88
berkesan high-tech sehingga memberi kesan bahwa gereja ini adalah gereja yang dikhususkan bagi anak muda perkotaan yang akrab dengan kecanggihan
teknologi. Sementara itu, GBI Glow FC mencantumkan banyak foto dari gembala sidangnya yang menampakkan bahwa sang gembala sidang adalah pusat dari
semua aktivitas pelayanan GBI Glow FC. Bahkan dapat dikatakan bahwa gereja ini adalah tentang dirinya.
4. Identitas Virtual: Anonimitas, Multiplisitas, dan Avatar.
Dalam website GBI Glow FC, tersedia sebuah layanan live chat counseling antara pengunjung dengan pihak GBI Glow FC. Dengan layanan ini,
para pengunjung dapat melakukan konseling langsung dengan pihak GBI Glow FC dalam 24 jam. Percakapan dilakukan tanpa tatap muka, tanpa berbicara dan
mendengar, hanya dengan chatting yang difasilitasi oleh jaringan internet. Hal yang menarik adalah prinsip konseling ini adalah anonim, yaitu masing-masing
pihak, baik konseli dan konselor, tidak memperkenalkan diri dan menyebutkan identitas masing-masing. Pembicaraan akan berlangsung terus tanpa sesama pihak
mengetahui identitas lawan bicaranya. Menurut pengakuan dari pengelola situs, anonim menjadi prosedur standar dalam live chat counseling. Mereka beralasan
bahwa dengan anonim, konseli dapat lebih bebas untuk mengkisahkan banyak hal seputar permasalahan kehidupannya kepada konselor. Mereka menjadi lebih
percaya diri dan tidak ragu untuk bercerita hal yang buruk bahkan aib yang telah dilakukannya. Sementara itu, pihak konselor pun menganonimkan dirinya dengan
tujuan agar tidak terjadi hubungan yang lebih lanjut antara dirinya dengan konseli yang telah bercerita panjang lebar tentang masalahnya. Menurut penanggung
89
jawab IT dari GBI Glow FC, tak dapat dipungkiri bahwa ikatan emosional bisa saja terjadi ketika percakapan terjadi dan dapat berlanjut ke dalam kehidupan
nyata dan dapat mengganggu proses konseling yang sesungguhnya. Ia mengatakan, ”Seringkali terjadi bahwa pihak konseli merasa nyaman dengan
konselor tertentu yang memberikan jawaban-jawaban yang tepat dan menjadi jawaban atas permasalahan yang dihadapi oleh konseli. Beberapa kali terjadi,
tentu saja bukan di gereja ini, si konseli mengetahui identitas konselornya sehingga kemudian menghubungi si konselor terus menerus. Demikian juga
sebaliknya bisa terjadi. Kalau sudah begini, biasanya ada rasa sayang yang dapat menjerumuskan keduanya ke dalam perzinahan. Oleh karena itu, kita
melarang setidaknya si konselor untuk menyebutkan identitasnya pada saat live chat counseling. Itu sudah jelas tercatat dalam SOP layanan ini.
” Identitas yang tersembunyi seperti ini menjadi sebuah konsekuensi baru
yang muncul dalam zaman internet. Konektivitas yang terjadi di ruang maya memungkinkan setiap orang untuk menyembunyikan identitasnya. Jika dilihat
dalam berbagai forum di internet, termasuk forum-forum Kristen, banyak pengguna yang masuk dan aktif di dalam ruang itu menggunakan nama samaran
yang bertujuan memalsukan identitasnya. Dengan identitas yang kabur ini, mereka justru menjadi sangat aktif terlibat dalam pembicaraan-pembicaraan
teologis. Fenomena lainnya yang penulis jumpai adalah banyaknya orang yang
mengikuti akun sosial media dari seorang gembala sidang, tetapi ia bukan jemaat di gereja tempat gembala sidang memimpin. Penulis bertanya kepada seorang
informan penulis mengenai hal ini dan menemukan bahwa orang-orang ini telah
90
memiliki jemaatnya masing-masing dan tidak ingin bermigrasi ke gereja lain walau ia sangat mengagumi sang gembala sidang. Ia mengatakan bahwa ia selalu
mengikuti khotbah dan siraman rohani dari pendeta ini setiap harinya karena ia merasa bahwa perkataan dari pendeta ini dapat menguatkan dirinya.
4
Menurut Anthony Giddens, identitas merupakan sesuatu yang lunak dan dapat dibentuk, bukannya sesuatu yang pasti.
5
Identitas ini mengalami pembentukan dalam situasi dan konteks sosial yang berbeda-beda. Oleh karena
itu, dalam dunia komunikasi yang diperantarai oleh internet, sangat mungkin ditemukan identitas yang berlapis dari seseorang, bahkan juga kedirian yang
berlapis.
6
Para pengguna internet dapat berada di beberapa tempat sekaligus dalam konteks yang berbeda di waktu yang bersamaan. Identitas pun terkonstruksi
dalam permainan masuk dan keluar dari satu situs ke situs lainnya yang berbeda satu sama lainnya.
Dalam pengamatan penulis, multi identitas ini menyebabkan terjadinya percampuran teologis dalam diri jemaat. Di satu sisi, seorang jemaat adalah
seorang protestan mainstream, tetapi di sisi lainnya ia juga mengakui ajaran- ajaran yang hanya ada di dalam gereja-gereja beraliran Pentakostal-Karismatik,
misalnya mujizat melalui penumpangan tangan dan bahasa Roh glossolalia. Seorang informan penulis berkata bahwa dirinya sering mengikuti akun media
sosial dari sebuah gereja dan mengikuti media sosial dari sang gembala sidang yang menyebabkan dia merasa terberkati dan terikat dengan ajaran yang
4
Wawancara dengan Pendeta Julius Anthony, wakil gembala sidang GBI Glow Fellowship Centre, pada bulan Februari 2012.
5
Anthony Giddens, Modernity and Self Identity. Self and Society in The Late Modern Age. Stanford: Stanford University Press, 1991.
6
Felix W ilfred, “Religion and Theology in Information Society”, dalam Jeevadhara Vol.
XXXVI 21 2006, hlm. 29.
91
disampaikan melalui media sosial dan gembala sidang dari gereja itu. Dari perjum
paan di media sosial, ia mulai ”jajan” ke gereja Pentakostal Karismatik yang dirasa memberikan jawaban bagi persoalan hidupnya. Ia pun terbelah antara
bertahan dalam Protestantisme Arus Utama yang selama ini ia pegang, dan di satu sisi menemukan jawaban dalam mujizat a la Pentakostal Karismatik. Sang
informan tidak dapat meninggalkan keanggotaan dirinya di gereja Protestan itu, tetapi juga tidak ingin ketinggalan
dalam fenomena ”kebangkitan rohani” yang ditunjukkan oleh para kelompok Pentakostal Karismatik. Internet dan media
sosial akhirnya membentuk multi-identitas secara teologis bagi para pelintas batas struktural teologis di dalam dunia maya.
Tidak jarang, para peselancar di dunia maya ini tidak menggunakan identitas yang sesungguhnya ketika berada di dalam jaringan. Mereka
menggunakan identitas palsu dan menciptakan pseudonim dalam bentuk akun media sosial. Hal ini terlihat dari beberapa akun media sosial yang menaruh nama
akun yang tidak terlihat seperti nama yang sebenarnya pseudonim. Dengan alasan kenyamanan dan privasi, mereka menggunakan akun palsu, atau tidak
sepenuhnya benar, dan menggunakan nama samaran dalam akunnya. Bisa jadi nama yang diganti, atau mereka menggunakan foto profil orang lain atau lambang
yang tidak menunjukkan diri mereka yang sebenarnya. Sherly Turkle, seperti dikutip oleh Lorne L. Dawson, mengatakan bahwa
internet memiliki fungsi terapetik, yaitu menawarkan setiap orang untuk melak
ukan ”moratorium” segala hal yang membuat mereka tertekan dan depresi. Ia mengatakan bahwa internet dapat
menjadi ”outlet” di mana setiap orang bisa menangani masalah pribadinya dengan cara yang lebih produktif, serta sekaligus
92
menjadi ruang bagi pertumbuhan seseorang.
7
”Identitas kedua” yang digunakan para peselancar dunia maya dapat juga dilihat dalam sudut pandang ini, yaitu
sebagai upaya rekreasi dengan menarik diri dan mengenakan identitas lainnya selama menyusuri situs demi situs internet, tanpa perlu takut batasan-batasan yang
muncul jika mereka menggunakan identitas asli mereka.
5. Religiositas Online, Spiritualitas Konsumsi, dan Budaya Instan