Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
2. Dalam yurisprudensi tetap vaste jurisprudentie yang dianut sejak lama
dalam praktik peradilan ternyata Mahkamah Agung RI telah menerapkan adanya perbuatan melawan hukum materiil baik dalam fungsi negatif Putusan
Mahkamah Agung RI Nomor: 42 KKr1965 tanggal 8 Januari 1966, Putusan Mahkamah Agung Nomor: 71K1970 tanggal 27 Mei 1972, Putusan
Mahkamah Agung Nomor: 81KKr1973 tanggal 30 Mei 1977 maupun fungsi positif Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 275 KPid1983 tanggal
29 Desember 1983, Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2477 KPid1988 tanggal 23 Juli 1993, Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1571 KPid1993
tanggal 18 Januari 1995. Konsekuensi logis dimensi demikian membawa suatu polarisasi pemikiran
bahwa Mahkamah Agung ingin menjatuhkan hukuman sesuai nuansa dan paradigma asas keadilan yang walaupun tidak diatur dalam UU akan tetapi karena praktik di
masyarakat dianggap sebagai sebuah perbuatan tercela, maka aspek demikian tidak dapat dibiarkan dan pelakunya harus dijatuhi hukuman sesuai norma yang hidup
dalam masyarakat living law dengan tetap mempergunakan parameter asas keadilan.
B. Problematika Hakim Sebagai Subsistem Peradilan Pidana Criminal Justice
System Dalam Menerapkan Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Di dalam Tindak Pidana Korupsi
Dikaji dari perspektif kebijakan hukum pidana maka hakim selaku pemegang kebijakan aplikatif harus menerapkan peraturan perundang-undangan sebagai
konsekuensi dari penerapan sistem pemidanaan pada sistem peradilan pidana
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
Indonesia.
93
Apabila dijabarkan lebih jauh paradigma konteks di atas maka hakim harus menggali dan menetapkan hukum untuk masyarakat, peraturan dibuat untuk suatu
masyarakat dan juga tentu harus menjatuhkan hukuman sesuai dengan dimensi Oleh karena dimensi demikian maka hakim tidaklah harus menjadi
penyambung lidah atau corong UU bousche de la loimouth of the laws akan tetapi hakim harus dapat menerapkan, sebagai filter dan mengimplementasikan peraturan
tersebut yang masih bersifat abstrak terhadap kasus konkrit. Konsekuensi logis dimensi demikian hakim dihadapkan kepada pilihan keadilan, kepastian dan
kemanfaatan. Di satu sisi perbuatan korupsi secara formal perbuatan melawan hukum
formal tidak ada, akan tetapi di sisi lainnya secara materil perbuatan melawan hukum materil ada maka hakim sebagai kebijakan aplikasi harus menggali,
memahami dan menghayati norma-norma hukum yang hidup di dalam masyarakat. Penggalian hukum menyangkut perbuatan melawan hukum materil ini akan
mengalami kendala apabila dihadapkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003PUU-IV2006.
93
Lihat, L.H.C. Hulsman dalam Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002, hal. 135-136, bahwa sistem pemidanaan the sentencing system
adalah aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan the statutory rules relating to penal sanctions and punishment. Apabila pengertian pemidanaan diartikan
secara luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup pengertian:
a. Keseluruhan sistem aturan perundang-undangan untuk pemidanaan.
b. Keseluruhan sistem aturan perundang-undangan untuk pemberianpenjatuhan dan
pelaksanaan pidana. c.
Keseluruhan sistem aturan perundang-undangan untuk fungsionalisasi operasionalisasi konkretisasi pidana
Keseluruhan sistem perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalisasikan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi hukum pidana.
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
keadilan kepada masyakarat di mana hukum itu hidup living law. Dalam paradigma modern sekarang dapat disebutkan dengan paradigma bahwa, “hakim tidak hidup
dalam menara gading”. Dimensi, paradigma, aktualitas dan pemikiran progresif sebagaimana apa yang dikedepankan aliran fragmatic legal realism yang
mengedepankan living law inilah yang menjadi kerangka Mahkamah Agung RI dalam Putusan Mahkamah Agung NO. 2608 KPID2006. Hal ini mengadung arti
bahwa yurisprudensi dan doktrin merupakan sumber hukum formil selain UU dan kebiasaan serta traktat yang dapat digunakan oleh Mahkamah Agung dalam kasus
konkrit yang dihadapinya. Yurisprudensi tentang makna perbuatan melawan hukum dalam arti formil dan dalam arti materil harus tetap dijadikan pedoman untuk
terbinanya konsistensi penerapannya dalam perkara-perkara tindak pidana korupsi, karena sudah sesuai dengan kesadaran hukum dan perasaan hukum yang sedang
hidup dalam masyarakat, kebutuhan hukum warga masyarakat, nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Esensi krusial putusan hakim pada Putusan Mahkamah Agung NO. 2608 KPID2006 adalah tetap mempertahankan dan menerapkan perbuatan melawan
hukum materil dalam perkara tindak pidana korupsi pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003PUU-IV2006 tanggal 25 Juli 2006 khususnya terhadap
eksistensi ketentuan Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001.
Apabila dijabarkan lebih detail ada beberapa argumentasi yang diterapkan oleh Majelis Hakim Mahkamah Agung dengan melakukan suatu penemuan hukum
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
terhadap tetap diterapkannya perbuatan melawan hukum materil sebagaimana norma yang diatur dalam penjelasan ketentuan Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo
UU Nomor 20 Tahun 2001 yakni: 1.
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003PUU-IV2006 tanggal 25 Juli 2006 khususnya terhadap eksistensi ketentuan Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 31
Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka yang dimaksud
dengan unsur “melawan hukum” menjadi tidak jelas rumusannya. Oleh karena itu berdasarkan doctrine “Sens-Clair” la doctrine du senclair hakim harus
melakukan penemuan hukum dengan memperhatikan ketentuan Pasal 28 ayat 1 UU Nomor 4 Tahun 2004 yang menentukan, “Hakim wajib menggali, mengikuti
dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”, karena menurut ketentuan Pasal 16 ayat 1 UU Nomor 4 Tahun
2004, “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau
kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya”. Selain itu juga Hakim dalam mencari makna “melawan hukum” seharusnya mencari dan
menemukan kehendak publik yang bersifat unsur pada saat ketentuan tersebut
diberlakukan pada kasus konkrit. Tegasnya, sebagaimana disebutkan Hamaker
bahwa hakim seyogianya mendasarkan putusannya sesuai dengan kesadaran hukum dan penerapan hukum yang sedang hidup di dalam masyarakatnya ketika
putusan itu dijatuhkan, oleh karena itu menurut I.H. Hymans hanya putusan
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
hukum yang sesuai dengan kesadaran hukum dan kebutuhan hukum warga masyarakatnya yang merupakan “hukum dalam makna sebenarnya”.
94
Konklusi dasarnya, sebagaimana dikatakan Lie Oen Hock bahwa, “apabila kita
memperhatikan UU, ternyata bagi kita bahwa UU tidak saja menunjukan banyak kekurangan-kekurangan, tapi seringkali juga tidak jelas. Walaupun demikian
hakim harus melakukan peradilan. Teranglah, bahwa dalam hal sedemikian UU memberi kuasa kepada hakim untuk menetapkan sendiri maknanya ketentuan UU
itu atau artinya suatu kata yang tidak jelas dalam suatu ketentuan UU. Dan hakim boleh menafsir suatu ketentuan UU secara gramatikal atau historis baik “rechts
maupun wetshistoris”, secara sistimatis atau secara sosiologis atau dengan cara memperbandingkan hukum.
95
2. Mahkamah Agung dalam memberi makna unsur “secara melawan hukum” dalam
Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 memperhatikan doktrin dan Yurispudensi Mahkamah Agung RI yang berpendapat
bahwa unsur “secara melawan hukum” dalam tindak pidana korupsi adalah mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti
materil dan mengenai perbuatan melawan hukum dalam fungsi positif dan negatifnya yang pengertiannya Mahkamah Agung berpedoman pada tujuan
diperluasnya unsur perbuatan “melawan hukum”, yang tidak saja dalam
94
Achmad Ali, Op.cit, hal. 140
95
Lie Oen Hock, Jurisprudensi Sebagai Sumber Hukum, Pidato Diucapkan Pada Waktu
Pengresmian Pemangkuan Jabatan Guru Besar Luar Biasa Dalam Ilmu Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia Pada Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Dari Universitas Indonesia
Di Jakarta Pada Tanggal 19 September 1959, Bandung: PT Penerbitan Universitas, Cetakan keempat, 1965, hal. 11
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
pengertian formil, namun meliputi perbuatan melawan hukum secara materil, adalah untuk mempermudah pembuktiannya di persidangan, sehingga suatu
perbuatan yang dipandang oleh masyarakat sebagai melawan hukum secara materil atau tercela perbuatannya, dapatlah pelaku dihukum melakukan tindak
pidana korupsi, meskipun perbuatannya itu tidak melawan hukum secara formil.
96
Berdasarkan pengertian melawan hukum menurut undang-undang tidak hanya melanggar peraturan yang ada sanksinya melainkan mencakup pula perbuatan
yang bertentangan dengan keharusan atau kepatutan dalam pergaulan masyarakat atau dipandang tercela oleh masyarakat.
C. Analisis Pemenuhan Unsur Perbuatan Melawan Hukum Materil Pada