Formulasi dan Analisis Proksimat Ransum

17 Berdasarkan hasil perancangan komposisi ransum di atas, dapat dibuat masing-masing ransum perlakuan dengan cara mencampurkan semua bahan yang diperlukan sampai homogen Gambar 3. Secara teknis, pencampuran bahan dilakukan dengan menuangkan bahan mulai dari yang paling kecil beratnya sampai yang paling besar beratnya. Setiap kali menuangkan satu jenis bahan, diaduk hingga merata, begitu pun seterusnya sampai semua bahan dicampurkan. Hasil analisis proksimat ransum Lampiran 3 disajikan pada Tabel 10. Gambar 3. Ransum tikus percobaan Keterangan: A : ransum kasein B : ransum isolat protein kedelai C : ransum daging sapi D : ransum fruit soy bar E : ransum non-protein Tabel 10. Hasil analisis proksimat ransum Ransum Kadar Air Abu Protein Lemak Kasein 16.35 4.21 10.92 8.32 Daging sapi 13.99 4.24 10.99 8.11 Isolat protein kedelai 14.65 4.38 11.29 8.07 Fruit soy bar 15.14 4.18 10.31 14.24 Non-protein 15.66 4.10 1.00 7.81 Tabel 10 menunjukkan nilai kadar protein ransum sampel yang relatif dekat dengan nilai standar AOAC 10. Jadi, dapat dikatakan ransum tersebut tercampur secara homogen. Pada intinya, sejumlah ransum tersebut sudah menunjukkan kondisi isoprotein. Namun demikian, terdapat hal yang menyimpang yaitu kadar air semua sampel ransum yang terlalu tinggi. Padahal berdasarkan standar AOAC, kadar air ransum tikus percobaan sebesar 5. Hal ini mungkin disebabkan oleh kandungan air yang terdapat dalam bahan penyusun ransum selain bahan sumber protein, terutama yang berasal dari pati jagung sumber karbohidrat. Selain itu, mungkin disebabkan oleh penyimpanan sampel ransum yang tidak tepat saat pra-analisis. Data lemak ransum FSB tinggi jauh lebih tinggi dari 8 merupakan hal yang wajar karena untuk mencapai kadar protein sesuai standar AOAC 10 diperlukan penyusun protein tepung FSB yang jauh lebih banyak jumlahnya 720.7 g kg ransum dibandingkan dengan penyusun protein pada ransum sampel pembandingnya kasein, tepung daging sapi, dan isolat protein kedelai yaitu antara 119 – 129 g kg ransum. Selain itu, kadar lemak sampel FSB sendiri pun tinggi 11.97. 18 Lain hal terjadi pada sampel ransum non-protein. Sampel ransum non-protein dinyatakan mengandung sekitar 1.00 protein. Padahal tidak terdapat sampel protein yang ditambahkan pada komposisi ransum tersebut. Hal ini diduga bahwa protein tersebut berasal dari pati jagung maizena sebagai sumber karbohidrat penyusun komposisi ransum. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Sediaoetama 1976 diacu dalam Tasar 2000 bahwa terdapat kandungan protein dalam maizena yang disebut zein.

4.3 Perkembangan Berat Badan dan Feed Conversion Efficiency FCE

Hasil pengamatan perkembangan berat badan tikus selama masa percobaan Lampiran 4 disajikan pada Gambar 4 dan perbandingan nilai FCE Lampiran 5 disajikan pada Tabel 11. Gambar 4. Perkembangan berat badan tikus percobaan selama percobaan Tabel 11. Perbandingan nilai FCE Kelompok ∑ Ransum yang dikonsumsi ∆ Berat badan FCE Kasein 179.1 41.4 23.13 d Daging sapi 272.8 82.4 30.29 e Isolat protein kedelai 226.3 39.6 17.54 c Fruit soy bar 71.6 -2.6 -3.64 b Non-protein 115.9 -17.4 -15.21 a Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda sangat nyata p0.01 dengan uji jarak Duncan. Setiap kelompok tikus percobaan memilki profil perkembangan berat badan masing-masing. Kelompok tikus yang mengalami peningkatan berat badan paling tinggi yaitu kelompok tikus yang diberikan perlakuan ransum daging sapi, selanjutnya diikuti oleh kelompok tikus yang diberikan perlakuan ransum kasein yang relatif sama peningkatan berat badannya dengan kelompok tikus yang diberi perlakuan ransum isolat protein kedelai. Sementara itu, kelompok tikus yang diberikan perlakuan ransum FSB sedikit menurun berat badannya, namun dapat dikatakan relatif tetap berat 20 40 60 80 100 120 140 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 R a ta a n B e r a t B a d a n g Periode Pemeliharaan Hari ke- Perkembangan Berat Badan Tikus Percobaan Kasein Isolat protein kedelai Daging Fruit soy bar Non-protein 19 badannya. Penurunan berat badan yang mencolok terjadi pada kelompok tikus yang diberi ransum non-protein. Nilai FCE menerangkan korelasi antara perubahan berat tikus terhadap jumlah ransum gram yang dikonsumsi selama hari percobaan. Berdasarkan nilai FCE yang digambarkan pada Tabel 11, terlihat bahwa nilai FCE dari masing-masing kelompok tikus perlakuan berbeda sangat nyata p0.01 dengan uji jarak Duncan berdasarkan hasil analisis sidik ragam Lampiran 6. Nilai FCE kelompok ransum daging sapi menempati posisi paling tinggi 30.29, hal tersebut masuk akal karena jumlah konsumsi ransum kelompok ini memang paling tinggi daripada jumlah konsumsi ransum kelompok lainnya. Selain itu, protein hewani memiliki availabilitas yang tinggi di dalam tubuh. Selanjutnya diikuti oleh nilai FCE kelompok ransum kasein dan kelompok ransum isolat protein kedelai yang masing-masing bernilai 23.13 dan 17.54. Kondisi fisik tikus percobaan tampak lincah karena kecukupan energi yang terpenuhi. Sementara itu, nilai FCE dari kelompok ransum FSB dan kelompok ransum non-protein bernilai negatif, masing-masing bernilai -3.64 dan -15.21. Meskipun kedua nilai FCE tersebut bernilai negatif yang artinya mengalami penurunan berat badan selama percobaan, tetapi penyebabnya berbeda. Untuk kelompok ransum FSB, jumlah ransum yang dikonsumsi jauh lebih kecil daripada jumlah ransum yang dikonsumsi oleh keempat kelompok lainnya. Hal ini mungkin disebabkan ransum FSB itu memberikan efek cepat kenyang yang nyata bagi tikus percobaan meskipun dalam jumlah yang sedikit disebabkan oleh tingginya kandungan serat. Kelompok ini menunjukkan keadaan fisik yang lincah layaknya kelompok ransum daging sapi, isolat protein kedelai, dan kasein. Indikasi tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan Wahjuningsih et al 2005 yang menyatakan bahwa diet serat tinggi high fiber diet, yang berasal dari konsentrat serat kedelai, mampu menekan kenaikan berat badan tikus percobaan sekalipun jumlah konsumsi pakan kelompok tersebut relatif sama dengan jumlah konsumsi pakan kelompok lain kelompok diet standar dan kelompok diet serat rendah. Menurut Muchtadi 2001, dengan adanya serat membutuhkan waktu mengunyah lebih lama, dan hal ini akan menstimulir ekskresi saliva air liur dan cairan lambung lebih banyak. Sekresi yang berlebihan ini akan menyebabkan perut merasa kenyang. Lain halnya dengan kelompok ransum non-protein. Meskipun jumlah ransum yang dikonsumsi relatif sama tinggi dengan jumlah ransum yang dikonsumsi kelompok ransum selain kelompok ransum FSB, kelompok non-protein mengalami penurunan berat badan yang drastis. Hal ini disebabkan kelompok tersebut kekurangan zat gizi protein dimana ransum yang dikonsumsi tidak ditambahkan sumber protein. Meskipun ransum tersebut dinyatakan memiliki kadar protein 1, protein tersebut diduga merupakan zein yang berasal dari pati jagung. Sediaoetama 1976 diacu dalam Tasar menyatakan kandungan protein dalam maizena, yaitu zein, ternyata tidak mengandung glisin atau lisin dan hanya sedikit sekali triptofan. Bila tikus percobaan muda diberi pakan yang mengandung semua zat dalam jumlah yang cukup kecuali satu-satunya jenis protein yang terdapat hanya-lah zein, maka tikus ini akan berhenti tumbuh, menjadi sakit dan selanjutnya tidak dapat hidup lama lagi. Kekurangan asupan protein dalam ransum menyebabkan gangguan pada penyerapan dan transportasi zat-zat gizi, sehingga ransum yang dikonsumsi tidak dapat menambah massa otot, bahkan sebaliknya. Jadi, makanan yang dikonsumsi ini hanya berfungsi untuk mempertahankan hidup. Keadaan fisik tikus percobaan kelompok non-protein tampak tidak aktif.