Evaluasi mutu biologis protein fruit soy bar dan efeknya terhadap berat badan tikus percobaan

(1)

EVALUASI MUTU BIOLOGIS PROTEIN

FRUIT SOY BAR

DAN EFEKNYA TERHADAP BERAT BADAN TIKUS PERCOBAAN

SKRIPSI

IRWAN PERMADI

F24070017

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

FRUIT SOY BAR BIOLOGICAL PROTEIN QUALITY EVALUATION

AND ITS EFFECT ON BODY WEIGHT OF RATS

Irwan Permadi and Made Astawan

Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, Dramaga, PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia Phone: +6285659587017, e-mail: permadir.one@gmail.com / permadir.one89@yahoo.co.id

ABSTRACT

Fruit soy bar (FSB) is one of snack bar that is made of whole soybean flour and dried fruits. FSB has a lot of superiorities for health, eg low GI, contain protein, isoflavon, vitamins, and dietary fiber. So, it can be categorized as healthy snack. Protein quality can be evaluated with ‘in vivo biological protein quality evaluation’, and its effects on body weight. Parameters used in evaluating biological protein quality are protein efficiency ratio (PER), net protein ratio (NPR), true digestibility (TD), biological value (BV), and net protein utilization (NPU). FSB protein quality was showed by: PER -0.36, NPR -3.63, BV 76.71%, TD 52.73%, and NPU 40.64%. According to the mentioned values, FSB has low protein quality, that caused by high dietary fiber content and Maillard reaction occured during the baking process. Eventhough, FSB was still could fulfill the requirement for maintaining body weight of rats. So, FSB is compatible for human who want to be health and to keep body weight.

Keywords: Fruit soy bar, in vivo, biological protein quality evaluation, body weight, Maillard reaction, dietary fiber


(3)

Irwan Permadi. F24070017.

Evaluasi Mutu Biologis Protein

Fruit Soy Bar

dan Efeknya

terhadap Berat Badan Tikus Percobaan.

Di bawah bimbingan Made Astawan. 2011.

RINGKASAN

Perkembangan zaman menuntut perubahan gaya hidup masyarakat termasuk dalam hal pola makan (diet) sehari-hari. Namun, yang disayangkan pola makan tersebut cenderung kepada menu-menu makanan yang berisiko tinggi terhadap kesehatan dan dapat memicu timbulnya penyakit degeneratif seperti kanker dan diabetes. Meskipun demikian, masyarakat pada umumnya tetap ingin tampil bugar sekaligus menjaga berat badan. Kini makanan ringan (snack) merupakan bagian yang tidak dapat ditinggalkan dari kehidupan sehari-hari semua kalangan masyarakat. Masyarakat yang hendak merasakan kenikmatan makanan tetapi tidak ingin mengorbankan kesehatan dan tetap menjaga berat badan, dapat menggunakan fruit soy bar (FSB) sebagai salah satu pilihan. Fruit soy bar adalah makanan ringan berbentuk batang yang terbuat dari tepung kedelai utuh dan buah-buahan kering. Berbagai keunggulan yang dikedepankan oleh FSB komersial di Indonesia adalah: berprotein, memiliki nilai indeks glikemik rendah(Low GI), mengandung isoflavon dan vitamin, serta kaya serat pangan. Untuk mengkaji khasiat FSB, dilakukan penelitian mengenai evaluasi mutu biologis protein menggunakan tikus percobaan.

Penelitian ini menggunakan kasein, isolat protein kedelai, dan daging sapi sebagai pembanding. Penelitian ini dibagi menjadi dua tahapan, yaitu: (1) penelitian pendahuluan meliputi persiapan sampel dan analisis proksimat terhadap sampel, dan (2) penelitian utama yang terdiri atas perancangan ransum serta analisis proksimatnya, pemeliharaan tikus percobaan, dan analisis nitrogen urin dan feses tikus percobaan. Beberapa parameter yang ingin diketahui pada penelitian ini adalah: Feed Conversion Efficiency (FCE), Protein Efficiency Ratio (PER), Net Protein Ratio (NPR), True Digestibility (TD), Biological Value (BV), dan Net Protein Utilization (NPU). Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap. Data parameter-parameter (FCE, PER, NPR, TD, BV, dan NPU) dianalisis One-Way ANOVA kemudian uji lanjut Duncan (p<0.01) (menunjukkan perbedaan sangat nyata) menggunakan SPSS Versi 16.0. Sementara itu, data selain parameter-parameter tersebut, meliputi data uji kimia (analisis proksimat) dan profil perkembangan berat badan tikus percobaan, dianalisis secara deskriptif.

Komposisi kimia sampel FSB (dalam bentuk tepung) meliputi kadar air 7.21% (bb), abu 2.73% (bb), protein 13.85% (bb), 20.40% (bb), dan serat kasar 11.97% (bb). Dalam hal protein, kadar protein FSB tidak setinggi kadar protein kadar protein sampel pembanding (>75%). Dalam hal kadar lemak, kadar lemak FSB paling tinggi. Begitu pula dalam hal kadar serat, kadar serat FSB jauh lebih tinggi daripada kadar serat sampel pembanding (<1%). Semua sampel dijadikan sebagai sumber protein dalam penyusunan ransum tikus percobaan (standar AOAC). Adapun komposisi kimia ransum FSB meliputi kadar air 15.14% (bb), abu 4.18% (bb), protein 10.31% (bb), dan lemak 14.24% (bb). Secara keseluruhan, sejumlah ransum tersebut sudah menunjukkan kondisi isoprotein (10%), tetapi kadar air semua sampel ransum yang terlalu tinggi (>5%). Data lemak ransum FSB tinggi (>8%) disebabkan jumlah tepung FSB, sebagai sumber protein, jauh lebih banyak (720.7 g/ kg ransum) daripada penyusun protein pada ransum sampel pembandingnya yaitu antara 119 – 129 g/ kg ransum. Selain itu, kadar lemak sampel FSB sendiri pun tinggi.

Setiap kelompok tikus percobaan memilki profil perkembangan berat badan masing-masing. Kelompok tikus FSB sedikit menurun (tidak siginifikan) berat badannya, namun dapat dikatakan relatif tetap berat badannya. Nilai FCE dari masing-masing kelompok tikus perlakuan berbeda sangat


(4)

nyata (p<0.01 dengan uji jarak Duncan). Nilai FCE kelompok FSB -3.64%. (mengalami penurunan berat badan selama percobaan), akibat dari jumlah konsumsi ransum jauh lebih kecil serta dengan tingginya serat FSB memberikan efek cepat kenyang. Kelompok FSB menunjukkan keadaan fisik yang aktif.

Nilai PER dari masing-masing kelompok tikus perlakuan berbeda sangat nyata (p<0.01 dengan uji jarak Duncan). Nilai PER kelompok FSB -0.36. Sementara itu, NPR kelompok FSB (3.63) tidak berbeda nyata dengan NPR kelompok isolat protein kedelai (3.71) (p>0.01 dengan uji jarak Duncan). Nilai TD kelompok FSB (52.73%) berbeda sangat nyata dengan TD kelompok lainnya (>90%) (p<0.01 dengan uji jarak Duncan). Nilai BV kelompok FSB (76.71%) tidak berbeda nyata dengan BV kelompok ransum daging sapi (83.63%) (p>0.01 dengan uji jarak Duncan). Serta nilai NPU kelompok FSB (40.64%) berbeda sangat nyata dengan NPU kelompok lainnya (>75%) (p<0.01 dengan uji jarak Duncan).

FSB cocok sebagai snack bagi orang yang sedang menjalankan „program diet‟ (istilah orang awam) yang ingin tetap sehat tetapi tidak mengakibatkan bertambah berat badan. Ketersediaan protein pada FSB cukup baik untuk pemeliharaan tubuh, tetapi tidak sampai menimbulkan pertambahan berat badan. Nilai gizi protein kelompok FSB memang tidak sebagus nilai gizi protein kelompok lainnya, karena kaya serat dan diduga terjadi reaksi Maillard saat pengolahan FSB.

Kandungan serat diduga dapat memberikan pengaruh negatif terhadap aktivitas enzim protease. Penurunan aktivitas enzim protease tersebut diduga disebabkan adanya pengikatan (interaksi) oleh serat pangan. Reaksi Maillard mengakibatkan terbentuknya suatu ikatan silang (cross-linkage) antara bermacam-macam amino sehingga mengurangi kecepatan pencernaan protein, dengan cara mencegah penetrasi enzim atau dengan cara menutupi sisi yang dapat diserang oleh enzim protease. Meskipun demikian, nilai biologis FSB dapat dikatakan baik (>65%). Semakin tinggi nilai biologis, semakin ringan kerja ginjal untuk membuang urea (berasal dari protein melalui proses deaminasi) dalam bentuk urin.


(5)

EVALUASI MUTU BIOLOGIS PROTEIN

FRUIT SOY BAR

DAN EFEKNYA TERHADAP BERAT BADAN TIKUS PERCOBAAN

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh

IRWAN PERMADI

F24070017

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(6)

(7)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Evaluasi Mutu Biologis Protein Fruit Soy Bar dan Efeknya terhadap Berat Badan Tikus Percobaan adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing akademik dan belum diajukan dalam bentuk apa pun pada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2011 Yang membuat pernyataan,

Irwan Permadi F24070017


(8)

© Hak cipta milik Irwan Permadi, tahun 2011

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun,


(9)

BIODATA PENULIS

Irwan Permadi lahir di Sukabumi, 16 Juli 1989 dari pasangan Maman Supriatman dan Nira Siti Barkah sebagai anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis menamatkan pendidikan jenjang TK di RA Al-Mashturiyyah, Sukabumi (1995), jenjang SD di SD Negeri Tipar, Sukabumi (2001), jenjang SMP di SMP Negeri I Cisaat, Sukabumi (2004), jenjang SMA di SMA Negeri I Sukabumi (2007), dan jenjang S1 di Institut Pertanian Bogor (2011) pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam beberapa kegiatan kemahasiswaan, antara lain Paguyuban Karya Salemba Empat (2009-2011), Orde dan Malam Keramat (2010), Ksatria Peduli Pangan (2008-2010), Indonesian Food Expo (2009-2010), Panitia Penyelenggara Seminar dan Pelatihan HACCP (2009), Panitia Penyelenggara Seminar dan Workshop Himpinan Mahasiswa Peduli Pangan Indonesia (2008), dan Koperasi Mahasiswa IPB (2007-2008). Penulis juga memperoleh Beasiswa Karya Salemba Empat (2009-2011) sekaligus Beasiswa Indofood Sukses Makmur (BISMA) (2010-2011). Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian yang berjudul “Evaluasi Mutu Biologis Protein Fruit Soy Bar dan Efeknya terhadap Berat Badan Tikus Percobaan”.


(10)

KATA PENGANTAR

Terpujilah Allah SWT atas berkat dan karunia-Nya yang tidak terhingga sehingga penulis dapat menyusun skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan.

Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah evaluasi mutu protein, dengan judul “Evaluasi Mutu Biologis Protein Fruit Soy Bar dan Efeknya terhadap Berat Badan Tikus Percobaan”. Penulis telah memperoleh bimbingan dari para pembimbing dan rekan-rekan penulis selama penelitian serta penulisan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Made Astawan, M.S. selaku pembimbing akademik atas bimbingan, perhatian, dan kasih sayang yang tidak ternilai harganya.

2. Ibu Prof. drh. Tutik Wresdiyati, Ph.D, PAVet dan Ibu Dian Herawati, S.TP, M.Si selaku penguji sidang atas kesediaan waktu dan saran yang telah diberikan.

3. PT Amerta Indah Otsuka sebagai penyandang dana penelitian.

4. Seluruh jajaran keluarga Yayasan Karya Salemba Empat serta Beasiswa Indofood Sukses Makmur.

5. Semua keluarga tercinta terutama Mama, Papa, dan Adik-adik atas segala pengorbanan, dukungan, doa, dan kasih sayang yang telah diberikan.

6. Teman spesial yaitu Dhina Novitri yang selamanya memberikan dukungan yang sangat membangun kepada penulis.

7. Teman seperjuangan selama penelitian yaitu Chyntia D. N. S. atas kerja sama yang baik selama penelitian berlangsung.

8. Seluruh analis dan teknisi laboratorium di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fateta, IPB dan SEAFAST Center, IPB terutama Bapak Wahid dan Bapak Adi sehingga penulis dapat melakukan penelitian dengan lancar.

9. Rekan-rekan: Alya M. N., Lukman S., Nurina R., Sri Mulyani, Punjung R., Nida, Sarah T., Hilda (TIN 44), Mbak Muslikhatin, Dela A. B., Renny, Suriah, Kurnia, Teh Mei, Teh Fitri (sepupu Chyntia), Rina R. (Alm), Chandra, dan lain-lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu atas bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung.

10. Para guru dan dosen yang telah membimbing dan memberikan ilmu, dari jenjang TK sampai jenjang perguruan tinggi, terutama Bunda Efi Sofia (guru SMA yang terkasih), Ibu Marniati (guru SMP terkasih).

11. ‘Nurrakhman Family’, sahabat terkasih yang sangat penulis cintai sepanjang masa.

12. Teman-teman di Asrama C3- Lorong 7 (2007-2008), Pondok Asmat, Kosan Haji Ajum-Cangkurawok, ITP 44, dan IPB.

Penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang teknologi pangan.

Bogor, Agustus 2011 Irwan Permadi


(11)

ii

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

I.

PENDAHULUAN ... 1

1.1

Latar Belakang ... 1

1.2

Tujuan Penelitian ... 2

II.

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1

Fuit Soy Bar

... 3

2.2

Kasein ... 3

2.3

Daging Sapi ... 4

2.4

Isolat Protein Kedelai ... 5

2.5

Pencernaan Protein ... 6

2.6

Teknik Evaluasi Mutu Biologis Protein ... 6

2.7

Tikus Percobaan ... 7

III.

METODOLOGI PENELITIAN ... 9

3.1

Waktu dan Tempat ... 9

3.2

Bahan dan Alat ... 9

3.3

Metode Penelitian ... 9

3.3.1

Penelitian Pendahuluan

...

9

3.3.1.1

Persiapan sampel

...

9

3.3.1.2

Analisis proksimat sampel

...

10

3.3.2

Penelitian Utama

...

11

3.3.2.1

Persiapan dan analisis proksimat ransum

...

11

3.3.2.2

Pengelolaan tikus percobaan

...

12

3.3.2.3

Analisis nitrogen feses dan urin

...

14

3.3.2.4

Penentuan parameter mutu protein

...

14


(12)

iii

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 16

4.1

Analisis Proksimat Sampel ... 16

4.2

Formulasi dan Analisis Proksimat Ransum ... 16

4.3

Perkembangan Berat Badan dan

Feed Conversion Efficiency

(FCE) ... 18

4.4

Protein Efficiency Ratio

(PER) dan

Net Protein Ratio

(NPR) ... 20

4.5

True Digestibility

(TD),

Biological Value

(BV), dan

Net Protein Utilization

(NPU) ... 21

V.

SIMPULAN DAN SARAN... 25

5.1

Simpulan ... 25

5.2

Saran ... 25

DAFTAR PUSTAKA ... 26


(13)

iv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Komposisi asam amino esensial pada kasein ... 4

Tabel 2. Kandungan gizi daging sapi ... 4

Tabel 3. Kandungan asam amino daging sapi... 5

Tabel 4. Komposisi asam amino esensial pada isolat protein kedelai ... 6

Tabel 5. Susunan asam amino pola FAO ... 7

Tabel 6. Rancangan komposisi ransum percobaan ... 12

Tabel 7. Klasifikasi tikus perlakuan... 13

Tabel 8. Hasil analisis proksimat sampel ... 16

Tabel 9. Komposisi ransum sampel (basis 1 kg ransum) ... 16

Tabel 10. Hasil analisis proksimat ransum ... 17


(14)

v

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Fruit soy bar ... 3

Gambar 2. Kandang metabolik ... 13

Gambar 3. Ransum tikus percobaan ... 17

Gambar 4. Perkembangan berat badan tikus percobaan selama percobaan ... 18

Gambar 5. Perbandingan nilai PER ... 20

Gambar 6. Perbandingan nilai NPR ... 21

Gambar 7. Perbandingan nilai daya cerna protein ... 22

Gambar 8. Perbandingan nilai BV ... 23


(15)

vi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1a. Rekapitulasi data analisis kadar air sampel ... 30

Lampiran 1b. Rekapitulasi data analisis kadar abu sampel ... 30

Lampiran 1c. Rekapitulasi data analisis kadar protein sampel ... 31

Lampiran 1d. Rekapitulasi data analisis kadar lemak sampel... 32

Lampiran 1e. Rekapitulasi data analisis kadar serat sampel ... 32

Lampiran 2a. Perhitungan formulasi ransum kasein ... 33

Lampiran 2b. Perhitungan formulasi ransum daging sapi ... 34

Lampiran 2c. Perhitungan formulasi ransum isolat protein kedelai ... 35

Lampiran 2d. Perhitungan formulasi ransum fruit soy bar ... 36

Lampiran 2e. Perhitungan formulasi ransum non-protein ... 37

Lampiran 3a. Rekapitulasi data analisis kadar air ransum ... 38

Lampiran 3b. Rekapitulasi data analisis kadar abu ransum ... 39

Lampiran 3c. Rekapitulasi data analisis kadar protein ransum... 40

Lampiran 3d. Rekapitulasi data analisis kadar lemak ransum ... 41

Lampiran 4. Rekapitulasi data rataan berat badan tikus percobaan ... 42

Lampiran 5. Rekapitulasi data FCE ... 43

Lampiran 6. Hasil analisis sidik ragam FCE menggunakan SPSS 16.0 ... 44

Lampiran 7. Rekapitulasi data PER ... 45

Lampiran 8. Hasil snalisis sidik ragam PER menggunakan SPSS 16.0 ... 46

Lampiran 9. Rekapitulasi data NPR ... 47

Lampiran 10. Hasil analisis sidik ragam NPR menggunakan SPSS 16.0 ... 48

Lampiran 11. Rekapitulasi data TD, BV, dan NPU ... 49


(16)

I.

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Perkembangan zaman menuntut perubahan gaya hidup masyarakat termasuk dalam hal pola makan (diet) sehari-hari. Teknologi pangan pada masa kini telah mampu menyediakan berbagai jenis makanan yang sangat beragam, baik dalam bentuk, warna, tekstur, maupun rasa. Selain itu, teknologi juga memberikan kemudahan dalam hal perolehan, penyimpanan, atau penyajian makanan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, yang disayangkan pola makan tersebut cenderung kepada menu-menu makanan yang berisiko tinggi terhadap kesehatan misal mengandung lemak tinggi, miskin serat, dan dapat dengan cepat meningkatkan kadar glukosa darah. Pola diet seperti ini dapat memicu timbulnya penyakit degeneratif, seperti kanker dan diabetes. Kecenderungan ini diperkirakan meningkat seiring dengan perubahan pola diet yang kian menjauh dari standar gizi ideal.

Masyarakat di dunia pada umumnya menghendaki kondisi tubuh prima, terutama mereka yang masih dalam usia produktif. Namun, bagi orang dewasa pada umumnya tubuh sehat saja tidak cukup, tetapi juga penampilan yang tetap menarik. Salah satu inidikator yang kini dianggap seseorang berpenampilan menarik yaitu memiliki berat badan yang ideal dan tetap terjaga. Adapun kaitannya dengan makanan, perlu asupan makanan tepat gizi sesuai dengan efek yang diharapkan. Dengan kata lain makanan yang mereka konsumsi diharapkan tidak mengakibatkan pertambahan berat barat badan apalagi sampai obesitas dan menimbulkan berbagai penyakit degenaratif.

Obesitas atau kegemukan dari segi kesehatan merupakan salah satu penyakit malnutrisi atau gizi salah sebagai akibat dari makanan sehari-hari mengandung energi yang melebihi kebutuhan tubuh serta aktivitas fisik hingga terjadi ketidakseimbangan antara pemasukan dan pemakaian energi. Kejadian obesitas di negara-negara maju seperti negara-negara di Eropa, Amerika Serikat dan Australia telah mencapai tingkat epidemi (Adiningsih, 2005). Beberapa laporan menunjukkan hubungan antara obesitas dengan risiko penyakit kronis (Pudjiadi, 2000).

Berdasarkan estimasi WHO (2009), sebanyak 1,6 miliar orang dewasa di seluruh dunia mengalami berat badan berlebih (overweight) dan sekurang-kurangnya 400 juta diantaranya mengalami obesitas. Pada tahun 2015, diperkirakan sebanyak 2,3 miliar orang dewasa akan mengalami overweight dan 700 juta di antaranya obesitas. Di Indonesia, menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi nasional obesitas umum pada penduduk berusia ≥15 tahun adalah 10,3% (laki-laki 13,9%, perempuan 23,8%). Sementara itu, prevalensi berat badan berlebih anak-anak usia 6-14 tahun pada laki-laki 9,5% dan pada perempuan 6,4%. Angka ini hampir sama dengan estimasi WHO sebesar 10% pada anak usia 5-17 tahun (Kemenkes, 2009).

Dewasa ini telah diketahui berbagai metode penurunan berat badan. Menurut Harrison (1999), metode penurunan berat badan yang umum digunakan adalah dengan terapi diet (pola makan), terapi akupuntur/ acupressure, perubahan perilaku, olahraga, penggunaan obat-obatan penurun berat badan, dan terapi medis (pintas jejunum-ileum), pembedahan lambung. Adapun terapi yang dianggap sangat mendukung penurunan berat badan yaitu terapi diet. Saat ini terapi diet yang digunakan bermacam-macam mulai dari pengaturan diet rendah kalori, diet puasa, diet makan kualitatif, dan food combining (Iping, 2004).

Makanan ringan merupakan bagian yang tidak dapat ditinggalkan dari kehidupan sehari-hari, terutama pada kalangan anak-anak dan remaja. Makanan ringan (snack) merupakan makanan yang dikonsumsi dalam waktu antara ketiga makanan utama dalam sehari (Muchtadi et al., 1992). Dengan istilah lain, snack dapat disebut sebagai makanan selingan atau camilan. Snack bukan merupakan makanan yang dikonsumsi sebagai makanan utama seperti halnya pada saat sarapan, makan siang,


(17)

2 atau makan malam, melainkan makanan yang dikonsumsi sebagai makanan camilan pada selang waktu makan reguler dengan tujuan tertentu, seperti mengurangi rasa lapar atau mendapatkan sensasi rasa tertentu. Secara komersial, snack biasanya merupakan produk olahan yang diproduksi massal yang dikemas dalam kemasan siap saji yang praktis. Dengan kepraktisannya tersebut, snack mudah didistribusikan dan disajikan.

Beraneka macam snack dapat ditemui di Indonesia, misal snack bar.Snack bar yang sedang populer di berbagai negara umumnya terbuat dari kedelai, bahan-bahan lain yang kaya zat gizi maupun non-gizi, dan buah-buahan kering (Astawan, 2009). Produk snack bar yang terbuat dari campuran tepung kedelai dan aneka buah kering dikenal dengan sebutan Fruit Soy Bar (FSB).

Fruit soy bar menjadi trend masa kini dalam dunia pangan khususnya segmentasi snack sehat. Masyarakat yang hendak merasakan kenikmatan makanan tetapi tidak ingin mengorbankan kesehatan dan tetap menjaga berat badan, dapat menggunakan FSB sebagai salah satu alternatif pilihan. Berbagai keunggulan yang dikedepankan oleh FSB komersial di Indonesia adalah: berprotein, memiliki nilai indeks glikemik rendah(Low GI), mengandung isoflavon dan vitamin, serta kaya serat pangan. Penelitian ini hanya memfokuskan pada aspek proteinnya.

Kedelai merupakan bahan pangan sumber protein nabati untuk manusia dan hewan di berbagai negara. Kedelai memiliki kadar protein yang tinggi, yaitu rata-rata 35%, bahkan pada varietas unggul dapat mencapai 40-44% (Astawan, 2009). Jenis protein yang terkandung di dalam kedelai di antaranya adalah globulin, sekitar 85% - 95% (Koswara, 1995). Protein kedelai mengandung asam amino esensial yang lengkap dengan metionin dan sistein sebagai asam amino pembatas, sedangkan kandungan lisin dan treonin sangat tinggi. Hal tersebut sangat menguntungkan, karena pada umumnya makanan pokok sangat miskin akan lisin. Secara keseluruhan kualitas protein kedelai hampir menyamai protein daging sapi atau telur. Selain sebagai sumber protein, kedelai juga mengandung berbagai zat gizi yang sangat berkontribusi baik bagi kesehatan. Dengan segala keistimewaan yang dimilikinya, kedelai diberi berbagai julukan, seperti Miracle Golden Bean, The Golden Nugget of Nutrition, The Cow of China, Meat of the Field, The Meat that Grows on Vines, Cinderella Crop of the Century, The Protein Hope of the Future, serta The Amazing Soybean (Astawan, 2009). Kedelai cocok untuk dijadikan sebagai bahan baku pangan olahan yang mengedepankan kesehatan.

Menurut Muchtadi (2010), nilai gizi protein pada makanan tidak hanya ditentukan berdasarkan kadar protein yang terkandung di dalam makanan, tetapi juga ditentukan oleh daya cerna yang menentukan ketersediaan asam-asam amino secara biologis atau dapat/ tidaknya zat gizi tersebut digunakan oleh tubuh. Sifat dan mutu protein sebagai zat makanan tergantung pada macam serta banyaknya asam-asam amino yang menyusun protein tersebut. Maka dari itu, dikenal-lah suatu teknik evaluasi nilai gizi protein.

Evaluasi nilai gizi protein dapat dilakukan dengan metode in vitro (secara kimia, mikrobiologis, atau enzimatis) maupun metode in vivo (secara biologis). Untuk mendekati pada keadaan yang sebenarnya, perlu meneliti secara in vivo dengan menggunakan hewan percobaan, yang pada penelitian ini menggunakan tikus putih. Secara biokimia, proses pertumbuhan merupakan suatu petunjuk terjadinya biosintesis protein jaringan. Kebutuhan akan asam amino untuk sintesis protein tubuhnya harus didapat dari luar sebagai makanan.

1.2

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan (i) mengevaluasi mutu biologis protein fruit soy bar dengan menggunakan kasein, isolat protein kedelai, dan daging sapi sebagai pembanding dan (ii) membuktikan bahwa fruit soy bar adalah makanan yang cocok untuk dikonsumsi oleh mereka yang ingin menjaga berat badan.


(18)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Fuit Soy Bar

Fruit soy bar (Gambar 1) adalah makanan ringan berbentuk batang yang terbuat dari tepung kedelai utuh dan buah-buahan kering. FSB diolah dengan cara pengolahan oven baking sehingga secara fisik tampak berwarna cokelat. Kedelai dan buah sebagai bahan dasar mengandung gizi penting seperti protein, serat, vitamin dan mineral. Selain itu, terdapat komponen bioaktif yang dianggap sangat baik untuk kesehatan tubuh yaitu isoflavon yang berasal dari kedelai.

Gambar 1. Fruit soy bar

Fruit soy bar menjadi trend masa kini dalam dunia pangan khususnya segmentasi snack sehat. Masyarakat yang hendak merasakan kenikmatan makanan tetapi tidak ingin mengorbankan kesehatan, dapat menggunakan FSB sebagai salah satu pilihan. Berbagai keunggulan yang dikedepankan oleh FSB komersial di Indonesia adalah: berprotein, memiliki nilai indeks glikemik rendah (Low GI), mengandung isoflavon dan vitamin, serta kaya serat pangan. Penelitian ini hanya memfokuskan aspek proteinnya.

Mengingat beberapa fungsi utama protein di antaranya sebagai zat pembangun/ pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan tubuh. Pertumbuhan berarti bertambahnya massa otot atau bobot badan. Pertumbuhan akan terjadi bila kecukupan asam amino dari proteinnya melebihi untuk pemeliharaan jaringan tubuh (Muchtadi, 2010). Padahal kondisi ini tentu tidak diharapkan menjadi efek dari snack yang dikonsumsi oleh mereka yang ingin tetap menjaga bobot badan. Akan tetapi, pemeliharaan jaringan tubuh-lah yang diharapkan. FSB diduga dapat menjawab hal tersebut. Kandungan protein pada FSB sebesar 4 g/ 30g bahan.

2.2

Kasein

Susu mengandung protein dengan kualitas yang sangat baik untuk nutrisi manusia dan hewan. Kasein merupakan protein susu selain protein whey yang terkandung di dalam susu, dengan proporsi sekitar 85% persen dari total kandungan protein susu. Secara lengkap, kasein didefinisikan sebagai beberapa kelompok fosfoprotein, yang digumpalkan dari susu skim pada pH sekitar 4.6 sampai 4.7 (Damodaran, 1996).

Sebagai sumber protein, kasein memiliki nilai gizi yang tinggi karena mengandung semua asam amino esensial dengan jumlah yang tinggi melebihi pola referensi dari FAO. Oleh karena itu kasein menjadi acuan baku dalam pengujian-pengujian protein. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ishihara et al (2003), dinyatakan bahwa kasein mengandung asam amino esensial sebanyak 43.65%. Tabel 1 menyajikan komposisi asam amino yang terkandung dalam kasein.


(19)

4 Tabel 1. Komposisi asam amino esensial pada kasein*

Asam amino Kadar (mg/ g protein)

Histidin 28.0

Isoleusin 43.1

Leusin 84.1

Lisin 68.3

Metionin + Sistein 34.5

Fenilalanin + Tirosin 85.4

Treonin 39.9

Valin 72.6

Ket.: * Bentuk Sodium-kaseinat(Brand:Alanate 180, New Zealand Dairy Board). Sumber: Moughan et al (2005).

Kasein komersial umumnya dihasilkan dari susu skim yang mengalami pengendapan kasein akibat penambahan asam atau rennet. Komposisi kasein komersial terdiri atas protein 88.5%, lemak 0.2%, air 7%, dan abu 3.8% (Webb et al,1981). Menurut Buckle et al. (1987), kasein komersial yang diproduksi merupakan substansi granular berwarna putih kekuningan. Kasein terbentuk dalam bentuk kalsium kaseinat, yaitu senyawa kompleks dari Ca-fosfat dan terdapat dalam bentuk partikel-partikel kompleks koloidal yang dikenal sebagai misel. Berdasarkan komposisi kimiawi, kasein terdiri atas: 55% α-kasein, 25% β-kasein, 15% k-kasein, dan 5% beberapa komponen kecil τ-kasein (Damodoran, 1996).

2.3

Daging Sapi

Istilah daging sapi didefinisikan sebagai bagian otot skeletal dari karkas sapi yang aman, layak, dan lazim dikonsumsi oleh manusia, dapat berupa daging segar, daging segar dingin atau daging beku (BSN, 2008). Komponen utama penyusun daging ialah otot, jaringan ikat serta beberapa jaringan syaraf. Jaringan otot daging sebagian besar terdiri dari otot rangka atau otot bergaris melintang dan otot polos dalam jumlah kecil sisanya berupa jaringan lemak, tulang, dan tulang rawan. Jaringan ikat dan otot merupakan penyusun dasar komponen-komponen daging dan karkas yang menunjang sifat-sifat kualitatif dan kuantitatif daging (Aberle et al., 2001).

Daging sapi memiliki ciri-ciri warna merah segar, serat yang halus, dan lemak yang berwarna kuning. Kandungan gizi yang terdapat pada daging sapi disajikan pada Tabel 2. Daging sapi tampak berwarna merah sehingga daging sapi lazim disebut sebagai daging merah. Menurut Lawrie (2003), daging merah memiliki proporsi serat yang sempit dan kaya mioglobin. Jumlah mioglobin daging sapi 0.46% dari berat segar (Soeparno, 2005).

Tabel 2. Kandungan gizi daging sapi Kandungan gizi Jumlah (%)

Air 65.0 – 80.0

Protein 16.0 – 22.0

Lemak 1.3 – 13.0

Karbohidrat 0.5 – 1.3

Mineral 1.0


(20)

5 Daging sapi merupakan salah satu bahan pangan sumber protein hewani. Daging sapi memiliki mutu protein tinggi karena mengandung asam amino yang lengkap. Kandungan asam-asam amino daging sapi dapat dilihat pada Tabel 3. Akibat lengkapnya kandungan asam-asam amino, protein daging sapi memiliki bioavailabilitas yang tinggi atau daya cerna yang baik di dalam tubuh pengonsumsinya.

Tabel 3. Kandungan asam amino daging sapi Asam amino Kadar (mg/ g protein)

Histidin 75

Isoleusin 104

Leusin 163

Lisin 185

Methionin 55

Fenilalanin 91

Threonin 94

Triptofan 26

Tirosin 78

Valin 107

Sumber: Paul et al. (1980) diacu dalam Varnam dan Sutherland (1995).

2.4

Isolat Protein Kedelai

Kedelai merupakan salah satu bahan pangan nabati yang kaya akan protein. Telah diketahui berbagai teknik/ cara dalam pemanfaatan protein dari kedelai utuh. Menurut Sugiyono (2006), proses pengekstrakan minyak dari kedelai akan menghasilkan bungkil kedelai dengan kadar protein hingga 40% dan dapat diolah lebih lanjut menjadi konsentrat protein kedelai atau isolat protein kedelai. Isolat protein kedelai merupakan salah satu hasil isolasi protein dari kedelai yang memilki kemurnian protein paling tinggi (di atas 90% berdasarkan berat kering) sehingga produk ini hampir terbebas dari zat-zat lain, seperti karbohidrat, serat dan lemak (Koswara, 1995).

Menurut Astawan (2009), isolat protein kedelai dibuat dengan cara melarutkan protein tepung kedelai dengan larutan basa encer pada pH 7-9, serta membuang endapan tidak larutnya dengan cara pemusingan atau penyaringan. Ekstrak yang didapat kemudian diasamkan samapai pH-nya mencapai 4.5 agar terjadi pengendapan protein. Endapan protein ini selanjutnya dinetralkan dengan basa dan dikeringkan dengan pengering semprot (spray dryer) sampai diperoleh bentuk tepung. Jadi, pada prinsipnya isolat protein kedelai diperoleh dengan cara pengendapan seluruh protein pada titik isoelektrik yaitu pH dimana seluruh protein menggumpal. Isolat protein kedelai telah banyak diaplikasikan dalam industri pangan seperti produk daging tiruan, karena isolat protein kedelai memiliki sifat fungsional (di luar sifat nutrisi) yang dapat menyumbangkan karakteristik yang diinginkan pada makanan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ishihara et al (2003), dinyatakan bahwa isolat protein kedelai mengandung asam amino esensial sebanyak 33.82%. Tabel 4 menyajikan komposisi asam amino yang terkandung dalam isolat protein kedelai.


(21)

6 Tabel 4 . Komposisi asam amino esensial pada isolat protein kedelai*

Asam amino Kadar (mg/ g protein)

Histidin 26.7

Isoleusin 44.7

Leusin 80.9

Lisin 60.4

Metionin + Sistein 27.6

Fenilalanin + Tirosin 84.1

Treonin 39.8

Valin 59.7

Keterangan: * Brand: Supro 590, Columbit, NZ Ltd. Sumber: Moughan et al (2005).

2.5

Pencernaan Protein

Proses pencernaan akan mengubah makanan menjadi bentuk yang sesuai untuk diserap ke dalam proses sirkulasi untuk ditransfer ke liver dan disebarkan ke jaringan-jaringan tubuh. Ketika seseorang mengonsumsi protein, protein tersebut akan dipecah menjadi asam amino, sehingga tubuh bisa menyusun ulang asam amino tersebut menjadi protein yang dibutuhkan.

Protein dicerna pertama kali di dalam lambung. Asam lambung (HCl) memiliki pH sekitar 1.5, yang menyebabkan rantai protein terbuka (terdenaturasi) untuk memudahkan enzim pencernaan menyerang dan memutus ikatan peptida. Asam lambung juga mengaktifkan enzim pencernaan protein (protease) seperti pepsin, yang memecah protein menjadi polipeptida dan pepton. Selama perjalanan menuju usus halus, sekitar 70% protein terpecah menjadi tripeptida, dipeptida, maupun asam amino sederhana sebanyak 30% oleh enzim-enzim pencernaan protein (pencreatic protease) antara lain tripsin, kimotripsin, dan karboksipeptidase (Suhardjo dan Kusharto, 1992; Grosvenor dan Smolin, 2002).

Perjalanan protein berlanjut ke usus halus. Di dalam usus halus larutan basa yang dihasilkan pankreas (sekitar pH 8) akan menetralkan asam dari lambung sehingga pH netral (pH 7) agar enzim pencernaan berikutnya bisa bekerja dengan optimal sampai hampir semua protein menjadi asam amino (Sizer dan Whitney, 2000). Setelah dalam bentuk molekul yang lebih sederhana ini, asam amino, protein yang terkandung dalam susunan makanan dikonsumsi dapat dimanfaatkan oleh tubuh.

2.6

Teknik Evaluasi Mutu Biologis Protein

Nilai gizi protein adalah mutu ukuran yang menunjukkan seberapa banyak dan lengkap asam-asam amino esensial dalam protein yang dimakan dapat memenuhi kebutuhan manusia. Pada prinsipnya suatu protein yang dapat menyediakan asam amino esensial dalam suatu perbandingan yang menyamai kebutuhan manusia mempunyai nilai yang tinggi (Winarno, 1997). Berikut susunan asam amino esensial untuk kebutuhan manusia berdasarkan pola FAO 1990 (Tabel 5).

Nilai gizi protein pada makanan tidak hanya ditentukan berdasarkan kadar protein yang terkandung di dalam makanan, tetapi juga ditentukan oleh daya cerna yang menentukan ketersediaan asam-asam amino secara biologis atau dapat/ tidaknya zat gizi tersebut digunakan oleh tubuh. Tidak semua protein dalam bahan pangan yang dikonsumsi dapat dihidrolisis oleh enzim-enzim pencernaan menjadi asam-asam amino. Dalam bentuk asam amino-lah protein dari susunan makanan dapat dimanfaatkan oleh tubuh.


(22)

7 Tabel 5. Susunan asam amino pola FAO

Asam amino Kadar (mg/ g protein)

Histidin 19

Isoleusin 28

Leusin 66

Lisin 58

Metionin + Sistein 25

Fenilalanin + Tirosin 63

Treonin 34

Triptofan 11

Valin 35

Sumber: FAO/ WHO (1990).

Suatu cara penilaian untuk mengetahui availabilitas protein dalam tubuh ini disebut Teknik Evaluasi Protein. Secara garis besar, metode evaluasi mutu gizi protein digolongkan menjadi dua macam. Kedua metode tersebut yaitu metode secara in vitro (secara kimia, mikrobiologis, atau enzimatis) dan metode secara in vivo (secara biologis menggunakan hewan percobaan secara utuh, termasuk manusia) (Muchtadi, 2010).

Teknik evaluasi yang mendekati pada keadaan yang sebenarnya dilakukan secara in vivo dengan menggunakan hewan percobaan, yang pada penelitian ini menggunakan tikus putih. Metode yang digunakan tentu harus dapat mengevaluasi kemampuan metabolisme suatu protein sebagaimana fungsinya, yaitu dapat meningkatkan sintesis jaringan tubuh serta memelihara jaringan dan fungsi tubuh.

Beberapa parameter yang digunakan dalam evaluasi mutu biologis protein antara lain: Protein Efficiency Ratio (PER), Net Protein Ratio (NPR), True Digestibility (TD), Biological Value (BV), dan Net Protein Utilization (NPU).

2.7

Tikus Percobaan

Tikus putih (Rattus norvegicus) merupakan spesies mamalia pertama yang didomestikasi untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Tikus putih merupakan hewan yang paling banyak digunakan sebagai hewan percobaan karena mempunyai kemampuan adaptasi yang baik dan cenderung tahan terhadap perlakuan berbagai macam penelitian. Selain itu, tikus putih juga mempunyai kesamaan secara fisiologi dengan manusia. Taksonomi tikus putih adalah sebagai berikut:

 kingdom : Animalia

 famili : Muridae

 sub famili : Murinae

 ordo : Rodentia

 sub ordo : Myomorpha

 genus : Rattus

 spesies : Rattus norvegicus (Lane dan Petter, 1976).

Terdapat lima galur tikus putih, yaitu: Sprague Dawley, Wistar, Sherman, Osborne-Mendel, dan Long Evans. Dalam penelitian ini digunakan tikus putih galur Sprague Dawley berjenis kelamin jantan, dengan perlakuan ransum berkadar protein 10% (mengacu pada standar AOAC). Pemilihan


(23)

8 hewan jantan diduga karena terdapat perbedaan hormon, sehingga hewan jantan mempunyai pertambahan bobot badan lebih cepat daripada hewan jantan yang dikebiri atau betina (Parakkasi, 1988 diacu dalam Yudi dan Parakkasi, 2005). Perbedaan hormon antar jenis kelamin berpengaruh terhadap emosional atau nafsu makan tikus percobaan. Emosional hewan betina cenderung tidak stabil.

Menurut Muchtadi (2010), keuntungan menggunakan tikus percobaan adalah biaya relatif murah, mudah dikontrol, tidak mampu memuntahkan isi perutnya karena tidak memiliki kantung empedu, dan tidak berhenti tumbuh, namun kecepatan pertumbuhannya akan menurun setelah berumur 100 hari. Secara garis besar, fungsi dan bentuk organ, proses biokimia dan proses biofisik antara tikus dan manusia memilki banyak kemiripan. Tikus percobaan juga merupakan sarana yang baik untuk memanipulasi keadaan/ perlakuan yang tidak mungkin diterapkan pada manusia. Oleh karena itu, cukup menggunakan tikus putih sebagai hewan model untuk percobaan.


(24)

III.

METODOLOGI PENELITIAN

3.1

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan selama tiga bulan (Maret s.d. Mei 2011). Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Hewan Southeast Asean Food Agricultural Science Technology Center (SEAFAST Center), Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Biokimia Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

3.2

Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian adalah tikus putih galur Sprague Dawley (sebagai hewan percobaan) dan ransum tikus percobaan. Komposisi penyusun ransum tikus terdiri atas pati jagung, campuran mineral, campuran vitamin (merk „Fitkom‟), minyak jagung, Carboximethylcelulose (CMC), kasein (protein standar) dan beberapa sampel protein uji yaitu: daging sapi (tenderloin), isolat protein kedelai, dan fruit soy bar komersial (merk „SOYJOY‟ rasa stroberi). Bahan-bahan untuk keperluan metode Kjeldahl yaitu larutan asam sulfat (H2SO4) 5% (praperlakuan untuk sampel urin), H2SO4 pekat, merkuri oksida (HgO), kalium sulfat (K2SO4), NaOH-tiosulfat, larutan indikator (metil merah 0.2 g/100 ml etanol, metil biru 0.2 g/100 ml etanol, dan indikator campuran: 2 bagian metil merah dicampurkan dengan 1 bagian metil biru), asam klorida (HCl), granula seng, dan NaOH. Selain itu, diperlukan juga bahan-bahan kimia untuk analisis proksimat.

Alat utama yang digunakan dalam penelitian adalah kandang metabolik, wadah minum, wadah pakan, botol kaca, timbangan bahan, timbangan tikus, kertas tissue, alumunium foil, refrigerator, sendok, baskom, plastik klip, plastik, vortek, drum dryer, disc mill, pengayak,seperangkat peralatan untuk metode Kjeldahl: timbangan analitik, labu Kjeldahl, labu Erlenmeyer, buret, alat pemanas dan rak, alat destilasi. Selain itu, diperlukan juga alat-alat untuk analisis proksimat.

3.3

Metode Penelitian

Penelitian ini dibagi menjadi dua tahapan, yaitu: (1) penelitian pendahuluan meliputi persiapan sampel dan analisis proksimat terhadap sampel, dan (2) penelitian utama yang terdiri atas perancangan ransum serta analisis proksimatnya, pemeliharaan tikus percobaan, dan analisis nitrogen urin dan feses tikus percobaan.

3.3.1

Penelitian Pendahuluan

3.3.1.1 Persiapan sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini meliputi sampel standar dan sampel uji. Sampel standar berupa kasein, sedangkan sampel uji berupa daging sapi, isolat protein kedelai, dan fruit soy bar komersial. Agar sampel dapat dijadikan bahan penyusun ransum tikus, maka sampel-sampel tersebut harus dalam bentuk tepung. Dari sampel-sampel tersebut, terdapat dua sampel yang masih dalam bentuk selain tepung, yaitu daging sapi dan fruit soy bar.

Kedua sampel tersebut, pertama-tama, direduksi ukurannya menggunakan mesin slicer untuk sampel fruit soy bar dan menggunakan pisau secara manual untuk sampel daging sapi. Potongan-potongan tersebut selanjutnya dibuat tepung dengan cara dikeringkan menggunakan alat drum dryer sehingga diperoleh bentuk lembaran tipis. Dalam bentuk lembaran tipis, sampel tersebut lalu digiling dengan alat disc mill sehingga diperoleh sampel dalam bentuk tepung.


(25)

10 Selama menunggu waktu analisis dan pemakaian sampel untuk pembuatan ransum, semua sampel dikemas dengan baik dalam kantung plastik polietilen, kemudian disimpan di dalam refrigerator. Hal ini bertujuan menghindari kerusakan secara kimia, fisik, atau mikrobiologis sehingga mutu sampel tetap terjaga.

3.3.1.2 Analisis proksimat sampel

Analisis proksimat sampel dilakukan untuk mengetahui kandungan gizi dari masing-masing sampel. Hasil analisis ini dijadikan sebagai dasar perhitungan dalam formulasi ransum tikus percobaan.

1) Kadar air (AOAC, 1995)

Kadar air ditentukan secara langsung dengan menggunakan oven bersuhu 1000C. Cawan aluminium dikeringkan dalam oven selama 15 menit, didinginkan dalam desikator selama 10 menit, dan selanjutnya ditimbang. Sejumlah sampel disimpan pada cawan tersebut, kemudian dimasukkan ke dalam oven selama 6 jam. Pengeringan dilakukan kembali sampai diperoleh bobot yang konstan. Berikut rumus menghitung kadar air:

Kadar Air (%) = dimana: a = berat cawan dan sampel awal (g)

b = berat cawan dan sampel kering (g) c = berat sampel awal (g)

2) Kadar abu (AOAC, 1995)

Cawan yang dipersiapkan untuk pengabuan contoh dikeringkan dalam oven selama 15 menit, lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sejumlah sampel dengan bobot tertentu dimasukkan ke dalam cawan, kemudian dibakar dalam ruang asap sampai tidak mengeluarkan asap lagi. Selanjutnya, dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400-600oC selama 4-6 jam sampai terbentuk abu berwarna putih dan memiliki bobot yang tetap. Abu beserta cawan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Kadar abu contoh dapat dihitung dengan persamaan berikut:

Kadar Abu (%) =

3) Kadar lemak (AOAC, 1995)

Semua sampel yang digunakan pada penelitian ini merupakan bahan yang tidak banyak mengandung air, sehingga sampel dapat langsung dianalisis. Labu lemak disediakan sesuai dengan ukuran alat ekstraksi soxhlet yang digunakan. Labu dikeringkan dalam oven dengan suhu 105-110oC selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang. Sejumlah sampel dengan bobot tertentu dalam kertas saring dan kemudian ditutup dengan kapas bebas lemak. Kertas saring beserta isinya dimasukkan ke dalam ekstraksi soxhlet dan dipasang pada alat kondensor. Pelarut heksana dituangkan ke dalam labu lemak secukupnya dan dilakukan refluks selama 5 jam sampai pelarut yang turun kembali menjadi bening. Pelarut yang tersisa dalam labu lemak didestilasi dan kemudian labu dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC. Setelah dikeringkan sampai mencapai bobot tetap, didinginkan dalam desikator, labu beserta lemak ditimbang. Kadar lemak contoh dapat dihitung dengan persamaan berikut:


(26)

11 Kadar Lemak (%) =

4) Kadar protein (AOAC, 1995)

Sampel sebanyak 100-250 mg dimasukkan kedalam labu Kjeldahl, ditambah dengan 1.9±0.1 g K2SO4, 40±10 mg HgO dan 3.8±0.1 ml H2SO4 pekat serta tambahkan batu didih. Sampel didestruksi hingga cairan menjadi jernih. Setelah dingin, isi labu dipindahkan ke dalam alat destilasi dan dibilas 5-6 kali dengan air destilata sebanyak 1-2 ml, kemudian ditambahkan 8-10 ml campuran larutan 60% NaOH-5% Na2S2O3. Labu tersebut disambungkan dengan alat destilasi dan kondensor yang telah dilengkapi dengan penampung yaitu labu erlenmmeyer 125 ml yang berisi larutan 5 ml H3BO3. Destilasi dilakukan sampai diperoleh volume destilat sebanyak 15 ml. Destilat dalam erlenmeyer dititrasi dengan HCl 0.02N sampai larutan berubah warna dari hijau menjadi biru. Indikator yang digunakan dalam titrasi ini adalah campuran dua bagian 0.2% metil merah dalam etanol dan satu bagian 0.2% metilen biru dalam etanol. Sebelum digunakan, HCl terlebih dahulu distandardisasi menggunakan NaOH dengan indikator fenolftalein. NaOH sebelumnya distandardisasi menggunakan larutan kaliumhidrogenftalat (KHP) dengan indikator fenolftalein. Kadar protein contoh dapat dihitung dengan persamaan:

Kadar N (%) = [ ]

Kadar Protein (%) = Total Nitrogen (%) x faktor konversi Keterangan: faktor konversi = 6.25

5) Kadar serat kasar

Sampel yang telah bebas lemak dengan metode soxhlet sebanyak ± 2 gram ditempatkan dalam erlenmeyer 600 ml lalu ditambahkan 0.5 g asbes yang telah dipijarkan dan 2 tetes zat anti buih. Selanjutnya ditambahkan 200 ml larutan H2SO4 mendidih kemudian direfluks selama 30 menit. Suspensi yang diperoleh disaring dengan menggunakan kertas saring dan residunya dicuci sampai tidak bersifat asam lagi. Residu kemudian dipindahkan secara kuantitatif ke dalam erlenmeyer lalu ditambah 200 ml NaOH dan direfluks kembali selama 30 menit sambil sesekali digoyang-goyangkan. Suspensi yang diperoleh disaring dengan menggunakan kertas saring yang telah diketahui beratnya sambil dicuci dengan K2SO4 10%, dan residunya dicuci dengan air mendidih dan alkohol 95% sebanyak ± 15 ml. Kertas saring beserta isinya dikeringkan dalam oven 110°C sampai bobotnya konstan (1-2 jam), didinginkan dalam desikator lalu ditimbang. Kadar serat kasar dapat diperoleh dengan persamaan berikut:

Kadar serat kasar (%) =

3.3.2

Penelitian Utama

3.3.2.1 Persiapan dan analisis proksimat ransum

Kebutuhan gizi tikus dapat menggambarkan kebutuhan gizi manusia. Gizi yang dimaksud yaitu karbohidrat, minyak/ lemak, protein/ asam-asam amino esensial, vitamin, mineral, dan air. Komposisi ransum yang diberikan adalah isonitrogenous dengan perhitungan berdasarkan standar AOAC (Tabel 6). Ransum dari setiap sampel yang telah tersusun selanjutnya dianalisis proksimat guna mencocokkan kesesuaian dengan komposisi standar AOAC.


(27)

12 Tabel 6. Rancangan komposisi ransum percobaan

Komponen Sumber Jumlah Perhitungan (%)

Protein Protein standar/

protein uji 10%

Lemak Minyak jagung 8% (

)

Mineral Campuran mineral 5% (

)

Vitamin Campuran vitamin 1% 1 %

Serat CMC 1% (

)

Air Air minum 5% (

)

Karbohidrat Pati jagung % sisanya 100 – (lainnya)

Sumber: AOAC (1995).

3.3.2.2 Pengelolaan tikus percobaan

Tikus percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah tikus putih galur Sprague Dawley yang berumur 4 minggu, lepas sapih, dan berjenis kelamin jantan, yang diperoleh dari Pusat Studi Biofarmaka. Pemilihan hewan jantan diduga karena terdapat perbedaan hormon, sehingga hewan jantan mempunyai pertambahan bobot badan lebih cepat daripada hewan jantan yang dikebiri atau betina (Parakkasi, 1988 diacu dalam Yudi dan Parakkasi, 2005). Jumlah tikus percobaan yang digunakan sebanyak 45 ekor.

Tikus dikandangkan secara individual dalam kandang metabolik guna memperoleh feses dan urin secara terpisah. Kandang terbuat dari stainless steel berlubang-lubang berukuran sekitar 17,5 x 23,75 x 17,5 cm. Kandang berlokasi pada ruangan dengan suhu optimum 22-24°C, kelembaban udara 50-60%, ventilasi yang cukup, namun tidak ada jendela yang terbuka, dan bebas dari kebisingan, asap industri, dan polutan lainnya. Selain itu, ruangan juga mudah dibersihkan dan disanitasi (Muchtadi, 2010).

Masa adaptasi

Masa adaptasi tikus dilakukan selama satu minggu sebelum melakukan perlakuan. Masa adaptasi berguna untuk membiasakan tikus percobaan terhadap lingkungan percobaan. Selain itu, dengan masa adaptasi dapat diketahui apakah tikus percobaan dapat terus digunakan dalam masa pengujian. Semua tikus percobaan diberi ransum protein kasein. Ransum diberikan secara ad libitum (berlebihan) untuk memberikan keleluasaan bagi tikus percobaan. Dengan demikian, dapat diketahui pola makan dari setiap tikus percobaan sebelum memasuki masa percobaan. Selama masa adaptasi ini semua tikus diberi ransum sebanyak 15 gram.


(28)

13 Seleksi dan klasifikasi

Setelah melewati masa adaptasi, seleksi terhadap tikus percobaan untuk mengetahui kondisi kesehatan tikus percobaan. Sekaligus dilakukan klasifikasi terhadap sejumlah 45 ekor tikus percobaaan tersebut ke dalam lima kelompok perlakuan berdasarkan berat badan tikus. Klasifikasi tersebut dibedakan dengan perlakuan pemberian ransum protein (Tabel 7). Variasi berat badan antar tikus dalam satu kelompok tidak melebihi 10 g, dan variasi rataan berat badan antar kelompok tidak melebihi 5 g (Muchtadi, 2010).

Tabel 7. Klasifikasi tikus perlakuan

Kelompok Tikus Perlakuan

Kasein Tikus yang diberi ransum protein kasein (standar) Daging sapi Tikus yang diberi ransum protein daging sapi

Isolat protein kedelai Tikus yang diberi ransum protein isolat protein kedelai Fruit soy bar Tikus yang diberi ransum protein fruit soy bar

Non-protein Tikus yang diberi ransum non-protein

Masa percobaan

Percobaan dilakukan selama 28 hari. Pengamatan yang dilakukan yaitu perhitungan jumlah ransum yang dikonsumsi per hari dan penimbangan berat badan per dua hari. Ransum diberikan secara ad libitum feeding, begitu pun keperluan minumnya. Selama masa adaptasi, semua tikus diberi ransum (kasein) sebanyak 15 g setiap hari per ekor dan masih terdapat sisa ransum. Dengan demikian, ditetapkan jumlah 15 g per hari ransum sesuai dengan sampel perlakuan untuk setiap ekor tikus percobaan pada awal pelaksanaan penelitian. Namun, seiring berjalan waktu, terdapat kelompok tikus yang nafsu makannya meningkat, sehingga jumlah ransum dinaikkan menjadi 20 g hingga 25 g per hari per ekor tikus percobaan.

Pengumpulan feses dan urin

Pengumpulan feses dan urin dilakukan selama 10 hari terakhir dan dilakukan setiap hari. Pengerjaan ini dilakukan seteliti mungkin sehingga diyakini tidak ada feses atau urin yang terbuang. Oleh karena itu, penampungan feses dan urin dirancang dengan sebaik mungkin (Gambar 2). Botol panampung urin diberi ± 1 ml larutan H2SO4 5% untuk mencegah penguapan amoniak. Selama percobaan urin dan feses yang dikumpulkan (terpisah untuk masing-masing tikus), selanjutnya disimpan dalam refrigerator selama menunggu akhir percobaan.

Gambar 2. Kandang metabolik

(a) Seperangkat kandang metabolik lengkap (b) Corong feses dan urin

(c) Wadah penampung feses dan urin

(a)


(29)

14 3.3.2.3 Analisis nitrogen feses dan urin

Pada akhir percobaan, dilakukan analisis kadar nitrogen dalam feses dan urin dengan menggunakan metode Kjeldahl. Sejumlah feses yang akan dianalisis dikeringkan dalam oven dan ditepungkan (digerus) terlebih dahulu. Sementara itu, sejumlah urin yang akan dianalisis tanpa ada perlakuan sebelumnya. Hal yang perlu diketahui sebelum analisis ini yaitu bobot feses kering dan volume urin. Dengan demikian, dapat diperoleh jumlah nitrogen dari feses dan urin. Jumlah nitrogen feses diperoleh dengan mengalikan angka kadar nitrogen feses dengan angka bobot feses. Begitu pula jumlah nitrogen urin diperoleh dengan mengalikan angka kadar nitrogen urin dengan angka volume urin.

3.3.2.4 Penentuan parameter mutu protein

Beberapa parameter yang ingin diketahui pada penelitian ini adalah: Feed Conversion Efficiency (FCE), Protein Efficiency Ratio (PER), Net Protein Ratio (NPR), True Digestibility (TD), Biological Value (BV), dan Net Protein Utilization (NPU).

Feed Conversion Efficiency

Penentuan nilai FCE yaitu dengan pengujian selama 28 hari. Nilai FCE diperlukan untuk semua kelompok tikus percobaan. Perhitungan FCE dilakukan dengan menggunakan rumus berikut.

FCE (%) = pertambahan berat badan (g)

jumlah ransum yang dikonsumsi (g)

Protein Efficiency Ratio

Penentuan nilai PER yaitu dengan pengujian selama 28 hari, dengan menggunakan kasein sebagai protein referensi. Perhitungan dilakukan untuk setiap ekor tikus, dan nilai rata-rata dihitung untuk tiap grup. Perhitungan PER tidak berlaku untuk kelompok tikus non-protein. Perhitungan PER dilakukan dengan menggunakan rumus berikut.

PER = jumlah protein yang dikonsumsi (g)pertambahan berat badan (g)

Nilai PER yang diperoleh dari percobaan dikoreksi sebagai berikut. PER sampel terkoreksi = P sampel

P kasein 2.5

Net Protein Ratio

Perhitungan nilai NPR dilakukan sama seperti persyaratan PER. Akan tetapi, NPR memerlukan waktu percobaan selama 10 hari dan diikutsertakan satu grup tikus yang diberi ransum non-protein untuk memperhitungkan jumlah protein yang digunakan untuk pemeliharaan tubuh. NPR dihitung berdasarkan rumus berikut.

NPR =

[pertambahan berat badan tikus grup protein uji

penurunan berat badan tikus grup non protein]

jumlah konsumsi protein yang diuji

Penurunan berat badan dihitung sebagai rata-rata dari grup tikus yang menerima ransum non-protein. NPR dihitung untuk tiap ekor tikus, dan nilainya dirata-ratakan untuk tiap grup.


(30)

15 True Digestibility, Biological Value, dan Net Protein Utilization

Penetapan nilai TD, BV, dan NPU memerlukan data feses dan urin masing-masing tikus percobaan selama percobaan berlangsung 10 hari. Berikut rumus untuk menentukan nilai-nilai tersebut.

TD (%) = yg dikonsumsi yg dikonsumsi-( feses - metabolik)

BV (%) = yg dikonsumsi yg dikonsumsi-( feses - metabolik)- ( urin - endogen)

-( feses - metabolik)

NPU (%) = yg dikonsumsi -( feses yg dikonsumsi- metabolik)- ( urin - endogen) =

3.4

Rancangan Penelitian dan Analisis Data

Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 5 perlakuan. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 5 kali. Data parameter-parameter (FCE, PER, NPR, TD, BV, dan NPU) yang diperoleh kemudian diolah dengan Analisis One-Way ANOVA untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap parameter yang diuji. Jika terdapat suatu hal yang menunjukkan perbedaan sangat nyata (p<0.01), dilakukan uji lanjut yaitu menggunakan uji jarak Duncan pada taraf 1% (menunjukkan perbedaan sangat nyata). Pengolahan data statistika ini menggunakan software pengolah data statistika yang bernama program Statistical Product and Service Solution (SPSS) Versi 16.0. Sementara itu, data selain parameter-parameter tersebut, meliputi data uji kimia (analisis proksimat) dan profil perkembangan berat badan tikus percobaan, dianalisis secara deskriptif.


(31)

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1

Analisis Proksimat Sampel

Tabel 8 menyajikan data hasil analisis proksimat semua sampel (Lampiran 1) yang digunakan pada penelitian ini. Data hasil analisis ini selanjutnya dijadikan dasar perhitungan formulasi ransum tikus yang akan digunakan dalam percobaan.

Tabel 8. Hasil analisis proksimat sampel

Sampel Kadar (% bb)

Air Abu Protein Lemak Serat

Kasein 9.89 0.74 83.40 0.15 0.12

Tepung daging sapi 6.67 4.67 77.14 9.06 0.35

Isolat protein kedelai 6.88 4.81 83.09 0.22 0.42

Tepung FSB 7.21 2.73 13.85 20.40 11.97

Berdasarkan data Tabel 8, terdapat hal yang mencolok yaitu nilai gizi yang terkandung dalam sampel tepung FSB. Tepung FSB memiliki kadar protein (13.85%) yang jauh lebih rendah, kadar lemak (20.40%) dan kadar serat (11.97%) jauh lebih tinggi daripada sampel pembanding. Hal ini wajar karena kasein dan isolat protein kedelai merupakan sampel protein murni, sedangkan tepung daging sapi merupakan komoditi yang kaya akan protein hewani dan memiliki kandungan lemak yang cukup tinggi.

Komposisi FSB terdiri atas berbagai jenis bahan, di antaranya tepung kedelai utuh, buah-buahan kering, dan margarin. Dalam hal protein, kadar protein FSB tidak setinggi kadar protein sampel pembanding (>75%). Dalam hal kadar lemak, margarin mengakibatkan kadar lemak FSB lebih tinggi. Begitu pula dalam hal kadar serat, serat FSB berasal dari tepung kedelai utuh dan dari buah-buahan kering sehingga kadar seratnya jauh lebih tinggi daripada kadar serat sampel pembanding (<1%).

4.2

Formulasi dan Analisis Proksimat Ransum

Berdasarkan hasil analisis proksimat terhadap sampel yang akan diujikan, kemudian disusun komposisi ransum mengacu pada standar AOAC. Penyusunan komposisi ransum (Lampiran 2) dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Komposisi ransum sampel (basis 1 kg ransum)

Ransum perlakuan

Komponen penyusun (g)

Sampel protein Minyak jagung Mineral mix Vitamin

mix CMC

Air minum

Pati jagung

Kasein 119.6 79.8 49.1 10.0 9.8 38.2 693.5 Daging sapi 129.7 68.2 43.9 10.0 9.5 41.3 697.4 Isolat protein kedelai 120.4 79.7 44.2 10.0 9.5 41.7 694.5

Fruit soy bar 720.7 0.0 30.3 10.0 0.0 0.0 239.0


(32)

17 Berdasarkan hasil perancangan komposisi ransum di atas, dapat dibuat masing-masing ransum perlakuan dengan cara mencampurkan semua bahan yang diperlukan sampai homogen (Gambar 3). Secara teknis, pencampuran bahan dilakukan dengan menuangkan bahan mulai dari yang paling kecil beratnya sampai yang paling besar beratnya. Setiap kali menuangkan satu jenis bahan, diaduk hingga merata, begitu pun seterusnya sampai semua bahan dicampurkan. Hasil analisis proksimat ransum (Lampiran 3) disajikan pada Tabel 10.

Gambar 3. Ransum tikus percobaan Keterangan: A : ransum kasein

B : ransum isolat protein kedelai C : ransum daging sapi

D : ransum fruit soy bar E : ransum non-protein Tabel 10. Hasil analisis proksimat ransum

Ransum Kadar (%)

Air Abu Protein Lemak

Kasein 16.35 4.21 10.92 8.32

Daging sapi 13.99 4.24 10.99 8.11

Isolat protein kedelai 14.65 4.38 11.29 8.07 Fruit soy bar 15.14 4.18 10.31 14.24

Non-protein 15.66 4.10 1.00 7.81

Tabel 10 menunjukkan nilai kadar protein ransum sampel yang relatif dekat dengan nilai standar AOAC (10%). Jadi, dapat dikatakan ransum tersebut tercampur secara homogen. Pada intinya, sejumlah ransum tersebut sudah menunjukkan kondisi isoprotein. Namun demikian, terdapat hal yang menyimpang yaitu kadar air semua sampel ransum yang terlalu tinggi. Padahal berdasarkan standar AOAC, kadar air ransum tikus percobaan sebesar 5%. Hal ini mungkin disebabkan oleh kandungan air yang terdapat dalam bahan penyusun ransum (selain bahan sumber protein), terutama yang berasal dari pati jagung (sumber karbohidrat). Selain itu, mungkin disebabkan oleh penyimpanan sampel ransum yang tidak tepat saat pra-analisis.

Data lemak ransum FSB tinggi (jauh lebih tinggi dari 8%) merupakan hal yang wajar karena untuk mencapai kadar protein sesuai standar AOAC (10%) diperlukan penyusun protein (tepung FSB) yang jauh lebih banyak jumlahnya (720.7 g/ kg ransum) dibandingkan dengan penyusun protein pada ransum sampel pembandingnya (kasein, tepung daging sapi, dan isolat protein kedelai) yaitu antara 119 – 129 g/ kg ransum. Selain itu, kadar lemak sampel FSB sendiri pun tinggi (11.97%).


(33)

18 Lain hal terjadi pada sampel ransum non-protein. Sampel ransum non-protein dinyatakan mengandung sekitar 1.00% protein. Padahal tidak terdapat sampel protein yang ditambahkan pada komposisi ransum tersebut. Hal ini diduga bahwa protein tersebut berasal dari pati jagung (maizena) sebagai sumber karbohidrat penyusun komposisi ransum. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Sediaoetama (1976) diacu dalam Tasar (2000) bahwa terdapat kandungan protein dalam maizena yang disebut zein.

4.3

Perkembangan Berat Badan dan

Feed Conversion Efficiency

(FCE)

Hasil pengamatan perkembangan berat badan tikus selama masa percobaan (Lampiran 4) disajikan pada Gambar 4 dan perbandingan nilai FCE (Lampiran 5) disajikan pada Tabel 11.

Gambar 4. Perkembangan berat badan tikus percobaan selama percobaan

Tabel 11. Perbandingan nilai FCE

Kelompok ∑ Ransum

yang dikonsumsi

∆ Berat

badan FCE (%)

Kasein 179.1 41.4 23.13d

Daging sapi 272.8 82.4 30.29e

Isolat protein kedelai 226.3 39.6 17.54c

Fruit soy bar 71.6 -2.6 -3.64b

Non-protein 115.9 -17.4 -15.21a

Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda sangat nyata (p<0.01) dengan uji jarak Duncan.

Setiap kelompok tikus percobaan memilki profil perkembangan berat badan masing-masing. Kelompok tikus yang mengalami peningkatan berat badan paling tinggi yaitu kelompok tikus yang diberikan perlakuan ransum daging sapi, selanjutnya diikuti oleh kelompok tikus yang diberikan perlakuan ransum kasein yang relatif sama peningkatan berat badannya dengan kelompok tikus yang diberi perlakuan ransum isolat protein kedelai. Sementara itu, kelompok tikus yang diberikan perlakuan ransum FSB sedikit menurun berat badannya, namun dapat dikatakan relatif tetap berat

0 20 40 60 80 100 120 140

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28

R a ta a n B e r a t B a d a n ( g )

Periode Pemeliharaan (Hari ke-)

Perkembangan Berat Badan Tikus Percobaan


(34)

19 badannya. Penurunan berat badan yang mencolok terjadi pada kelompok tikus yang diberi ransum non-protein.

Nilai FCE menerangkan korelasi antara perubahan berat tikus terhadap jumlah ransum (gram) yang dikonsumsi selama hari percobaan. Berdasarkan nilai FCE yang digambarkan pada Tabel 11, terlihat bahwa nilai FCE dari masing-masing kelompok tikus perlakuan berbeda sangat nyata (p<0.01 dengan uji jarak Duncan) berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Lampiran 6). Nilai FCE kelompok ransum daging sapi menempati posisi paling tinggi (30.29%), hal tersebut masuk akal karena jumlah konsumsi ransum kelompok ini memang paling tinggi daripada jumlah konsumsi ransum kelompok lainnya. Selain itu, protein hewani memiliki availabilitas yang tinggi di dalam tubuh. Selanjutnya diikuti oleh nilai FCE kelompok ransum kasein dan kelompok ransum isolat protein kedelai yang masing-masing bernilai 23.13% dan 17.54%. Kondisi fisik tikus percobaan tampak lincah karena kecukupan energi yang terpenuhi.

Sementara itu, nilai FCE dari kelompok ransum FSB dan kelompok ransum non-protein bernilai negatif, masing-masing bernilai -3.64% dan -15.21%. Meskipun kedua nilai FCE tersebut bernilai negatif (yang artinya mengalami penurunan berat badan selama percobaan), tetapi penyebabnya berbeda. Untuk kelompok ransum FSB, jumlah ransum yang dikonsumsi jauh lebih kecil daripada jumlah ransum yang dikonsumsi oleh keempat kelompok lainnya. Hal ini mungkin disebabkan ransum FSB itu memberikan efek cepat kenyang yang nyata bagi tikus percobaan meskipun dalam jumlah yang sedikit disebabkan oleh tingginya kandungan serat. Kelompok ini menunjukkan keadaan fisik yang lincah layaknya kelompok ransum daging sapi, isolat protein kedelai, dan kasein.

Indikasi tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan Wahjuningsih et al (2005) yang menyatakan bahwa diet serat tinggi (high fiber diet), yang berasal dari konsentrat serat kedelai, mampu menekan kenaikan berat badan tikus percobaan sekalipun jumlah konsumsi pakan kelompok tersebut relatif sama dengan jumlah konsumsi pakan kelompok lain (kelompok diet standar dan kelompok diet serat rendah). Menurut Muchtadi (2001), dengan adanya serat membutuhkan waktu mengunyah lebih lama, dan hal ini akan menstimulir ekskresi saliva (air liur) dan cairan lambung lebih banyak. Sekresi yang berlebihan ini akan menyebabkan perut merasa kenyang.

Lain halnya dengan kelompok ransum non-protein. Meskipun jumlah ransum yang dikonsumsi relatif sama tinggi dengan jumlah ransum yang dikonsumsi kelompok ransum selain kelompok ransum FSB, kelompok non-protein mengalami penurunan berat badan yang drastis. Hal ini disebabkan kelompok tersebut kekurangan zat gizi protein dimana ransum yang dikonsumsi tidak ditambahkan sumber protein. Meskipun ransum tersebut dinyatakan memiliki kadar protein 1%, protein tersebut diduga merupakan zein yang berasal dari pati jagung. Sediaoetama (1976) diacu dalam Tasar menyatakan kandungan protein dalam maizena, yaitu zein, ternyata tidak mengandung glisin atau lisin dan hanya sedikit sekali triptofan. Bila tikus percobaan muda diberi pakan yang mengandung semua zat dalam jumlah yang cukup kecuali satu-satunya jenis protein yang terdapat hanya-lah zein, maka tikus ini akan berhenti tumbuh, menjadi sakit dan selanjutnya tidak dapat hidup lama lagi.

Kekurangan asupan protein dalam ransum menyebabkan gangguan pada penyerapan dan transportasi zat-zat gizi, sehingga ransum yang dikonsumsi tidak dapat menambah massa otot, bahkan sebaliknya. Jadi, makanan yang dikonsumsi ini hanya berfungsi untuk mempertahankan hidup. Keadaan fisik tikus percobaan kelompok non-protein tampak tidak aktif.


(35)

20

4.4

Protein Efficiency Ratio

(PER) dan

Net Protein Ratio

(NPR)

Perhitungan PER diperoleh berdasarkan perbandingan antara pertambahan berat badan dan jumlah protein yang dikonsumsi. Pada hakikatnya, perhitungan PER ini hampir sama dengan perhitungan FCE, yang membedakan adalah pembaginya. Dalam PER pembaginya adalah jumlah protein yang dikonsumsi, sedangkan pada dalam FCE pembaginya adalah jumlah ransum yang dikonsumsi. Angka jumlah protein diperoleh dari 10% angka jumlah ransum. Perbandingan nilai PER disajikan dalam Gambar 5 dan Lampiran 7.

Gambar 5. Perbandingan nilai PER

Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda sangat nyata (p<0.01) dengan uji jarak Duncan.

Berdasarkan nilai PER yang digambarkan pada Gambar 5, terlihat bahwa nilai PER dari masing-masing kelompok tikus perlakuan berbeda sangat nyata (p<0.01 dengan uji jarak Duncan) berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Lampiran 8). Nilai PER menjelaskan semua protein digunakan hanya untuk pertumbuhan tubuh (Muchtadi 2010). Jika dilihat dari grafik, ada hal yang mencolok, yaitu nilai PER kelompok ransum FSB yang bernilai negatif (-0.36). Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya pada pembahasan FCE, kelompok tersebut mengalami penurunan berat badan. Menurut Sam dan Manuel (2002), beberapa studi pada hewan dan manusia yang obesitas menyatakan bahwa kedelai sebagai makanan sumber protein mempunyai efek antiobesitas yang penting bagi tubuh.

Kelompok FSB ini memiliki PER negatif berarti tidak cukup protein untuk pertumbuhan, namun mungkin hanya cukup untuk pemeliharaan tubuh (yang akan dijawab oleh nilai NPR). Pertumbuhan tubuh berarti peningkatan massa otot, dimana peningkatan massa otot hanya mungkin terjadi apabila ketersediaan campuran asam-asam amino lebih banyak dibandingkan ketersediaannya untuk pemeliharaan jaringan tubuh (Muchtadi, 2010).

Semua nilai PER sampel uji dilakukan koreksi (Lampiran 7), dengan alasan sampel kasein yang dijadikan sebagai sampel protein standar pada penelitian ini bukan merupakan kasein ANRC (Animal Nutrition Research Council). Nilai PER terkoreksi daging sapi sebesar 3.27%, isolat protein kedelai 1.90%, dan FSB -0.39%.

Nilai NPR memecahkan masalah-masalah teoritis yang terdapat dalam metode PER. Dalam PER, semua protein yang dikonsumsi dianggap hanya digunakan untuk pertumbuhan. Padahal, protein yang dikonsumsi tersebut sebagian ada yang digunakan untuk pemeliharaan (maintenance) tubuh

-1 0 1 2 3 4

2.31c

3.03d

1.75b

-0.36a

P

E

R

Protein Eficiency Ratio


(36)

21 (Muctadi, 2010). Pada penentuan parameter NPR diperlukan data penurunan berat badan yang dihitung sebagai rata-rata dari grup tikus yang menerima ransum non-protein. NPR dihitung untuk tiap ekor tikus, dan nilainya dirata-ratakan untuk tiap grup. Rataan penurunan berat badan grup non-protein pada penelitian ini sebesar 9.4 g. Gambar 6 menjelaskan perbandingan nilai NPR (Lampiran 9).

Gambar 6. Perbandingan nilai NPR

Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda sangat nyata (p<0.01) dengan uji jarak Duncan.

Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 10) menunjukkan bahwa NPR kelompok kasein tidak berbeda nyata dengan NPR kelompok daging sapi (p>0.01 dengan uji jarak Duncan), dan NPR kelompok isolat protein kedelai tidak berbeda nyata dengan NPR kelompok FSB (p>0.01 dengan uji jarak Duncan).

Salah satu hal yang menarik untuk dibahas, yaitu nilai NPR kelompok FSB. Nilai NPR kelompok ransum FSB (3.63) yang tidak berbeda nyata dengan nilai NPR kelompok ransum isolat protein kedelai (3.71) berarti bahwa ketersediaan protein pada FSB itu cukup baik untuk pemeliharaan tubuh. Hal tersebut pada kenyataannya dapat ditunjukkan dengan kondisi fisik kelompok tikus tersebut yang sehat, dengan aktivitas bergerak lincah.

Jadi, jika dikaitkan antara nilai PER dan NPR pada kelompok ransum FSB dapat dikatakan bahwa ketersediaan protein pada FSB cukup baik untuk pemeliharaan tubuh agar tetap sehat, tetapi tidak sampai menimbulkan pertambahan berat badan. Dengan demikian, FSB ini cocok bagi orang yang sedang menjalankan „program diet‟ (istilah orang awam) yang ingin tetap sehat tetapi tidak mengakibatkan bertambah berat badan.

4.5

True Digestibility

(TD),

Biological Value

(BV), dan

Net Protein Utilization

(NPU)

Nilai True Digestibility (TD), Biological Value (BV), dan Net Protein Utilization (NPU) diperoleh dengan cara mengoleksi volume urin, dan berat feses (yang telah dikeringkan) dari masing-masing kelompok tikus percobaan (Lampiran 11).

Daya cerna protein adalah jumlah fraksi nitrogen dari bahan makanan yang dapat diserap oleh tubuh. Tidak semua protein dapat dihidrolisis oleh enzim pencernaan menjadi asam-asam amino.

0

2

4

6

4.85

b

5.13

b

3.71

a

3.63

a

NPR

Net Protein Ratio


(37)

22 Daya cerna akan menentukan ketersediaan asam amino secara biologis. Daya cerna ini berarti kemampuan suatu protein untuk dihidrolisis menjadi asam-asam amino oleh enzim-enzim protease (Muchtadi, 2010). Gambar 7 menjelaskan perbandingan nilai daya cerna protein pada percobaan ini.

Gambar 7. Perbandingan nilai daya cerna protein

Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda sangat nyata (p<0.01) dengan uji jarak Duncan.

Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 12) menunjukkan bahwa TD kelompok ransum kasein tidak berbeda nyata dengan TD kelompok ransum daging sapi dan TD kelompok ransum isolat protein kedelai (p>0.01 dengan uji jarak Duncan). Ketiga nilai TD-nya bernilai lebih dari 90%. Hal ini berarti lebih dari 90% protein pada masing-masing sampel dapat dicerna oleh tubuh. Sementara itu, TD kelompok ransum FSB (52.73%) berbeda sangat nyata dengan TD kelompok lainnya (>90%) (p<0.01 dengan uji jarak Duncan). Secara verbal, angka 52.73% menunjukkan proporsi protein yang dapat dicerna oleh tubuh, atau tidak terbuang bersama feses.

Nilai biologis (BV) untuk menentukan jumlah berat nitrogen tubuh yang terbentuk dari setiap 100 bagian nitrogen yang telah diserap dari suatu makanan yang diperiksa. Nilai biologis dapat didefinisikan sebagai presentase protein terabsorpsi yang diubah menjadi protein tubuh. Semakin banyak protein yang ditahan di dalam tubuh semakin tinggi nilai biologisnya. Sejumlah protein yang telah dicerna dan diserap oleh usus tidak semuanya dapat dimanfaatkan oleh tubuh sehingga daya cerna tinggi tidak menjamin nilai biologis akan tinggi pula. Gambar 8 menjelaskan perbandingan nilai BV pada percobaan ini.

Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 12) menunjukkan bahwa BV kelompok ransum kasein tidak berbeda nyata dengan BV kelompok ransum daging sapi dan BV kelompok ransum isolat protein kedelai (p>0.01 dengan uji jarak Duncan). Sementara itu, BV kelompok ransum daging sapi tidak berbeda nyata dengan BV kelompok ransum FSB (p>0.01 dengan uji jarak Duncan). Secara verbal, nilai BV kelompok ransum FSB sebesar 76.71% memiliki arti sejumlah 76.71% nitrogen terabsorpsi oleh tubuh atau tidak terbuang bersama urin.

Suatu makanan dengan nilai BV lebih dari 65% itu dapat dikatakan baik. Semakin besar nilai BV, maka semakin kecil jumlah protein yang diubah menjadi urea (melalui proses deaminasi). Seandainya urea berlebihan dalam darah, harus dibuang melalui ginjal dalam bentuk urin. Hal ini

0

20

40

60

80

100

93.26

b

94.22

b

91.45

b

52.73

a Pro te in Dig estib il ity (% )

True Digestibility


(38)

23 mengakibatkan makin keras kerja ginjal untuk membuang urea tersebut dan membahayakan kesehatan (Muchtadi, 2010).

Gambar 8. Perbandingan nilai BV

Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda sangat nyata (p<0.01) dengan uji jarak Duncan.

Net Protein Utilization adalah cara lain yang digunakan untuk mengukur kualitas protein, yang memperhitungkan juga kecernaan protein. NPU adalah persentase protein dalam susunan makanan yang diubah menjadi protein tubuh. Menurut Hawab (2002), asam amino yang masuk ke dalam sel akan dirakit kembali menjadi makromolekul protein sesuai dengan yang dibutuhkan sel. Gambar 9 menjelaskan perbandingan nilai NPU dalam percobaan ini.

Gambar 9. Perbandingan nilai NPU

Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda sangat nyata (p<0.01) dengan uji jarak Duncan.

Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 12) menunjukkan bahwa NPU kelompok ransum kasein (84.30%) tidak berbeda nyata dengan NPU kelompok ransum daging sapi (78.81%) dan NPU

0

20

40

60

80

100

90.36

b

83.63

ab

86.30

b

76.71

a

BV

(

%)

Biological Value

Casein Beef Soy Protein Isolate Fruit Soy Bar

0

20

40

60

80

100

84.30

b

78.81

b

78.93

b

40.64

a

NP

U

(%)

Net Protein Utilization


(39)

24 kelompok ransum isolat protein kedelai (78.93%) (p>0.01 dengan uji jarak Duncan). Sementara itu, NPU kelompok ransum FSB (40.64%) berbeda sangat nyata dengan NPU kelompok lainnya (>75%) (p<0.01 dengan uji jarak Duncan). Secara verbal, angka 40.64% pada NPU kelompok ransum FSB menunjukkan sebanyak 40.64% nitrogen dikonsumsi dari susunan makanan yang dapat tertahan dalam tubuh, atau tidak terbuang bersama feses dan urin. Kecilnya nilai NPU kelompok ransum FSB disebabkan oleh daya cerna terhadap protein FSB kecil, dimana nilai NPU sendiri merupakan perkalian dari nilai TD dengan nilai BV.

Secara umum nilai gizi protein kelompok tikus FSB berbeda nyata dengan nilai gizi protein kelompok-kelompok lainnya. Hal ini wajar terjadi karena kandungan serat FSB sangat tinggi (11.97% pada sampel). Ketika penyusunan ransum pun tidak ditambahkan serat dari luar (CMC), bahkan melebihi kadar serat yang direkomendasikan AOAC yang hanya sebesar 1% dalam ransum.

Kandungan serat diduga dapat memberikan pengaruh negatif terhadap aktivitas enzim protease. Penurunan aktivitas enzim protease tersebut diduga disebabkan adanya pengikatan (interaksi) oleh serat pangan (Muchtadi 2001). Hal ini sejalan dengan penelitian Syarief et al (2000) tentang evaluasi mutu gizi produk ekstrusi dari bekatul yang menyatakan bahwa semakin bertambah proporsi serat kasar pada produk tersebut, akan semakin terhambat pencernaan protein di dalam tubuh. Akibat tingginya serat FSB adalah semakin singkat waktu transit makanan di dalam usus, lalu terbuang bersama feses sehingga jumlah nitrogen feses kelompok ini menempati posisi paling tinggi dibandingkan dengan jumlah nitrogen feses kelompok lainnya (Lampiran 11).

Selain akibat dari tingginya kandungan serat FSB, hal ini diduga karena reaksi Maillard yang terjadi saat pengolahan FSB. Muchtadi (2010) menjelaskan bahwa reaksi antara protein dengan gula-gula pereduksi, yang disebut reaksi Maillard, merupakan sumber utama menurunnya nilai gizi protein pangan selama pengolahan dan penyimpanan. Dalam bahan pangan, reaksi ini biasanya berlangsung antara gula pereduksi dengan grup amino asam-asam amino atau protein (terutama grup epsilon-amino lisin dan grup alfa-amino asam amino N-terminal).

Muchtadi (2010) menjelaskan bahwa secara umum akan terjadi penurunan ketersediaan asam amino secara biologis, termasuk leusin, suatu asam amino yang mempunyai sisi rantai yang inert secara kimia. Hal ini terjadi akibat terbentuknya suatu ikatan silang (cross-linkage) antara bermacam-macam amino, yang tahan terhadap serangan enzim protease. Ikatan silang tersebut akan mengurangi kecepatan pencernaan protein, yang mungkin dengan cara mencegah penetrasi enzim atau dengan cara menutupi sisi yang dapat diserang oleh enzim protease.


(1)

46 Lampiran 8. Hasil analisis sidik ragam parameter PER menggunakan SPSS 16.0

Oneway

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

PER Between Groups 32.010 3 10.670 231.946 .000 Within Groups .736 16 .046

Total 32.746 19

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

PER Duncan

Sample N

Subset for alpha = 0.01

1 2 3 4

FSB 5 -.3636

SPI 5 1.7538

Casein 5 2.3134

Beef 5 3.0288

Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


(2)

47 Lampiran 9. Rekapitulasi data NPR

Kelompok Kode Tikus Jml prot. intake (g) Pertambahan BB (g) NPR Rataan NPR

Kasein

A1 5.74 16 4.4251

4.8451

A2 6.49 21 4.6841

A4 6.52 28 5.7362

A6 4.42 9 4.1629

A8 6.21 23 5.2174

Daging sapi

C1 7.61 31 5.3088

5.1256

C2 8.09 37 5.7355

C6 9.63 42 5.3375

C7 8.30 28 4.5060

C9 7.89 28 4.7402

Isolat protein kedelai

B1 8.06 23 4.0199

3.7124

B2 7.45 12 2.8725

B5 7.17 20 4.1004

B6 6.96 19 4.0805

B7 7.28 16 3.4890

Fruit soy bar

D1 3.38 2 3.3728

3.6298

D3 2.47 -2 2.9960

D4 2.09 -1 4.0191

D6 2.79 2 4.0860


(3)

48 Lampiran 10. Hasil analisis sidik ragam parameter NPR menggunakan SPSS 16.0

Oneway

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

NPR Between Groups 8.850 3 2.950 10.377 .000 Within Groups 4.549 16 .284

Total 13.399 19

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

NPR Duncan

Sample N

Subset for alpha = 0.01

1 2

FSB 5 3.6298 SPI 5 3.7125

Casein 5 4.8451

Beef 5 5.1256

Sig. .809 .418

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


(4)

49 Lampiran 11. Rekapitulasi data TD, BV, dan NPU

Kelompok Kode

Tikus

N Intake (I)

N Urin (U)

N Feses

(F) TD (%)

Rataan

TD (%) BV (%)

Rataan BV (%) NPU (%) Rataan NPU (%) Kasein

A1 1.1232 0.0778 0.0906 93.91

93.26

93.49

90.36

87.80

84.30

A2 1.1872 0.1351 0.1071 92.84 88.58 82.24

A4 0.9920 0.0712 0.0736 94.80 93.41 88.56

A6 0.8752 0.1228 0.0900 92.25 85.93 79.27

A8 1.3392 0.1282 0.1223 92.51 90.40 83.63

Daging sapi

C1 1.4720 0.1776 0.0898 95.40

94.22

88.01

83.63

83.96

78.81

C2 1.5824 0.2358 0.1350 92.87 84.58 78.54

C6 1.8640 0.2770 0.1159 94.97 84.87 80.60

C7 2.1728 0.3579 0.1427 94.45 83.01 78.40

C9 1.9696 0.4198 0.1521 93.40 77.68 72.55

Isolat protein kedelai

B1 1.1472 0.1558 0.1079 92.52

91.45

86.19

86.30

79.74

78.93

B2 1.4176 0.1801 0.1518 90.85 86.73 78.79

B5 1.3632 0.2556 0.1524 90.44 80.01 72.36

B6 1.4304 0.1350 0.1558 90.65 90.30 81.85

B7 1.5344 0.1764 0.1328 92.78 88.25 81.88

Fruit soy bar

D1 0.2960 0.0481 0.1610 53.08

52.73

75.23

76.71

39.93

40.64

D3 0.3696 0.0482 0.2167 47.36 77.69 36.79

D4 0.3888 0.0597 0.1899 56.84 77.13 43.84

D6 0.3040 0.0544 0.1824 47.27 68.54 32.40


(5)

50 Lampiran 12. Hasil analisis sidik ragam parameter TD, BV, dan NPU menggunakan SPSS

Versi 16.0

Oneway

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

TD Between Groups 6092.615 3 2030.872 249.025 .000

Within Groups 130.485 16 8.155

Total 6223.100 19

BV Between Groups 493.743 3 164.581 8.861 .001 Within Groups 297.173 16 18.573

Total 790.915 19

NPU Between Groups 6109.830 3 2036.610 86.609 .000

Within Groups 376.240 16 23.515

Total 6486.069 19

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

TD Duncan

Sample N

Subset for alpha = 0.01

1 2

FSB 5 52.7340

SPI 5 91.4480

Casein 5 93.2620

Beef 5 94.2180

Sig. 1.000 .165

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


(6)

51 BV

Duncan

Sample N

Subset for alpha = 0.01

1 2

FSB 5 76.7120

Beef 5 83.6300 83.6300

SPI 5 86.2960

Casein 5 90.3620

Sig. .022 .031

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

NPU

Duncan

Sample N

Subset for alpha = 0.01

1 2

FSB 5 40.6400

Beef 5 78.8100

SPI 5 78.9240

Casein 5 84.3000

Sig. 1.000 .108