kebiasaan membuka jendela atau kebiasaan membuang dahak penderita yang tidak benar. Kurangnya aliran udara dalam rumah meningkatkan kadar CO2 dan
meningkatkan kelembaban udara yang merupakan media yang baik untuk bakteri patogen. Alasan ini yang menyebabkan penularan penyakit TB paru dalam
keluarga Agus S. dan Arum P., 2005.
5.3 Kepadatan Hunian di Rutan Klas I Tanjung Gusta Medan
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa tidak ada responden yang tinggal di dalam sel dengan kepadatan hunian yang sesuai dengan ketentuan
standar menurut SE. Dirjen Pemasyarakatan tahun 2005. Hal ini merupakan faktor risiko penularan TB paru yang sangat berbahaya karena ruang yang dihuni para
responden tidak sesuai dengan standar yang telah ditentukan. Hal ini disebabkan karena kurangnya jumlah ruangan yang dimiliki rutan sedangkan jumlah
narapidana semakin meningkat, tidak adanya rutan lain dalam kawasan kota medan juga turut meningkatkan penumpukan narapidana di Lapas Klas I Tanjung
Gusta. Pihak rutan semestinya menerapkan sistem penyaringan pada narapidana yang baru masuk untuk mengetahui apakah seorang narapidana memiliki penyakit
yang dapat menular yang nantinya narapidana dapat diletakkan diruangan yang terpisah dari narapidana yang sehat untuk menghindari penularan penyakit dalam
ruangan sel, namun menurut pengamatan penulis di Rumah Tahanan Negara Klas I Medan, narapidana dengan gejala klinis tuberkulosis masih bergabung dengan
narapidana lainnya, belum ada ruangan khusus bagi tersangka dan penderita tuberkulosis paru.
Universitas Sumatera Utara
Sanitasi lingkungan yang tidak baik sangat berpengaruh sebagai faktor risiko penyakit tuberkulosis paru, bahwa responden yang tinggal dalam ruang
tahanan yang melebihi kapasitas dan dalam ruangan tersebut terdapat penderita tuberkulosis paru akan lebih berisiko tertular. Sesuai penelitian Susi 2008 bahwa
penyebab utama tingginya infeksi Mycobacterium Tuberculosis dan penyakit tuberkulosis paru di penjara adalah ketidakseimbangan jumlah tahanan yang
menyebabkan risiko untuk terpapar bakteri Mycobacterium Tuberculosis menjadi lebih tinggi sehingga penyakit tuberkulosis paru akan lebih mudah berkembang
menjadi penyakit yang aktif. Tingginya penderita tuberkulosis paru di Rumah Tahanan Negara Klas I
Medan sesuai dengan fenomena yang ditemukan pada penelitian Laniado-Loborin 2001 bahwa prevalensi tuberkulosis paru dalam penjara 5-10 kali rata-rata
nasional. Data prevalensi tuberkulosis paru dalam penjara Afrika Malawi, Ivory Coast dan Tanzania ditemukan prevalensi tuberkulosis paru 10 kali lebih tinggi
daripada angka nasional Coninx, et al., 2000. Prevalensi tuberkulosis paru dalam penjara di Uni Soviet dilaporkan mencapai lebih dari 200 kali daripada populasi
umum, melewati 3-11 kali Amerika Serikat CDC, 2004. Mortalitas tuberkulosis paru yang tinggi pada beberapa penjara yaitu 24 dan tuberkulosis paru sebagai
penyebab paling sering mengalami kematian 50-80 kematian. Hasil penelitian Sanchez, et al 2005 prevalensi tuberkulosis paru dalam
penjara di Spanyol 2,30, Bostwana 3,80, Brazil 4,60. Pada penjara di Rio de Janairo dengan angka insidens tahunan tuberkulosis paru 1439 kasus tiap 100.000
populasi di tahun 2001, 10 kali lebih tinggi daripada populasi umum. Prevalensi
Universitas Sumatera Utara
tuberkulosis paru di antara tahanan di Pakistan 3,90 lebih tinggi daripada prevalensi pada populasi umum yaitu 1,10 Shah et al., 2003.
Sesuai penelitian Triska dan Lilis 2005 menyatakan bahwa sanitasi rumah sangat erat hubungannya dengan angka kesakitan penyakit menular. Hal ini
dikarenakan lingkungan rumah yang buruk dapat menjadi media yang baik bagi bakteri tuberkulosis dan dapat menular kepada orang lain.
Kepadatan hunian yang melebihi ketentuan sebagai faktor risiko penyakit tuberkulosis paru bahwa interaksi antara WBP dalam suatu ruangan yang padat
akan meningkatkan risiko tertular terserang tuberkulosis paru. Hal ini dapat terjadi dengan asumsi bahwa semakin banyak atau padat penghuni ruang tahanan maka
semakin banyak pula jumlah bakteri Mycobacterium Tuberculosis dalam ruangan tersebut, karena dalam ruangan tersebut juga terdapat penderita.
Sesuai penelitian Narain 2002 menyatakan bahwa tingginya angka kejadian tuberkulosis paru pada narapidana diseluruh dunia diantaranya
disebabkan karena overcrowding dan buruknya ventilasi dalam penjara. Kepadatan hunian yang ditentukan berdasarkan jumlah penghuni rumah per luas
lantai ruangan merupakan faktor penting. Luas bangunan yang tidak sebanding dengan jumlah penghuni akan mengakibatkan tidak terpenuhinya konsumsi
oksigen segar yang dibutuhkan anggota keluarga serta memudahkan terjadinya penularan penyakit infeksi kepada anggota keluarga lainnya.
Berdasarkan aturan Departemen Kesehatan 2000 dinyatakan bahwa rasio kepadatan hunian rumah yang dianjurkan minimal 10 m2orang, sedangkan untuk
kamar tidur minimal 8m2orang. Selain itu, kepadatan hunian kamar tidur juga
Universitas Sumatera Utara
menjadi factor resiko penyebab penyakit Tuberkulosis. Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya agar tidak menyebabkan
overload. Hal ini tidak sehat, sebab disamping menyebabkan kurangnya konsumsi
oksigen juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain.
5.4 Faktor Lingkungan Fisik di Rutan Klas I Tanjung Gusta Medan