Berdasarkan ketentuan diatas terlihat jelas jika dalam memutus sengketa tentang hasil pemilihan umum kepala daerah merupakan kewenangan konstitusional
Mahkamah Konstitusi. Kewenangan tersebut secara eksplisit diatur lebih lanjut berdasarkan ketentuan Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Pemerintah Daerah yang menyatakan jika sengketa hasil pemilihan kepala daerah merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi.
B. Perluasan Kewenangan Konstitusional Mahkamah Konstitusi Dalam
Memutus Perselisihan Tentang Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah
Perubahan yang signifikan sebagai salah satu akibat dari adanya amandemen terhadap UUD 1945 adalah bahwa pengisian jabatan dalam lembaga legislatif dan
eksekutif pada setiap tingkatan baik nasional maupun lokal harus dilakukan dengan jalan pemilihan umum. Pemilihan umum kepala daerah sebagai bentuk sebuah
demokrasi yang bertujuan untuk mendapatkan pemimpin daerah yang diinginkan oleh masyarakat, agar pelaksanaan otonomi daerah terselenggara dengan efektif dan efisien.
Pemilihan umum kepala daerah langsung pada dasarnya merupakan alternatif untuk menjawab permasalahan-permasalahan ketatanegaraan dan buruknya proses
maupun hasil pemilihan umum kepala daerah secara tidak langsung melalui DPRD sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah. Pemilihan umum kepala daerah menjadi kebutuhan mendesak guna mengatasi sesegera mungkin segala kelemahan dalam pemilihan kepala daerah masa lalu.
Diselenggarakannya pemilihan umum kepala daerah secara langsung diharapkan dapat
Universitas Sumatera Utara
memperdalam dan memperkuat demokrasi lokal, baik pada lingkungan pemerintahan governance maupun lingkungan kemasyarakatan civil society.
Menurut analisis penulis terdapat lima implikasi penting dari kehadiran
pemilihan umum kepala daerah langsung terhadap manajemen pemerintahan daerah
ke depan. Pertama, dengan adanya pemilihan umum kepala daerah secara langsung
mengakibatkan berkurangnya arogansi lembaga DPRD yang selama ini seringkali mengklaim dirinya sebagai satu-satunya institusi pemegang mandat rakyat yang
representatif. Kedua, pemilihan umum kepala daerah langsung berpotensi membatasi
fungsi memilih, meminta mempertanggungjawabkan dan menghentikan kepala
daerah. Ketiga, terwujudnya Kepala Daerah yang lebih bermutu. Keempat, pemilihan
umum kepala daerah langsung berpotensi menghasilkan suatu pemerintahan daerah
yang lebih stabil, produktif dan efektif. Kelima, pemilihan umum kepala daerah berpotensi menghentikan praktik politik uang.
Ditinjau dari lingkungan kemasyarakatan, sesungguhnya pemilihan umum kepala daerah langsung memiliki implikasi yang tidak kecil pula terhadap penguatan
kehidupan politik masyarakat lokal. Paling tidak, pemilihan umum kepala daerah akan memajukan lembaga kemasyarakatan dan menyehatkan perilaku politik
masyarakat daerah dalam lima hal. Pertama, meningkatnya kesadaran politik
masyarakat daerah dalam proses penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah.
Kedua , pemilihan umum kepala daerah langsung akan memicu aktivitas politik
masyarakat yang berpartisipasi dan mengembangkan organisasi madani. Ketiga, pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat. Keempat,
Universitas Sumatera Utara
pemilihan umum kepala daerah bakal memotivasi media lokal lebih kepala daerah mendorong berkembangnya spirit kemandirian dalam tubuh partai politik.
Penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan dan antar
pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tatangan persaingan global dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada
daerah diserta dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara, sehingga
pelaksanaan pemilihan kepala daerah menjadi cermin dari wujud sebuah demokrasi rakyat, hal ini didasarkan kepada ketentuan perundangan yang menjadi dasar
pelaksanaan pemilihan kepala daerah sebagai berikut : 1.
UUD 1945 Perubahan Pertama yaitu Pasal 18 Ayat 5 UUD 1945 bahwa pemilihan umum kepala daerah baik untuk tingkatan Gubernur, Bupati, Walikota
ditentukan oleh adanya pemilihan secara demokratis, kemudian diterjemahkan menjadi secara langsung oleh rakyat yang berasaskan pada langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur dan adil; 2.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2005;
5. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005;
Universitas Sumatera Utara
6. Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Teknis Tata Cara
Pencalonan Pemilihan Umum Kepala Daerah. Ketentuan-ketentuan di atas kemudian menjadi dasar dalam penyelenggaraan
pemilihan kepala daerah. Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pemilihan kepala daerah tersebut tidak oleh bertentangan dengan peraturan
yang lebih tinggi. Pemilihan umum kepala daerah merupakan perwujudan dari demokratisasi, di samping untuk memilih pemimpin di daerah.
Berkaitan dengan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah memungkinkan adanya pelanggaran atau sengketa. Secara praktis yuridis, pelanggaran adalah suatu
tindakan yang melanggar ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Pelanggaran tersebut dapat berupa
pelanggaran pidana dan pelanggaran administrastif. Sedangkan sengketa adalah konflik antara dua pihak atau lebih yang terjadi akibat perbedaan penafsiran diantara
para pihak terhadap fakta-fakta tentang aktivitas dan kejadian di lapangan, aturan hukum maupun kebijakan yang berkaitan dengan pemilihan kepala daerah. Sengketa
dibedakan menjadi dua, yakni sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan sengketa penetapatan hasil pemilihan kepala daerah oleh
Komisi Pemilihan Umum Daerah. Pengertian sengketa atas hasil pelaksanaan pemilihan kepala daerah dengan
kata lain adalah persengketaan yang timbul akibat adanya upaya hukum berupa keberatan yang diajukan oleh pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah yang diputuskan dan diumumkan dalam sidang pleno lengkap dan telah
Universitas Sumatera Utara
diterbitkan pula dalam keputusan Komisi Pemilihan Umum Daerah KPUD selaku penyelenggara pemilihan kepala daerah. Berdasarkan definisi tersebut dapat diketahui
bahwa sengketa pemilihan kepala daerah baru timbul setelah terbitnya keputusanpenetapan Komisi Pemilihan Umum Daerah KPUD selaku
penyelenggara pemilihan kepala daerah. Ciri khas sengketa dalam penyelenggara pemilihan kepala daerah yaitu,
adanya perbedaan pendapat atau interpretasi terhadap suatu objek. Bisa jadi sebenarnya hal perbedaan pendapat yang disengketakan tersebut adalah salah satu
dari pelanggaran pidana atau administratif. Tidak jarang persengketaan yang ada akhirnya terbukti adanya unsur pelanggaran dan berakibat diberikannya sanksi. Jika
sengketa dapat diselesaikan dan oleh para pihak dapat dimaklumi maka akan tercapai perdamaian diantar apara pihak dan sengketa tersebut tidak ada lagi. Tetapi
sebaliknya apabila dianatra para pihak tidak terjadi perdamaian, maka proses penyelesaian sengketa akan terus berlanjut dan dapat bermuara pengusutan
pelanggaran sengketa penetapan hasil pemilihan kepala daerah. Hal ini terjadi apabila diantara para pihak terdapat perselisihan mengenai penetapan hasil suara pemilihan
kepala daerah yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah. Permasalahan yang muncul sekarang adalah lembaga negara apakah yang
berwenang untuk memutus perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah? Sebelum dilakukannya revisi atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, pemilihan umum kepala daerah dilakukan oleh Mahkamah
Universitas Sumatera Utara
Agung. Di dalam Pasal 108 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ditegaskan sebagai berikut
230
: 1.
Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 tiga hari setelah
penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
2.
Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 hanya berkenan dengan
hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon.
3.
Pengajuan keberatan kepada Mahkamah Agung sebagaimana dimasud
pada ayat 1 disampaikan kepada Pengadilan Tinggi untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah provinsi dan kepada Pengadilan
Negeri untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupatenkota.
4.
Mahkamah Agung memutuskan sengketa hasil penghitungan suara
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 paling lambat 14 empat belas hari sejak diterimanya permohonan keberatan oleh
Pengadilan NegeriPengadilan TinggiMahkamah Agung.
5.
Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat 4 bersifat final dan
mengikat. Berdasarkan penegasan di atas, tampak bahwa Mahkamah Agung telah
mendapat tambahan wewenang untuk menyelesaikan sengketa tentang hasil pemilihan kepala daerah sebagaimana yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Seiring bergulirnya pengujian undang- undang oleh Mahkamah Konstitusi, maka undang-undang tersebut juga tidak luput
dari juducial review. Abdul Muktie Fadjar menyatakan jika perubahan tersebut mengkategorikan pemilihan kepala daerah bagian dari pemilihan umum maka
konsekuensinya antara lain
231
:
230
Ni’matul Huda. 2008. UUD 1945 dan Gagasan Ulang Amandemen, Rajawali Pers. Jakarta. Hlm. 262.
231
A. Muktie Fadjar dalam Harian Kompas Edisi Rabu, 20 Pebruari 2008….., Ibid.
Universitas Sumatera Utara
1. Penyelenggaraannya adalah Komisi Pemilihan Umum KPU yang
sekaligus sebagai pengendali pemilihan kepala daerah, sedangkan KUPD sebagai pelaksana teknis di masing-masing daerah yang bertanggung
jawab kepada KPU;
2. Pesertanya adalah pasangan calon yang diajukan oleh partai politik atau
calon independen; 3.
Pengawas pemilihan kepala daerah bersifat independen yang dibentuk oleh KPU danatau KPUD;
4. Apabila terjadi sengketa penetapan hasil pemilihan kepala daerah,
penyelesaiannya oleh Mahkamah Konstitusi; 5.
Sengketa dalam penetapan daftar calon pemilihan kepala daerah oleh KUPD tidak menjadi kompetensi PTUN vide Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2004; 6.
Impeachment terhadap kepala dan atau wakil kepala daerah diajukan oleh DPRD kepada Mahkamah Konstitusi.
Dari pendapat tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan yaitu, apabila pemilihan kepala daerah langsung sebagai wujud demokrasi merupakan bagian dari
rezim pemiliham umum, maka penyelesaian sengketa hasil pemilihan kepala daerah merupakan kompetensi Mahkamah Konstitusi.
Berbeda dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 072-073PUU-II2004 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan
daerah terhadap UUD 1945 yang dikeluarkan pada 22 Maret 2005, atas tiga permohonan hak uji materiil Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
pemerintah daerah yang diajukan Centre for Electoral Reform CETRO, Jaringan
Masyarakat Pemantau Pemilihan Umum Indonesia, Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat, Aliansi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi, Indonesian Corruption
Watch ICW, dan 15 KPUD yang menyatakan asas pemilihan kepala daerah sama
dengan asas pemilihan umum tetapi pemilihan kepala daerah bukan pemilihan umum.
Universitas Sumatera Utara
Mahkamah Konstitusi menolak uji materi terhadap Pasal 1 Ayat 21 tentang KPUD sebagai pelaksana pemilihan kepala daerah, tetapi mengabulkan Pasal 57 Ayat
1 dan Pasal 67 Ayat 1 huruf e. Mahkamah Konstitusi tidak berusaha menyambungkan kembali hubungan hirarki antara KPU dengan KPUD, mengingat
KPUD dibentuk dan disahkan oleh KPU sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008. Mahkamah Konstitusi justru membuat norma baru dalam
putusannya, di mana KPUD tidak bertanggung jawab kepada DPRD tetapi langsung kepada rakyat. Satu sisi Mahkamah Konstitusi telah memutus belenggu parlemen
lokal terhadap KPUD sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah, tetapi di sisi lain Mahkamah Konstitusi tidak menjelaskan siapa yang dimaksud rakyat, serta
bagaimana mekanisme pertanggungjawabannya. Mahkamah Konstitusi memberi petunjuk bahwa dalam melaksanakan tugasnya KPUD mengacu pada Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Putusan Mahkamah
Konstitusi ini oleh sebagian orang dinilai “tanggung” dalam mengawal demokrasi.
232
Masyarakat yang menilai secara langsung kinerja Komisi Pemilihan Umum Daerah. Jika dalam melaksanakan tugas tidak sesuai dengan prosedur, atau
menyalahgunakan kewenangannya, maka masyarakat dapat melaporkan tindakan tersebut kepada panwaslu. Atau jika sudah dikelaurkannya penetapan hasil
penghitungan suara versi Komisi Pemilihan Umum Daerah, masyarakat dapat
232
Ni’matul Huda, UUD 1945 dan Gagasan Ulang Amandemen, Jakarta: Rajawali Pers, 2008, hlm. 260-261.
Universitas Sumatera Utara
mengajukan gugatan melalui pemohon sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 74 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi kepada
lembaga yang berwenang menangani sengketa yakni, Mahkamah Konstitusi. Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah khususnya Pasal 236 Huruf C, apabila terdapat keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Konstitusi. Keberatan tersebut hanya berkenaan dengan hasil penghitungan suara
yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon. Bahkan, Mahkamah Konstitusi sendiri menegaskan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008
tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah, bahwa obyek sengketa hasil pemilihan kepala daerah adalah hasil penghitungan suara
yang ditetapkan oleh KPU di daerah yang bersangkutan. Dengan begitu, jelas sudah batas dari kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memangani perkara yang
berkaitan dengan pemilihan kepala daerah. Sedangkan perkara yang diduga merupakan pelanggaran kriminal yang berkaitan dengan pemilihan kepala daerah
diajukan kepada pengawas pemilihan kepala daerah untuk disampaikan kepada penyidik di kantor terkait untuk kemungkinan pengajuan ke pengadilan biasa.
Akar permasalahan mengenai kedudukan sengketa pemilihan kepala daerah sudah terjawab berdasarkan uraian di atas. Penyelesaian sengketa penetapan hasil
pemilihan kepala daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 pasal 236C merupakan kompetensi absolut Mahkamah Konstitusi. Para pihak pencari
Universitas Sumatera Utara
keadilan yang tidak puas dengan putusan Komisi Pemilihan Umum tentang hasil penghitungan suara, apabila memenuhi syarat dapat upaya hukum kepada Mahkamah
Konstitusi. Dan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut bersifat final dan tidak ada upaya hukum lagi.
Berkaitan dengan sengketa pemilihan kepala daerah komitmen Mahkamah Konstitusi untuk menjadi hakim yang benar-benar amanah dibuktikan dengan adanya
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah. Kesimpulannya dalam Peraturan Mahkamah
Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 tersebut bahwa mekanisme penyelesaian sengketa hasil pemilihan kepala daerah pada Mahkamah Konstitusi hampir sama dengan sengketa hasil
pemilihan umum, namun yang menjadi pembeda disini adalah pemohonnya. Kemudian kewenangan yang dimiliki Mahkamah Konstitusi sebagai wujud
pelaksanaan teori kewenangan yang bersumber dari UUD 1945 atribusi.
Dibentuknya Mahkamah Konstitusi dengan tujuan untuk “mengawal” Konstitusi UUD 1945. Dengan kata lain, Mahkamah Konstitusi dibentuk adalah untuk
menjamin bahwa UUD 1945 benar-benar terjelma dan ditaati dalam implementasinya, termasuk di dalamnya menjamin bahwa hak-hak konstitusional
warga negara yang benar-benar dihormati, dilindungi, dan dipenuhi dalam praktik penyelenggaraan bernegara. Seluruh kewenangan yang dimiliki Mahkamah
Konstitusi secara limitatif sebagaimana diatur dalam Pasal 24C Ayat 1 dan 2 UUD 1945, dapat dikembalikan dan dijelaskan berdasarkan fungsi Mahkamah Konstitusi
sebagai “pengawal” Konstitusi. Dari kewenangan yang dimiliki Mahkamah
Universitas Sumatera Utara
Konstitusi, satu-satunya yang langsung berkenaan dengan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak konstitusional adalah jika undang-undang itu
merugikan hak konstitusional warga negara. Sebagai “pengawal” konstitusi kewenangan yang dimiliki Mahkamah
Konstitusi dapat diperluas sesuai dengan garis ketentuan UUD 1945 demi
terwujudnya negara hukum demokratis. Karena untuk menjadi “pengawal” konstitusi kewenangan yang dimiliki harus bersifat fleksibel, sebagaimana masalah
ketatanegaraan yang senantiasa yurisdiksi kewenangan Mahkamah Konstitusi sudah tidak dapat diterima. Dengan demikian diperlukan perubahan undang-undang agar
derajat konstitusional putusan yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi tidak diragukan lagi oleh publik.
C. Pengaturan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah Dalam