mengeluarkan statement ke media massa. Seperti yang diungkapkan oleh Informan 1 berikut :
“Yang pasti kami pasti mendokumentasikan semua kegiatan-kegiatan Kraton, baik dalam bentuk foto, kliping, ataupun film ya. Itu pasti. Karena itu, satu
memang bagian dari tugas Humas, kedua juga untuk evaluasi. Jadi kita mencoba untuk melakukan evaluasi-evaluasi apalagi dengan, hmm… bagian
dari manajemen konflik. Makanya fungsi dokumentasi semua kegiatan itu menjadi perlu.”
Terkait dengan tugas untuk memberikan statement ke media massa, walaupun memang tugas pokok Humas, tetapi terkadang Humas juga memberikan kesempatan
kepada kerabat Kraton yang lain untuk berbicara sesuai dengan kapabilitasnya. Sepanjang konflik berlangsung, yang sering dilihat di media massa adalah munculnya
statement-statement dari Humas yang banyak memberikan komentar seputar permasalahan yang sedang menghangat di kota Solo, menurut Humas hal tersebut
dilakukan sebagai cara untuk menunjukkan bahwa PB XIII Tedjowulan adalah individu yang peduli terhadap eksistensi kebudayaan kota Solo. Tetapi hal tersebut
dipandang berbeda oleh Informan 7 yang menyatakan bahwa statement tersebut keluar dari koridor kehumasan. Seperti kutipan berikut :
“Lebih banyak e.. diam tapi nimbrung. Artinya gini, dia tidak mengikuti pergolakannya atau memberikan solusi, tetapi lebih kepada nimbrung
permasalahan. Ya seperti memberi lontaran-lontaran yang kurang membuat kritik yang membangun.”
2. Ke-khas-an dalam Lembaga Humas Kraton dan Peranannya
Kraton adalah lembaga adat yang mempunyai sistem organisasi dan kepemimpinan yang berbeda dengan lembaga dan organisasi yang lain. Sehingga
dengan demikian Lembaga Humas yang dimilikinya pun mempunyai struktur serta peranan yang berbeda pula. Berdasarkan data dan fakta yang berhasil dikumpulkan
oleh Peneliti, Humas Kraton Surakarta mempunyai beberapa ciri khas yang menarik dan membedakannya dengan Humas pada lembaga lain.
Fakta menarik seputar Humas Kraton yang pertama adalah mengenai mekanisme pengangkatan Petugas Humas Kraton tersebut. Jika di lembaga lain,
seorang Humas atau PRO diangkat berdasarkan sistem kerja yang modern, dengan kata lain sesuai kinerja, prestasi, usia, dan melalui proses promosi jabatan atau
rekruitmen, di dalam Kraton, Humas diangkat berdasarkan keinginan raja atau sabda pandita ratu. Jadi, tidak ada alasan khusus atau kriteria khusus untuk bisa menjadi
Humas. Tentu saja yang terpenting adalah orang itu harus benar-benar paham dan mengerti kehidupan serta filosofi Kraton. Namun, ada juga Juru Penerang sebutan
bagi Humas sebelum masa PB XIII Hangabehi yang diangkat berdasarkan keturunan. Seperti yang dialami oleh Informan 5, beliau diangkat menjadi Juru
Penerang untuk menggantikan orangtuanya. Berikut kutipan wawancara dengan Informan 5 :
“…Jadi memang e.. terus terang yang pertama RT Taryokusumo itu orangtua saya, lha waktu KRMH Yosodipuro meninggal dunia, memang oleh Pengageng
Parentah Kraton, dulu Kanjeng Condronegoro, saya dipanggil. Tapi waktu itu saya dipanggil sebagai juru bicara atau MC Kraton, bilangnya gini dulu ‘koe tak tetepke
dadi pambiwara Kraton, nggenteni bapakmu’ saya waktu itu juga belum, belum tahu maksudnya apa, tapi sampai sekarang jujur saya dibebani atau dilimpahi tugas
sebagai Humas itu…”
Melihat statement diatas dan kenyataan bahwa raja berhak menunjuk siapa saja untuk menjadi Humas, maka akan timbul satu pertanyaan tentang keabsahan
pengangkatan tersebut. Jika di organisasi modern. Surat Keterangan SK atau Surat Pengangkatan menjadi sesuatu yang sangat penting, maka di dalam Kraton
keberadaan SK bukanlah sesuatu yang mutlak diperlukan. Bukan berarti tidak penting, hanya saja Kraton dan raja mempunyai cara tersendiri untuk mengangkat
seorang pejabat. Dawuh dhalem atau perintah langsung dari raja sudah dianggap sebagai SK
yang sah di dalam oraganisasi lembaga adat seperti Kraton. Hal ini tidak hanya berlaku di Kraton PB XIII Hangabehi tetapi juga berlaku di Kraton PB XIII
Tedjowulan. Seperti yang diungkapkan oleh Informan 2 berikut : “…Nah dengan demikian kalau ditanyakan mengenai SK pengangkatannya,
di dalam satu struktur dan sistem kekuasaan di Kraton, yang namanya SK itu bisa dalam bentuk lisan, bisa dalam bentuk tertulis. Secara tertulis itu sudah
ada dalam satu struktur yang di tandatangani langsung oleh Raja. Secara lisan itu juga merupakan dawuh bagi yang bersangkutan untuk melaksanakan
tugas-tugas kehumasan.”
Informan 1 juga memberikan penjelasan terkait masalah pengangkatan ini, berikut kutipan wawancaranya :
“…Jadi gini di kelembagaan Kraton ada yang namanya perintah atau dawuh dhalem. Dawuh dhalem itu sudah menjadi SK. Lalu yang kedua secara
kelembagaan memang kemudian di Kraton sendiri dibikin e.. lembaga kehumasan, itu ada. Dari dulu belum ada. Baru sekarang ada lembaga
kehumasan.”
Terlepas dari permasalahan kurang diperhitungkannya SK tertulis dalam kelembagaan Kraton, sistem penunjukkan secara lisan seperti itu ternyata juga cukup
efektif untuk membuat individu yang ditunjuk agar menjalankan tugas dan kewajibannya dengan baik. Faktor yang melandasi sikap kepatuhan tersebut adalah
loyalitas terhadap Kraton dan rajanya, serta perasaan tanggung jawab sebagai bagian dari Kraton. Beberapa narasumber mengatakan tidak keberatan, karena apa yang
dilakukan memang adalah tugas dari Kraton dan untuk mempertahankan Kraton. Seperti yang diungkapkan oleh Informan 3 berikut :
“…Tapi ini adalah kewajiban. Lha itu adalah bentuk salah satu cara saya untuk apa? Melestarikan dan menjaga kewibawaan Kraton. Itu Kraton itu
seperti ini.”
Perintah seorang raja merupakan hukum wajib yang harus dipatuhi. Demikian juga terkait masalah jabatan yang ada di Kraton. Mekanisme pengangkatan yang khas
tersebut, ternyata juga berpengaruh terhadap masa jabatan, ruang lingkup tugas dan struktur kelembagaan. Seperti yang diungkapkan oleh Informan 2 bahwa masa
jabatan seorang Humas tergantung pada kehendak raja. Jadi tidak ada batasan waktu yang tetap seperti pada lembaga modern. Berikut cuplikan wawancara dengan
Informan 2 : “…Kemudian e..lama menjabatnya ya sampai e.. ada perintah selanjutnya
atau ada dawuh berikutnya dari seorang raja untuk melaksanakan e.. jabatannya itu sampai kapan. Jadi tidak ada tenggat waktu bahwa ini harus
berhenti dsbnya. Semuanya tergantung dari e.. apa perintah atau kehendak dari Raja itu sendiri.”
Kehendak raja yang bersifat mutlak juga berlaku pada ruang lingkup tugas Humas yang bersangkutan. Apa yang menjadi pekerjaan atau tanggung jawab Humas
tergantung apa yang diminta oleh raja. Dalam kasus ini, Humas PB XIII Tedjowulan juga bisa bertindak sebagai wakil dari raja, jika memang dikehendaki demikian oleh
raja. Seperti yang dijelaskan oleh Informan 2 berikut :
“…dan mewakili PB XIII Tedjowulan dalam acara-acara yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah maupun lembaga-lembaga yang
mengundang PB XIII Tedjowulan. Sehingga fungsi Humas disini bukan hanya sebagai fungsi Public Relations tapi juga sebagi protokoler, juga sebagai
wakil dari Raja. Semuanya tergantung dari e.. apa perintah dan kehenak raja itu sendiri. Dan sistemnya bisa melalui sekretaris atau berdasarkan e..
perintah langsung kepada pejabat Humas tersebut. Jadi fungsinya sangat luas sekali.”
Dari keterangan diatas, tampak bahwa memang walaupun sudah berdiri sebagai lembaga yang mempunyai struktur sendiri, namun tetap saja Humas PB XIII
Tedjowulan harus menurut terhadap kewenangan raja. Inilah yang terkadang membuat kehadiran Humas PB XIII Tedjowulan, tampak seperti Humas-nya raja dan
bukan Humas-nya Kraton. Kondisi inilah yang memancing reaksi dari Informan 4 berikut ini :
“Nah ini mbak, celakanya lagi kemudian e.. ada Humasnya Gusti Tedjo, ya to? Itu kan juru bicaranya gitu. Tapi kemudian diberi label Humasnya Kraton
gitu. Ya bagi saya, bagi dunia luar, ya sah-sah saja, monggo gitu. Tapi dalam konteks kalau ditarik dari sisi kehumasan Kraton ki wis ora gathuk meneh.
Kan begitu?... Ora gathuk meneh karena yang diperjuangkan itu kepentingan- nya Gusti Tedjo. Yang saya perjuangkan bukan kepentingannya keluarganya
Gusti Mung, yang saya perjuangkan kepentingan Kraton. Kebetulan dari sisi hukum adat itu kakak-nya Gusti Mung yang menjadi raja gitu lho…”
Jika dari hasil temuan di lapangan menunjukkan Humas Kraton PB XIII Tedjowulan lebih aktif berperan dalam menangani konflik dan akibat-akibat yang
ditimbulkannya, maka kondisi yang berbeda terjadi pada Humas Kraton PB XIII Hangabehi, walaupun tidak diberdayakan secara aktif dalam menangani konflik,
beliau lebih cenderung berperan sebagai Humas budaya-nya Kraton. Selain memberikan penjelasan seputar kebudayaan Kraton, beliau juga aktif berperan
mengisi acara seminar kebudayaan di daerah-daerah serta menjadi pengajar pada
kursus pambiwara di Kraton pada malam hari. Seperti yang diungkapkan oleh Informan 4 berikut :
“Kalau pasca konflik, tetep kebudayaan masih. Dan kami e.. kan biasa diundang kemana-mana. Kebetulan kami yang berbicara tentang kebudayaan
Kraton. Saya belum pernah melihat humasnya e.. Gusti Tedjo itu bicara tentang kebudayaan ya. jadi makanya saya kadang-kadang mengatakan,
dalam konteks ini marilah kita menempatkan sebagai Humas budaya, bukan sebagai jubir-nya orang konflik gitu lho. Saya kalau diharapkan menjadi
jubir-nya orang konflik, saya tidak akan melakukan. Anda tahu, saya lebih banyak diam dan lebih tidak bicara di mass media tentang konflik, tapi kalau
ada bicara tentang budaya silakan tanya saya.”
Informan 7 juga menjelaskan seputar peranan Humas sebagai juru penerang kebudayaaan ini, sebagai berikut :
“Iya, kalau yang wetan tidak berfungsinya Humas. Karena lebih yang keluar itu lebih kepada e.. apa? Pembela hukumnya ataupun mungkin e.. malah
bidang-bidang pariwisatanya, lha ini.. atau mungkin malah pengageng sasana wilapanya.”
Peranan kedua Humas tersebut, memang tidak bisa dipandang sebelah mata. Walaupun bisa dikatakan yang satu lebih aktif daripada yang lain, seperti penjelasan
Informan 7, tetapi kedua Humas tersebut tetap menjalankan fungsinya menurut perintah yang sudah diterima sejak awal, terlepas apakah itu sebagai Humas yang
menangani konflik secara aktif ataupun sebagai Humas yang berfungsi sebagai juru penerang kebudayaan.
3. Humas dalam Manajemen Krisis