4. Analisis Data
Setelah data terkumpul dan dirasa telah cukup lengkap, maka tahap selanjutnya adalah mengolah dan menganalisa data. Teknis data yang dipakai adalah
teknis analisis kualitatif. Analisis secara kualitatif dimaksudkan bahwa analisis tidak tergantung dari jumlah berdasarkan angka-angka, melainkan data dalam bentuk
kalimat-kalimat melalui pendekatan yuridis normatif. Setelah data diolah langkah selanjutnya dilakukan interpretasi data untuk
menarik kesimpulan dari kenyataan yang ditemui dilapangan. Uraian dan kesimpulan dalam menginterpretasikan data hasil penelitian akan dihubungkan dengan teori-teori,
pendapat-pendapat dan aturan formal yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, sehingga diharapkan dapat menjawab segala permasalahan hukum yang
diajukan dalam tesis ini secara lengkap.
Universitas Sumatera Utara
BAB II KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM
MELAKSANAKAN KEKUASAAN KEHAKIMAN DAN PELAKSANAAN DEMOKRASI DI INDONESIA
D.
Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia
Dinamika ketatanegaraan di Indonesia semakin berkembang seiring dengan dilakukannya perubahan terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebagai konstitusi
Negara Republik Indonesia. Secara teoritis suatu konstitusi dapat diubah dalam rangka penyempurnaan.
135
Upaya penyempurnaan atas kekurangan yang terdapat dalam suatu konstitusi, menurut K. C. Wheare dapat dilakukan melalui formal amandement,
constitutional convention, ataupun judicial interpretation. Oleh karena itu, penyempurnaan terhadap UUD 1945 melalui agenda perubahan diharapkan mampu
mengawal proses transisi dari era otoritarianisme menuju era demokrasi konstitusional. Reformasi konstitusi dipandang menjadi kebutuhan dan agenda yang harus
dilakukan secara fundamental. Hal ini mengingat, ada beberapa aspek kelemahan yang terdapat dalam UUD 1945. Kelemahan-kelemahan tersebut menjadi penyebab
135
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid I, Jakarta: Konstitusi Press, 2006, hlm. 320. Lihat juga K.C. Wheare, Konstitusi-Konstitusi Modern, Edisi Terjemahan, Surabaya:
Pustaka Eureka Surabaya, 2005, hlm. 131. Pertama, konstitusi hanya boleh diubah dengan pertimbangan yang matang, dan bukan karena alasan sederhana atau secara serampangan; Kedua,
rakyat mesti diberi kesempatan mengemukakan pendapat mereka sebelum dilakukan perubahan; Ketiga
, dalam sistern federal kekuasaan unit-unit dan pemerintah pusat tidak bisa diubah oleh satu
pihak; Keempat, hak individu atau masyarakat misalnya hak minoritas bahasa, agama, atau kebudayaan, mesti dilindungi.
39
Universitas Sumatera Utara
tidak demokratisnya negara Indonesia selama menggunakan UUD 1945. Mahfud MD
136
menyebutkan kelemahan-kelemahan tersebut diantaranya adalah : 1.
UUD 1945 membangun sistem politik yang executive heavy dengan memberi porsi yang sangat besar kepada kekuasaan Presiden tanpa
adanya mekanisme checks and balances yang memadai. 2.
UUD 1945 terlalu banyak memberi atribusi dan delegasi kewenangan kepada Presiden untuk mengatur lagi hal-hal penting dengan UU
maupun dengan Peraturan Pemerintah. 3.
UUD 1945 memuat beberapa pasal yang ambigu atau multitafsir sehingga bisa ditafsirkan dengan bermacam-macam tafsir, tetapi tafsir
yang harus diterima adalah tafsir yang dibuat oleh Presiden. 4.
UUD 1945 lebih rnengutamakan semangat penyelenggara negara dari pada sistemnya.
Sejak reformasi, perubahan UUD 1945 telah dilakukan secara bertahap sebanyak empat kali yakni : perubahan pertama dilakukan oleh MPR pada tanggal 19
Oktober 1999; perubahan kedua dilakukan oleh MPR pada tanggal 18 Agustus 2000; perubahan ketiga dilakukan MPR pada tanggal 9 Nopember 2001 dan perubahan
keempat dilakukan MPR pada tanggal 10 Agustus 2002, telah menghasilkan struktur kelembagaan negara yang berbeda dengan struktur kelembagaan negara sebelumnya
dan sekaligus merupakan bukti, bahwa adanya keinginan terwujudnya struktur ketatanegaraan Republik Indonesia ke arah yang lebih demokratis dengan saling
melakukan kontrol checks and balances. Perubahan UUD 1945 1999-2002 telah membawa semangat baru dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia, baik dalam pelembagaan kekuasaan legislatif, eksekutif maupun yudisial kekuasaan kehakiman. Dalam sistem kekuasaan
136
Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta: Rineka Cipta, 2001, hlm. 155-157.
Universitas Sumatera Utara
kehakiman yudisial di samping Mahkamah Agung MA dan badan-badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara, telah muncul lembaga negara baru yaitu Mahkamah Konstitusi MK dan
Komisi Yudisial KY sebagai implikasi adanya perubahan terhadap UUD 1945. Salah satu substansi penting dari perubahan UUD 1945 adalah keberadaan
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara baru yang berdiri sendiri dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003. Mahkamah Konstitusi sebagai pengadilan konstitusi berdiri atas dasar asumsi adanya supremasi konstitusi yang menjadi hukum tertinggi yang
mendasari atau melandasi kegiatan negara serta sebagai parameter untuk mencegah negara bertindak secara tidak konstitusional. Oleh sebab itu, pembentukan
Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukum
sesuai dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945. Dalam sejarah konstitusi ketatanegaraan Republik Indonesia sebelum adanya
perubahan terhadap UUD 1945, kekuasaan kehakiman atau fungsi yudikatif judicial hanya terdiri atas badan-badan pengadilan yang berpuncak pada Mahkamah Agung.
Sesuai dengan prinsip independent of judiciary, kedudukan Mahkamah Agung diakui bersifat mandiri dalam arti tidak boleh diintervensi atau dipengaruhi oleh cabang-cabang
kekuasaan lainnya, terutama pemerintah. Prinsip kemerdekaan hakim ini selain diatur dalam undang-undang pokok kekuasaan kehakiman, juga tercantum dalam penjelasan
Universitas Sumatera Utara
Pasal 24 UUD 1945 yang menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman tidak boleh dipengaruhi oleh cabang-cabang kekuasaan lain. Namun, setelah perubahan ketiga UUD
1945 disahkan, kekuasaan kehakiman negara kita mendapat tambahan satu jenis mahkamah lain yang berada di luar Mahkamah Agung. Mahkamah atau lembaga baru
tersebut adalah Mahkamah Konstitusi yang mempunyai kedudukan setingkat atau sederajat dengan Mahkamah Agung.
Pembentukan Mahkamah Konstitusi pada setiap negara memiliki latar belakang yang beragam, tetapi secara umum pembentukan Mahkamah Konstitusi berawal dari
suatu proses perubahan politik kekuasaan yang otoriter menuju demokrasi. Penolakan terhadap otoritarianisme berdampak pada tuntutan penyelenggaraan
negara secara demokratis dan menghargai hak asasi manusia. Begitu pula pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia. Pada dasarnya pembentukan
Mahkamah Konstitusi di Indonesia tidak terlepas dari pengalaman masa lalu yang cenderung otoriter, tertutup dan tidak menghormati hak asasi manusia. Gagasan
pembentukan Mahkamah Konstitusi tidak, lain merupakan dorongan dalam penyelenggaraan kekuasaan dan ketatanegaraan yang lebih baik serta, tanpa
dipungkiri bahwa gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia juga terinspirasi oleh adanya Mahkamah Konstitusi di negara-negara lain.
Mahkamah Konstitusi memiliki peran strategis dalam membangun demokrasi dan sistem ketatanegaraan di Indonesia. Atas dasar itulah gagasan dan Rancangan
Undang-Undang RUU Mahkamah Konstitusi disusun untuk menegaskan sosok dan mekanisme penyelenggaraan Mahkamah Konstitusi.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Fickar Hadjar dalam Nimatul Huda
137
, paling tidak ada empat hal yang melatarbelakangi dan menjadi landasan pembentukan Mahkamah Konstitusi,
yaitu 1 implikasi dari paham konstitusi, 2 mekanisme checks and balances, 3 penyelenggaraan negara yang bersih, dan 4 perlindungan terhadap hak asasi
manusia. Oleh karena itu, dalam rangka penyempurnaan reformasi konstitusional di Indonesia, keberadaan Mahkamah Konstitusi menjadi penting adanya sebagai salah
satu pilar dari proses demokratisasi yang integral dan progresif. Fenomena keberadaan Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan
dewasa ini secara umum dapat dikatakan sesuatu yang baru. Jimly Asshidiqie menguraikan bahwa Mahkamah Konstitusi menjadi trend terutama di negara-negara
yang baru mengalami perubahan rezim dari otoritarian ke rezim demokrasi konstitusional.
138
Lebih lanjut Jimly menjelaskan bahwa: dalam banyak negara, Mahkamah Konstitusi Constitutional Court diadopsi dan membentuknya di luar
kerangka Mahkamah Agung Supreme Court, hal ini dapat dikatakan bahwa In- donesia merupakan negara ke-78 yang ikut mengadopsi gagasan pembentukan
Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri tersebut, setelah Austria pada tahun 1920, Italia pada tahun 1947 dan Jerman pada tahun 1948.
139
137
Nimatul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia: Kajian Terhadap Dinamika Perubahan UUD 1945, Yogyakarta: FH UII Press, 2003, hlm. 223.
138
Jimly Asshiddiqie, Mahkamah Konstitusi: Fenomena Hukum Tata Negara Abad 20, Makalah Diskusi Terbatas KRHN, Jakarta, 18 Juni 2002, hlm. 1-2.
139
Jimmly Asshiddiqie, Sruktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, Makalah disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII
yang diselenggarakan Oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI Denpasar 14-18 Juli 2003, hlm. 30-34.
Universitas Sumatera Utara
Sebagaimana yang tertuang pada Pasal 24 Ayat 1, 2 dan 3
140
UUD 1945 perubahan ketiga tentang kekuasaan kehakiman sangatlah jelas bahwa Mahkamah
Konstitusi adalah bagian dari kekuasaan kehakiman diluar Mahkamah Agung.
141
Secara yuridis kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutus sengketa atau perselisihan tentang hasil pemilihan umum tertuang dalam
ketentuan UUD 1945 Pasal 24C Ayat I.
142
Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi
disamping berfungsi sebagai pengawal konstitusi, penafsir konstitusi, juga adalah pengawal demokrasi the guardian and the sole interpreter of the constitution, as
well as the guardian of the process of democratization.
143
Mahkamah Konstitusi dibentuk untuk menjamin agar konstitusi sebagai hukum tertinggi dapat ditegakkan sebagaimana mestinya. Kelahiran Mahkamah Konstitusi
tidak saja membuktikan bahwa Indonesia menganut kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka akan tetapi sekaligus merupakan penegasan terhadap prinsip
negara hukum yang demokratis. Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan fungsinya
140
Lihat UUD 1945 Bab IX Kekuasan Kehakiman Pasal 24 Ayat 1, 2, 3. Pasal 24 Ayat 1 berbunyi; Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan. Pasal 24 Ayat 2 berbunyi; Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan rniliter, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Pasal 24 Ayat 3 berbunyi; Badan-badan lain yang fungsinya
berkaitan dengan kekuasaan kenakiman diatur dalam undang-undang.
141
Sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi ketentuan Pasal 1 Ayat 1 bahwa: Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu
pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara RI Tahun 1945
142
Pasal 24C Ayat 1 UUD 1945 bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum.
143
Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, hlm. 95.
Universitas Sumatera Utara
sebagai pengawal konstitusi the guardian of the constitution sesuai dengan ketentuan UUD 1945, memiliki empat kewenangan mengadili dan satu kewajiban,
yaitu: 1 melakukan pengujian atas konstitusionalitas undang-undang; 2 mengambil putusan atas sengketa kewenangan antar lembaga negara yang ditentukan
menurut Undang-Undang Dasar; 3 memutuskan perkara berkenaan dengan pembubaran partai politik; 4 memutuskan perkara perselisihan mengenai hasil-hasil
pemilihan umum. Serta satu kewajiban tersebut yaitu mengambil putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden danatau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran hukum ataupun mengalami perubahan sehingga secara hukum tidak memenuhi syarat sebagai Presiden danatau Wakil Presiden menjadi
terbukti dan karena itu dapat dijadikan alasan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk memberhentikan Presiden danatau Wakil Presiden dari jabatannya.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, sekaligus memperlihatkan adanya harapan baru bagi para pencari keadilan
ditengah masyarakat yang sedang mengalami krisis kepercayaan terhadap institusi peradilan. Keberadaan Mahkamah Konstitusi merupakan suatu bentuk upaya dalam
mengimbangi atas kekuasaan legislatif maupun kekuasaan eksekutif, karena keberadaan Mahkamah Konstitusi tersebut sebagai lembaga negara yang memiliki
dan diberikan kewenangan oleh UUD 1945. Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia dilatarbelakangi adanya kehendak untuk membangun pemerintahan yang
demokratis dengan checks and balances system di antara cabang-cabang kekuasaan, mewujudkan supremasi hukum dan keadilan serta menjamin dan melindungi hak-hak
Universitas Sumatera Utara
konstitusional warga negara. Selain itu, pembentukan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan sebagai sarana penyelesaian beberapa problem yang terjadi dalam
praktik ketatanegaraan yang sebelumnya tidak ditentukan oleh konstitusi. Upaya pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu wujud nyata
dari perubahan sistem ketatanegaraan Indonesia, yang mempunyai tujuan terciptanya keseimbangan dan kontrol yang ketat diantara lembaga-lembaga negara. Secara
teoritis, konteks tersebut di atas berkaitan dengan ajaran trias politica dari Montesquieu yang mengingatkan kekuasaan negara harus dicegah agar jangan
terpusat pada satu tangan atau lembaga. Konsep trias politica yang memisahkan secara tegas kekuasaan negara ke dalam 3 tiga kekuasaan, yakni kekuasaan
eksekutif, kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudikatif. Teori trias politica tersebut juga banyak mendapat kritikan, penyebabnya adalah tidak ada kejelasan konsepsi
tentang pemisahan kekuasaan yang dimaksud, oleh karena itu teori tersebut dalam ilmu hukum dijabarkan dalam teori fungsi dan teori organ.
Di Indonesia ajaran trias politica tersebut tidak diadopsi secara utuh. Hal ini senada dengan yang diutarakan oleh Bagir Manan,
144
bahwa ajaran trias politica terdapat prinsip checks and balances yang berarti dalam hubungan antar lembaga
negara dapat saling menguji atau mengoreksi kinerjanya sesuai dengan ruang lingkup kekuasaan yang telah ditentukan dan diatur dalam konstitusi. Pemisahan dan
pembagian kekuasaan dibagi dalam tiga kekuasaan untuk menjalankan kekuasaan negara, yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif yang saling mempengaruhi.
144
Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta: FH UII Press, 2003, hlm. 12-13.
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian, pada hakekatnya keberadaan Mahkamah Konstitusi disesuaikan dengan kondisi bangsa Indonesia yang menginginkan terwujudnya
negara hukum demokratis, bukan sebagai lembaga negara pelengkap atau mengikuti trend dunia luar. Perubahan sistem sosial-kebudayaan rnasyarakat, secara
otomatis akan menyebabkan perubahan aturan yang berlaku. Sehingga kekuasaan Mahkamah Konstitusi sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia
kemungkinan juga akan mengalami perluasan.
1. Dasar Hukum Kewenangan Mahkamah Konstitusi