Perkawinan dalam Adat Bali

orang tersebut yaitu, persepsi, sikap dan perasaan yang dimiliki oleh seseorang tersebut dalam memandang dunia yang dimilikinya. Pengalaman perkawinan merupakan dunia yang didasari oleh suatu yang dialami, dirasai, dan dijalani seseorang dalam suatu ikatan lahir batin antara dirinya dan pasangannya dengan melibatkan anak, mertua, saudara, keluarga besar serta masyarakat yang lebih luas lagi.

2. Perkawinan dalam Adat Bali

Masyarakat di Indonesia terikat dalam hukum nasional dan hukum adat. Hukum adat dapat diatur berdasarkan dengan kebijakan dari tiap daerah. Hal ini juga berlaku di Bali. Masyarakat Bali memiliki nilai-nilai sosial budaya dan kepercayaan yang berdasarkan pada ajaran agama Hindu Kusumajaya, 1999; Paramadnyaksa, 2009. Menurut sosiologi agama, agama menciptakan suatu ikatan bersama yang dapat mempersatukan anggota-anggota masyarakat dalam memenuhi kewajiban-kewajiban sosialnya. Hal ini pula yang menjadi dasar pengaturan masyarakat Bali Nottingham, 2002. Hukum adat Bali memiliki tiga hal pokok yang menjadi konsep dasar dari hukum adat Bali yaitu Tri Hita Karana Setia, 2005; Wati, 2008; Artadi, 2012. Konsep ini antara lain upaya untuk menyeimbangkan hubungan antara manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan antara manusia dengan alam. Hal ini merupakan penuangan dari falsafah agama hindu yang begitu mendalam mewarnai kehidupan masyarakat Bali dalam upaya untuk dapat mengendalikan ketimpangan masyarakatnya Subadra, dkk, 2006; Artadi, 2012. Dalam hukum adat Bali terdapat wadah yang berfungsi untuk mengorganisir masyarakat secara bulat yang disebut dengan desa adat. Desa adat terbagi dalam konsep banjar-banjar yang terbungkus oleh sarana keagamaan yang menjadi sumber kewajiban dan hak-hak yang mengatur masyarakat didalamnya. Dalam hubungan antar warga desa ini, terdapat aturan-aturan yang tertuang ke dalam awig-awig. Awig-awig mengatur batas pekarangan, pitra yadnya kegiatan keagamaan di tempat persembahyangan desa, penataan kebiasaan pergaulan hidup yang berupa tata susila, sopan santun dalam pergaulan seperti halnya cara bertegur sapa hingga tolong menolong. Aturan-aturan ini ditaati secara turun temurun dan perlu dilaksanakan sebagai pegangan tanpa adanya paksaan dari siapapun Artadi, 2012. Awig-awig ini berfungsi untuk mempererat ikatan menyama braya persaudaraan diantara masyarakat Bali. Masyarakat yang sudah menikah akan dihadapkan dengan kerja adat yang biasa disebut dengan ngayah dan nguopin. Ngayah merupakan kegiatan gotong royong karma banjar adat dalam berbagai kegiatan mulai dari ritual keagamaan hingga masalah sosial kemasyarakatan dan masyarakat yang terlibat tidak mendapatkan upah Setia, 2008. Menurut Dharmapatni 2012, nguopin hampir sama dengan ngayah hanya saja nguopin dalam skala yang lebih kecil yaitu lingkungan rumah atau keluarga dan biasanya dilakukan oleh para wanita dalam suatu banjar. Kegiatan tersebut mengurus mulai dari perkawinan, kelahiran hingga kematian. Krama banjar adat yang tidak ikut serta dalam kegiatan ngayah akan mendapatkan sanksi berupa denda namun besarnya tidak seragam di masing-masing banjar adat. Jenis ngayah antara lain memperbaiki lingkungan, bekerja menyiapkan sarana upacara, menjenguk dan mengantar ke kuburan saat ada kematian dan lain-lain. Namun hal yang menjadi titik berat disini, warga banjar bukannya takut membayar denda melainkan berapa kali sudah kena denda. Hal ini berkaitan dengan semakin banyak tidak ikut serta dalam kegiatan ngayah maka semakin besar sanksi sosial yang akan diterimanya. Sanksi tersebut seperti pelaksanaan perkawinan tidak dibantu oleh banjar Setia, 2008; Artadi, 2012. Kegiatan ngayah dan nguopin bermanfaat untuk memupuk rasa tolong menolong antara masyarakat. Kegiatan ini tetap berlangsung karena adanya rasa balas budi. Jika sebelumnya sudah pernah dibantu maka yang bersangkutan membantu ketika ada upacara. Selain itu, kegiatan ini bertujuan untuk memenuhi kewajiban sosialnya. Dalam kegiatan ini diharapkan warga banjar memiliki kesadaran akan perannya sebagai warga banjar dan mengerti akan tugas yang harus dilakukannya Dharmapatni, 2012. Perkawinan yang biasa dilangsungkan oleh warga masyarakat adat Bali adalah perkawinan yang dilangsungkan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Masyarakat adat di Bali menganut sistem kekeluargaan patrilineal atau kebapaan yang lebih dikenal luas dalam masyarakat Bali dengan istilah kapurusa atau purusa. Pihak perempuan meninggalkan rurmahnya untuk melangsungkan upacara perkawinan ditempat kediaman suaminya dan kemudian bertanggung jawab penuh meneruskan kewajiban swadharma orang tua serta leluhur suaminya secara sekala alam nyata maupun niskala alam gaib. Tujuan perkawinan menurut ajaran Hindu adalah untuk mendapatkan anak keturunan yang berguna untuk menebus dosa-dosa orang tuanya. Anak diumpamakan sebagai perahu yang akan mengantar seseorang atau roh yang sedang menderita di neraka dan bertugas untuk menyelamatkan roh tersebut dari penderitaan seperti yang diuraikan pada pasal 161 Buku IX Manawa Dharmasastra Ngurah, 2009; Swastika, 2010. Dalam setiap keluarga atau rumah tangga, kelahiran anak yang Suputra merupakan dambaan utama. Suputra berarti anak yang baik, dalam hal ini adalah anak yang berbhakti kepada orang tua dan leluhurnya. Memperoleh keturunan merupakan tuntutan demi kelangsungan hidup dan kehidupan suatu keluarga, baik secara biologis dan atau secara adat, budaya, dan agama Swastika, 2010. Keluarga yang dibentuk melalui perkawinan diharapkan menjadi keluarga yang dibina atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi hajat spiritual dan material secara layak dan seimbang. Diliputi suasana kasih sayang antara anggota keluarga dan lingkungannya dengan selaras, serasi, harmonis serta mampu mengamalkan, menghayati dan memperdalam serta melaksanakan nilai-nilai sradha dan bhakti Swastika, 2010. Dalam ajaran agama Hindu, sangat disalahkan jika terdapat perasaan berkorban dan dikorbankan. Semuanya adalah suatu pengabdian. Sangat keliru jika orang tua merasa berkorban untuk anaknya, begitupula sebaliknya. Seorang suami sangat keliru jika merasa berkorban dan terpaksa melakukan sesuatu untuk istri serta anaknya. Pada dasarnya semua pihak sadar dan paham bahwa semua yang dilakukan merupakan kewajiban pengabdian dengan jalinan kasih sayang diantara sesama anggota keluarga dan pelakasanaan amanat dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa Swastika, 2010.

C. Kerangka Penelitian