Perlindungan Hukum Bagi Notaris Selaku Pejabat Umum Dalam Menjalankan Tugasnya.

121

3. Perlindungan Hukum Bagi Notaris Selaku Pejabat Umum Dalam Menjalankan Tugasnya.

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, menyatakan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud Undang-Undang ini. Dengan kriteria sebagai pejabat umum tersebut sudah implisit dan inhaerent bahwa dalam tugasnya ia harus dilengkapi dengan kewenangan atau kekuasaan umum openbaar gezag. Salah satu contoh nyata dari hal tersebut adalah kenyataan bahwa suatu grosse akta notariat yang pada bagian atas memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa” mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan Putusan Hakim yang telah berkekuatan hukum tetap inkracht van gewijsde. Perlindungan hukum bagi notaris, penulis masih menganggap perlu karena belum adanya sosialisasi bagi masyarakat dan pejabatpejabat serta instansi terkait, tentang hakekat dan kedudukan notaris selaku pejabat umum karena masih sering terjadi dalam praktek sehari-hari adanya tindakan-tindakan yang merugikan terhadap diri notaris dalam kaitan dengan tugasnya sebagai pejabat umum. Sehingga perlu dijamin adanya rasa aman dan tenang bagi notaris dalam Universita Sumatera Utara 122 menjalankan profesinya. Rasa aman dan tenang akan ada bilamana diberikan perlindungan hukum secukupnya bagi notaris sebagai pejabat umum. Notaris diangkat oleh negara dan bekerja untuk negara walaupun notaris bukan merupakan pegawai negeri yang menerima gaji dari negara. Kewenangan atau kekuasaan umum pada hakekatnya merupakan sifat dari fungsi publik yang ada pada penguasa yang mengikat masyarakat umum dan karenanya apat dikatakan bahwa tugas Notaris adalah menjalankan pelayanan publik public service dibidang pelayanan pembuatan akta dan tugas lain yang dibebankan padanya yang melekat dengan predikat sebagai pejabat umum dalam ruang lingkup dibidang jasa Notaris. Dengan perkataan lain, tugas Notaris adalah bersifat fungsi publik tetapi objek tugasnya adalah bersifat hukum keperdataan yang khusus. 99 Tanggung jawab dari segi hukum Perdata ini timbul karena adanya perjanjian pekerjaan antara Notaris dan klien, seperti disebutkan dalam Pasal 1868 KUHPerdata yang secara khusus pelaksanaannya diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris serta Pasal 1909 ayat 3 KUHPerdata. Dilihat dari Hukum Fiskal, sebagian besar 99 Paulus Effendi Lotulung, Perlindungan Hukum Bagi Notaris Selak Peejabat Umum Dalam Menjalankan Tugasnya, Makalah yang disampaikan dalam Kongres XVII INI, Jakarta, 25-26 Nopember 1999, Hal 100 Universita Sumatera Utara 123 tanggung jawab Notaris danatau PPAT terletak pada kedudukannya sebagai Wajib Pungut, terutama dalam penggunaan Withholding System. Universita Sumatera Utara 124

BAB IV HAMBATAN-HAMBATAN YANG DIHADAPI DALAM

PENGENAAN PPH DAN BPHTB TERHADAP TRANSAKSI LEASING TANAH DAN BANGUNAN

A. Kepastian Hukum Dalam Perpajakan.

Hukum adalah tata aturan order sebagai suatu sistem aturan- aturan rules tentang perilaku manusia. Dengan demikian hukum tidak menunjuk pada suatu aturan tunggal rul, tetapi seperangkat aturan ruls yang memiliki suatu kesatuan sehingga dapat dipahami sebagai suatu sistem. Konsekuensinya, adalah tidak mungkin memahami hukum jika hanya memperhatikan satu aturan saja. Pernyataan bahwa hukum adalah suatu tata aturan tentang perilaku manusia tidak berarti bahwa tata hukum legal order hanya terkait dengan perilaku manusia, tetapi juga dengan kondisi tertentu yang terkait dengan perilaku manusia. 100 Pada dasarnya prinsip kepastian hukum menekankan pada penegakan hukum yang berdasarkan pembuktian secara formil, artinya suatu perbuatan baru dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hanya jika melanggar aturan tertulis tertentu. Sebaliknya menurut prinsip keadilan, perbuatan yang tidak wajar, tercela, melanggar kepatutan dan sebagainya 100 Jimly Asshiddiqie, dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, hlm. 14 Universita Sumatera Utara 125 dapat dianggap sebagai pelanggaran demi tegaknya keadilan meskipun secara formal tidak ada undang-undang yang melarangnya. Dilema antara penegakan hukum yang mengedepankan pada prinsip kepastian hukum ataukah rasa keadilan merupakan persoalan yang sudah ada sejak lama. Keduanya sama-sama ada di dalam konsepsi Negara Hukum. 101 Kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum tidak akan terlepas dari fungsi hukum itu sendiri. Fungsi hukum yang terpenting itu adalah tercapainya keteraturan dalam kehidupan manusian dalam masyarakat. Keteraturan ini yang menyebabkan orang dapat hidup dengan berkepastian, artinya orang dapat mengadakan kegiatan-kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat karena ia dapat mengadakan perhitungan atau prediksi tentang apa yang akan terjadi atau atau apa yang bisa diharapkan. 102 Kepastian hukum akan tercapai apabila kata dan kalimat wording undang-undang tersusun sedemikian jelasnya sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda. Baik wording maupun semangat spirit undang- undang tidak boleh menimbulkan penafsiran yang berbeda ambiguous, jika kepastian hukum hendak dicapai. Asas hierarki yang mengatakan 101 Fajar Laksono, Ed., Hukum Tak Kunjung Tegak: Tebaran Gagasan Otentik Mahfud MD, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007, hlm. 91 102 Budiman Ginting, Kepastian Hukum Dan Implikasinya Terhadap Pertumbuhan Investasi Di Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Investasi Pada Fakultas Hukum FH USU, Medan, 2008, hlm.2 Universita Sumatera Utara 126 bahwa peraturan pelaksanaan pada tingkat yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, ikut mendukung tercapainya kepastian hukum. 103 Contoh kepastian hukum dalam sistem perpajakan dewasa ini yang berhubungan dengan hak Wajib Pajak untuk mendapatkan jawaban atas permohonan pembayaran kembali kelebihan bayar pajak. Seorang wajib pajak yang dalam SPT Tahunan PPh menyatakan lebih bayar jumlah pajak yang telah dibayarnya, dan sekaligus memohon agar jumlah lebih bayar tersebut secara tunai dikembalikan kepadanya restitusi. Direktur Jendral Pajak Dirjen Pajak berkewajiban memberi keputusan terhadap permohonan wajib pajak tersebut. Jika dalam jangka waktu 12 bulan sejak diterimanya permohonan tersebut Dirjen Pajak tidak memberi suatu keputusan, maka permohonan kelebihan pembayaran pajak tersebut berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 tahun 2008 jo. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang nomor 6 Tahun 1983 103 Ibid, hlm. 131. Universita Sumatera Utara 127 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Ketentuan Umum Perpajakan, demi kepastian hukum, dianggap dikabulkan. 104 Tanpa adanya prosedur yang jelas, maka Wajib Pajak akan sulit untuk menjalankan kewajiban serta haknya, dan bagi fiskus akan kesulitan untuk mengawasi pelaksanaan kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak juga dalam melayani hak-hak Wajib Pajak. 105 Menurut Rochmat Soemitro, untuk memberikan kepastian hukum dalam pajak maka perlu diperhatikan beberapa faktor yaitu: 106 a. Materi Obyek Mengenai materiobyek harus diuraikan secara jelas dan tegas, sehingga tidak memberi kesempatan kepada pihak manapun memberi interpretasi lain. b. Subjek yang tersangkut, tempat dan waktu Subjek yang tersangkut diuraikan secara tegas dengan menyebutkan kualifikasi, sifat, tempat dan ciri-ciri dan waktu, subyek dan obyek harus didefenisikan sedemikian rupa sehingga tidak mungkin diinterpetasikan lain, sebab kalau masih ditafsirkan lain maka akan terjadi bahwa subjek atau objek yang tercakup dalam defenisi mungkin dimasukkan didalamnya, hal ini berakibat bahwa hal-hal yang semula tidak dikenakan pajak menjadi hal yang dikenakan pajak. c. Pendefenisian Pendefenisian adalah sesuatu yang dapat dilakukan dengan jelas bila didalamnya tercakup unsur-unsur dan ciri-ciri dari hal yang akan didefenisikan untuk memberikan kepastian hukum. 104 Arfina Dina, Kajian Hukum Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Dan Pajak Penghasilan Final Pengalihan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Dalam Transaksi BOT Built Operate And Transfer ,Medan: Tesis, 2014, hlm. 98. 105 Ibid. 106 Rochmat Soemitro, Asas-Asas Hukum Pepajakan, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1991, hal 16 Universita Sumatera Utara 128 d. Penyempitanperluasan Penyempitan dan perluasan materi yang menjadi sasaran pajak harus dilakukan dalam Undang-Unang sendiri, hal ini untuk kepentingan kepastian hukum, Penyempitan dan perluasan materi sama sekali tidak dibenarkan jika dilakukan dengan peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang atau dilakukan dalam memori penjelasan. e. Ruang lingkup Daya mengikat dari suatu ketentuan Undang-Undang tidak saja ditentukan oleh materinya, tetapi juga oleh tempat dan waktunya. Pada umumnya Undang-Undang Negara berlaku untuk seluruh wilayah Negara, tetapi ada yangberlaku untuk sebagian wilayah Negara saja. f. Penggunaan bahasa hukum dan penggunaan istilah yang baku Bahasa hukum adalah bahasa yang mempunyai sifat yang khas yang harus tunduk kepada norma bahasa Indonesia yang harus singkat, jelas, tegas tanpa mengandung unsur keragu-raguan dan tanpa mengandung arti ganda. Agar negara dapat mengenakan pajak kepada warganya atau kepada orang pribadi atau badan lain yang bukan warganya, tetapi mempunyai keterkaitan dengan negara tersebut, tentu saja harus ada ketentuan-ketentuan yang mengaturnya. Sebagai contoh di Indonesia, secara tegas dinyatakan dalam Pasal 23 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 bahwa “segala pajak untuk keuangan negara ditetapkan berdasarkan undang-undang. Untuk dapat menyusun suatu undang-undang perpajakan, diperlukan asas-asas atau dasar-dasar yang akan dijadikan landasan oleh negara untuk mengenakan pajak.” Universita Sumatera Utara 129 Salah satu bentuk ketidakpastian hukum dalam perpajakan adanya berbagai peraturan pelaksanaan undang-undang yang sering kali tidak konsisten dengan undang-undangnya. Undang-Undang Perpajakan Tax Low adalah seperangkat peraturan perpajakan yan terdiri dari undang- undang beserta peraturan pelaksanaannya. Konsistesi dan kejelasan antara undang-undang perpajakan dan peraturan di bawahnya haruslah dijaga dengan baik, agar tidak menimbulkan ambigu yang pada akhirnya akan membingungkan wajib pajak. Ketidak jelasan peraturan akan menjadi salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat kepatuhan wajib pajak. 107 Perlakuan pajak atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah danatau bangunan telah mengalami perubahan sejak diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah DanAtau Bangunan sampai yang terakhir yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 1999 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan 107 Haula Rosdiana, dan Edi Slamet Irianto, Panduan Lengkap Tata Cara Perpajakan di Indonesia, Jakarta: Visimedia, 2011, hlm. 53. Universita Sumatera Utara 130 Dari Pengalihan Hak Atas Tanah DanAtau Bangunan, khususnya yang menyangkut orang pribadi. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayar Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah DanAtau Bangunan, orang pribadi yang melakukan pengalihan hak atas tanah danatau bangunan dikenai PPh final sebesar 5 dari jumlah bruto. 108 Perlakuan PPh ini kemudian diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah DanAtau Bangunan, yang membedakan antara orang pribadi yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah danatau bangunan, dengan orang pribadi selain yang mempunyai usaha tersebut. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996 tentang perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak 108 Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah DanAtau Bangunan, Pasal 4 ayat 1. Universita Sumatera Utara 131 Atas Tanah DanAtau Bangunan, mengenai PPh final diterapkan terhadap: 109 a. Orang Pribadi yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah danatau bangunan, dan, b. Orang pribadi yang mempunyai penghasilan diatas PTKP, yang melakukan Pengalihan hak dengan nilai kurang dari Rp. 60 juta. Dengan demikian, apabila seorang wajib pajak orang pribadi yang usaha pokoknya bukan menjual hak atas tanah danatau bangunan, maka keuntungan dari pengalihan tersebut akan dikenakan PPh dengan tarif umum. Perlakuan ini sama dengan ketentuan dari Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 1999 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah DanAtau Bangunan. Perlakuan PPh terhadap orang pribadi yang usaha pokoknya bukan jual beli hak atas tanah danatau bangunan memperoleh perlakuan yang kurang adil bila dibandingkan dengan orang pribadi yang mempunyai usaha pengalihan hak atas tanah danatau bangunan. 109 Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah DanAtau Bangunan, Pasal 8. Universita Sumatera Utara 132 Pengenaan PPh yang tidak final berarti bahwa PPh yang disetor sebesar 5 dari nilai pengalihan merupakan pembayaran pendahuluan dari seluruh PPh yang terutang dalam tahun yang bersangkutan. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah DanAtau Bangunan kemudian diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 1999 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Nomor 48 Tahun 1994 Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah DanAytau Bangunan, yang sepanjang menyangkut orang pribadi, memberi penegasan bahwa wajib pajak orang pribadi yang usaha pokoknya bukan dari jual beli hak atas tanah danatau bangunan, keuntungan dari pengalihan dimaksud dikenai pajak tetapi tidak final. Ketidak seragaman pengaturan dalam Peraturan perundang- undangan dan ketidak sepahaman atau adanya multitafsir dari aparatur Pemerintah Daerah juga sering menjadikan faktor kesulitan dalam pelaksanaan pembangunan fasilitas umum dengan kontrak leasing tanah dan bangunan adan akibatnya akan berpengaruh terhadap pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan BPHTB. Dalam ketentuan Universita Sumatera Utara 133 Pasal 85 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah UU PDRD tidak ada pengaturan tentang leasing tanah dan bangunan sebagai objek pajak, berdasarkan bunyi Pasal ini maka leasing tanah dan bangunan tidak terutang pajak BPHTB. Sedangkan PPH final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi leasing tanah dan bangunan dikenakan pajakterutang pajak, sebagaimana diatur dalam ketentuan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 635KMK.041994 tentang Pelaksanaan Pembayaran Dan Pemungutan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah danatau Bangunan sebagaimana diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243PMK.032008 tentang Perubahan Keduan Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 635KMK.041994 Tentang Pelaksanaan Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah DanAtau Bangunan. Dalam permasalahan leasing tanah dan banguanan maka kepastian hukum dalam perpajakan sangat dibutuhkan untuk mengetahui hutang pajak bagi para pihak yang melaksanakan transaksi leasing tanah dan bangunan. Karena ketidakjelasan dalam penentuan BPHTB pada transaksi leasing tanah dan bangunan menimbulkan penafsiran ganda terhadap akta yang digunakan sebagai penentu telah terjadinya perolehan hak atas tanah Universita Sumatera Utara 134 dan bangunan. Dalam praktek akta yang dimaksud adalah akta legaat yang dibuat notaris, karena melalui penandatanganan akta tersebut kemudian terjadi perolehan hak dari pihak lessor kepada lessee yang kemudian harus ditindak lanjuti dengan pembayaran BPHTB jika dalam leasing menggunakan transaksi finance lease dengan hak opsi dan sale and lease back. B. Pemungutan Pajak Berdasarkan Mekanisme Hukum 1. Dasar Hukum Pemungutan Pajak Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Unsur defenisi pajak sangat penting adalah bahwa Pajak harus ditetapkan berdasarkan Undang-Undang, pemungutan pajak tidak bisa dilakukan secara serampangan namun harus ada kriteria-kriteria yang ditetapkan sebelumnya, tentunya kriteria tersebut ditetapkan oleh otoriitas publik made by public authorities dalam bentuk peraturan perundang- undangan. 110 Ketentuan bahwa pajak harus dipungut berdasarkan Peraturan atau undang-undang merupakan suatu hal yang mutlak.The New Encyclopedia Britannica mencatat bahwa dalam sejarah pajak pernah menjadi subjek 110 Haula Rosdiana, Rasin Tarigan, Perpajakan Teori dan Aplikasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005, hal 65. Universita Sumatera Utara 135 kontroversi politik yang bahkan menyebabkan revolusi. A famous instance is the rebellion of the American colonies against Great Britain when the colonies refused to pay taxes imposed by a parliament in which they had no voice; hence the slogan, “No taxation without Representation. 111 Kutipan tersebut menunjukkan bahwa belajar dari pengalaman dalam sejarah, pajak seharusnya bukan saja harus dipungut berdasarkan peraturan undang-undang, tetapi lebih mendasar lagi, bahwa dalam merumuskan atau menentukan peraturan undang-undang pajak tersebut, aspirasi masyarakat harus terwakili, paling tidak melalui wakilnya di Badan legislatif. Hukum pajak merupakan keseluruhan peraturan yang meliputi kewenangan pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat melalui kas Negara. Oleh karena itu, hukum pajak merupakan bagian dari hukum publik, yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara Negara dan orang-orang atau badan hukum yang berkewajiban membayar pajak. 112 Mansury mendefinisikan hukum pajak sebagai keseluruhan peraturan yang meliputi kewenangan pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan 111 The New Encyclopedia Britannica, Volume 28, London: Encyclopedia Britannica Inc, hlm 410. 112 Santoso Brotodihardjo, Op Cit, hlm 1 Universita Sumatera Utara 136 menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui kas Negara. 113 Pajak merupakan masalah keuangan dan Indonesia adalah Negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka dasar yang digunakan pemerintah untuk mengatur masalah keuangan adalah Pasal 23 A Amandemen UUD 1945 pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa diatur dengan undang-undang. 114

2. Dasar Hukum Pemungutan PPH Final PHTB Dalam Transaksi Leasing