa ajaran sifat
melawan hukum yang material dalam fungsinya yang negatif telah dianut;
b. Sangat diragukan kebenaran pendapat bahwa dalam persoalan
penggelapan apabila ”negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani dan terdakwa tidak mendapat untung” terdakwa lalu dipandang
tidak berbuat sesuatu yang melawan hukum. Apabila jalan pikiran ini diikuti, seorang pemegang kas negara, yang membungakan uang yang
dikuasainya, baik kepada Bank maupun kepada perseorangan, tidak dapat dituduh menggelapkan kalau memenuhi tiga faktor tersebut,
misalnya bunganya disumbangkan kepada orang-orang miskin atau badan-badan sosial. Dapat kita menarik konsekuensi sedemikian jauh.
60
Terhadap persoalan di atas, Oemar Seno Adjie berpendapat lain. Oemar Seno Adjie mengemukakan:
61
Maka, suatu konstruksi sekitar materiele wederrechtlikheid dan
perumusannya yang mengakui adanya strafuitslutings, tidak ada perbuatan melawan hukum yang materiil, jika ada afweziheid van alle materiele
wederrechtlikheid. Ia merupakan suatu kesimpulan dalam ilmu hukum, yang
60
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung: Sinar Baru, 1983, hal. 56
61
Oemar Seno Adjie, Hukum Pidana Pengembangan, Jakarta: Erlangga, 1985, hal. 44
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
seterusnya dapat dikembangkan pula oleh yurisprudensi dan semoga dapat disumbangkan bagi para legislator untuk menetukan perundang-
undangannya.
Dari kedua pendapat tersebut memang terlihat tidak ada ukuran yang pasti tentang kapan dan dapat hilangnya sifat melawan hukum materiil. Tentu saja yang
dimaksud dengan ukuran yang pasti di sini bukanlah suatu ukuran yang matematis, tetapi suatu ukuran obyektif yang dilihat dari asas-asas hukum yang berlaku.
62
Melawan undang-undang berarti secara formil melawan hukum. Mungkin perbuatan itu bertentangan dengan norma-norma lain yang tidak diatur oleh undang-
undang, di sinilah letaknya sifat melawan hukum materil. Meskipun demikian belumlah tentu perbuatan itu sebagai pidana jika tidak terlebih dahulu ditentukan
dalam undang-undang. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya kesulitan dalam penegakan hukum karena banyak perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma
hukum yang belum diatur dalam perundang-undangan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Muladi yang mengatakan ”......... dengan meningkatnya kuantitas
kasus-kasus malpraktek di kalangan profesi, akan di sini penerapan ajaran sifat melawan hukum materil dalam penegakan hukum pidana”.
63
Kesulitan lain juga muncul di samping karena sifat hukum pidana sebagai ultimum remidium, yaitu karena badan legislatif tidak begitu cepat tanggap terhadap
62
Komariah Emong S, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel dalam Hukum Pidana Indonesia, Prisma, No. 7 Juli 1995, hal. 30
63
Muladi, Sinkronisasi Pelaksanaan Penegakan Hukum dalam Mewujudkan Integrated Criminal Justice System, Makalah dalam diskusi hukum ICJS, Yogyakarta, 25 – 26 Juli 1990.
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
pembentukan undang-undang baru untuk mengantisipasi kejahatan-kejahatan bentuk baru sebagai akibatnya hakim harus berhadapan dengan masalah penafsiran yang bagi
hakim pidana terbatas jenisnya. Schaffmeister melukiskan keadaan ini sebagai keadaan di mana hakim terpaksa menerapkan Pasal-Pasal penipuan bagi perkara-
perkara yang muncul sebagai akibat perkembangan masyarakat sedangkan perangkat undang-undang pidana belum mengaturnya.
64
Peran legislatif menjadi sangat penting untuk membuat suatu peraturan hukum pidana. Menurut Roeslan Saleh, ”dengan
jalan menyatakan sesuatu perbuatan dapat di pidana, maka pembentuk itu sebagai bersifat melawan hukum atau untuk selanjutnya akan dipandang demikian.
65
64
D. Schaffimeister, Fraud Bestrijding Zonder Grondslag, Leiden, 1990
65
Roeslan Saleh, Sifat Melawan Hukum dari Perbuatan Pidana, Jakarta: Aksara Baru, 1987, hal 7.
Sebagai contoh pentingnya peran legislatif dalam membuat suatu peraturan pidana adalah
dalam perumusan tindak pidana korupsi. Dalam UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terdapat rumusan delik yang memuat ajaran
sifat melawan hukum yang materil. Hal ini tersimpul dalam kalimat ”Kerugian keuangan negara” atau ”perekonomian” seperti yang tercantum dalam Pasal 1 ayat 1
huruf a dan b. Unsur ini oleh jaksa penuntut umum ditafsirkan sebagai unsur yang
harus dibuktikan di persidangan. Oleh Romli Atmasasmita, kelemahan rumusan delik
dalam UU No. 3 Tahun 1971 ini diperlemah dengan adanya keputusan MARI No. 24 KKr1965 tersebut di atas sehingga banyak tindak pidana korupsi yang menyangkut
konglomerat tidak dilanjutkan ke tingkat pemeriksaan di pengadilan karena tidak
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
terbukti unsur kerugian keuangan negara atau perekonomian negara dengan dikembalikannya uang hasil korupsi oleh terdakwa kepada negara.
66
Perkembangan selanjutnya, pembicaraan antara pemerintah dengan lembaga legislatif menghasilkan rumusan yang berbeda dengan UU No. 3 Tahun 1971. UU
No. 31 Tahun 1999 sebagai ganti UU No. 3 Tahun 1971 menetapkan tindak pidana korupsi dirumuskan secara formal delik formal, bukan delik materil, di mana
pengembalian kerugian negara tidak menghapuskan penuntutan pidana terhadap terdakwa, melainkan hanya sebagai faktor yang meringankan pidana.
67
Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh penyidik Satuan Tipikor Polda Sumatera Utara yang
menyatakan bahwa:
”Undang-undang tindak pidana korupsi yang diatur di dalam undang-undang sebagai kerangka penyidik untuk melakukan serangkaian penyidikan atas
terjadinya suatu peristiwa pidana yang dituduhkan kepada tersangka tindak pidana korupsi maka kerangka hukum yang digunakan penyidik adalah
mengacu pada ketentuan yang terdapat dalam undang-undang tindak pidana korupsi yang merumuskan tentang perbuatan melawan hukum formil,
sedangkan melawan hukum materiil penyidik tidak dapat menggunakan kerangka hukum ini walaupun telah ada putusan Mahkamah Konstitusi dan
Putusan Mahkamah Agung”
66
Romli Atmasasmita, Proses Penanggulangan Korupsi di Indonesia Memasuki Abad XXI : Suatu Reorientasi atas Kebijakan Hukum Pidana di Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar Madya,
FH UNPAD, Bandung 25 September 1990.
67
Hasil wawancara dengan penyidik pada Satuan Tindak Pidana Korupsi Polda Sumatera Utara, tanggal 25 Mei 2009
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
C. Perbuatan Melawan Hukum Berhubungan Dengan Adanya Kesalahan