Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
1. Untuk mengetahui ajaran dan konsep tentang perbuatan melawan hukum di
dalam hukum pidana. 2.
Untuk mengetahui pertanggungjawaban pelaku tindak pidana korupsi dalam hal terjadinya perbuatan melawan hukum materiele wederrechtelijkheid.
3. Untuk mengetahui pembuktian unsur melawan hukum pada kasus korupsi
sebagaimana di putusan oleh Mahkamah Agung RI No. No. 2608 KPid2006.
D. Manfaat Penelitian
Bertitik tolak dari tujuan penulisan yang didasarkan pada tujuan penelitian yaitu:
“…… to discover answers to questions through the application of scientific procedures. These procedures have been developed in order to increase the
likelihood that the information gathered will be relevant to the question asked and will be reliable and unbiased.
22
1. Secara Teoritis
Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan praktis. Adapun kedua kegunaan tersebut adalah sebagai berikut:
Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum khususnya dalam bidang hukum
ekonomi mengenai penerapan asas perbuatan melawan hukum materil
22
Calire Seltz et.,al: 1977, seperti dikutip oleh Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia UI-Press, 1986, hal. 9
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
dalam perspektif tindak pidana korupsi dan pengaturan perbuatan melawan hukum materil yang diatur di dalam undang-undang tindak
pidana korupsi dalam rangka penanggulangan kejahatan korupsi. Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi
penyempurnaan pranata peraturan hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
2. Secara Praktis
Manfaat penelitian ini memberikan masukan kepada aparat penegak hukum dalam sistem peradilan tindak pidana korupsi dalam mengambil
beberapa tindakan untuk menerapkan ajaran perbuatan melawan hukum materil, sehingga dapat mengantisipasi implikasi tindakan yang
menghambat pemberantasan tindak pidana korupsi, selanjutnya penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi para pihak yang terkait dengan
pemberantasan tindak pidana korupsi dalam mengambil beberapa rangkaian kebijakan, misalnya Penyidik Kepolisian dan Kejaksaan.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan Universitas Sumatera Utara, diketahui bahwa penelitian tentang ajaran perbuatan
melawan hukum dalam tindak pidana korupsi belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama walapun ada beberapa judul yang
membahas tentang tindak pidana korupsi namun pendekatan yang digunakan sangat
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
berbeda. Jadi penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional objektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan serta saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan
masalah.
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional
1. Kerangka Teori
Penerapan aturan hukum yang berdaya guna tidak dapat dipisahkan dari kerangka pembentukan hukum di dalam pembangunan sistem hukum di Indonesia
yang menyelaraskan dan memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat. Dengan perkatan lain hukum yang dibuat haruslah disesuaikan dengan perkembangan
dinamika masyarakat dan memperhatikan aspek keadilan
23
23
Lihat, John Rawls, Teori Keadilan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, hal. 3, bahwa keadilan adalah kebajikan utama dalam institusi sosial, sebagaimana kebenaran dalam sistem
pemikiran. Suatu teori betapapun elegan dan ekonomisnya harus ditolak atau direvisi jika ia tidak benar, demikian juga hukum dan institusi tidak pedui betapapun efesien dan rapinya harus direformasi
atau dihapuskan jika tidak adil.
dan memberikan perlindungan untuk menciptakan tertib hukum, di sinilah fungsi hukum sebagai
aturan. Hal ini sesuai dengan landasan teori sociological jurisfrudence dari Roscoe Pound yang menekankan bahwa hukum merupakan alat untuk membangun
masyarakat law as a tool of social engineering, sejalan dengan pemikiran Roscoe Pound ini maka Eugen Erlich mengajukan suatu konsepsi tentang hukum yang hidup
dengan arti hukum yang demikian tidak ditemukan di dalam bahan-bahan hukum
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
formal melainkan dalam masyarakat. Untuk melihat hukum yang hidup dan dipakai dalam menyelenggarakan proses-proses dalam masyarakat, orang tidak hanya
memandang kepada bahan-bahan dan dokumen formal saja melainkan perlu terjun sendiri ke dalam bidang kehidupan yang senyatanya.
24
Prinsip teori ini hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Konsep
teori ini menunjukkan adanya kompromi antara hukum yang tertulis sebagai kebutuhan masyarakat hukum demi kepastian hukum dan living law sebagai wujud
penghargaan terhadap pentingnya peranan masyarakat dalam pembentukan dan orientasi huku m.
25
Aktualisasi dari living law tersebut bahwa hukum tidak dilihat dalam wujud kaidah melainkan dalam masyarakat itu sendiri. Elaborasi dari sistem
hukum hukum yang tertulis dengan konsepsi living law inilah yang melahirkan suatu sistem hukum yang rasional.
26
Penerapan suatu sistem hukum rasional dalam sistem peradilan pidana criminal justice system tentunya memberikan dampak pada proses penegakan
hukum di Indonesia terutama dalam hal kebijakan pemberlakuan hukum, seperti efektivitas penerapan ajaran perbuatan melawan hukum materil pada tindak pidana
24
Ibid
25
Lili Rasjidi dan I. B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001, hal. 79
26
Bismar Nasution, Hukum Rasional Untuk Landasan Pembangunan Ekonomi Indonesia Disampaikan Pada Seminar Nasional Reformasi Hukum dan Eonomi, sub tema: Reformasi Agraria
Mendukung Ekonomi Indonesia diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis USU ke-52, Medan, Sabtu 14 Agustus 2004, hal. 8 bahwa untuk memprediksi efektivitas suatu kaedah hukum yang terdapat
didalam undang-undang tidak terlepas dari sistem hukum yang rasional, karena pada sistem hukum rasional yang memberikan panduan adalah hukum itu sendiri bukan sistem hukum yang kharismatik
yang disebut sebagai “law prophet”. Sistem hukum rasional dielaborasi melalui sistem keadilan yang secara profesional disusun oleh individu-individu yang mendapatkan pendidikan hukum, cara
demikian membuat orang terhindar dari penafsiran hukum secara black letter rules atau penafsiran legalistik.
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
korupsi sebagai perluasan perbuatan melawan hukum, misalnya menurut hukum positif di Indonesia, perbuatan melawan hukum pada dasarnya memang termasuk
bidang hukum perdata. Namun dalam praktek bisnis dan ekonomi, apabila terdapat elemen-elemen telah terjadinya kecurangan deceit, penyesatan misrepresentation,
penyembunyian kenyataan conceeltment of facts, akal-akalan subterfuge, pengelakan peraturan illegal circumventment of facts atau manipulasi, penanggaran
kepercayaan breach of trush maka perbuatan tersebut telah dapat dikualifikasi sebagai perbuatan pidana fraud atau kejahatan bisnis,
27
perluasan perbuatan melawan hukum ini secara jelas terlihat di dalam tindak pidana korupsi
28
yang selanjutnya terjadi perubahan terhadap penjelasan Pasal 2 ayat 1 UU PTPK,
29
27
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis Bisnis Crime , Bogor: Kencana, 2003, hal. xiii
28
Lihat, Kutipan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 003PUU-IV2006, di dalam putusannya menyatakan bahwa oleh karenanya Penjelasan Pasal 2 ayat 1 UU PTPK tidak sesuai
dengan dengan perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil yang dimuat dalam Pasal 28D ayat 1 UUD 1945. dengan demikian Penjelasan Pasal 2 ayat 1 UU PTPK sepanjang mengenai frasa
“ Yang dimaksud dengan secara melawan hukum dalam pasal ini mencakup perbuatan-perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materil yakni meskipun perbuatan tersebut tidak
diatur dalam peraturan perundang-undangan namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka
perbuatan dapat dipidana, harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. di dalam Pasal 2 ayat 1 UU PTPK yang menyatakan bahwa unsur-unsur
perbuatan melawan hukum tidak hanya perbuatan melawan formil formele wederrechtelijkheid saja sebagaimana dianut KUH Pidana, melainkan juga perbuatan melawan hukum secara materiel
materiele wederrechtelijkheid
29
Donald Haris, Remedies in Contract and Tort Law London: Weidenfeld and Nicolson, 1998, hal. 192 bahwa selanjutnya pada perkembangannya di Indonesia berdasarkan Article 11 2
Universal Declaration of Human Right 1984 juga menegaskan bahwa No one shall be held guilty of any penal offence on account of any act or omission which did not constitute a penal offence, unde
national or international law, at the time when it was commited . Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 telah meratifikasi United Nations Convention Against Corruption, 2003. Apabila
dibandingkan di Negara yang menganut sistem hukum common law menyatakan bahwa Tort sebagai alat untuk melindungi seseorang dari kebebasan individu, kebebasan ini harus dibatasi apabila
menimbulkan kerugian atau kerusakan terhadap orang lain.
melalui Putusan Mahkamah Konstitusi menunjukan fungsi hukum sebagai sarana dan
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
alat pembaharuan masyarakat, hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja, bahwa:
“…Hukum merupakan suatu alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat. Mengingat fungsinya, sifat hukum pada dasarnya adalah
konservatif. Artinya hukum bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah tercapai. Fungsi demikian diperlukan dalam setiap masyarakat, termasuk
masyarakat yang sedang membangun, karena disini pun ada hasil-hasil yang harus dipelihara, dilindungi dan diamankan. Akan tetapi, masyarakat yang
sedang membangun yang dalam defenisi kita berarti masyarakat yang sedang berubah cepat, hukum tidak cukup memiliki fungsi yang demikian saja. Ia
juga harus dapat membantu proses perubahan masyarakat itu. Pandangan yang kolot tentang hukum yang menitiberatkan fungsi pemeliharaan ketertiban
dalam arti statis dan menekankan sifat konservatif dari hukum, menganggap hukum tidak memainkan suatu peranan yang berarti dalam proses
pembaharuan. Ucapan bahwa dengan ahli hukum orang tidak dapat membuat revolusi menggambarkan anggapan demikian. Kesulitan dalam menggunakan
hukum sebagai suatu alat untuk mengadakan perubahan-perubahan kemasyarakatan adalah bahwa kita harus berhati-hati agar tidak timbul
kerugian pada masyarakat”.
Penerapan ajaran perbuatan melawan hukum materil pada pekara korupsi tentunya tidak dapat dipisahkan dari efektivitas suatu kaedah hukum pada sistem
peradilan pidana. Menurut Soerjono Soekanto bahwa untuk melihat suatu efektivitas kaedah hukum pada tatanan penegakan hukum sebagai suatu proses yang pada
hakekatnya merupakan penerapan direksi yang menyangkut membuat keputusan yang secara ketat tidak diatur oleh kaedah hukum, akantetapi mempunyai unsur penilaian
pribadi dan pada hakekatnya direksi berada diantara hukum dan moral etika dalam arti sempit, hal ini sebagaimana pendapat Roscoe Pound.
30
30
Lihat, Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2004, hal. 7
Hukum dapat dikatakan
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
sebagai rules of conduct for men bahavior in a society
31
dan hukum menghilangkan ketidakpastian, hukum memberikan jaminan bagi terjadinya perubahan sosial.
Berkaitan dengan hal ini maka Dardji Darmodihardjo dan Sidharta
32
mengatakan bahwa sebagai suatu sistem hukum mempunyai berbagai fungsi yakni fungsi hukum
sebagai kontrol sosial, disini hukum membuat norma-norma yang mengontrol perilaku individu dalam berhadapan dengan kepentingan-kepentinan individu dan
fungsi hukum sebagai sarana penyelesaian konflik dispute settlement serta berfungsi untuk memperbaharui masyarakat. Hukum menjadi berarti apabila perilaku manusia
dipengaruhi oleh hukum dan apabila masyarakat mengggunakan hukum menuruti perilakunya, sedangkan di lain pihak efektivitas hukum berkaitan erat dengan
masalah kepatuhan hukum sebagai norma. Hal ini berbeda dengan kebijakan dasar yang relatif netral dan bergantung pada nilai universal dari tujuan dan alasan
pembentukan undang-undang.
33
Paradigma konsep teori ini dapat dilihat di dalam undang-undang tindak pidana korupsi yakni untuk menyesuaikan perangkat hukum yang ada dengan
kebutuhan pemberantasan dan penanggulangan serta perkembangan tindak pidana korupsi diadakan beberapa kali perubahan peraturan perundang-undangan. Pokok-
pokok perubahan tersebut sebagai berikut:
31
Dimyati Hartono, Ketidak Mandirian Hukum Mempengaruhi Reformasi di Bidang Hukum, dalam Edi Setiadi, Op.cit, hal. 7.
32
Dardji Darmodihardjo, Sidharta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996, hal. 159-161.
33
Lihat, Hikmahanto Juwana, Politik Hukum UU Bidang Ekonomi di Indonesia: Disampaikan Pada Seminar Nasional Reformasi Hukum dan Ekonomi, Sub Tema: Reformasi Agraria Mendukung
Ekonomi Indonesia diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis USU ke-52, Medan, Sabtu, 14 Agustus 2004.
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
a. Penyebutan secara langsung unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing
Pasal KUHP yang diacu. Pasal 5,6,7,8,9,10,11,12 dan pasal 13 rumusannya diubah sehingga tidak mengacu
pada pasal 209, 210, 387, dan 388, 415 dari KUHP 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425 atau pasal 435 KUHP, tetapi langsung menyebutkan Unsur-unsur yang
terdapat dalam masing-masing pasal KUHP seperti pemberian atau menjanjikan sesuatu kepada PNS atau orang lain yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan
umum, hakim, kontraktor, pengusaha atau pemborong yang berbuat curang. Perubahan tersebut memudahkan pemahaman terhadap lingkup atau objek yang
diaturnya. b. Penghapusan ketentuan minimum denda dan pidana penjara. Pasal 12 A
dinyatakan bahwa 1 ketentuan mengenai pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, pasal 6, pasal 7, pasal 8, pasal 9, pasal 10,
pasal 11 dan pasal 12 tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp. 5.000.000,00 lima juta rupiah, 2 Bagi pelaku tindak pidana
korupsi yang nilainya kurang dari Rp. 5.000.000,00 lima juta rupiah sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 tiga tahun dan dipidana denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 lima puluh juta rupiah. Perumusan pasal 12 A didasarkan pada pertimbangan bahwa
pidana sebagai yang dimaksud dalam pasal 415 KUHP dan pasal 8 Undang- Undang 31 Tahun 1999 yang mana pengenaan pidana penjara paling sedikit 3
tiga tahun dan paling lama 15 lima belas tahun dengan denda paling sedikit
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
Rp. 150.000.000,00 seratus lima puluh juta rupiah dan paling banyak Rp.750.000.000,00 tujuh ratus lima puluh juta rupiah kurang efektif sehingga
pidana tersebut menimbulkan rasa kekurangadilan dalam hal pelaku Tindak Pidana yang menimbulkan kerugian negara relatif kecil.
Selanjutnya dikaji dari perspektif teoretis dan praktik konsepsi perbuatan melawan hukum dikenal dalam dimensi hukum perdata dan hukum pidana. Dari
aspek etimologis dan terminologis maka perbuatan melawan hukum dalam bahasa Belanda dikenal dengan terminologi “wederrechtelijk” dalam ranah hukum pidana
dan terminologi “onrechtmatige daad” dalam ranah hukum perdata. Akan tetapi, pengertian dan terminologi “wederrechtelijk” dalam hukum pidana tersebut ada
diartikan sebagai bertentangan dengan hukum in strijd met het recht, atau melanggar hak orang lain met krenking van eens anders recht dan ada juga yang
mengartikan sebagai tidak berdasarkan hukum niet steunend op het recht atau sebagai tanpa hak zonder bevoegheid.
34
Dalam hukum pidana, khususnya terhadap perkara tindak pidana korupsi telah terjadi pergeseran perspektif dimana perbuatan melawan hukum formal formele
wederrechtelijkheid menjadi perbuatan melawan hukum materil materiele wederrechtelijkheid dalam artian setiap perbuatan yang melanggar norma-norma
dalam kepatutan masyarakat atau setiap perbuatan yang dianggap tercela oleh
34
Lilik Mulyadi, Dimensi Dan Implementasi “Perbuatan Melawan Hukum Materiil” Dalam Tindak Pidana Korupsi Pada Putusan Mahkamah Agung Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, Loc.cit
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
masyarakat. Pergeseran perbuatan melawan hukum formal menjadi perbuatan melawan hukum materil.
Pergeseran perbuatan melawan hukum fomal menjadi perbuatan melawan hukum materil dilakukan pembentukannya melalui yurisprudensi putusan hakim.
Konkritnya, yurisprudensi Mahkamah Agung RI telah memberi landasan dan terobosan serta melakukan pergeseran dalam penanganan Tindak Pidana Korupsi dari
pengertian perbuatan melawan hukum bersifat formal menjadi bersifat materil yang meliputi setiap perbuatan yang melanggar norma-norma dalam kepatutan masyarakat
atau setiap perbuatan yang dianggap tercela oleh masyarakat.
35
Landasan, terobosan dan pergeseran pengertian “wederrechtelijk”, khususnya perbuatan melawan hukum materil dalam hukum pidana tersebut mendapat pengaruh
kuat dari pengertian perbuatan melawan hukum secara luas dari hukum perdata. Kemudian dalam praktik peradilan khususnya melalui yurisprudensi maka
Mahkamah Agung RI juga telah memberikan nuansa baru perbuatan melawan hukum materil bukan hanya dibatasi dari fungsi negatif sebagai alasan peniadaan pidana
guna menghindari pelanggaran asas legalitas maupun penggunaan analogi yang dilarang oleh hukum pidana. Akan tetapi juga Mahkamah Agung dengan melalui
yurisprudensinya melakukan pergeseran perbuatan melawan hukum materiil ke arah fungsi positif melalui kretaria limitatif dan kasuistik berupa perbuatan pelaku yang
tidak memenuhi rumusan delik dipandang dari segi kepentingan hukum yang lebih tinggi ternyata menimbulkan kerugian yang jauh tidak seimbang bagi
35
Ibid
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
masyarakatnegara dibandingkan dengan keuntungan dari perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik tersebut.
Sebagai salah satu contoh yurisprudensi Mahkamah Agung RI yang menerapkan sifat melawan hukum materil dengan fungsi negatif yang bertujuan
menghilangkan alasan penghapus pidana yang tidak tertulis adalah dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 42 KKr1966 tanggal 8 Januari 1966 atas nama
terdakwa Machroes Effendi kemudian diikuti pula Putusan Mahkamah Agung Nomor: 71K1970 tanggal 27 Mei 1972, Putusan Mahkamah Agung Nomor:
81KKr1973 tanggal 30 Mei 19779 dimana Mahkamah Agung berpendapat bahwa adanya 3 tiga sifat hilangnya unsur bestandellen melawan hukum materiil sebagai
alasan penghapus pidana yang tidak tertulis berupa faktor negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani dan terdakwa tidak mendapat untung.
36
Selain itu, Mahkamah Agung berpendirian dengan membenarkan pendapat dari Pengadilan Tinggi bahwa hilangnya sifat melawan hukum dapat juga
dikarenakan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis sebagaimana pertimbangan itu disebutkan dengan redaksional sebagai berikut:
37
36
Ibid
37
Ibid
“bahwa Mahkamah Agung pada azasnya dapat membenarkan pendapat dari Pengadilan Tinggi tersebut, bahwa suatu tindakan pada umumnya dapat
hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan suatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan azas-azas
keadilan atau azas-azas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum sebagaimana Pengadilan Tinggi dianggap ada dalam perkara penggelapan
yang formil terbukti dilakukan oleh terdakwa.”
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
Dengan tolok ukur sebagaimana dimensi di atas, maka berdasarkan kasus Machroes Effendi inilah timbul suatu yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor: 42
KKr1965 tanggal 8 Januari 1966 yang jelas menganut asas “perbuatan melawan hukum materiil” materiele wederrechtelijkheid dalam fungsi negatif. Sedangkan
yurisprudensi Mahkamah Agung yang berpendirian perbuatan melawan hukum materiil dalam fungsi positif terdapat dalam perkara Putusan Nomor: 275 KPid1983
tanggal 29 Desember 1983 atas nama terdakwa Drs. R.S. Natalegawa kemudian diikuti pula dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2477 KPid1988 tanggal 23
Juli 1993, Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1571 KPid1993 tanggal 18 Januari 1995.10 Pada asasnya, yurisprudensi Mahkamah Agung ini pertimbangan
putusannya bersifat futuristis dengan titik tolak penafsiran yang keliru pengertian “melawan hukum” dari yudex facti diidentikan sebagai “melawan peraturan yang ada
sanksi pidananya”, sebagaimana dikatakan dengan redaksional sebagai berikut:
38
Kemudian, yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut secara implisit memberikan pertimbangan bahwa penanganan kasus ini mengacu kepada pengertian
“Menimbang, bahwa menurut Mahkamah Agung penafsiran terhadap sebutan “melawan hukum” tidak tepat, jika hal itu hanya dihubungkan dengan policy
perkreditan direksi yang menurut Pengadilan Negeri tidak melanggar peraturan hukum yang ada sanksi pidananya, akan tetapi sesuai pendapat yang
sudah berkembang dalam ilmu hukum, seharusnya hal itu diukur berdasarkan asas-asas hukum tak tertulis, maupun asas-asas yang bersifat umum menurut
kepatutan dalam masyarakat.”
38
Ibid
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
melawan hukum materil dari fungsi positif. Aspek ini lebih detail dipertimbangkan dengan redaksional sebagai berikut:
39
39
Ibid
“Menimbang, bahwa menurut kepatutan dalam masyarakat khususnya dalam perkara-perkara tindak pidana korupsi, apabila seorang pegawai negeri
menerima fasilitas yang berlebihan serta keuntungan lainnya dari seorang lain dengan maksud agar pegawai negeri itu menggunakan kekuasaannya atau
wewenangnya yang melekat pada jabatannya secara menyimpang, hal itu sudah merupakan “perbuatan melawan hukum”, karena menurut kepatutan
perbuatan itu merupakan perbuatan yang tercela atau perbuatan yang menusuk perasaan hati masyarakat banyak.”
Pada hakikatnya, pertimbangan putusan Mahkamah Agung inilah yang
dianggap sebagai perkembangan interpretasi futuristis yang menyelami perasaan keadilan masyarakat di satu pihak, sedangkan di sisi lainnya berpendapat bahwa sejak
putusan itu ajaran sifat melawan hukum materil telah mempunyai fungsi positif. Fungsi positif ini, menurut ajaran umum hukum pidana, tidak diperbolehkan karena
akan bertentangan dengan asas legalitas. Konklusi dari apa yang telah diuraikan konteks di atas maka putusan Mahkamah Agung RI memberikan ruang dan dimensi
tentang diterapkannya perbuatan melawan hukum materil baik dalam fungsi negatif dan fungsi positif. Apabila dijabarkan, walaupun yurisprudensi tersebut bertitik tolak
kepada UU Nomor 3 Tahun 1971, akan tetapi dalam perkembangan berikutnya dalam ketentuan Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001,
ajaran perbuatan melawan hukum materil tetap dipertahankan dan diterapkan secara normatif, teoretis dan praktik peradilan.
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
2. Landasan Konsepsional