adalah dengan ikut serta berperan dalam persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat yang masih memiliki keterkaitan dengan Kraton.
Salah satu yang menjadi focus perhatian dari pihak PB XIII Tedjowulan adalah permasalahan pasar Cinderamata yang pembangunannya menimbulkan
polemic diantara pihak kedua raja tersebut. Selain itu, selama masa konflik, menurut Informan 1, pihak PB XIII Tejowulan melalui Humasnya juga menoba untuk
menangkap persoalan-persoalan apa saja yang terjadi di tengah-tengah masyarakat saat ini. Selain contoh kasus Pasar Cinderamata, kasus Radya Pustaka yang sempat
menggemparkan masyarakat Solo juga menjadi satu persoalan yang diperhatikan oleh pihak PB XIII Tedjowulan. Seperti kutipan dengan informan 1 berikut :
“Ya, setidak-tidaknya keterwakilan ya. Jadi keterwakilan itu kita masih berusaha untuk menangkap apa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Persoalan-persoalan yang ada di tengah masyarakat, memang kita coba tangkap. Contoh ketika keprihatinan masalah hilangnya arca-arca Museum
Radya Pustaka ya, kita mencoba untuk tanggap. Ikut serta secara tidak langsung, ini sebetulnya bagian dari program kerja. E… untuk
mengembalikan barang-barang yang hilang itu, apa namanya di Museum Radya Pustaka dan bagaimana membangun image terhadap museum itu
menjadi lebih baik. Kan sekarang ini lagi terpuruk. Salah satu diantaranya. Dan sebetulnya masih banyak lagi persoalan-persoalan yang kemarin kita
masuk secara langsung di tengah-tengah masyarakat.”
c. Kebudayaan
Kraton adalah lembaga adat yang sarat dengan nilai-nilai budaya adiluhung yang harus dilestarikan. Hal ini juga yang menjadi focus perhatian dan salah satu
peran yang dijalankan oleh Humas PB XIII Tedjowulan. Walaupun PB XIII Tedjowulan berkedudukan di luar tembok Kraton, kegiatan-kegiatan kebudayaan
yang menjadi rutinitas Kraton tetap dijalankan. Namun, menurut Informan 1 pelaksanaan kegiatan kebudayaan yang menjadi rutinitas Kraton tersebut memang
dilakukan dalam konteks yang lain, karena berkaitan dengan keberadaan mereka yang ada di luar. Seperti yang dijelaskan oleh Informan 1 berikut :
“Masih. Semua upacara adat masih ya. Kecuali satu-dua yang berkaitan dengan pusaka ya. Karena pusaka kita tidak pegang ya. Ada di kraton sini…
Cuma dalam konteks yang lain ya. Kalau Suro, di sini bisa ngirabke kebo, mosok saya ya meh ngirabke kebo, kan jadi lucu kan. Tapi kita buat dalam
bentuk-bentuk yang lain. Mungkin saat ini e.. kraton lebih.. lebih apa ya, lebih menitikberatkan pada tingkat peningkatan nilai-nilai spiritualitas. Jadi ketika
Suro kemarin ya, yo wis kita pake untuk berdzikir ya…”
Aktivitas dan peranan Humas PB XIII Tedjowulan dalam hal kebudayaan memang hanya sebatas pada ranah-ranah yang sederhana. Karena memang
kebudayaan Kraton dan semua upacara-upacara ritual yang ada sudah merupakan rutinitas Kraton sejak awal Kraton berdiri, sehingga tidak memerlukan lagi campur
tangan Humas yang terlalu jauh. Seperti yang diungkapkan oleh Informan 1 berikut : “Meluruskan, salah satu diantaranya. Apabila ada persoalan-persoalan yang
muncul ya, termasuk diantaranya munculnya persoalan pasar cinderamata… “Ya kita hanya menyebarluaskan informasi-informasi kepada masyarakat…”
d. Selama Konflik
Aktivitas dan peranan yang paling besar dari Humas PB XIII Tedjowulan adalah pada bagaimana usaha-usaha Humas untuk bekerja menjalankan fungsi-fungsi
kehumasannya selama masa konflik untuk tetap mempertahankan eksistensi PB XIII Tedjowulan sebagai raja yang berkedudukan di luar tembok Kraton.
Pihak PB XIII Tedjowulan sendiri, menurut pernyataan Informan 1 tetap berusaha untuk mencari penyelesaian konflik ini, dengan tetap mengedepankan citra
dan eksistensi PB XIII Tedjowulan. “Ya, berusaha untuk membantu menyelesaikan konflik itu dengan membuat
manajemen konflik ya. Tapi kalau sampai sekarang belum ya, kita hanya, mungkin bagaimana mengedepankan pencitran dan eksistensi dari Kraton
sendiri. Itu saja.”
Informan 1 juga menambahkan bahwa, Humas dalam Kraton mempunyai ke- khas-an dan perbedaan jika dibandingkan dengan Humas instansi lain. Apalagi dalam
masa konflik ini, dimana yang di-manage tidak hanya konfliknya tetapi juga manusia dan adat yang ada di dalamnya.
“…Cuma kan, perbedaannya adalah apa ya namanya di dalam kenyataannya, kalau mungkin kita bicara pada konflik kedua raja ini, ada ke-
khas-an yaitu kan disini lebih banyak me-manage tentang manajemen konflik, ketimbang PR yang sebelumnya. Lalu yang kedua, kalau kita bicara yang
lebih biasa, atau yang lebih ke-PR-an pada umumnya, bahwa di dalam PR Kraton sendiri sebetulnya kan yang dipegang adalah manusia dan adat.
Bukan sebuah struktur, beda dengan kalau PR perusahaan ya…”
Tidak bisa dipungkiri selama konflik berlangsung, keadaan baik di dalam ataupun di luar tembok Kraton sendiri tentu mengalami perubahan. Ini sebetulnya
menjadi tanggung jawab Humas untuk mengendalikan keadaan yang ada di dalam ataupun luar tembok Kraton selama konflik agar tidak muncul potensi-potensi konflik
yang lain. Tetapi tentu saja, seorang petugas Humas tidak bisa sendirian dalam menghadapi hal seperti ini. Ketika pertanyaan tersebut, ditanyakan kepada Informan
1, beliau mengatakan bahwa sebenarnya ada yang mendapat tugas seperti itu dalam
struktur pemerintahan PB XIII Tedjowulan, namun untuk informasi yang satu ini beliau tidak bisa memberikan jawaban yang sebenarnya kepada Penulis.
“E.. Ya ini ya susah jawabnya. E.. gini ya mbak, e..kalau boleh digaris besar bahwa e.. pimpinan itu kan pasti punya anak buah. Dan tentu dari sekian
banyak anak buah pasti ada yang dipercaya. Lha sehingga mungkin lebih baiknya adalah persoalan-persoalan yang panjenengan tanyakan tadi
diserahkan kepada masing-masing pembantu. Pembantu dalam hal ini adalah yang membantu pelaksanaan kegiatan sehari-hari dari kraton, e.. untuk
dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya atau tupoksinya…”
Salah satu fungsi kehumasan yang juga dijalankan Humas PB XIII Tedjowulan semasa konflik adalah forecasting, seperti yang diungkapkan oleh
Informan 1 berikut : “Iya, dampak yang timbul ya pasti ya itu, sudah jelas. Di awal kita bicara
tadi, kan nggak hanya kraton yang terkena, pemerintah dan masyarakat juga. Itu sudah menjadi hitungan kita sendiri. Forecasting kita atau konsep kita
kedepan, e.. kalau boleh mengambil bahasa komunikasi, planning kita kedepan, justru saat ini kita berpikir bagaimana menyelesaikan. Terus yang
kedua, kalau seandainya itu sudah terselesaikan, otomatis kita akan berpikir kraton kedepan. Ini yang saat ini sedang kita pikirkan. Jadi kita, karena kan
gini mbak, untuk menyelesaikan konflik kan alami ya, nggak bisa nggak, kecuali kita mencoba kekerasn ya, kita duduki dsbnya. Tapi kalau kita
mencoba secara alami, itu ka nada sebuah proses ya. Proses dimana masyarakat akan menjadi dewasa. Kalau di dalam politik kan, ada teori V ya.
Bahwa saat ini yang terjadi adalah degradasi dari Kraton ya. Kalau dulu kan Kraton dipuja-puja, ini terjadi degradasi. Degradasi di mana arahnya adalah
menuju ke bawah. Dan ini adalah sebuah proses yang harus dilakukan dijalani oleh Kraton. Sehingga pada titik tertentu dia akan balik lagi,
semacam itu. Lha ini yang terjadi. Dan samapai kapan? Lha ini yang sayangnya kita tidak bisa memprediksi secara jelas. O.. 1 tahun lagi, 2 tahun
lagi, 3 tahun lagi. Karena ini bicara adalah watak, bicara emosi, bicara psikologi, bicara manusia. Tidak bisa ditebak. Siapa yang bisa menebak
Hangabehi besok bangun tidur, o.. yo wis tak damai. Kan nggak ada yang tahu kan?”
Selain memfokuskan program kehumasan mereka dalam upaya penyelesaian konflik, Humas PB XIII Tedjowulan juga berupaya untuk mengusahakan pertemuan
damai melalui pihak ketiga yang menjadi mediator konflik tersebut. “…Jadi gini, tidak hanya direncanakan, tapi sudah dilaksanakan. Baik
melalui pihak ketiga, tertutama memang kecenderungan kita adalah melalui pihak ketiga. Soalnya kalau kita direct atau langsung tu ya susah ya. Karena
dengan situasi masing-masing bersikukuh dengan argumentasinya yang paling bener bakal susah. Kita sudah banyak melakukan mediasi. Di-mediasi,
di-mediatori baik itu oleh tokoh-tokoh Nasional ya. Jangan salah Gusdur, Amien Rais, Wiranto itu udah mencoba semua untuk mediator. Malah
terakhir pak Yusuf Kalla minta mencoba untuk menjadi mediator penyelesaian kasus ini. E.. jadi bagi kami ya, kita dari dulu sampai sekarang
kita mencoba untuk menawarkan penyelesaian konflik ini dengan jalan duduk bersama. Saya sebagai Humas selalu mengedepankan, bahwa sekali-sekali
kita mau mendengarkan…”
Dalam wawancara yang lain, Informan 1 juga menyatakan bahwa Humas berusaha untuk menciptakan pencitraan yang positif terkait dengan keberadaan PB
XIII Tedjowulan tersebut. “Seperti tadi di awal saya jelaskan, bahwa bicara konflik maka bicara
manajemen konflik. Maka tugas saya sebagai PR adalah bagaimana me- manage konflik itu dengan sebaik-baiknya, tentu untuk kepentingan kelompok
kami gitu ya, tidak bisa tidak. Tapi sebetulnya tidak berpikir pada kelompok kami, bagaimana ke-PR-an yang kami munculkan itu bisa memberi pengaruh
yang positif bagi masyarakat juga. Jadi selama ini kita mencoba untuk mengkonsep bagaimana gerak langkah Kraton yang ada di luar, atau raja
yang ada di luar Kraton ini itu memberi nilai yang positif… Jadi yang pasti kan kita berusaha untuk memberikan pencitraan yang positif kepada
masyarakat terhadap peranan atau keberadaan raja yang di luar. Banyak lah yang bisa kita lakukan, salah satu diantaranya, sebetulnya konsep ini
munculnya dari Sinuhun sendiri, PB XIII Tedjowulan, bagaimana Kraton ke depan itu mampu menjawab semua permasalahan dan tantangan di
masyarakat. Lha ini yang kami sebagai PR itu mengolah keinginan dari PB XIII Tedjowulan. Karena kan, kalau kita boleh bicara jujur, kita ini kan di
awal sudah saya katakana, yang kita manage ini adalah orang dan adat, system atau budaya… Yang jelas kami e.. apa namanya berusaha agar
pencitraan yang muncul adalah pencitraan yang positif. Sebagai contoh e..
kita mendukung segala upaya yang dilakukan pemerintah dan pelaksanaan rencana pemerintah dengan Solo World Heritage. Nah yang mana tentu
kapasitas yang kita miliki karena kita berada di luar tembok Kraton ya kita mencoba
untuk membangkitkan
kembali, menunjukkan
kembali, menumbuhkan kembali bahwa budaya Kraton atau budaya Surakarta itu
nilainya sangat tinggi. Nah karena itu, bagaimana kita nguri-uri, merawat untuk tidak menjual barang-barang pusaka, tidak menghancurkan peradaban
lama. Lha ini yang coba kita soundingkan, kita keluarkan.”
Terkait dengan masalah pencitraan, Humas PB XIII Tedjowulan juga berupaya untuk membangun image sosok PB XIII Tedjowulan di masyarakat luas
yang disesuaikan dengan karakter dari pribadi Tedjowulan sendiri. Seperti keterangan Informan 1 berikut :
“…Maka muncul-lah kemudian dalam konsep kehumasan kami, bagaimana mengubah karakter dari seorang Sinuhun Tedjowulan yang notabene adalah
seorang tentara, militer. Kita mencoba karakter yang dia miliki yang sudah ada. Kita nggak mungkin membangun sebuah karakter baru, orang karakter-
nya memang dia sudah ada. Itu memberi nilai positif dan menunjukkan bahwa sebenarnya mohon maaf ya karena posisi kami sebagai PR raja yang diluar
dan saat ini konfliknya kan bagaimana menjadikan dua raja ini menjadi satu raja kan? Ya kita wujudkan itu dalam pembentukan karakter dari Sinuhun
Tedjowulan untuk kemudian tadi image building ya tadi. Sebuah pencitraan karakter yang pertama adalah bahwa yang namanya militer itu selalu disiplin
ya, lalu karakter yang kedua yang dimiliki dalam seorang militer adalah jalur komando. Karakter yang dimiliki militer yang ketiga itu hierarki. Ya karakter
yang keempat yang dimiliki oleh seorang militer lagi adalah ketika dia mendapat belajar, itu dia mendapatkan semua pendidikan yang tidak
diberikan kepada masyarakat. Nah ini yang keunggulan-keunggulan komparasinya ini yang akan coba kita olah…”
Sesuai penjelasan di atas, program kehumasan yang dibuat oleh Humas PB XIII Tedjowulan dibuat berdasarkan karakter Tedjowulan sendiri. Tentunya untuk
memperoleh pencitraan yang positif yang berguna untuk kepentingan kelompok mereka. Citra yang dicoba untuk ditampilkan pihak PB XIII Tedjowulan, menurut
Informan 1 adalah citra jangka pendek dan jangka panjang.
“Citra itu ada atau target ada jangka pendek ada jangka panjang. Kraton target jangka pendek jelas saya harus memberikan pencitraan yang positif ya.
Terutama bagaimana kami diakui keberadaannya. Sementara jangka panjang bagaimana menyelesaikan konflik ya. Saat ini yang sudah kita upayakan dan
masih terus kita lakukan adalah pencitraan yang jangka pendek tadi ya. Untuk bukan jadi jangka pendek ya, akhirnya jadi jangka menengah. Karena
kan kalau konflik ini nggak selesai-selesai kan kita tetep harus menjaga citra kita kan? Tentu tanpa meninggalkan jangka panjangnya, bagaimana
penyelesaian konflik ini.”
2. Peranan Humas PB XIII Hangabehi a. Media