BAB III KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM
PENYELESAIAN SENGKETA PENETAPAN HASIL PEMIHAN UMUM KEPALA DAERAH
A. Dasar Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Memutus Sengketa
Penetapan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah
Sebagaimana diketahui bahwa sebelum perubahan UUD 1945 kekuasaan yudikatif berada ditangan Mahkamah Agung, kemudian dengan adanya perubahan
ketiga UUD 1945 muncul lembaga baru dalam kekuasaan yudikatif, yakni Mahkamah Konstitusi yang berangkat dari keinginan terwujudnya checks and balances system.
Kelahiran dan kewenangan Mahkamah Konstitusi tidak saja menimbulkan berbagai opini diantara para pakar hukum tata negara, akan tetapi dibalik hal itu mencoba
menaruh harapan besar kepada lembaga ini, agar mampu independen, sekaligus cerdas dalam menentukan putusannya. Sehingga mempunyai implikasi yang kuat
terhadap penyelenggaraan lembaga negara yang lain, termasuk juga dalam hal penyelesaian sengketa tentang hasil Pemilihan Umum Pemilu dan Pemilihan Umum
Kepala Daerah Pemilukada yang dewasa ini marak terjadi. Kewenangan Mahkamah Konstitusi soal penyelesaian sengketa hasil
pemilihan umum seharusnya diperluas, tidak hanya pada sengketa perhitungan suara pemilihan umum.
225
Mahkamah Konstitusi selaku penjaga konstitusi seharusnya diberikan kewenangan yang lebih, Mahkamah Konstitusi seharusnya diberikan
225
A. Muktie Fadjar dalam Harian Kompas Edisi Rabu, 20 Pebruari 2008, Kewenangan Mahkamah Konstitusi Soal Pemilihan umum Harus Diperluas.
86
Universitas Sumatera Utara
kewenangan yang lebih substantif untuk menjaga pemilihan umum sesuai dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Di Thailand, Mahkamah
Konstitusi berwenang mengatakan pemilihan umum tidak sah. Sementara Mahkamah Konstitusi di Indonesia tidak berwenang untuk itu. Perkara pemilihan umum yang
ditangani Mahkamah Konstitusi baru sebatas pada hasil angka-angka suara pemilihan umum. Mahkamah Konstitusi baru sebatas membatalkan penetapan perhitungan suara
dengan mengacu pada hasil perhitungan suara KPU Komisi Pemilihan Umum atau pemohon. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah betul Mahkamah
Konstitusi hanya menyelesaikan perhitungan suara atau hanya pada angka-angka saja? Ataukah Mahkamah Konstitusi lebih baik diberi kewenangan untuk menangani
masalah yang lebih substantif terkait dengan pemilihan umum, mengingat peran Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi yaitu, dengan mengacu pada pasal
22 E UUD 1945, yakni menjaga pemilihan umum yang langsung umum bebas dan rahasia serta jujur dan adil.
Merujuk pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, Mahkamah Konstitusi memungkinkan
untuk memutus sengketa hasil pemilihan umum kepala daerah. Pada Pasal 24C Ayat 1 UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007 secara tersirat di dalam
pasal tersebut memang memberikan kewenangan pada Mahkamah Konstitusi untuk memutus sengketa hasil pemilihan umum.
226
226
Menyoal Kewenangan Mahkamah Konstitusi Memutus Sengketa Pemilihan Kepala Daerah, http:www.hukumonline.com, diakses pada tanggal 1 Mei 2011, Pukul 21.00 WIB.
Universitas Sumatera Utara
Dalam produk undang-undang tersebut, pemilihan kepala daerah sudah dianggap sebagai general election, sehingga menjadi ranah kewenangan Mahkamah
Konstitusi untuk memutus jika terjadi persengketaan. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, kewenangan
mengadili sengketa hasil pemilihan umum kepala daerah berada pada Mahkamah Konstitusi. Hal ini yang menyebabkan adanya dualisme kewenangan, sebab masih
ada norma lain yang mengatakan bahwa sengketa pemilihan umum kepala daerah diselesaikan tergantung opsi para pihak yang bersengketa untuk memilih apakah
memperkarakan di Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi. Namun, setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua atau Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 penanganan sengketa tentang hasil pemilihan umum kepala daerah yang dulunya di Mahkamah
Agung dialihkan ke Mahkamah Konstitusi. Pertanyaan yang muncul kemudian apakah dalam memutus sengketa tentang hasil pemilihan umum kepala daerah benar-
benar kompetensi atau kewenangan Mahkamah Konstitusi. Oleh sebab itu, kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang baru dan diatur oleh
UUD 1945 terkait dengan penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah menjadi penting untuk dikaji ulang secara holistik dan komprehensif.
Ada sebagian pendapat yang menyatakan jika Mahkamah Konstitusi tidak seharusnya memutus sengketa pemilihan umum kepala daerah dan ada juga pendapat
yang menyatakan ketika pemilihan umum kepala daerah menjadi bagian dari pemilu,
Universitas Sumatera Utara
maka sengketa pemilihan umum kepala daerah menjadi kompetensi Mahkamah Konstitusi. Lantas siapakah yang berhak memutus sengketa pemilihan kepala daerah?
Sesuai dengan fokus kajian dalam penelitian ini, maka akan diuraikan analisis Pasal 236 Huruf C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Pemerintah Daerah. Hal ini disebabkan pasal tersebut merupakan dasar yurisdiksi kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus sengketa hasil pemilihan kepala
daerah. Namun dibalik itu ada persoalan pelik yang menjadi tugas bangsa ini. Beberapa uraian yang menjawab persoalan tersebut dapat dikaji secara runut melalui
dari landasan historis kewenangan tersebut menjadi milik Mahkamah Konstitusi. Pengalihan kewenangan dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi
merupakan implikasi dari Pasal 236 C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah. Sehingga permasalahan dalam pemilihan umum kepala
daerah khususnya mengenai sengketa hasil pemilihan umum kepala daerah yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Adapun bunyi Pasal 236 Huruf C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 adalah “Penyelesaian sengketa hasil pemilihan kepala daerah oleh Mahkamah Agung
dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 bulan sejak undang-undang ini diundangkan”.
Apabila mengacu jangka waktu dalam pasal itu, pengalihan baru bisa dilakukan pada Oktober 2009, delapan belas bulan sejak undang-undang ini diterbitkan pada
tanggal 24 April 2008. Pasal 236 Huruf C itu memang sempat menimbulkan multitafsir.
Universitas Sumatera Utara
Ada yang menafsirkan jika disebut “paling lama” berarti pengalihan kewenangan ke Mahkamah Konstitusi bisa lebih cepat dari waktu delapan belas bulan.
Perdebatan ini muncul dalam kasus pemilihan umum kepala daerah kabupaten Lampung Utara. Sebelumnya, sengketa pemilihan umum kepala daerah
Bupati Lampung Utara sempat diajukan kepada Mahkamah Konstitusi. Namun, perkara tersebut ditolak Mahkamah Konstitusi. Alasannya, sengketa pemilihan kepala
daerah masih menjadi kewenangan Mahkamah Agung. Namun, dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi menyatakan pengalihan bisa saja lebih cepat dari
18 belas bulan. Asalkan, ada tindakan hukum pengalihan kewenangan dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi secara nyata.
Hakim Konstitusi Abdul Mukthie Fadjar menjelaskan pendapat Mahkamah Konstitusi terkait frase “paling lama 18 bulan” yang menjadi persoalan tersebut.
227
Menurut Mahkamah Konstitusi, frase tersebut dimaksudkan bahwa peralihan dapat pula dilakukan sebelum berakhirnya tenggag waktu 18 bulan. Namun, hal ini perlu
ada tindakan hukum pengalihan kewenangan dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi secara nyata. Konsekuensi yuridisnya, jika tidak ada tindakan hukum
pengalihan, maka pengalihan kewenangan tersebut, terjadi dengan sendirinya demi hukum setelah habis tenggat waktu 18 bulan. Artinya, pengalihan tersebut otomatis
akan terjadi pada Oktober 2009, delapan belas bulan sejak undang-undang ini diterbitkan pada 24 April 2008. Mukthie menambahkan apabila Mahkamah
Konstitusi tetap menerima perkara sengketa pemilihan kepala daerah Lampung Utara
227
A. Muktie Fadjar dalam Harian Kompas Edisi Rabu, 20 Pebruari 2008….., Ibid.
Universitas Sumatera Utara
ini tanpa adanya pengalihan kewenangan dari Mahkamah Agung maka akan timbul kekacauan. Dapat mengakibatkan terjadinya dualisme pemeriksaan dan berpotensi
menimbulkan tumpang tindih, ketidakpastian, dan ne bis in idem tidak ada dua kali pemeriksaan untuk kasus yang sama.
228
Permasalahan tersebut di atas akhirnya terselesaikan dengan adanya serah terima pengalihan kewenangan penyelesaian sengketa hasil pemilihan umum kepala
daerah dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi. Kedua pimpinan lembaga yudikatif itu hadir untuk membubuhkan tanda tangan dalam naskah kesepakatan.
Pasal 236 huruf C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 menyatakan penyelesaian sengketa hasil pemilihan umum kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan
kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 bulan sejak undang-undang ini diundangkan. Apabila mengacu jangka waktu dalam pasal itu, pengalihan baru bisa
dilakukan pada Oktober 2009, delapan belas bulan sejak Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 diterbitkan pada tanggal 24 April 2008.
229
Berdasarkan uraian diatas penulis dapat menyimpulkan jika yang dimaksud dalam ketentuan pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tersebut adalah
bahwa arti paling lama 18 bulan yakni, sengketa hasil pemilihan kepala daerah yang terjadi sebelum delapan belas bulan sejak Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
diundangkan menjadi kewenangan Mahkamah Agung. Kewenangan tersebut dapat lebih cepat Mahkamah Konstitusi milik Mahkamah Konstitusi apabila sudah ada
228
Ibid.
229
Mahkamah Agung Resmi Serahkan Sengketa Pemilihan kepala daerah ke Mahkamah Konstitusi, http:www.hukumonline.comBerita, Diakses pada tanggal 1 Mei 2011, Pukul 21.10 WIB.
Universitas Sumatera Utara
serah terima dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi. Apabila serah terima tersebut sampai dengan batas waktu yang ditentukan undang-undang delapan belas
bulan belum terlaksana maka secara otomatis sengketa hasil pemilihan kepala daerah menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Pemberian batasan waktu penyerahan kewenangan hemat penulis memberi kesempatan kepada Mahkamah Agung dalam menyelesaikan sengketa hasil pemilihan
umum kepala daerah yang sudah terlanjur masuk ke dalam buku register Mahkamah Agung. Misalnya, apabila suatu perkara sengketa hasil pemilihan umum kepala daerah
sudah dalam tahap penyelidikan, secara otomatis harus diselesaikan oleh Mahkamah Agung. Adalah tidak mungkin perkara yang masih dalam tahap proses penyelesaian
dialihkan menjadi kewenangan lembaga negara yang lain yaitu Mahkamah Konstitusi. Terjadinya hal tersebut dapat berpengaruh terhadap putusan suatu perkara. Dapat
disinyalir lembaga negara yang dialihkan tidak begitu memahami duduk perkara permasalahan yang berimbas pada keputusan akhir dalam persidangan.
Selain itu, Mahkamah Konstitusi perlu mempelajari lebih jauh tentang sengketa hasil pemilihan umum kepala daerah, karena bisa saja permasalahan di
dalam sengketa hasil pemilihan umum kepala daerah lebih sulit, mengingat lokasi Mahkamah Konstitusi yang berada di ibu kota negara, sedangkan sengketa hasil
pemilihan umum kepala daerah yang ditetapkan Komisi Pemiliham Umum Daerah dapat terjadi di daerah manapun. Selain itu, adanya tenggang waktu dimaksud agar
jelas lembaga negara mana yang berhak memutus sengketa hasil pemilihan umum kepala daerah atau tidak terjadi dualisme kewenangan.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan ketentuan diatas terlihat jelas jika dalam memutus sengketa tentang hasil pemilihan umum kepala daerah merupakan kewenangan konstitusional
Mahkamah Konstitusi. Kewenangan tersebut secara eksplisit diatur lebih lanjut berdasarkan ketentuan Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Pemerintah Daerah yang menyatakan jika sengketa hasil pemilihan kepala daerah merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi.
B. Perluasan Kewenangan Konstitusional Mahkamah Konstitusi Dalam